Keadilan yang terguncang: Masa khilafah Sayyidina Ali dipenuhi ujian konflik dan upaya penegakan hukum Ilahi di tengah perpecahan.
Sejarah Islam mencatat periode Khulafaur Rasyidin sebagai masa keemasan spiritual, namun juga periode yang diakhiri dengan rentetan tragedi politik dan pertumpahan darah. Puncak dari gejolak tersebut adalah masa pemerintahan Khalifah keempat, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW. Khilafahnya adalah masa yang penuh ujian, yang dikenal dalam literatur sejarah sebagai bagian dari Fitnah Besar, sebuah era di mana persatuan umat terpecah belah oleh interpretasi agama, ambisi politik, dan ketidakpuasan mendalam.
Wafatnya Ali bukan sekadar akhir dari seorang pemimpin, melainkan penanda runtuhnya sistem kekhalifahan yang berdasarkan prinsip-prinsip syura murni dan keadilan egaliter. Peristiwa syahadah (kemartiran) ini terjadi dalam suasana dramatis, menjadi titik balik yang mengakhiri era sahabat besar yang memimpin umat, dan membuka lembaran baru yang ditandai oleh sistem monarki dinasti yang kelak berkuasa. Untuk memahami kedalaman tragedi ini, kita harus menyelami konteks rumit yang melingkupinya.
Ali bin Abi Thalib mengambil alih kepemimpinan setelah pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan, sebuah peristiwa yang mengguncang stabilitas sosial dan politik Madinah. Pada saat Ali dibaiat, kekuasaan tidak lagi terkonsentrasi di pusat; provinsi-provinsi utama, terutama Syam (Suriah) yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abi Sufyan, menuntut pembalasan atas darah Utsman. Tuntutan ini segera berkembang menjadi konflik terbuka yang melibatkan perbedaan pandangan fundamental tentang prioritas kepemimpinan.
Ali percaya bahwa penegakan hukum dan keadilan harus dilakukan sebelum masalah politik lainnya diselesaikan. Ia menuntut agar semua pihak yang terlibat dalam pembunuhan Utsman diadili sesuai hukum, namun langkah ini tertunda karena besarnya perpecahan di dalam umat. Di sisi lain, Muawiyah menggunakan tuntutan balas dendam sebagai alat politik untuk menantang legitimasi Ali. Konflik ini memuncak dalam dua pertempuran besar yang sangat merusak persatuan umat: Pertempuran Jamal (unta) dan Pertempuran Siffin.
Ali dikenal karena prinsipnya yang teguh dan keengganannya untuk berkompromi dengan keadilan, bahkan jika kompromi tersebut dapat memberinya kemenangan politik yang lebih mudah. Dia menolak sistem favoritisme dan kembali ke pembagian harta baitul mal yang setara, mengabaikan status sosial atau senioritas. Keadilan yang keras ini, meskipun ideal secara spiritual, pada kenyataannya menciptakan musuh politik baru dari kalangan bangsawan Quraisy yang terbiasa mendapatkan perlakuan istimewa di masa lalu.
Setelah Pertempuran Siffin, Ali terpaksa menerima arbitrase (perdamaian melalui perundingan) dengan Muawiyah, meskipun dengan hati yang berat dan di bawah tekanan sebagian pasukannya. Keputusan arbitrase ini, yang bertujuan mengakhiri pertumpahan darah sesama Muslim, justru melahirkan kelompok ekstremis yang dikenal sebagai Khawarij (mereka yang keluar).
Khawarij berpendapat bahwa menerima arbitrase manusia adalah kekafiran (syirik), karena 'hukum hanyalah milik Allah' (La hukma illa lillah). Bagi mereka, baik Ali, Muawiyah, maupun pihak-pihak yang menyetujui arbitrase telah murtad dari jalan Islam yang benar. Kelompok ini awalnya adalah pendukung setia Ali, namun ketika mereka menarik diri, mereka menjadi ancaman yang jauh lebih berbahaya—mereka adalah musuh ideologis yang berada di dalam barisan umat.
Ali terpaksa memerangi Khawarij dalam Pertempuran Nahrawan. Meskipun Khawarij dihancurkan sebagai kekuatan militer terorganisir, ideologi mereka tidak mati. Sebaliknya, sisa-sisa Khawarij menyebar, membawa dendam mendalam dan keyakinan bahwa membunuh pemimpin-pemimpin yang mereka anggap sesat adalah kewajiban agama. Dalam pemikiran Khawarij yang ekstrem, satu-satunya cara untuk mengakhiri Fitnah Besar adalah dengan menyingkirkan tiga tokoh utama yang bertanggung jawab atas perpecahan umat: Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, dan Amr bin Ash (perwakilan Muawiyah dalam arbitrase).
Konspirasi untuk membunuh ketiga tokoh tersebut direncanakan oleh sisa-sisa Khawarij yang berkumpul di Mekah. Tiga orang ditugaskan untuk menjalankan misi ini secara serentak di tempat yang berbeda pada pagi hari yang sama: Ibnu Muljam ditugaskan untuk membunuh Ali di Kufah, Al-Barak bin Abdillah ditugaskan membunuh Muawiyah di Syam, dan Amr bin Bakar ditugaskan membunuh Amr bin Ash di Mesir.
Pembunuh Ali adalah Abd al-Rahman bin Muljam. Ibnu Muljam adalah seorang dari suku Himyar yang dikenal sebagai penghafal Qur'an dan ahli ibadah yang saleh, ironisnya, latar belakang religiusnya justru memberinya keyakinan diri yang absolut dalam melaksanakan kejahatan yang mengerikan. Ia memandang pembunuhan Ali sebagai sebuah tindakan ibadah yang mendekatkannya kepada Allah, keyakinan yang menjadikannya sangat berbahaya.
Motivasi Ibnu Muljam diperkuat oleh kisah cinta yang tragis. Di Kufah, ia bertemu dengan seorang wanita Khawarij bernama Qutam binti Syijnah yang kehilangan ayahnya, saudara laki-laki, dan suaminya di Nahrawan. Qutam menuntut balas dendam. Ia mensyaratkan mahar pernikahan kepada Ibnu Muljam, berupa 3.000 dirham, seorang budak, seorang pelayan wanita, dan yang paling penting, kepala Ali bin Abi Thalib. Dorongan ideologi dan hasrat pribadi ini melebur, memicu tekad Ibnu Muljam untuk melaksanakan pembunuhan pada malam-malam mulia di bulan suci.
Ibnu Muljam memilih waktu yang sangat simbolis untuk melaksanakan aksinya: malam ke-19 atau ke-21 Ramadan (sebagian riwayat berbeda). Bulan Ramadan adalah bulan ibadah, dan malam-malam terakhirnya dianggap sebagai waktu turunnya rahmat dan kesempatan besar untuk beribadah (Lailatul Qadar). Ini menunjukkan bagaimana para Khawarij menafsirkan tindakan mereka sebagai ibadah puncak, dilakukan saat umat Muslim lain berfokus pada kekhusyukan malam Qiyamul Lail.
Pada pagi hari yang menentukan, Ali bin Abi Thalib, yang saat itu menjabat sebagai Khalifah di Kufah, pergi menuju masjid untuk memimpin shalat Subuh, kebiasaan yang tidak pernah ia tinggalkan. Ia sering membangunkan orang-orang di sepanjang jalan, menyeru mereka untuk shalat. Ibnu Muljam dan dua rekannya (Syabib bin Bujrah dan Wardan bin Majalid) telah bersembunyi, menunggu di balik pintu atau di dekat mimbar masjid.
Ketika Ali memasuki masjid dan mulai menyeru "Shalat, wahai hamba-hamba Allah!", Ibnu Muljam tiba-tiba melompat. Ia menyerang Ali dengan pedang yang telah dilumuri racun mematikan (pedang ini dikenal sebagai Sayf al-Samum). Pukulan itu mengenai kepala Ali, tepat di atas dahi. Riwayat menyebutkan bahwa pedang itu melukai janggutnya hingga ke tengkoraknya.
Para penyerang segera melarikan diri. Ali, meskipun terluka parah dan darah mengucur deras, tetap mempertahankan kesadarannya. Ia sempat memerintahkan orang-orang untuk menangkap para penyerangnya. Ibnu Muljam berhasil ditangkap setelah pengejaran dramatis, sementara Syabib lolos dan Wardan terbunuh. Para sahabat dan penduduk Kufah segera membawa Khalifah Ali kembali ke rumahnya.
Serangan terjadi saat Ali memimpin shalat Subuh di mihrab Masjid Kufah, melambangkan kemartiran saat menjalankan tugas sucinya.
Ali bin Abi Thalib bertahan selama dua atau tiga hari setelah serangan mematikan itu. Meskipun dokter dipanggil, racun pada pedang Ibnu Muljam terlalu kuat. Selama hari-hari terakhirnya, Ali menunjukkan ketabahan yang luar biasa, berfokus pada nasihat dan wasiat terakhirnya kepada keluarga dan umat. Kesadaran akan kematian yang sudah di depan mata tidak membuatnya panik, melainkan semakin menegaskan prinsip-prinsip yang ia perjuangkan selama hidupnya.
Wasiat Ali, yang dicatat secara luas dalam sejarah, tidak hanya mencakup pesan moral, tetapi juga instruksi politik dan hukum. Ia menekankan pentingnya takut kepada Allah, menjaga shalat, dan memperlakukan sesama manusia dengan adil. Wasiat ini adalah refleksi dari seluruh masa khilafahnya yang sulit:
"Takutlah kepada Allah. Janganlah kamu mencari dunia, meskipun dunia mencarimu. Janganlah kamu berduka atas apa yang terlewatkan darimu. Ucapkan kebenaran, bekerjalah untuk pahala, jadilah musuh bagi orang zalim, dan jadilah penolong bagi orang yang teraniaya. Aku wasiatkan kalian, anak-anakku, untuk tidak meninggalkan shalat, membayar zakat pada waktunya, berpuasa di bulan Ramadhan, dan pergi haji ke Baitullah jika kalian mampu. Aku wasiatkan kalian untuk tidak menyimpang dari jalan yang benar dan tidak berpecah belah."
Salah satu wasiat yang paling mencengangkan dan paling mencerminkan karakter keadilannya yang radikal adalah perintahnya mengenai nasib Ibnu Muljam, sang pembunuh. Ali memerintahkan agar Ibnu Muljam diperlakukan dengan baik selama Ali masih hidup. Jika Ali meninggal karena luka-lukanya, barulah Ibnu Muljam harus dihukum mati, tetapi hukuman tersebut harus setimpal, yaitu satu tebasan saja, tanpa penyiksaan atau mutilasi (muthlah), sesuai dengan ajaran Islam tentang Qisas (hukum setimpal).
Wasiat ini sangat penting: bahkan dalam menghadapi kematian akibat serangan yang penuh kebencian, Ali tetap mengedepankan prinsip keadilan Ilahi dan menolak balas dendam yang melampaui batas. Ia tidak ingin pembunuhannya memicu siklus kekerasan tanpa akhir atau pelanggaran hukum syariat. Jika Ali selamat, ia menyatakan bahwa dia sendiri yang akan memutuskan nasib Ibnu Muljam.
Ketika ditanya siapa yang harus menggantikannya, Ali menolak untuk menunjuk penerus secara eksplisit, mengikuti teladan Rasulullah SAW. Ia menolak sistem monarki dinasti. Namun, ia menyarankan bahwa putranya, Hasan bin Ali, dapat menjadi pilihan, tetapi menegaskan bahwa keputusan akhir harus tetap berada di tangan umat Muslim melalui proses syura (musyawarah). Setelah beberapa hari berjuang melawan luka, Khalifah Ali bin Abi Thalib wafat dan menemui Tuhannya. Umat Muslim kehilangan salah satu pilar keadilan dan kebijaksanaan terakhir mereka dari generasi awal.
Wafatnya Ali bin Abi Thalib pada tahun itu bukan sekadar kehilangan pribadi, melainkan bencana politik yang memiliki konsekuensi jangka panjang bagi sejarah Islam. Dengan kematiannya, era Khulafaur Rasyidin—yang ditandai oleh kepemimpinan yang dipilih berdasarkan kesalehan dan persetujuan umat—tamat.
Kematian Ali menciptakan kekosongan kekuasaan di Irak. Meskipun Hasan bin Ali dibaiat sebagai Khalifah di Kufah, kekuasaannya tidak stabil. Di Syam, Muawiyah bin Abi Sufyan, yang selamat dari upaya pembunuhan Khawarij (ia hanya terluka ringan), memiliki mesin politik dan militer yang terorganisir dengan baik dan telah siap untuk bergerak. Ia sekarang menjadi kekuatan tunggal yang paling dominan di dunia Islam.
Menghadapi ancaman perang saudara yang berkelanjutan, dan didorong oleh keinginan untuk menyatukan umat Muslim yang sudah terlalu lelah oleh konflik, Hasan bin Ali mengambil keputusan bersejarah. Ia bernegosiasi dengan Muawiyah dan menyerahkan kekhalifahan kepadanya dalam sebuah perjanjian yang dikenal sebagai 'Perjanjian Damai' atau Sulh al-Hasan. Perjanjian ini menetapkan Muawiyah sebagai pemimpin umat, tetapi dengan syarat bahwa kekhalifahan harus dikembalikan kepada prinsip syura setelah kematian Muawiyah, dan tidak diwariskan secara dinasti.
Dengan penyerahan ini, Muawiyah berhasil mengkonsolidasikan kekuasaan dan mendirikan Kekhalifahan Umayyah, yang mengubah sistem pemerintahan Islam dari model Republik teokratis (Khulafaur Rasyidin) menjadi monarki dinasti. Kematian Ali secara langsung memfasilitasi transisi kekuasaan ini, mengakhiri ambisi Kufah sebagai pusat kekhalifahan dan memindahkan pusat gravitasi politik ke Syam.
Tragedi wafatnya Ali memperdalam perpecahan yang sudah ada di kalangan umat Muslim. Bagi mereka yang sangat setia kepada Ali, kematiannya dianggap sebagai simbol pengkhianatan dan ketidakadilan yang diderita oleh keluarga Nabi. Kelompok yang kemudian dikenal sebagai Syiah (pengikut Ali) menguatkan pandangan bahwa kepemimpinan (Imamah) adalah hak ilahi yang seharusnya diwariskan dalam garis keturunan Ali dan Fatimah.
Di mata Syiah, Ali adalah Imam yang ditunjuk, dan syahadahnya adalah pengorbanan suci yang menunjukkan bahwa pemerintahan sejati yang adil telah direnggut dari umat. Dalam tradisi Syiah, fokus pada penderitaan Ali dan keluarganya menjadi inti dari identitas keagamaan mereka. Sementara itu, pandangan Sunni menerima Ali sebagai Khalifah yang sah dan adil, tetapi melihat akhir dari Khulafaur Rasyidin sebagai sebuah penutupan periode sejarah yang suci, di mana perpecahan adalah sebuah takdir yang menyakitkan.
Meskipun masa kepemimpinannya singkat dan penuh gejolak, warisan Ali bin Abi Thalib jauh melampaui konflik politik yang mendefinisikan eranya. Ia dikenang sebagai simbol keadilan, keberanian, dan kebijaksanaan yang tak tertandingi. Kematiannya mengokohkan citranya sebagai seorang martir yang mengorbankan segalanya demi prinsip-prinsip Islam yang murni.
Ali dihormati sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan Islam. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya." Kedalaman pemahamannya terhadap Al-Qur'an dan Sunnah, serta keahliannya dalam bidang hukum (fiqih) dan bahasa, menjadikannya rujukan utama bagi para sahabat. Warisannya dalam filsafat dan etika, terutama melalui kumpulan khutbahnya (dikenal sebagai Nahj al-Balaghah), terus dipelajari hingga kini sebagai pedoman kepemimpinan moral.
Selain keilmuannya, Ali terkenal karena kezuhudannya (asketisme). Meskipun menjabat sebagai Khalifah, ia hidup dalam kesederhanaan ekstrem. Dia menolak kemewahan istana dan sering terlihat mengenakan pakaian kasar, makan makanan yang paling sederhana, dan memastikan bahwa tidak ada bagian dari harta baitul mal yang ia gunakan untuk kepentingan pribadi. Kezuhudan inilah yang membuatnya menjadi teladan abadi bagi mereka yang percaya bahwa pemimpin harus melayani umat, bukan sebaliknya.
Prinsip keadilan Ali adalah radikal pada masanya, dan inilah yang menyebabkan ia sering bentrok dengan elit sosial. Ia tidak membedakan antara Muslim yang baru masuk Islam dengan sahabat senior dalam pembagian harta, menolak keras sistem kasta atau hak istimewa berdasarkan kedekatan dengan Nabi. Bagi Ali, semua Muslim setara di hadapan hukum dan di hadapan perbendaharaan negara. Penegakan keadilan yang tanpa kompromi ini, meskipun merupakan cerminan dari semangat Islam awal, adalah alasan mengapa sekelompok besar Khawarij berbalik melawannya, karena mereka menuntut sistem hukum yang bahkan lebih ekstrem dan tanpa ruang untuk toleransi.
Kegagalan politiknya dalam memadamkan api fitnah seringkali dilihat oleh para sejarawan sebagai kegagalan pragmatisme—Ali terlalu idealis untuk menghadapi realitas politik yang kotor pada zamannya. Namun, inilah keagungannya; ia menolak untuk mengorbankan prinsip demi stabilitas politik jangka pendek.
Pembunuhan Ali bin Abi Thalib adalah studi kasus yang mendalam tentang bahaya fanatisme agama dan radikalisme ideologis. Ali, yang merupakan simbol kebijaksanaan, justru dibunuh oleh seseorang yang mengklaim bertindak atas nama agama yang lebih murni.
Khawarij adalah contoh ekstrem dari praktik takfir (mengkafirkan Muslim lain). Mereka menganggap Ali telah melakukan dosa besar karena menerima arbitrase, dan berdasarkan interpretasi mereka yang sempit, dosa besar otomatis mengeluarkan seseorang dari lingkaran Islam. Pandangan ini membenarkan pembunuhan politik sebagai tindakan keagamaan yang wajib.
Kisah Ibnu Muljam menjadi peringatan abadi tentang bagaimana kesalehan ritualistik yang mendalam dapat bersekutu dengan ideologi yang ekstrem. Ibnu Muljam bukan seorang bandit; ia adalah seorang ahli ibadah yang berpuasa dan shalat. Namun, ia telah kehilangan perspektif kemanusiaan dan kasih sayang yang diajarkan Islam, menggantinya dengan dogma yang kaku dan menghalalkan darah. Kematian Ali menunjukkan bahwa ancaman terbesar bagi umat datang dari dalam, dari mereka yang menggunakan teks suci untuk membenarkan kebencian dan kekerasan terhadap sesama mukmin.
Dengan kematian Ali, umat Muslim kehilangan pemimpin yang mampu menjembatani perbedaan melalui otoritas spiritual dan sejarahnya. Tidak ada lagi tokoh yang memiliki legitimasi mutlak (sebagai sepupu, menantu, dan sahabat utama) yang tersisa untuk menantang gelombang sekulerisasi politik yang akan dibawa oleh dinasti-dinasti berikutnya.
Kematiannya menandai finalisasi pergeseran fokus dari Keadilan dan kesalehan pribadi sebagai kriteria utama kepemimpinan, menuju Kekuatan Militer dan Stabilitas Dinasti. Meskipun kekhalifahan Umayyah membawa ekspansi besar-besaran, hilangnya figur moral seperti Ali secara permanen mengubah cara umat Muslim memandang kekuasaan dan pemerintahan.
Untuk benar-benar memahami beratnya tragedi wafatnya Ali, kita harus mengingat kembali peran integralnya sejak awal misi kenabian. Ali bukanlah sekadar seorang khalifah yang malang; ia adalah pilar awal Islam. Ia adalah anak laki-laki pertama yang memeluk Islam, yang menghabiskan seluruh hidupnya dalam orbit Rasulullah SAW.
Keberanian Ali di medan perang adalah legendaris. Gelarnya, Asadullah (Singa Allah), diperoleh melalui peran heroiknya dalam setiap pertempuran besar, mulai dari Badr, Uhud, hingga Khandaq dan Khaybar. Kualitas kepahlawanannya ini seringkali berbenturan dengan sifat lembut dan filosofisnya. Ia adalah perpaduan unik antara seorang prajurit yang tak terkalahkan di palagan, dan seorang sufi yang mendalam dalam kontemplasi spiritualnya. Kontradiksi inilah yang membuat karakternya begitu kaya, namun juga sulit dipahami oleh orang-orang yang hanya melihatnya sebagai pemimpin politik biasa.
Kedekatan Ali dengan Nabi bukan hanya ikatan keluarga, melainkan hubungan batin yang mendalam. Ia tidur di ranjang Nabi pada malam Hijrah yang berbahaya untuk mengalihkan perhatian para pengejar Quraisy. Ia menikahi putri kesayangan Nabi, Fatimah az-Zahra, dan merupakan ayah dari dua cucu Nabi, Hasan dan Husain. Statusnya sebagai Ahlul Bayt (Keluarga Nabi) memberinya otoritas spiritual yang tak tertandingi, namun dalam konteks politik pasca-Nabi, otoritas spiritual ini justru menjadi sumber konflik dan kecemburuan.
Sejumlah besar hadis dan riwayat mencerminkan kedudukan Ali yang tinggi. Kecintaannya pada kebenaran dan kesabarannya yang luar biasa terhadap perlakuan tidak adil yang ia terima dari masa Khalifah Utsman hingga masa Khilafahnya sendiri, adalah bukti dari pendidikan langsung yang ia terima dari Nabi.
Tragedi wafatnya Ali menutup pintu pada era di mana pemimpin politik juga merupakan guru spiritual dan sahabat dekat Nabi yang paling berwibawa. Dengan kepergiannya, kepemimpinan umat secara definitif terpisah dari otoritas spiritual murni yang melekat pada generasi pertama Islam.
Kemartiran Ali bin Abi Thalib tidak hanya menjadi akhir dari sebuah hidup, tetapi menjadi titik awal dari narasi heroik yang melintasi abad. Kisah kematiannya di mihrab masjid, tempat paling suci, oleh tangan seorang Muslim yang sesat, adalah metafora abadi tentang konflik antara idealisme murni dan realitas politik yang korup.
Ali sering dilihat sebagai korban utama dari Fitnah Besar, figur yang dipaksa menghadapi perang saudara, konflik ideologi, dan pengkhianatan dari pendukungnya sendiri. Kematiannya menandai kekalahan sementara bagi cita-cita pemerintahan berdasarkan meritokrasi spiritual dan keadilan sosial total. Namun, dari kekalahan politik inilah muncul kemenangan moral dan spiritual yang abadi.
Di seluruh dunia Islam, para sufi, filsuf, dan penyair terus memuliakan Ali. Ia adalah simbol keberanian yang membela yang lemah, dan kecerdasan yang tercerahkan. Para penyair Arab dan Persia telah mengabadikan tragedi Ali dalam ribuan bait puisi, meratapi hilangnya keadilan di muka bumi setelah kepergiannya.
Narasi tentang Ali memberikan pelajaran penting tentang kepemimpinan: bahwa kepemimpinan yang paling adil sekalipun tidak kebal terhadap intrik, kebencian, dan interpretasi agama yang menyesatkan. Keadilan radikalnya, yang menuntut kesetaraan total bagi semua, adalah pahlawan yang dibutuhkan umat, tetapi juga target yang paling rentan bagi musuh-musuh ideologi yang memandang dirinya sebagai perwujudan kesucian yang lebih tinggi.
Pada akhirnya, warisan Ali bin Abi Thalib tidak terletak pada seberapa lama ia memerintah atau seberapa sukses ia dalam memadamkan konflik, melainkan pada keteguhannya yang tak tergoyahkan pada keadilan, bahkan sampai tebasan pedang Ibnu Muljam mengakhiri hidupnya. Syahadahnya adalah pengorbanan terakhir dari seorang pemimpin yang menolak meninggalkan prinsip-prinsip yang ia yakini, memastikan bahwa namanya akan selamanya terukir sebagai simbol kebenaran yang tertindas namun mulia.
Kehilangan Ali bin Abi Thalib di malam suci Ramadan adalah pengingat pahit bahwa perjuangan untuk keadilan sejati dalam politik seringkali membutuhkan harga tertinggi. Sejak saat itu, setiap Muslim yang mencari model integritas dan kejujuran akan selalu kembali kepada kisah Ali, Khalifah yang memerintah dalam badai, dan yang wafat sebagai martir keadilan.
Sangat penting untuk memahami bahwa kekhalifahan Ali, meskipun ditutup oleh tragedi, adalah sebuah era yang mendefinisikan batas-batas moral bagi kepemimpinan. Dalam setiap keputusannya, dalam setiap peperangan yang ia hadapi, Ali menegaskan bahwa kekuasaan hanyalah alat untuk menegakkan Haq (Kebenaran), bukan tujuan akhir. Ketika ia terluka parah, fokus utamanya bukanlah balas dendam, melainkan memastikan hukum ditegakkan secara adil bahkan terhadap pembunuhnya sendiri. Ini adalah puncak dari integritas yang hampir mustahil untuk dicapai oleh pemimpin manusia biasa.
Peristiwa syahadah Ali menggarisbawahi kegagalan umat pada saat itu untuk mempertahankan prinsip-prinsip persatuan di bawah naungan keadilan Ilahi. Kegagalan ini membuka jalan bagi tirani dinasti, di mana ketaatan digantikan oleh paksaan, dan kesalehan digantikan oleh warisan darah. Meskipun sistem politik berubah, ajaran moral dan tuntutan keadilan yang diwariskan Ali tetap menjadi standar emas yang tak terjangkau bagi banyak pemimpin Muslim sepanjang sejarah. Ia mewariskan bukan hanya kekecewaan politik, tetapi juga warisan spiritual yang menantang: panggilan untuk hidup dan mati demi kebenaran, terlepas dari konsekuensinya.
Setiap detail dari tragedi ini, mulai dari pemilihan waktu yang sakral di Ramadan hingga motivasi sesat sang pembunuh, berkontribusi pada narasi keagungannya. Ali adalah khalifah yang paling dekat dengan kaum fakir miskin, yang paling tidak tertarik pada kekayaan, dan yang paling teguh dalam melaksanakan hukuman tanpa memandang bulu. Kematiannya bukan hanya akhir seorang pemimpin, melainkan simbolik berakhirnya idealisme utopis dalam politik Islam awal. Warisannya menginspirasi perjuangan yang tak terhitung jumlahnya untuk keadilan sosial, baik di masa lalu maupun di masa kini, menjadikannya figur yang hidup abadi dalam hati dan pikiran umat Muslim.
Diskusi mendalam mengenai Khawarij dan ideologi mereka, yang menjadi sebab langsung pembunuhan Ali, memberikan pelajaran kontemporer yang relevan. Kelompok Khawarij adalah contoh prototipe dari gerakan radikal yang muncul dari kesalehan yang disalahgunakan. Mereka tidak menolak Islam; sebaliknya, mereka mengklaim memiliki interpretasi yang paling murni dan paling keras, yang secara ironis membawa mereka pada kesesatan. Mereka melihat musuh bukan di luar, tetapi di antara Muslim yang dianggap 'tidak cukup taat' atau 'telah berkompromi'. Ali, yang merupakan perwujudan ketaatan sejati, menjadi sasaran utama mereka karena ia memilih jalan tengah yang bijaksana, berusaha menyeimbangkan keadilan hukum dengan realitas kemanusiaan. Ketika Ali menerima arbitrase, ia melakukan kompromi politik demi menghentikan pertumpahan darah yang lebih besar, namun Khawarij melihat ini sebagai kompromi teologis yang tak termaafkan. Hal ini menunjukkan betapa berbahayanya formalisme agama tanpa kerangka kasih sayang dan pemahaman kontekstual yang mendalam.
Para sejarawan dan teolog seringkali merenungkan apa yang akan terjadi jika Ali tidak terbunuh. Apakah ia akan mampu mendamaikan kubu Syam dan Kufah? Apakah ia akan berhasil memulihkan kesatuan umat? Pertanyaan-pertanyaan ini tetap terbuka, namun kematiannya memastikan bahwa kesempatan untuk stabilitas berdasarkan prinsip-prinsip Khulafaur Rasyidin yang otentik telah hilang selamanya. Kematian Ali adalah penutup bagi babak tersebut, sebuah babak di mana otoritas spiritual dan kekuasaan politik masih dipegang oleh generasi yang dibentuk secara langsung oleh kenabian.
Penting untuk menggarisbawahi bahwa ketaatan Ali pada Al-Qur'an adalah mutlak, namun interpretasinya terhadap pelaksanaan hukum (seperti hukuman bagi Ibnu Muljam) menunjukkan kebijaksanaan yang melampaui fanatisme. Ia mengajarkan bahwa bahkan dalam menegakkan Qisas, batas-batas hukum Allah harus dihormati. Tidak ada kelebihan atau penyiksaan yang diperbolehkan. Ini adalah penegasan final dari prinsip moderasi (wasatiyyah) yang sering diabaikan oleh kelompok ekstrem. Ketika ia wafat, ia meninggalkan kekosongan moral yang tidak dapat diisi oleh pemimpin-pemimpin dinasti yang berkuasa setelahnya. Kekosongan ini dirasakan oleh umat Muslim dari generasi ke generasi sebagai hilangnya Imam al-Adil (Pemimpin yang Adil) yang terakhir.
Tragedi ini juga menjadi sumber kekuatan bagi gerakan-gerakan perlawanan moral di masa depan. Setiap kali muncul penguasa zalim, para penentangnya akan merujuk kembali kepada Ali, yang menantang ketidakadilan meskipun menghadapi kekuatan yang lebih besar. Keseimbangan yang ia coba pertahankan antara ketegasan hukum dan kelembutan spiritual menjadi pedoman abadi. Ia mengakhiri hidupnya di mihrab, lambang pengabdian tertinggi, mencerminkan bahwa puncak dari politik sejati adalah ibadah kepada Allah, bukan kekuasaan duniawi.
Sebagai penutup dari era Khulafaur Rasyidin, syahadah Ali bin Abi Thalib adalah pengingat bahwa warisan sejati seorang pemimpin bukanlah luasnya wilayah kekuasaan, melainkan kedalaman pengaruh moralnya. Ia meninggal dalam kemiskinan dan dalam keadaan konflik, tetapi ia meninggalkan warisan kekayaan spiritual dan kebijaksanaan yang tak ternilai harganya. Kisah meninggalnya Ali bin Abi Thalib, yang tercatat dalam tinta sejarah dengan darah dan air mata, adalah pelajaran abadi tentang integritas, keadilan yang tak kenal kompromi, dan bahaya ekstremisme agama yang selalu mengintai di balik layar kesalehan yang dangkal.
Warisan Ali menjangkau jauh ke dalam disiplin ilmu Islam. Di bidang retorika dan sastra, Nahj al-Balaghah dianggap sebagai mahakarya, hanya sedikit di bawah Al-Qur'an. Di dalamnya termuat khutbah-khutbah, surat-surat, dan ucapan-ucapan hikmah yang ia sampaikan, yang sebagian besar ditujukan untuk memulihkan keadilan dan menegur kezaliman yang ia saksikan. Suratnya yang terkenal kepada Malik al-Asytar (gubernur Mesir) sering dijadikan konstitusi etika kepemimpinan Muslim, yang menekankan tanggung jawab penguasa terhadap rakyatnya, terutama kaum miskin dan terpinggirkan. Kematian Ali membuat ajaran-ajaran luhur ini menjadi semakin kuat, karena ia telah membayar harga tertinggi untuk prinsip-prinsip tersebut.
Fokus pada malam-malam terakhir Ali mengungkapkan detail kemanusiaan yang mendalam. Ia menghabiskan sisa energinya untuk menasihati putranya, Hasan dan Husain, serta seluruh keluarganya. Perhatiannya tidak beralih pada musuh-musuhnya di Syam, melainkan terpusat pada nasib Ibnu Muljam dan persatuan di antara umat. Ini adalah demonstrasi kemuliaan akhlak yang puncaknya hampir tidak pernah terlihat dalam sejarah politik. Ketika ia mengetahui bahwa Muawiyah dan Amr bin Ash juga menjadi sasaran pembunuhan, meskipun mereka adalah rivalnya, ia tidak menunjukkan kegembiraan, melainkan kekhawatiran atas berlanjutnya siklus teror yang dilakukan oleh Khawarij.
Kematian Ali juga memiliki dampak psikologis yang mendalam bagi seluruh umat. Generasi sahabat yang tersisa merasa bahwa berkah (barakah) dan perlindungan yang mereka nikmati di bawah bimbingan langsung Rasulullah SAW kini telah sepenuhnya diangkat. Kepergian Ali adalah penutup resmi dari era di mana iman dan kekuasaan nyaris sempurna terintegrasi. Setelahnya, umat harus bergumul dengan kenyataan baru di mana kepemimpinan politik seringkali terpisah dari otoritas spiritual tertinggi.
Tragedi ini terus dibahas dalam studi perbandingan ideologi politik. Analisis tentang Khawarij, yang memandang ketaatan ritual sebagai otoritas tunggal di atas semua hal, versus Ali, yang menyeimbangkan ketaatan ritual dengan keadilan sosial dan pragmatisme politik, menyediakan kerangka kerja untuk memahami konflik abadi antara puritanisme ekstrem dan realisme bijaksana dalam Islam. Ali adalah figur yang paling disalahpahami oleh Khawarij, karena mereka gagal melihat kedalaman ketaatannya di balik keputusan politiknya yang sulit.
Dalam refleksi yang lebih luas, kisah syahadah Ali adalah panggilan bagi setiap Muslim untuk merenungkan makna sejati dari iman. Apakah iman hanya didefinisikan oleh ketaatan pada ritual, ataukah harus mencakup perjuangan tiada henti demi keadilan sosial, bahkan jika itu berarti mengorbankan stabilitas pribadi dan politik? Ali memilih jalur terakhir, dan ia membayar harganya di mihrab. Warisan ini adalah pengingat bahwa kebenaran terkadang harus dibayar dengan darah, tetapi pengorbanan itu abadi.
Kisah ini, dengan segala kompleksitasnya, memastikan bahwa nama Ali bin Abi Thalib akan selamanya menjadi sinonim dengan perjuangan yang tak kenal lelah demi keadilan, keberanian heroik, dan kemartiran yang mulia. Ia adalah Khalifah yang memimpin dengan hati, dan yang wafat karena kepercayaannya. Akhir tragisnya adalah akhir dari sebuah era emas, tetapi juga awal dari keabadian moralnya.