Amygdala, sebuah struktur kecil berbentuk almond di dalam lobus temporal otak, memegang peranan krusial dalam memproses emosi, terutama yang berkaitan dengan rasa takut, kecemasan, dan respons 'lawan atau lari'. Ketika amygdala berfungsi optimal, ia membantu kita mengenali ancaman, belajar dari pengalaman, dan merespons situasi secara adaptif. Namun, berbagai faktor dapat menyebabkan kerusakan atau disfungsi pada amygdala, yang pada gilirannya berdampak signifikan pada kesejahteraan emosional dan perilaku seseorang. Memahami penyebab amygdala rusak adalah langkah awal untuk mengidentifikasi dan mengatasi masalah yang ditimbulkannya.
Salah satu penyebab paling umum dari kerusakan amygdala adalah trauma fisik pada kepala. Benturan keras pada kepala, kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau kekerasan fisik dapat menyebabkan cedera otak traumatis (TBI). Dampak langsung pada area lobus temporal di mana amygdala berada, atau gelombang kejut yang merambat ke seluruh otak, dapat merusak sel-sel saraf di dalamnya atau mengganggu konektivitasnya. Tingkat keparahan kerusakan amygdala seringkali berkorelasi dengan tingkat keparahan cedera otak. Cedera ini bisa bersifat akut (terjadi segera) atau kronis (berkembang seiring waktu akibat peradangan atau perubahan sekunder).
Paparan stres yang berkepanjangan dan berlebihan dapat berdampak negatif pada berbagai bagian otak, termasuk amygdala. Dalam situasi stres, tubuh melepaskan hormon stres seperti kortisol. Jika tingkat kortisol tetap tinggi dalam jangka waktu lama, hal ini dapat menyebabkan perubahan struktural dan fungsional pada amygdala. Studi menunjukkan bahwa stres kronis dapat meningkatkan ukuran dan aktivitas amygdala, membuatnya lebih reaktif terhadap rangsangan negatif, serta merusak kemampuannya untuk mengatur respons emosional. Ini menjelaskan mengapa orang yang mengalami stres kronis cenderung lebih mudah cemas, takut, dan memiliki kesulitan mengelola emosi.
Berbagai penyakit neurodegeneratif yang mempengaruhi otak juga dapat merusak amygdala. Penyakit Alzheimer, misalnya, ditandai dengan penumpukan plak amiloid dan protein tau abnormal yang dapat merusak sel-sel saraf di berbagai area otak, termasuk amygdala. Hal ini dapat berkontribusi pada perubahan kepribadian, peningkatan kecemasan, dan kesulitan dalam mengenali emosi orang lain pada pasien Alzheimer. Penyakit Parkinson, yang utamanya mempengaruhi sistem motorik, juga dapat melibatkan disfungsi amigdala yang berkontribusi pada gejala non-motorik seperti depresi dan kecemasan. Penyakit lain seperti Huntington atau penyakit prion juga dapat menyerang amygdala.
Meskipun terkadang sulit untuk menentukan mana yang menjadi penyebab dan mana yang merupakan akibat, beberapa gangguan mental dan psikologis telah dikaitkan dengan perubahan pada amygdala. Individu dengan gangguan kecemasan umum (GAD), fobia, gangguan stres pasca-trauma (PTSD), dan depresi berat seringkali menunjukkan pola aktivitas amygdala yang abnormal. Pada kondisi seperti PTSD, amygdala dapat menjadi terlalu aktif, menyebabkan respons ketakutan yang berlebihan terhadap pemicu yang mengingatkan pada trauma. Sebaliknya, pada beberapa bentuk depresi, aktivitas amygdala mungkin berkurang, yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk merasakan emosi positif atau merespons penghargaan. Penelitian terus mengeksplorasi hubungan kompleks antara pengalaman psikologis dan perubahan pada struktur serta fungsi amygdala.
Infeksi yang menyerang otak, seperti ensefalitis (radang otak), dapat merusak jaringan otak, termasuk amygdala. Virus seperti herpes simpleks adalah penyebab umum ensefalitis yang dapat menyebabkan kerusakan neurologis serius jika tidak diobati dengan cepat. Peradangan yang disebabkan oleh infeksi ini bisa merusak sel-sel saraf dan konektivitas di dalam amygdala, menyebabkan masalah emosional dan perilaku. Selain infeksi, kondisi peradangan autoimun di mana sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan otak juga dapat mempengaruhi amygdala.
Meskipun bukan penyebab langsung kerusakan yang terjadi setelah lahir, faktor genetik dan perkembangan pada masa prenatal dapat mempengaruhi struktur dan fungsi amygdala sejak awal kehidupan. Variasi genetik tertentu dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap gangguan emosional atau memengaruhi cara amygdala berkembang. Paparan zat berbahaya selama kehamilan, seperti alkohol atau obat-obatan tertentu, juga dapat mengganggu perkembangan otak, termasuk amygdala, yang berpotensi menyebabkan masalah emosional dan perilaku seumur hidup.
Kerusakan atau disfungsi pada amygdala dapat bermanifestasi dalam berbagai cara, mulai dari kesulitan mengatur emosi, peningkatan rasa takut dan kecemasan, hingga masalah dalam pengenalan emosi orang lain dan respons sosial. Mengenali penyebab amygdala rusak sangat penting untuk diagnosis yang tepat dan pengembangan intervensi yang efektif, baik melalui terapi, pengobatan, atau penyesuaian gaya hidup untuk melindungi kesehatan otak secara keseluruhan.