Banyuwangi, yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, sering dijuluki sebagai ‘Bumi Blambangan’ atau ‘The Sunrise of Java’. Lebih dari sekadar julukan geografis, daerah ini menyimpan kekayaan identitas manusia yang unik, membentuk karakter ‘Orang Banyuwangi’. Identitas ini merupakan hasil percampuran sejarah panjang yang dramatis, pengaruh budaya Jawa, Bali, dan Madura, serta ketahanan luar biasa dari komunitas pribumi utama, Suku Osing.
Orang Banyuwangi adalah pewaris langsung dari Kerajaan Blambangan yang perkasa, sebuah entitas yang selama berabad-abad menolak integrasi penuh dengan kerajaan-kerajaan Jawa tengah, seperti Mataram. Penolakan historis ini, ditambah isolasi geografis yang memisahkannya dari pusat budaya Jawa, melahirkan sebuah etnisitas yang memiliki bahasanya sendiri, seni pertunjukannya sendiri, dan sistem kepercayaan yang khas.
Artikel ini akan menelusuri secara mendalam siapa Orang Banyuwangi itu, mulai dari akar sejarah Blambangan yang penuh gejolak hingga manifestasi budaya kontemporer mereka, mengeksplorasi bahasa, adat istiadat, mata pencaharian, dan peran mereka dalam lanskap Indonesia modern. Mereka adalah komunitas yang berdiri tegak di persimpangan budaya, menjadi gerbang bagi arus peradaban dari Bali dan Nusa Tenggara, sambil tetap mempertahankan esensi Jawa kuno yang mereka pegang teguh.
I. Akar Sejarah dan Lahirnya Identitas Blambangan
Untuk memahami Orang Banyuwangi, kita harus kembali ke era Blambangan. Blambangan bukanlah sekadar nama geografis, melainkan representasi dari semangat perlawanan dan kemerdekaan. Setelah keruntuhan Majapahit, Blambangan menjadi salah satu kerajaan Hindu terakhir di Jawa yang berjuang mempertahankan kedaulatannya di tengah ekspansi Islam dari barat (Mataram) dan pengaruh kuat Hindu dari timur (Bali).
Perjuangan Melawan Mataram dan VOC
Identitas Orang Banyuwangi ditempa melalui konflik. Sepanjang abad ke-17 dan ke-18, Blambangan menjadi medan perang. Mataram berulang kali mencoba menaklukkan wilayah ini, melihatnya sebagai kunci strategis untuk menguasai seluruh Jawa. Meskipun sempat dikuasai, Blambangan selalu bangkit kembali. Perlawanan paling sengit terjadi pada masa Perang Puputan Bayu (1771-1772) melawan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang saat itu telah mengambil alih kekuasaan Mataram di wilayah timur.
Perang Bayu adalah titik krusial. Rakyat Blambangan, dipimpin oleh Pangeran Jagapati, berjuang mati-matian. Meskipun akhirnya kalah, perlawanan heroik ini menanamkan rasa kebanggaan dan ketangguhan yang menjadi ciri khas identitas Osing. Keturunan dari para pejuang yang selamat dan melarikan diri ke pedalaman inilah yang kemudian membentuk komunitas Suku Osing, yang namanya dipercaya berasal dari kata 'Osing' yang berarti 'tidak' atau 'bukan', merujuk pada penolakan mereka untuk tunduk pada kekuasaan luar.
Pengaruh Majapahit dan Bali
Secara genetik dan budaya, Orang Banyuwangi memiliki hubungan erat dengan warisan Majapahit. Bahasa Osing, misalnya, dianggap sebagai salah satu dialek Jawa tertua yang mempertahankan banyak kosakata Jawa Kuno yang telah hilang dalam Bahasa Jawa standar (Jawa Tengah/Yogyakarta). Lebih lanjut, letak geografis Banyuwangi yang berdekatan dengan Selat Bali menyebabkan adanya interaksi budaya yang intensif. Banyak bangsawan Blambangan yang melarikan diri ke Bali saat konflik, dan sebaliknya, banyak penduduk Bali yang bermigrasi ke Banyuwangi. Ini menjelaskan mengapa beberapa ritual dan seni pertunjukan di Banyuwangi, seperti Seblang, memiliki nuansa mistis dan format pertunjukan yang mirip dengan beberapa tradisi di Bali.
II. Suku Osing: Pilar Utama Budaya Banyuwangi
Suku Osing adalah populasi pribumi mayoritas dan paling menonjol di Banyuwangi. Mereka adalah penjaga utama tradisi Blambangan. Pemukiman tradisional Osing tersebar di wilayah pedalaman, terutama di Kecamatan Glagah, Songgon, Licin, dan kota-kota kecil sekitarnya.
Basa Osing: Jembatan ke Masa Lalu
Bahasa Osing, atau Basa Osing, adalah penanda identitas yang paling kuat. Bahasa ini berbeda signifikan dari Bahasa Jawa standar (Kromo dan Ngoko) dan bahkan dari dialek Jawa Timur lainnya. Struktur bahasanya relatif egaliter, tidak mengenal tingkatan halus (Kromo) yang serumit Bahasa Jawa Tengah, sebuah cerminan dari masyarakat pedalaman yang lebih mementingkan kekerabatan langsung daripada hierarki sosial feodal.
Para ahli bahasa sering mencatat bahwa Basa Osing kaya akan leksikon yang langsung berasal dari Bahasa Jawa Kuno. Contohnya, penggunaan kata ‘riko’ (kamu) atau ‘isun’ (saya) memberikan nuansa khas yang membedakannya secara tajam dari Bahasa Jawa pada umumnya. Bahasa ini tidak hanya menjadi alat komunikasi tetapi juga wadah pelestarian sejarah lisan mereka.
Arsitektur Tradisional Osing
Rumah tradisional Osing, yang dikenal sebagai ‘omah Osing’, mencerminkan kesederhanaan dan kedekatan dengan alam. Atapnya seringkali berbentuk pelana atau limasan, dengan tiang-tiang kayu yang kokoh. Terdapat beberapa tipe rumah yang menunjukkan status sosial, antara lain:
- Omah Joloan: Bentuk yang paling sederhana, sering digunakan oleh masyarakat petani.
- Omah Tikel Balung: Bentuk yang lebih kompleks, dengan penambahan ruang yang fleksibel.
- Omah Crocogan: Rumah dengan atap miring yang khas.
Ciri khas lainnya adalah penggunaan ornamen ukiran pada kayu yang sering kali mengambil motif flora dan fauna lokal, namun yang paling ikonik adalah motif Gajah Oling. Gajah Oling, yang menyerupai belalai gajah atau udang yang melingkar, adalah motif batik paling tua dan paling sakral bagi Orang Banyuwangi, melambangkan perjalanan hidup, kekuatan, dan hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta.
III. Seni Pertunjukan: Jantung Ekspresi Orang Banyuwangi
Tidak ada yang lebih mendefinisikan semangat Orang Banyuwangi selain seni pertunjukannya. Seni ini adalah dokumen sejarah bergerak, berisi narasi tentang perlawanan, spiritualitas, dan siklus kehidupan. Seni Banyuwangi memiliki ciri khas berupa energi dinamis, irama yang kuat, dan elemen ritual yang kental.
1. Gandrung Banyuwangi: Tarian Penyambut
Gandrung adalah tarian yang paling terkenal dan telah menjadi ikon resmi Banyuwangi. Kata ‘Gandrung’ berarti ‘tergila-gila’ atau ‘cinta’. Tarian ini awalnya dibawakan oleh laki-laki, tetapi sejak abad ke-19, Gandrung selalu identik dengan penari perempuan (Penari Gandrung Lanang masih ada, tetapi lebih jarang).
Filosofi dan Struktur Pertunjukan
Gandrung bukan sekadar hiburan; ia memiliki struktur ritual yang ketat:
- Jejer: Bagian pembukaan yang tenang, penari menyanyikan lagu-lagu pembuka, memperkenalkan diri, dan memberi penghormatan kepada hadirin.
- Paju: Inti dari pertunjukan. Penari menjemput penonton laki-laki (disebut paju atau pemaju) untuk menari bersama. Interaksi ini sangat penting dan seringkali melibatkan improvisasi lirik (cangkriman) dan gerak.
- Seblak: Bagian penutup yang energik, menandai akhir dari sesi pertunjukan.
Gandrung adalah simbol perlawanan dan keterbukaan. Di masa lalu, Gandrung sering digunakan sebagai media komunikasi dan pengobar semangat perjuangan. Musiknya didominasi oleh Gamelan Osing, yang menggunakan instrumen seperti Kethuk, Kenong, Gong, dan terutama biola yang memberikan melodi melankolis sekaligus semangat.
2. Seblang: Ritual Purifikasi
Seni Seblang adalah ritual penyucian desa yang dilakukan setahun sekali, diyakini berfungsi untuk menolak bala dan mendatangkan kesuburan. Seblang hanya dipentaskan di dua desa yang memiliki tradisi Osing paling kuat: Desa Bakungan dan Desa Olehsari.
- Seblang Olehsari: Ditarikan oleh perawan tua (wanita yang sudah menopause) yang terpilih secara spiritual.
- Seblang Bakungan: Ditarikan oleh gadis muda yang belum akil balig.
Penari Seblang menari dalam kondisi trans, diiringi Gamelan yang monoton dan berulang. Bagian paling unik adalah penggunaan selendang sebagai jembatan spiritual. Ritual ini menunjukkan betapa dalamnya kepercayaan animisme dan dinamisme masih melekat dalam praktik keagamaan Orang Banyuwangi, meskipun mereka umumnya memeluk Islam.
3. Kebo-Keboan: Pemujaan Kesuburan
Kebo-Keboan (Kerbau-Kerbauan) adalah ritual panen yang diadakan di Desa Aliyan dan Desa Alasmalang. Warga laki-laki didandani menyerupai kerbau, lengkap dengan tanduk dan lumpur. Mereka berjalan mengelilingi desa dan sawah dalam kondisi kesurupan (trance), membajak sawah secara simbolis.
Ritual ini merupakan manifestasi dari rasa terima kasih kepada Dewi Sri (Dewi Padi) dan permohonan agar panen berikutnya melimpah. Orang Banyuwangi percaya bahwa jika ritual ini tidak dilaksanakan, desa akan ditimpa bencana atau gagal panen. Kebo-Keboan adalah contoh nyata sinkretisme budaya yang menggabungkan kepercayaan agraria kuno dengan tradisi lokal yang kuat.
4. Barong dan Janger
Barong Osing berbeda dari Barong Bali. Barong di Banyuwangi umumnya diarak keliling desa untuk menolak penyakit atau mengusir roh jahat. Sementara Janger adalah teater rakyat yang menggabungkan unsur drama, komedi, musik, dan tarian. Janger merupakan media hiburan sekaligus kritik sosial yang sangat populer di kalangan Orang Banyuwangi tempo dulu.
IV. Kosmopolitanisme dan Pluralitas Etnis
Meskipun Suku Osing adalah inti kultural, Banyuwangi adalah rumah bagi komunitas multi-etnis yang sangat kaya. Keberadaan pluralitas ini turut membentuk karakteristik Orang Banyuwangi yang dikenal terbuka namun tetap memegang teguh tradisi.
Komunitas Jawa Pendalungan
Sebagian besar wilayah selatan dan barat Banyuwangi dihuni oleh migran Jawa yang datang dari wilayah ‘pendalungan’ (pesisir timur Jawa Tengah dan Jawa Timur), serta migrasi besar-besaran pada era kolonial untuk membuka perkebunan. Mereka membawa dialek Jawa yang berbeda dari Osing, namun dalam pergaulan sehari-hari, terjadi akulturasi bahasa dan budaya yang intensif. Secara umum, mereka mengidentifikasi diri sebagai Orang Banyuwangi yang berbahasa Jawa.
Pengaruh Madura
Pulau Madura hanya dipisahkan oleh Selat Madura, dan migrasi dari Madura ke utara Banyuwangi (terutama daerah pesisir seperti Muncar dan Wongsorejo) sangat signifikan. Orang Madura di Banyuwangi dikenal tangguh, ulet, dan memiliki peran besar dalam sektor perikanan dan perdagangan. Mereka mempertahankan budaya dan bahasa mereka, tetapi dalam banyak hal, mereka telah beradaptasi dengan seni dan kuliner lokal, menghasilkan percampuran yang unik.
Komunitas Bali dan Hindu Dharma
Sisa-sisa Kerajaan Blambangan yang Hindu menyebabkan adanya kantong-kantong komunitas Hindu yang kuat, terutama di sekitar Candi Sembuluh dan beberapa desa di lereng Ijen. Komunitas ini, yang merupakan keturunan Blambangan atau migran Bali, memelihara tradisi Hindu Dharma dan menjadi jembatan budaya yang vital antara Jawa dan Bali. Pakaian adat Banyuwangi, misalnya, seringkali menampilkan elemen-elemen yang mirip dengan Bali, seperti penggunaan udeng dan kamen dalam upacara resmi.
V. Sistem Kepercayaan dan Sinkretisme
Orang Banyuwangi, mayoritas beragama Islam, dikenal memiliki praktik keagamaan yang sangat sinkretis. Agama Islam yang masuk ke Blambangan menyerap banyak tradisi Hindu-Buddha kuno dan kepercayaan animisme Osing. Inilah yang membuat keislaman di Banyuwangi terasa begitu lokal dan kuat.
Islam Abangan dan Tradisi Selamatan
Seperti wilayah lain di Jawa, konsep Abangan (Muslim yang sangat kental dengan tradisi lokal) sangat terlihat. Ritual-ritual penting dalam siklus hidup, seperti kelahiran (tetekan), khitanan, pernikahan (temu manten), dan kematian (kenduren), selalu diiringi oleh selamatan, sebuah upacara doa bersama dengan hidangan makanan khas yang memiliki makna simbolis.
Selamatan ini bukan sekadar jamuan makan, melainkan ritual komunikasi dengan leluhur dan permohonan keselamatan. Hidangan-hidangan seperti Sego Cawuk atau Pecel Pithik dalam konteks ritual sering kali melambangkan kemakmuran dan perlindungan.
Batas Spiritual (Punden dan Danyang)
Kepercayaan terhadap kekuatan spiritual lokal, seperti Punden (tempat keramat) dan Danyang (penjaga desa), masih sangat dihormati. Setiap desa Osing memiliki Danyang atau leluhur pendiri yang diyakini menjaga keselamatan. Menghormati Danyang dilakukan melalui upacara bersih desa atau Seblang, menegaskan bahwa hubungan dengan alam dan roh leluhur adalah bagian tak terpisahkan dari identitas Orang Banyuwangi.
VI. Ekonomi dan Mata Pencaharian
Secara geografis, Banyuwangi adalah wilayah yang diberkahi oleh pantai panjang, dataran subur, dan pegunungan vulkanik. Hal ini membentuk keragaman mata pencaharian Orang Banyuwangi.
Pertanian: Emas Hijau Blambangan
Mayoritas Orang Banyuwangi di pedalaman adalah petani. Tanah di kaki Gunung Raung dan Ijen sangat subur. Mereka terkenal sebagai penghasil padi, namun komoditas yang paling menonjol adalah kopi (Arabika dan Robusta Ijen), cengkeh, dan kakao. Sistem pertanian tradisional masih dipelihara, dan ritual Kebo-Keboan menjadi representasi spiritual atas mata pencaharian agraria ini.
Perikanan: Sentra Ikan Muncar
Pelabuhan Muncar di Banyuwangi adalah salah satu sentra perikanan terbesar di Jawa Timur. Komunitas nelayan di sana didominasi oleh Orang Madura dan Jawa Pesisir, yang bekerja dalam penangkapan ikan pelagis seperti lemuru dan tongkol. Kehidupan pesisir ini melahirkan budaya maritim yang tangguh dan disiplin, berbanding terbalik dengan kehidupan agraris di pedalaman, menciptakan dualitas menarik dalam karakter Orang Banyuwangi.
Pariwisata: Membuka Jendela Dunia
Dalam dua dekade terakhir, sektor pariwisata telah mengubah lanskap ekonomi dan sosial Banyuwangi. Keindahan Kawah Ijen dengan ‘api birunya’ (blue fire), Pantai Plengkung (G-Land) yang terkenal di mata peselancar internasional, serta Taman Nasional Baluran, telah menarik perhatian global.
Transformasi ini menempatkan Orang Banyuwangi di garda depan interaksi global. Mereka harus menyeimbangkan kebutuhan modernisasi pariwisata dengan pelestarian tradisi Osing. Banyak pemuda Osing kini berprofesi sebagai pemandu wisata, pengelola homestay, atau seniman, memanfaatkan warisan budaya mereka sebagai komoditas yang berkelanjutan.
VII. Tradisi Siklus Hidup dan Adat Istiadat Osing
Adat istiadat Osing sangat ketat dalam mengatur siklus kehidupan, dari lahir hingga meninggal. Setiap tahapan memiliki ritual dan simbolisme yang menunjukkan kekhasan identitas Orang Banyuwangi.
Pernikahan (Temu Manten)
Pernikahan Osing kaya akan simbol. Sebelum pernikahan, ada tradisi “Ngerabek”, yakni pembersihan diri secara spiritual. Salah satu ritual paling menarik adalah ‘Maju Manten’ atau prosesi pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan. Prosesi ini sering diwarnai oleh drama tarian yang mengandung pesan filosofis.
Dalam pernikahan Osing, mahar (maskawin) seringkali berupa benda-benda yang melambangkan kemakmuran, seperti peralatan pertanian atau perhiasan emas. Pakaian pengantin Osing juga sangat khas, menggunakan kain batik Gajah Oling dan hiasan kepala yang berbeda dari adat Jawa pada umumnya.
Kematian dan Upacara Pitulasan
Upacara kematian di Banyuwangi, seperti di daerah Jawa lainnya, melibatkan Kenduren (selamatan) pada hari-hari tertentu setelah meninggal (hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000). Namun, di komunitas Osing, ada tradisi yang disebut ‘Pitulasan’, yang melibatkan berbagai macam makanan dan sesajen sebagai penghormatan kepada roh. Kepercayaan terhadap ‘wong mati’ (orang yang meninggal) dan hubungan mereka dengan dunia yang hidup masih sangat kuat, menegaskan pentingnya leluhur dalam struktur sosial Osing.
VIII. Keunikan Kuliner Orang Banyuwangi
Kuliner adalah cerminan budaya. Makanan khas Banyuwangi memadukan rasa pedas ala Jawa Timur dengan bumbu rempah yang dipengaruhi oleh budaya pesisir dan agraria.
Rujak Soto: Perpaduan Tak Terduga
Rujak Soto adalah ikon kuliner Banyuwangi yang menunjukkan kreativitas dan semangat perpaduan. Hidangan ini adalah gabungan antara Rujak Cingur (rujak sayur dengan petis) dan Soto Daging (kuah kaldu kuning). Perpaduan ini menghasilkan rasa kompleks, pedas, gurih, dan asam dalam satu mangkuk. Konon, Rujak Soto lahir dari masyarakat yang harus cepat-cepat menghabiskan makanan yang berbeda sebelum tamu datang, dan akhirnya menjadi kreasi yang dicintai.
Pecel Pithik dan Sego Cawuk
Pecel Pithik (Pecel Ayam) adalah hidangan ritual yang wajib ada dalam selamatan. Ayam kampung yang dipanggang kemudian disuwir dan dicampur dengan bumbu kelapa sangrai (urap) pedas yang kaya kencur dan terasi. Makanan ini melambangkan kesuburan dan permohonan berkat.
Sego Cawuk adalah sarapan khas yang sederhana namun unik. Nasi dicampur dengan kuah pindang ikan yang segar, parutan kelapa muda, dan sambal serai. Kesederhanaannya menunjukkan karakteristik Orang Banyuwangi yang apa adanya dan mengandalkan hasil bumi dan laut secara langsung.
IX. Tantangan Modernisasi dan Pelestarian
Seiring Banyuwangi bergerak maju sebagai destinasi pariwisata kelas dunia dan pusat industri agribisnis, Orang Banyuwangi menghadapi tantangan ganda: menjaga otentisitas budaya sambil merangkul modernitas.
Erosi Bahasa dan Tradisi
Seperti banyak daerah lain, generasi muda Osing mulai kurang fasih menggunakan Basa Osing dalam kehidupan sehari-hari, memilih menggunakan Bahasa Indonesia atau dialek Jawa yang lebih umum. Ini menjadi ancaman serius terhadap pelestarian identitas. Upaya pelestarian kini dilakukan melalui pendidikan lokal, di mana Basa Osing dimasukkan dalam kurikulum sekolah dasar.
Komersialisasi Budaya
Peningkatan pariwisata membawa komersialisasi pada seni pertunjukan seperti Gandrung dan Kebo-Keboan. Tantangannya adalah memastikan bahwa pertunjukan tersebut tidak kehilangan esensi ritual dan filosofisnya hanya demi memenuhi permintaan wisatawan. Peran para budayawan dan sesepuh sangat penting untuk memastikan bahwa ritual sakral tetap dilaksanakan terpisah dari pertunjukan profan.
Semangat Gotong Royong (Ngerumpi)
Meskipun terjadi perubahan sosial, semangat kekeluargaan dan gotong royong, yang dikenal di Osing sebagai Ngerumpi (berkumpul dan bekerja bersama), tetap menjadi pilar kekuatan komunitas. Semangat ini adalah modal sosial yang tak ternilai dalam menghadapi globalisasi, memungkinkan mereka mempertahankan kohesi sosial yang kuat di tengah arus modernisasi.
X. Epilog: Masa Depan Penjaga Gerbang Timur
Orang Banyuwangi adalah pewaris takhta sejarah yang kompleks, di mana perlawanan heroik, adaptasi budaya, dan spiritualitas yang mendalam bersatu padu. Mereka bukan sekadar komunitas etnis di ujung timur Jawa, melainkan sebuah laboratorium hidup tempat peradaban Jawa, Bali, dan Madura berinteraksi dan melahirkan sebuah identitas baru yang unik.
Kini, saat Banyuwangi semakin terbuka ke dunia, identitas Osing dan Blambangan menjadi aset tak ternilai. Mereka telah berhasil mengubah narasi dari sebuah wilayah terpencil menjadi pusat budaya yang dinamis dan berdaya saing. Melalui tarian Gandrung, ritual Seblang, dan Basa Osing yang unik, Orang Banyuwangi terus menegaskan keberadaan mereka: sebuah komunitas yang teguh mempertahankan akar sejarahnya sambil menyambut masa depan dengan penuh optimisme dan energi, persis seperti matahari terbit yang mereka saksikan setiap pagi di ujung timur Pulau Jawa.
Ketangguhan para leluhur di Blambangan telah diwariskan dalam setiap denyut nadi generasi kini. Mereka terus menjadi penjaga setia atas tanah yang pernah diperjuangkan mati-matian, memastikan bahwa semangat Osing dan Blambangan akan terus bersinar.
Kisah tentang Orang Banyuwangi adalah kisah tentang ketahanan manusia, sebuah epik yang ditulis dengan darah, lumpur sawah, dan irama biola Gandrung yang melankolis namun penuh harapan. Mereka adalah simbol keunikan Indonesia, sebuah mosaik yang tak pernah berhenti mempesona.
Dalam setiap tradisi, dari Kebo-Keboan yang berlumpur hingga aroma Rujak Soto yang pedas, terpancar warisan yang tak lekang oleh waktu. Identitas Orang Banyuwangi adalah permata berharga yang terus dijaga dengan bangga di gerbang timur Jawa.
Mereka melangkah maju, membawa warisan Gajah Oling, sebuah lingkaran tak terputus yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan. Semangat ini menjadi jaminan bahwa meskipun dunia berubah, esensi dari Bumi Blambangan akan tetap abadi.