Dalam lautan kehidupan, kita seringkali dihadapkan pada pilihan antara mengejar harta benda duniawi atau mengutamakan kebijaksanaan dan pengertian. Kitab Amsal, sebuah gudang hikmat ilahi, menawarkan panduan berharga dalam menghadapi dilema ini.
Amsal 13:10 membuka dengan gambaran yang sangat tajam mengenai keangkuhan. Keangkuhan, yang sering kali berakar dari kesombongan, rasa superioritas, atau ketidakmauan untuk mengakui keterbatasan diri, digambarkan sebagai "hanya menimbulkan pertengkaran." Ini bukan sekadar perselisihan kecil, melainkan konflik yang mendalam, permusuhan yang berlarut-larut, dan perpecahan yang tak dapat didamaikan. Orang yang angkuh cenderung melihat diri mereka lebih baik dari orang lain, menolak pandangan atau kritik, dan merasa bahwa pendapat mereka adalah yang paling benar. Akibatnya, hubungan menjadi renggang, kerja sama terhambat, dan lingkungan yang seharusnya harmonis justru dipenuhi ketegangan. Dalam konteks yang lebih luas, keangkuhan dapat menghancurkan keluarga, merusak persahabatan, dan bahkan menyebabkan kehancuran bangsa.
Kontras dengan keangkuhan, ayat ini kemudian memperkenalkan "hikmat." Apa sebenarnya hikmat yang dimaksud di sini? Ini bukanlah sekadar pengetahuan akademis atau kecerdasan semata. Hikmat dalam konteks Amsal adalah penerapan pengetahuan dengan pengertian yang benar, seringkali dipadukan dengan rasa takut akan Tuhan (yang berarti penghormatan dan ketaatan). Hikmat adalah kemampuan untuk melihat sesuatu sebagaimana adanya, memahami konsekuensi dari tindakan, dan membuat keputusan yang bijaksana serta bermoral. Lebih penting lagi, ayat ini menjelaskan ciri khas para pemilik hikmat: "mereka yang menerima nasihat."
Kalimat "menerima nasihat" adalah kunci pembeda antara orang yang angkuh dan orang yang bijaksana. Orang yang angkuh menolak nasihat karena menganggapnya sebagai serangan terhadap ego mereka atau karena mereka merasa sudah tahu segalanya. Sebaliknya, orang yang bijaksana justru mencari dan menghargai nasihat. Mereka sadar akan keterbatasan pandangan mereka sendiri dan memahami bahwa orang lain, dengan pengalaman dan perspektif yang berbeda, dapat memberikan wawasan yang berharga. Menerima nasihat bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti kekuatan karakter, kerendahan hati, dan keinginan untuk belajar serta bertumbuh. Ini adalah sikap terbuka yang memungkinkan seseorang untuk menghindari kesalahan, menemukan solusi yang lebih baik, dan menjalani hidup dengan lebih terarah.
Simbol perbandingan antara keangkuhan yang menimbulkan pertengkaran dan kebijaksanaan yang terbuka untuk mendengar.
Renungan dari Amsal 13:10 ini memberikan pelajaran praktis yang mendalam bagi kita. Dalam setiap interaksi, baik di rumah, tempat kerja, maupun dalam komunitas, kita perlu bertanya pada diri sendiri: Apakah sikap saya didominasi oleh keangkuhan atau keterbukaan? Apakah saya cenderung mempertahankan pendapat saya dengan keras kepala, ataukah saya bersedia mendengarkan perspektif orang lain? Mengejar kekayaan materi, jabatan, atau pengakuan memang menggoda, namun jika dikejar dengan hati yang angkuh, ia hanya akan membawa perpecahan dan kehampaan. Sebaliknya, memiliki hikmat—yang ditandai dengan kerendahan hati untuk menerima nasihat—adalah kekayaan yang sesungguhnya. Kekayaan ini membangun hubungan yang sehat, memelihara pertumbuhan pribadi, dan membimbing kita pada jalan kehidupan yang lebih bermakna dan damai.
Mari kita renungkan hari ini. Dalam situasi apa pun kita berada, marilah kita memilih untuk menanggalkan keangkuhan dan merangkul kebijaksanaan. Dengarkan dengan saksama, belajarlah dari setiap orang, dan biarkan hikmat menjadi penuntun langkah kita. Karena seperti yang diajarkan oleh Amsal, kebijaksanaan yang mau belajar akan membawa kedamaian dan keharmonisan, sesuatu yang jauh lebih berharga daripada segala harta duniawi.
"Keangkuhan hanya menimbulkan pertengkaran, tetapi hikmat ada pada mereka yang menerima nasihat." – Amsal 13:10