Air ketuban adalah cairan penting yang mengelilingi janin di dalam rahim selama kehamilan. Cairan ini tidak hanya berfungsi sebagai bantalan pelindung, tetapi juga berperan krusial dalam perkembangan janin, termasuk paru-paru, sistem pencernaan, dan otot-ototnya. Kadar air ketuban yang normal sangat penting untuk memastikan kesehatan ibu dan bayi. Namun, terkadang ibu hamil mengalami kondisi yang disebut oligohidramnion, yaitu ketika jumlah air ketuban lebih sedikit dari seharusnya. Memahami penyebab air ketuban kurang sangatlah penting untuk deteksi dini dan penanganan yang tepat.
Oligohidramnion bisa disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari janin maupun dari ibu. Beberapa penyebab yang paling sering ditemui antara lain:
Ginjal janin mulai memproduksi urine sekitar minggu ke-8 hingga ke-10 kehamilan. Urine janin merupakan salah satu komponen utama pembentukan air ketuban, terutama pada trimester kedua dan ketiga. Jika janin memiliki kelainan pada ginjal atau saluran kemihnya, seperti ginjal yang tidak berkembang (renal agenesis) atau tersumbatnya saluran kemih, produksi urine akan berkurang drastis. Kondisi ini secara langsung akan menurunkan volume air ketuban.
Ketika selaput ketuban pecah sebelum waktunya, yaitu sebelum proses persalinan dimulai, air ketuban dapat keluar secara perlahan atau bahkan deras. Jika kebocoran ini terus terjadi dalam jumlah signifikan, volume air ketuban bisa menipis secara drastis. KPD bisa disebabkan oleh infeksi, trauma pada perut, atau kelemahan pada selaput ketuban.
Plasenta adalah organ yang menghubungkan ibu dan janin, bertugas menyalurkan nutrisi, oksigen, dan cairan. Jika plasenta mengalami masalah, seperti solusio plasenta (terlepasnya plasenta dari dinding rahim) atau insufisiensi plasenta (ketidakmampuan plasenta menjalankan fungsinya dengan baik), aliran nutrisi dan cairan ke janin dapat terganggu. Hal ini bisa memengaruhi produksi cairan janin dan, akibatnya, mengurangi volume air ketuban.
Kehamilan yang berlangsung lebih dari 40 minggu atau bahkan lebih dari 42 minggu juga berisiko mengalami penurunan volume air ketuban. Pada kehamilan lewat waktu, fungsi plasenta seringkali mulai menurun. Selain itu, janin yang lebih tua mungkin memiliki volume air ketuban yang secara alami sedikit berkurang karena tubuhnya sudah lebih siap untuk dilahirkan.
Beberapa kelainan kromosom, seperti sindrom Down atau trisomi 18, dapat memengaruhi perkembangan janin, termasuk sistem organ yang berperan dalam produksi air ketuban.
Penggunaan obat-obatan tertentu oleh ibu hamil, seperti inhibitor enzim konversi angiotensin (ACE inhibitors) yang biasanya diresepkan untuk tekanan darah tinggi, dapat memengaruhi fungsi ginjal janin dan berpotensi menyebabkan oligohidramnion.
Meskipun bukan penyebab utama, dehidrasi parah pada ibu hamil dapat memengaruhi volume cairan tubuh secara keseluruhan, yang secara tidak langsung dapat berkontribusi pada penurunan jumlah air ketuban. Penting bagi ibu hamil untuk selalu terhidrasi dengan baik.
Janin yang mengalami PJT seringkali dikaitkan dengan masalah pada plasenta. Kurangnya pasokan nutrisi dan oksigen dapat memengaruhi perkembangan janin secara keseluruhan, termasuk kemampuannya menghasilkan urine yang cukup untuk membentuk air ketuban.
Kadar air ketuban yang kurang dapat menimbulkan berbagai risiko bagi janin, seperti:
Oleh karena itu, pemeriksaan rutin oleh dokter atau bidan sangat penting. Dokter akan memantau volume air ketuban, biasanya melalui USG (ultrasonografi). Pemeriksaan USG akan mengukur indeks cairan amnion (Amniotic Fluid Index/AFI) untuk menentukan apakah volumenya normal, berlebih (polihidramnion), atau kurang (oligohidramnion).
Jika Anda didiagnosis mengalami kekurangan air ketuban, jangan panik. Diskusikan dengan dokter Anda mengenai penyebab air ketuban kurang yang spesifik pada kasus Anda dan rencana penanganan yang paling sesuai. Tindakan pencegahan seperti menjaga hidrasi, istirahat yang cukup, dan mengikuti saran medis adalah kunci untuk menjaga kehamilan yang sehat.