Kematian Sayyidina Ali bin Abi Thalib: Syahid di Mihrab Kufah

Ya Ali Singa Allah

Simbol Singa Allah (Asadullah), gelar kehormatan Sayyidina Ali, melambangkan kekuatan dan keadilan beliau.

Kematian Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Rasulullah ﷺ, dan Khalifah keempat dalam barisan Khulafa Rasyidin, adalah sebuah titik balik yang tragis dan menentukan dalam sejarah Islam. Peristiwa syahidnya beliau di mihrab Masjid Kufah, saat memimpin salat Subuh, bukan sekadar berakhirnya masa hidup seorang pemimpin besar, melainkan juga penutup tirai bagi era keemasan Islam yang dipandu oleh empat sahabat terdekat Nabi.

Tanggal 21 Ramadhan, sebuah momen yang secara historis dilingkupi kesedihan mendalam, menjadi hari ketika umat Islam kehilangan pilar terakhir dari generasi yang dididik langsung oleh wahyu. Peristiwa ini lahir dari gejolak politik dan teologis yang dikenal sebagai *Fitnah Kubra*, sebuah masa kekacauan yang merenggut nyawa para pemimpin utama, dimulai dari Sayyidina Utsman, dan kini mencapai puncaknya pada Ali.

Latar Belakang Turbulensi: Gejolak Fitnah Kubra

Untuk memahami kedalaman tragedi kematian Sayyidina Ali, kita harus menengok kembali kondisi politik dan sosial yang melingkupinya. Ketika Ali menerima baiat setelah pembunuhan Sayyidina Utsman, dunia Islam sudah terbelah oleh konflik internal. Kekhalifahan Ali ditandai oleh upaya keras untuk mengembalikan stabilitas dan menegakkan keadilan sejati, namun dihadapkan pada tiga front pertempuran besar yang tak terhindarkan: Perang Jamal, Perang Siffin, dan Perang Nahrawan.

Konflik Internal dan Prinsip Keadilan Ali

Keputusan Ali untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Kufah, sebuah kota yang relatif baru namun memiliki basis dukungan yang kuat di Irak, menunjukkan niat beliau untuk menjauh dari intrik lama di Madinah dan meletakkan fondasi pemerintahan baru. Namun, keputusannya yang teguh untuk menunda pembalasan atas darah Utsman hingga stabilitas tercapai, menjadi pemicu utama perlawanan, terutama dari pihak Muawiyah di Syam.

Perang Siffin, dengan hasil tahkim (arbitrase) yang kontroversial, menjadi panggung utama perpecahan. Meskipun Ali menerima arbitrase tersebut demi menghindari pertumpahan darah lebih lanjut, sebagian pengikutnya yang puritan dan keras, yang kemudian dikenal sebagai Khawarij (golongan yang memisahkan diri), menolak hasil tersebut. Mereka berargumen bahwa arbitrase itu adalah dosa besar, karena "hukum hanya milik Allah" (*La hukma illa lillah*).

Keteguhan Sayyidina Ali terhadap prinsip-prinsip Ilahi sangat kentara di masa-masa sulit ini. Beliau berusaha keras untuk menyatukan umat, namun beliau juga menolak kompromi yang mengorbankan integritas syariat. Beliau adalah pemimpin yang dihadapkan pada pilihan yang mustahil: apakah beliau harus mengorbankan keadilan demi perdamaian semu, ataukah beliau harus menghadapi perang saudara demi menegakkan hukum yang benar.

Kebangkitan Khawarij dan Nahrawan

Kelompok Khawarij awalnya adalah pendukung setia Ali, namun interpretasi mereka yang sempit dan ekstrem terhadap Islam segera menempatkan mereka sebagai musuh baru yang jauh lebih berbahaya daripada lawan-lawan politik beliau. Khawarij menganggap Ali telah kafir karena menyetujui arbitrase, dan mereka mulai membunuh umat Islam yang tidak sepaham dengan doktrin mereka. Mereka menolak semua bentuk pemerintahan yang tidak mereka akui, termasuk pemerintahan Ali.

Perang Nahrawan: Pilihan Paling Sulit

Ketika tindakan kekerasan Khawarij semakin merajalela, Ali terpaksa bertindak. Perang Nahrawan adalah pertempuran yang paling menyakitkan bagi Ali, karena beliau memerangi orang-orang yang dahulunya adalah para penghafal Al-Qur'an dan mujahid. Namun, demi melindungi keamanan umat dan mencegah anarki total, intervensi militer menjadi keharusan. Setelah kekalahan di Nahrawan, sisa-sisa Khawarij tidak hancur; mereka malah menyebar, memendam kebencian yang mendalam, dan merencanakan pembalasan yang jauh lebih gelap.

Kekalahan ini memperkuat keyakinan Khawarij bahwa Ali, Muawiyah, dan Amr bin Ash (tokoh-tokoh utama konflik saat itu) adalah akar dari segala masalah umat. Mereka memutuskan bahwa untuk mengakhiri fitnah, ketiga pemimpin ini harus dihilangkan pada malam yang sama.

Malam Persekongkolan dan Abdurrahman bin Muljam

Keputusan untuk membunuh Ali tidak datang secara spontan. Sejarah mencatat adanya pertemuan rahasia di Mekah atau Kufah, di mana tiga anggota Khawarij yang paling radikal, yakni Abdurrahman bin Muljam, Al-Burak bin Abdillah, dan Amr bin Bakr at-Tamimi, bersumpah untuk melaksanakan misi pembunuhan tersebut. Mereka bertekad mengorbankan diri demi 'membersihkan' umat dari para pemimpin yang mereka anggap sesat.

Abdurrahman bin Muljam ditugaskan untuk membunuh Ali di Kufah. Kedatangan Ibn Muljam ke Kufah disamarkan, namun ambisinya semakin diperkuat oleh pertemuan dengan seorang wanita bernama Qatam bint Shijnah. Qatam, yang ayahnya dan saudara lelakinya gugur di Nahrawan di pihak Khawarij, bersumpah untuk membalas dendam. Ia menuntut mahar dari Ibn Muljam yang mencakup tiga hal: tiga ribu dirham, seorang budak laki-laki, seorang biduan wanita, dan—yang paling penting—kepala Ali bin Abi Thalib.

Cinta yang membara dan motivasi ideologis yang sesat menyatu dalam diri Ibn Muljam. Ia kini bergerak bukan hanya karena keyakinan teologisnya, tetapi juga didorong oleh janji pernikahan dan hasrat pribadinya yang gelap. Ibn Muljam mempersiapkan pedangnya, meracuninya dengan racun paling mematikan yang ia temukan, dan menunggu momen yang tepat.

Malam Pelaksanaan dan Pertanda

Rencana ditetapkan pada malam 19 Ramadhan. Malam ini dipilih karena kesuciannya, yang menurut mereka akan memastikan pahala yang besar bagi tindakan mereka. Sayyidina Ali, meskipun mengetahui bahaya yang mengintai di sekitarnya, tidak pernah mengubah rutinitasnya. Beliau senantiasa berjalan sendiri ke masjid sebelum fajar, memastikan umatnya terbangun untuk salat Subuh.

Pada hari-hari terakhir itu, banyak riwayat mencatat bahwa Ali memiliki firasat mendalam. Beliau sering berbicara tentang pertemuan beliau yang sebentar lagi dengan Rasulullah dan para sahabat terdahulu. Beliau sering mengulangi pepatah, "Apa yang akan terjadi, tidak mungkin dapat dihindari." Namun, hal ini tidak mengurangi semangatnya untuk terus menegakkan keadilan dan melayani umat hingga nafas terakhir.

Syahid di Mihrab Masjid Kufah

Pagi yang menentukan itu tiba. Ali bin Abi Thalib memasuki Masjid Kufah yang masih gelap, membangunkan orang-orang yang tertidur, dan mulai mengumandangkan azan dan iqamah. Ibn Muljam, bersama dua rekannya, Syabib bin Bajrah dan Wardan bin Mujalid, telah bersembunyi di balik tiang-tiang masjid, menunggu sang Khalifah berdiri untuk memimpin salat.

Detik-detik Penyerangan

Ketika Ali baru saja mengangkat takbiratul ihram atau baru saja sujud (riwayat bervariasi mengenai momen pastinya, namun yang paling masyhur adalah saat beliau berdiri setelah mengumandangkan azan), Ibn Muljam melompat keluar dari persembunyiannya. Ia berteriak, "Hukum hanya milik Allah, wahai Ali, bukan milikmu!"

Pedang beracun itu menghujam kepala Ali. Darah mengalir membasahi janggutnya yang mulia. Meskipun terluka parah dan racun mulai menjalar, Ali tidak jatuh. Beliau berpegangan pada tiang, dan dengan suara yang masih jelas, beliau berteriak: "Jangan lewatkan salat Subuh!" Sebuah refleksi luar biasa dari seorang pemimpin yang prioritas utamanya tetaplah shalat, bahkan di ambang kematian.

Kekacauan pecah di masjid. Syabib bin Bajrah melarikan diri, tetapi segera ditangkap. Wardan berhasil kabur. Namun, Ibn Muljam berusaha melarikan diri namun tersandung dan langsung ditangkap oleh orang-orang yang baru saja menyadari apa yang terjadi.

Mihrab Kufah

Masjid Agung Kufah, tempat Sayyidina Ali menunaikan kewajiban terakhirnya sebagai Khalifah dan Imam.

Wasiat Terakhir Sang Amirul Mukminin

Ali dilarikan pulang. Luka yang dideritanya sangat parah, dan racun pedang itu menjamin tidak akan ada pemulihan. Selama dua hari terakhir hidupnya, Sayyidina Ali menunjukkan kemuliaan karakter yang abadi, memberikan wasiat terakhirnya kepada putra-putranya, Hasan dan Husain, serta kepada seluruh umat Islam yang berkumpul di sekitarnya.

Wasiatnya bukanlah tentang pembalasan atau kekuasaan, melainkan tentang prinsip-prinsip universal keadilan, ketakwaan, dan perlakuan yang manusiawi, bahkan terhadap musuhnya. Beliau bersabda, "Aku menasihati kalian berdua untuk bertakwa kepada Allah. Janganlah kalian mengejar dunia, bahkan jika dunia mengejar kalian. Jangan bersedih atas apa yang luput dari kalian."

Keadilan Terhadap Pembunuh

Bagian wasiat yang paling mencengangkan adalah perlakuan terhadap Ibn Muljam, sang pembunuh. Ketika Ibn Muljam dihadapkan di hadapan Ali dalam keadaan terikat, Ali menatapnya dengan tenang. Beliau memerintahkan agar Ibn Muljam diberi makan dan minum yang layak, dan tidak dianiaya sebelum beliau wafat.

Kepada Hasan, Ali berpesan tentang pembalasan (qishas): "Wahai putraku, jika aku meninggal karena luka ini, maka urusanmu adalah dengan pembunuhmu. Berlakulah adil. Janganlah kalian membunuh selain diriku. Jika kalian ingin membalas dendam (qishas), maka pukullah dia dengan satu pukulan seperti dia memukulku. Jangan berlebihan." Nasihat ini adalah puncak dari kepemimpinan etis, menolak siksaan yang tidak perlu dan membatasi pembalasan hanya pada keadilan setimpal, meskipun beliau adalah korbannya.

Nasihat ini terus bergema, menunjukkan betapa Ali ingin memastikan bahwa bahkan dalam kematiannya, beliau menjadi teladan keadilan dan menolak siklus kekerasan yang tidak terkendali. Beliau ingin menghentikan *Fitnah* bukan dengan darah, tetapi dengan batasan hukum yang tegas.

Akhir Hayat dan Misteri Pemakaman

Sayyidina Ali bin Abi Thalib wafat pada tanggal 21 Ramadhan, meninggalkan duka yang mendalam di Kufah dan seluruh dunia Islam. Beliau memerintah selama kurang lebih lima tahun, yang dipenuhi dengan ujian dan konflik internal yang tak henti-hentinya.

Setelah wafat, putranya, Hasan, memimpin salat jenazah. Kemudian, untuk menghindari perusakan makam oleh musuh-musuhnya (terutama Khawarij dan pihak-pihak lain yang masih berseteru), keluarga beliau memutuskan untuk memakamkannya secara rahasia. Lokasi pasti makamnya dirahasiakan selama beberapa generasi, dan baru diungkapkan kemudian sebagai tempat yang kini dikenal sebagai Najaf, Irak. Keputusan ini mencerminkan betapa berbahayanya situasi politik saat itu, bahkan setelah kematian seorang Khalifah.

Dampak Kematian Sayyidina Ali

Kematian Sayyidina Ali adalah penutup resmi era Khulafa Rasyidin, sebuah periode yang ideal dan sering dianggap sebagai model pemerintahan Islam yang paling murni. Setelah Ali, kepemimpinan Islam memasuki fase dinasti (Dinasti Umayyah), yang didasarkan pada suksesi turun-temurun, bukan lagi konsensus dan pemilihan seperti yang terjadi pada empat Khalifah sebelumnya.

Pergeseran Politik dan Teologis

Dengan Ali tiada, umat Islam kehilangan sosok yang terakhir yang memiliki hubungan darah dan didikan langsung dari Rasulullah ﷺ, dan yang memegang otoritas teologis yang tak terbantahkan. Hal ini memiliki beberapa konsekuensi besar:

1. Konsolidasi Kekuasaan Muawiyah

Kematian Ali menghilangkan pesaing terkuat Muawiyah bin Abi Sufyan. Meskipun Hasan sempat memegang jabatan Khalifah, situasi politik yang terlalu panas dan dukungan yang lemah di Kufah mendorong Hasan untuk menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah demi persatuan umat. Tahun 41 H (661 M) dikenal sebagai *‘Am al-Jama’ah* (Tahun Persatuan), tetapi ini juga menandai transformasi Khilafah menjadi kerajaan.

Kepergian Ali secara efektif mengakhiri upaya Kufah sebagai pusat pemerintahan independen dan memindahkan ibu kota kekhalifahan ke Damaskus, di bawah kendali Umayyah. Ini adalah perubahan struktural yang fundamental, memisahkan secara jelas kekuasaan politik dari otoritas keagamaan di Madinah dan Kufah.

2. Penguatan Identitas Kelompok

Kematian Ali memperkuat identitas kelompok-kelompok yang mendukungnya. Para pendukung Ali (Shi'ah Ali) kini tidak hanya berduka, tetapi juga mulai mengonsolidasikan diri sebagai kelompok teologis dan politik yang berbeda, meyakini bahwa hanya keturunan Ali dan Fatimah yang berhak memimpin umat. Tragedi di Kufah menjadi fondasi narasi kesyahidan yang mendalam dalam teologi Syiah.

Di sisi lain, kaum Khawarij, meskipun secara militer melemah, doktrin mereka terus hidup dan mempengaruhi kelompok-kelompok ekstremis minoritas dalam sejarah Islam, menegaskan bahaya interpretasi teks yang kaku dan menolak otoritas yang sah.

Ali: Sosok Hikmah dan Pengetahuan

Lebih dari sekadar seorang politisi atau panglima perang, Sayyidina Ali diakui oleh semua mazhab sebagai sumber hikmah dan pengetahuan yang tak tertandingi. Beliau adalah sumber utama Hadis dan Fiqih bagi generasi berikutnya, dan kata-kata mutiaranya dikumpulkan dalam kompilasi terkenal, *Nahj al-Balaghah* (Puncak Retorika), yang menyentuh tema-tema etika, metafisika, dan keadilan sosial.

Keadilan Sejati dalam Pemerintahan

Prinsip keadilan Ali adalah salah satu hal yang paling dikenang. Beliau tidak mengenal kompromi dalam hal hukum. Kisah beliau menuntut kembali baju besi yang dicuri oleh seorang Yahudi, di mana Ali harus tunduk pada keputusan hakim meskipun beliau adalah Khalifah, menunjukkan dedikasinya pada supremasi hukum. Beliau menegaskan bahwa kekuasaan tidak boleh menjadi pengecualian hukum.

Dalam surat-suratnya kepada para gubernur, beliau selalu menekankan pentingnya melayani rakyat jelata, memastikan bahwa kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang kaya, dan bahwa pintu istana harus selalu terbuka bagi mereka yang tertindas. Beliau mendefinisikan seorang pemimpin sejati sebagai pelayan, bukan penguasa tirani.

Kematian beliau di mihrab, tempat yang paling suci dan paling damai, saat beliau sedang melaksanakan ibadah, menegaskan status beliau sebagai syahid—seseorang yang gugur demi membela prinsip dan imannya. Ini adalah kontras yang menyakitkan: seorang pemimpin yang menghabiskan hidupnya melawan perang saudara, justru gugur oleh tangan umatnya sendiri, di tempat paling suci.

Analisis Filosifis Kematian Ali

Kematian Sayyidina Ali sering dilihat oleh para sejarawan dan teolog sebagai representasi tragis dari kegagalan manusia dalam menghadapi ujian kekuasaan dan ideologi yang ekstrem. Beliau adalah korban dari cita-cita luhur yang ditafsirkan secara dangkal dan keras oleh kelompok Khawarij.

Ujian Khawarij: Formalitas versus Substansi

Khawarij adalah kelompok yang sangat formalis dalam ibadah, tetapi gagal dalam substansi Islam, yaitu kasih sayang, toleransi, dan pemahaman yang mendalam. Mereka memegang teguh hukum di atas cinta. Mereka menggunakan hukum Allah (*La hukma illa lillah*) sebagai senjata untuk membunuh dan mengafirkan, padahal Ali, yang paling dekat dengan sumber hukum itu sendiri, berusaha menerapkan hukum dengan rahmat dan kebijaksanaan.

Kisah kematian Ali mengajarkan bahwa keimanan tanpa kebijaksanaan dapat menjadi sumber kerusakan terbesar. Racun di pedang Ibn Muljam melambangkan racun ideologi yang menyimpang, yang mampu merusak hati seorang Muslim hingga ia berani membunuh pemimpin yang paling saleh di antara mereka, dengan keyakinan bahwa ia sedang melakukan ibadah tertinggi.

Ali, hingga akhir hayatnya, menyuarakan panggilan untuk persatuan. Namun, suara beliau tenggelam dalam kebisingan perselisihan yang dimotori oleh kepentingan duniawi dan interpretasi teologis yang berlebihan. Tragedi beliau adalah cerminan dari kesulitan yang melekat pada kepemimpinan, di mana seorang pemimpin harus menyeimbangkan antara idealisme dan realitas politik yang keras.

Warisan Abadi Sang Syahid

Meskipun masa kepemimpinan Ali diwarnai oleh konflik dan berakhir dengan syahid yang pedih, warisan beliau tetap abadi dan universal, melampaui batas-batas mazhab.

Ali dalam Tradisi Sufi

Dalam tradisi Sufi, Sayyidina Ali dihormati sebagai bapak spiritual. Hampir semua jalur tarekat Sufi menelusuri rantai otoritas spiritual (silsilah) mereka kembali kepada Ali. Beliau dianggap sebagai sumber rahasia (sirr) ilmu batin dan pemahaman mistis, diwarisi dari Rasulullah. Penguasaan beliau atas bahasa, retorika, dan kedalaman spiritual menjadikan beliau teladan bagi para pencari kebenaran esoteris.

Ali dalam Seni dan Budaya

Kisah hidup dan kematian Ali telah menginspirasi ribuan karya seni, puisi, dan prosa di seluruh dunia Islam. Beliau sering digambarkan sebagai pahlawan yang tak terkalahkan (*Asadullah*, Singa Allah) dan sekaligus sebagai figur tragis yang dibunuh oleh ketidakadilan. Kesyahidannya menjadi lambang penderitaan yang dialami oleh kebenasan murni di hadapan dunia yang korup.

Pengorbanan Ali menjadi pengingat bagi umat Islam dari segala zaman bahwa perjuangan sejati bukanlah hanya melawan musuh eksternal, melainkan juga melawan perpecahan internal, ambisi pribadi, dan ekstremisme yang mengklaim kebenaran mutlak.

Hingga hari ini, di makam beliau di Najaf, jutaan peziarah datang untuk mengenang jasa beliau. Mereka mengenang bukan hanya seorang khalifah, tetapi seorang pria yang paling dekat dengan Nabi, yang rela kehilangan segalanya demi mempertahankan integritas Khilafah Rasyidah, dan yang akhirnya menyerahkan nyawanya di mihrab, puncak dari pengabdian seumur hidup.

Kematian Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah akhir dari sebuah era, tetapi juga awal dari pelajaran abadi tentang keberanian, kerendahan hati, dan keadilan yang tak tergoyahkan. Beliau gugur sebagai seorang syahid yang agung, meninggalkan wasiat yang mengajarkan umatnya untuk selalu menjunjung tinggi prinsip kemanusiaan dan keadilan, bahkan saat dihadapkan pada kekejaman dan pengkhianatan yang paling mendalam.

Epilog Sejarah: Menggali Kedalaman Ajaran Ali

Tragedi yang menimpa Sayyidina Ali di Kufah bukanlah sekadar insiden politik, melainkan sebuah manifestasi dari konflik mendalam antara idealisme teologis dan pragmatisme kekuasaan yang mulai mencengkeram komunitas Muslim. Ali, melalui seluruh tindak tanduknya, senantiasa berusaha menahan gelombang materialisme yang mengancam untuk merusak kesucian misi Islam.

Beliau menyaksikan bagaimana kekayaan yang melimpah akibat ekspansi kekhalifahan mulai memecah belah umat. Beliau berusaha melawan korupsi administratif, menolak sistem patronase, dan memastikan bahwa kas negara (Baitul Mal) didistribusikan secara merata, tanpa memandang ras, status sosial, atau kedekatan dengan beliau. Kebijakan ini, meskipun sangat sesuai dengan semangat Islam awal, menimbulkan permusuhan dari mereka yang telah terbiasa mendapatkan privilese.

Keseimbangan antara Keras dan Lembut

Keunikan Ali terletak pada kemampuannya menyeimbangkan antara keberanian militer yang legendaris—yang memberinya julukan *Asadullah* (Singa Allah)—dengan kelembutan dan kedalaman spiritual seorang sufi. Beliau adalah orang yang sama yang memimpin pasukan dalam pertempuran epik, namun menangis ketika mendengar ratapan anak yatim. Sikap inilah yang membuatnya menjadi figur yang kompleks dan sering disalahpahami oleh ekstremis seperti Khawarij, yang hanya melihat formalitas hukum dan gagal menangkap esensi rahmat yang dianut Ali.

Dalam masa-masa terakhirnya, Ali berbicara banyak tentang hakikat kehidupan dunia (*dunya*). Beliau menggambarkan dunia sebagai "bangkai yang busuk" dan "tempat persinggahan sementara," mendorong umatnya untuk melepaskan keterikatan pada kekuasaan dan harta benda. Wasiat ini menjadi pedoman spiritual yang sangat penting bagi mereka yang mencari kebenaran sejati di tengah gejolak dunia.

Analisis Keputusan Nahrawan dan Reaksi Ibn Muljam

Keputusan Ali untuk memerangi Khawarij di Nahrawan adalah titik balik yang fatal. Meskipun secara militer dibenarkan karena tindakan Khawarij mengancam keamanan sipil, keputusan itu menciptakan benih kebencian yang langsung berujung pada kematiannya. Khawarij melihat Nahrawan bukan sebagai penegakan hukum, melainkan sebagai pembantaian ideologis yang menuntut balas dendam paling brutal.

Abdurrahman bin Muljam bukan sekadar pembunuh bayaran; ia adalah representasi dari kegagalan psikologis dan teologis. Ia memandang dirinya sebagai eksekutor kehendak Ilahi, percaya bahwa membunuh Ali adalah tindakan yang membersihkan dosa komunitas. Ironisnya, tindakan yang ia yakini akan membawa umat kepada kemurnian justru mengantar komunitas Muslim pada perpecahan yang lebih dalam dan periode kekuasaan yang kurang ideal.

Racun dalam Niat

Pedang yang digunakan Ibn Muljam dilapisi racun mematikan, yang melambangkan bahwa pembunuhan itu dilakukan dengan niat yang sangat gelap dan mematikan, tidak menyisakan ruang bagi ampunan. Ketika Ali terluka, para tabib di Kufah menyadari bahwa bukan luka fisik yang menjadi ancaman utama, melainkan racun yang menyebar cepat. Racun ini adalah metafora yang sempurna untuk *fitnah* itu sendiri: penyakit ideologis yang menyerang inti tubuh umat, meracuni persatuan, dan pada akhirnya membunuh pemimpinnya yang paling dihormati.

Garis Waktu Terakhir: Ketakwaan hingga Detik Akhir

Sejak serangan pada malam 19 Ramadhan hingga wafatnya pada 21 Ramadhan, Sayyidina Ali menghabiskan waktunya dalam ibadah, nasehat, dan kesabaran. Setiap tarikan napasnya digunakan untuk menguatkan iman orang-orang di sekitarnya. Beliau memerintahkan putranya, Hasan, untuk terus memimpin salat selama beliau masih bisa. Ini adalah simbolisme kepemimpinan yang luar biasa: bahkan ketika Khalifah terluka parah, kewajiban kepada Tuhan dan umat tidak boleh terhenti.

Beliau juga menolak tawaran pengobatan yang drastis, menerima takdirnya dengan keridhaan. Sikap ini memberikan ketenangan spiritual kepada para pengikutnya, meskipun mereka diliputi kesedihan. Ali mengajarkan bahwa akhir yang mulia (syahid) adalah hadiah terbesar bagi seorang mukmin yang telah berjuang di jalan Allah seumur hidupnya.

Pesan Abadi bagi Hasan dan Husain

Wasiatnya kepada Hasan dan Husain jauh melampaui urusan *qishas*. Beliau meminta mereka untuk menjaga tali persaudaraan dengan sesama Muslim, untuk tidak menggunakan kekuatan kecuali untuk keadilan yang tegak, dan untuk tidak membiarkan kebencian pribadi mencemari keputusan kenegaraan mereka. Beliau tahu bahwa kedua putranya akan menghadapi tantangan politik yang luar biasa, dan beliau mempersenjatai mereka bukan dengan senjata, tetapi dengan moralitas dan etika kenabian.

Salah satu wasiat paling mengharukan yang sering diulang adalah: “Bertakwalah kepada Allah, jagalah agar segala urusanmu berada di jalan yang benar, dan janganlah kalian biarkan orang-orang zalim menguasai kalian. Ucapkanlah kebenaran di mana pun kalian berada.” Ini adalah seruan untuk perlawanan etis, bukan perlawanan bersenjata yang sia-sia.

Konsekuensi Jangka Panjang: Jembatan Menuju Dinasti

Dengan tiadanya Ali, perselisihan yang telah mengoyak Khilafah Rasyidah selama bertahun-tahun mencapai kesimpulan yang menyakitkan. Transisi kepemimpinan dari Hasan ke Muawiyah, yang terjadi beberapa bulan kemudian, adalah hasil langsung dari kevakuman kekuasaan yang ditinggalkan oleh Ali. Hasan menyadari bahwa pertempuran lebih lanjut akan menghancurkan sisa-sisa komunitas, dan keputusannya untuk berdamai didorong oleh semangat persatuan yang sama yang dipegang teguh oleh ayahnya.

Namun, perdamaian ini datang dengan harga yang mahal: berakhirnya sistem Khulafa Rasyidin dan dimulainya Dinasti Umayyah. Perbedaan antara kedua sistem ini sangat kontras: Rasyidin didasarkan pada kesalehan dan baiat, sementara Umayyah didasarkan pada kekuatan militer, suksesi keluarga, dan administrasi yang lebih sekuler. Kematian Ali adalah batas tajam antara dua era ini.

Keabadian Kufah

Meskipun pusat politik bergeser ke Damaskus, Kufah tetap menjadi pusat perlawanan spiritual dan ideologis. Kota ini, yang menjadi saksi syahidnya Ali, kemudian menjadi tempat di mana putranya, Husain, akan menghadapi tragedi yang serupa. Kufah abadi dalam ingatan sejarah sebagai kota yang memberontak, mendukung, lalu gagal melindungi para pemimpin mereka yang paling saleh.

Kisah kematian Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dengan segala lapisannya—politik, teologis, dan spiritual—adalah salah satu kisah paling berpengaruh dalam sejarah peradaban Islam. Beliau gugur sebagai penegak keadilan terakhir dari era emas, seorang pemimpin yang menghadapi badai *fitnah* dengan hati yang teguh dan pedang yang bersih, namun akhirnya tumbang oleh pengkhianatan dari dalam.

Beliau meninggalkan warisan yang mengharuskan setiap Muslim untuk merenungkan makna sejati dari kekuasaan, keadilan, dan pengorbanan, memastikan bahwa cahaya keimanan tidak padam oleh bara dendam dan ekstremisme. Kematian beliau bukan akhir, melainkan puncak dari kehidupan yang didedikasikan sepenuhnya untuk mengabdi kepada Allah dan Rasul-Nya, sebuah kesyahidan yang menyempurnakan perjalanan seorang pahlawan besar Islam.

🏠 Homepage