Kitab Yeremia adalah sebuah studi mendalam tentang penderitaan, kesetiaan, dan penghakiman ilahi. Di tengah gejolak zaman ketika bangsa Israel menghadapi ancaman kehancuran, nubuat Yeremia sering kali diwarnai dengan kesedihan dan pergumulan. Pasal 15 dari kitab ini menghadirkan momen penting yang merangkum keputusasaan nabi di hadapan dosa bangsanya, namun juga mempertegas janji Tuhan yang tak pernah padam. Renungan Yeremia 15 ini mengajak kita untuk menyelami kedalaman hati seorang nabi yang dipercayakan oleh Tuhan untuk menyampaikan pesan-Nya, bahkan ketika pesan itu terasa pahit dan tidak populer.
Pasal Yeremia 15 diawali dengan ratapan Yeremia yang begitu kuat. Ia berseru kepada Tuhan, seolah menuntut jawaban atas penderitaan yang terus-menerus ia alami. Ia merasa seperti menjadi sasaran kemarahan Tuhan, dilempari dengan panah dan pedang. Ia mengungkapkan kepedihan mendalam atas dosa dan pemberontakan umat pilihan Tuhan. Dalam Yeremia 15:1-4, Yeremia berdoa, "Sekalipun Musa dan Samuel menjadi perantara di hadapan-Ku, tidaklah hati-Ku cenderung kepada bangsa ini. Usirlah mereka dari hadapan-Ku, biarlah mereka pergi!" Permohonan ini bukan lahir dari ketidakpedulian, melainkan dari keputusasaan yang mendalam melihat betapa besarnya murka Tuhan atas dosa yang terus menerus dilakukan oleh bangsa itu.
Namun, Tuhan tidak membiarkan Yeremia tenggelam dalam keputusasaannya. Tuhan menjawabnya, menegaskan bahwa bahkan permohonan dari tokoh-tokoh saleh seperti Musa dan Samuel sekalipun tidak akan mengubah keputusan-Nya untuk menghukum Yerusalem dan umat-Nya karena dosa-dosa mereka yang tak terampuni. Tuhan menyatakan bahwa hukuman itu adalah keniscayaan, bukan karena Tuhan tidak mengasihi, melainkan karena keadilan-Nya menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran perjanjian.
"Dan TUHAN berfirman kepadaku: 'Sekalipun Musa dan Samuel menjadi perantara di hadapan-Ku, tidaklah hati-Ku cenderung kepada bangsa ini. Usirlah mereka dari hadapan-Ku, biarlah mereka pergi! Dan apabila mereka bertanya kepadamu: Ke manakah kami harus pergi? Maka katakanlah kepada mereka: Beginilah firman TUHAN: Siapa ditakdirkan untuk mati, kepada kematianlah; siapa ditakdirkan untuk pedang, kepada pedanglah; siapa ditakdirkan untuk kelaparan, kepada kelaparanlah; siapa ditakdirkan untuk pembuangan, kepada pembuanganlah.'" (Yeremia 15:1-3)
Meskipun pasal ini diwarnai dengan gambaran muram tentang penghakiman, bagian selanjutnya memberikan secercah harapan dan menggarisbawahi sifat Allah yang setia. Tuhan tidak hanya berbicara tentang hukuman, tetapi juga tentang pemulihan yang akan datang di masa depan. Tuhan berfirman kepada Yeremia dalam Yeremia 15:11, "Sesungguhnya, nasibmu akan baik kelak; sesungguhnya, Aku akan membela pembelaanmu kelak. Sesungguhnya, nenekmu dan anak-anakmu akan kaulihat, dan seluruh bumi akan kaulihat; dan Aku akan mendatangkan malapetaka atasmu pada hari malapetaka itu, dan kesengsaraan yang berlipat ganda."
Pernyataan ini mungkin terdengar paradoks. Bagaimana mungkin nasib akan baik kelak jika Tuhan sendiri yang mendatangkan malapetaka? Di sinilah letak keindahan dan kedalaman janji Tuhan. Tuhan tidak pernah membuang umat-Nya selamanya. Hukuman itu bertujuan untuk membersihkan dan mengarahkan kembali, bukan untuk menghancurkan secara total. Janji ini menegaskan bahwa kesetiaan Tuhan pada perjanjian-Nya akan selalu melampaui ketidaksetiaan umat-Nya. Bahkan di tengah masa-masa tergelap, Tuhan tetap memegang kendali dan memiliki rencana pemulihan.
Renungan Yeremia 15 memberikan beberapa pelajaran penting bagi kehidupan rohani kita. Pertama, kita belajar tentang keseriusan dosa di mata Tuhan. Dosa, sekecil apapun, membawa konsekuensi. Yeremia diperintahkan untuk menyampaikan pesan penghakiman karena dosa bangsa itu telah mencapai titik yang tidak dapat ditoleransi lagi. Ini mengingatkan kita untuk senantiasa memeriksa hati dan hidup kita, serta memohon pengampunan atas segala kesalahan.
Kedua, kita melihat gambaran kesetiaan Tuhan yang tak tergoyahkan. Sekalipun umat-Nya seringkali mengingkari janji dan berbuat dosa, Tuhan tetap setia pada kasih-Nya dan janji pemulihan-Nya. Janji-janji-Nya selalu dapat diandalkan. Di tengah badai kehidupan, kesulitan, atau bahkan ketika kita merasa ditinggalkan, kita dapat berpegang pada janji Tuhan bahwa Ia akan selalu menyertai dan memelihara kita.
Ketiga, pasal ini mengajarkan kita tentang pentingnya persisten dalam iman, bahkan ketika menghadapi kesulitan yang luar biasa. Yeremia terus berseru kepada Tuhan, mengutarakan pergumulannya, tetapi ia tidak pernah berhenti mengabarkan firman Tuhan. Ia adalah teladan bagi kita untuk tetap setia pada panggilan Tuhan, meskipun tantangannya berat. Kesetiaan kita kepada Tuhan akan diuji, tetapi melalui ujian itulah iman kita semakin diperkuat.
Renungan Yeremia 15 mengingatkan kita bahwa di tengah kemerosotan moral dan spiritualitas, Tuhan tetaplah Tuhan yang berdaulat. Kesetiaan-Nya adalah jangkar yang kokoh bagi jiwa kita. Mari kita renungkan firman Tuhan ini, memohon hikmat untuk memahami kehendak-Nya, dan memampukan kita untuk hidup dalam kesetiaan di sepanjang perjalanan hidup kita, senantiasa menanti janji pemulihan-Nya yang pasti akan tergenapi.