Zakat merupakan salah satu pilar utama dalam Islam, sebuah kewajiban ibadah yang memiliki dimensi sosial dan ekonomi mendalam. Pelaksanaan zakat yang efektif dan adil sangat bergantung pada sosok amil zakat. Amil zakat adalah individu atau badan yang ditugaskan untuk mengumpulkan, menghitung, mencatat, dan mendistribusikan harta zakat kepada mustahik yang berhak. Peran mereka sangat vital dalam memastikan penyaluran zakat berjalan lancar dan sesuai dengan syariat.
Oleh karena peran krusial ini, terdapat serangkaian ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang amil zakat. Ketentuan-ketentuan ini mencakup aspek moral, intelektual, hingga administratif, yang semuanya bertujuan untuk menjaga integritas dan efektivitas pengelolaan zakat.
Untuk dapat menjalankan tugas mulia ini, calon amil zakat harus memenuhi beberapa persyaratan mendasar:
Ini adalah syarat mutlak. Amil zakat haruslah seorang Muslim yang taat, karena zakat adalah ibadah dalam Islam. Pemahaman yang mendalam tentang ajaran Islam, khususnya terkait zakat, sangat diperlukan.
Amil zakat harus memiliki kedewasaan hukum dan mental. Ini berarti mereka mampu memahami tugas dan tanggung jawabnya, serta dapat mengambil keputusan yang bijak dalam pengelolaan harta zakat. Orang yang tidak berakal atau belum baligh tidak diperkenankan menjadi amil zakat.
Kejujuran dan amanah adalah pondasi utama bagi amil zakat. Mereka akan berhadapan dengan pengelolaan harta orang lain yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Oleh karena itu, integritas moral yang tinggi mutlak diperlukan untuk mencegah penyelewengan atau penyalahgunaan dana zakat.
Seorang amil zakat harus memiliki pemahaman yang memadai mengenai hukum zakat, jenis-jenis harta yang wajib dizakati, nisab, haul, kadar zakat, serta siapa saja yang berhak menerima zakat (mustahik). Pengetahuan ini penting agar dalam menjalankan tugasnya, tidak terjadi kekeliruan yang merugikan.
Selain pemahaman syariat, amil zakat juga dituntut memiliki kemampuan administratif dan manajerial yang baik. Ini meliputi kemampuan dalam pencatatan, pelaporan, pengelolaan data, hingga perencanaan distribusi zakat. Kemampuan ini akan sangat membantu dalam menjalankan operasional lembaga amil zakat secara profesional.
Amil zakat tidak bisa menjalankan tugasnya secara mandiri tanpa adanya penetapan resmi dari pihak yang berwenang. Biasanya, penetapan ini dilakukan oleh pemimpin atau penguasa Muslim (dalam konteks modern, bisa oleh lembaga amil zakat resmi yang memiliki izin dari pemerintah) yang menunjuk seseorang atau sekelompok orang untuk menjalankan fungsi amil zakat.
Setelah memenuhi syarat, amil zakat memiliki beberapa tugas pokok yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab:
Menariknya, amil zakat termasuk dalam delapan golongan yang berhak menerima bagian dari harta zakat, sebagaimana disebutkan dalam QS. At-Taubah ayat 60. Namun, penerimaan bagian zakat oleh amil ini bukanlah sebagai gaji dalam pengertian umum, melainkan sebagai 'ujrah' atau imbalan atas jasa dan kerja keras mereka dalam mengelola zakat. Besaran 'ujrah' ini pun harus proporsional dan tidak boleh melebihi kebutuhan atau melebihi bagian zakat yang telah ditentukan.
Penting untuk dicatat bahwa jika amil zakat adalah pegawai lembaga amil zakat yang telah digaji secara tetap, maka bagian zakat yang dialokasikan untuk amil bisa saja tidak diberikan atau dialihkan kepada mustahik lain, tergantung pada kebijakan lembaga dan fatwa ulama setempat. Fokus utamanya adalah agar harta zakat benar-benar tersalurkan kepada mereka yang membutuhkan.
Ketentuan amil zakat menegaskan pentingnya integritas, kompetensi, dan amanah dalam pengelolaan ibadah zakat. Sosok amil zakat adalah jembatan penghubung antara pemberi zakat dan penerima zakat. Dengan pemahaman yang benar mengenai syarat dan tugasnya, para amil zakat dapat menjalankan amanah ini dengan baik, sehingga tujuan utama zakat, yaitu membantu fakir miskin dan mendistribusikan kekayaan secara adil, dapat tercapai secara optimal.