Keadilan yang Teguh di Masa Penuh Ujian
I. Pendahuluan: Konteks Geopolitik Kekhalifahan Ali
Pemerintahan Ali bin Abi Thalib, Khalifah keempat, menandai titik balik paling dramatis dalam sejarah awal Islam. Kekhalifahannya, yang dimulai setelah pembunuhan tragis Khalifah Utsman bin Affan, bukanlah periode stabilitas dan konsolidasi, melainkan periode yang sepenuhnya didominasi oleh krisis internal, yang kemudian dikenal sebagai Fitnah Kubra (Ujian Besar). Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Ali sejak hari pertamanya menjabat bersifat radikal dan reformis, bertujuan untuk mengembalikan pemerintahan ke prinsip-prinsip murni yang diyakininya telah menyimpang.
Ali mewarisi sebuah kekaisaran yang membentang luas namun rapuh secara internal. Ekspansi yang pesat di masa sebelumnya telah menghasilkan akumulasi kekayaan yang besar dan munculnya kelas elit baru, serta ketidakpuasan mendalam dari populasi yang merasa hak-hak mereka diabaikan. Tantangan utama Ali bukan lagi menaklukkan wilayah baru, melainkan menaklukkan perpecahan internal yang mengancam fondasi komunitas Muslim itu sendiri. Oleh karena itu, kebijakannya berpusat pada dua pilar utama: Keadilan Ekonomi Mutlak dan Restrukturisasi Otoritas Politik.
Sifat reformasi Ali yang cepat dan keras menimbulkan resistensi segera dari faksi-faksi mapan, termasuk mereka yang menuntut balas atas darah Utsman, yang berujung pada pecahnya perang saudara yang tak terhindarkan. Memahami kebijakan Ali harus dilakukan melalui lensa krisis ini, di mana setiap keputusan administratif memiliki konsekuensi militer dan teologis yang cepat dan mendalam.
II. Kebijakan Politik dan Administrasi: Reformasi Radikal
Kebijakan paling fundamental dan kontroversial dari Ali adalah upaya untuk membersihkan aparatur negara dari apa yang ia anggap sebagai korupsi dan nepotisme yang berkembang di akhir kekhalifahan Utsman. Ali memandang bahwa legitimasi pemerintahan hanya dapat diperoleh melalui penegakan keadilan yang tidak pandang bulu, bahkan jika hal itu mengorbankan stabilitas politik jangka pendek.
1. Pemecatan Gubernur dan Pejabat Otoritas
Langkah pertama Ali yang paling menentukan adalah keputusannya untuk segera memberhentikan hampir semua gubernur provinsi yang ditunjuk oleh Utsman. Ini termasuk tokoh-tokoh kuat yang berasal dari Bani Umayyah, yang telah lama memegang kendali atas wilayah-wilayah kunci. Kebijakan ini didorong oleh keyakinan bahwa banyak gubernur telah menyalahgunakan kekuasaan mereka, mengumpulkan harta pribadi, dan mengabaikan kesejahteraan rakyat jelata. Ali ingin menggantikan mereka dengan tokoh-tokoh yang dikenal karena kesalehan dan integritas mereka, yang sebagian besar adalah sahabat senior yang setia pada prinsip-prinsip awal Islam.
Kebijakan pemecatan ini segera memicu konflik terbuka. Yang paling signifikan adalah pemecatan Mu'awiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam (Suriah) yang sangat kuat. Mu'awiyah menolak pemecatan tersebut, menuntut agar Ali pertama-tama menghukum para pembunuh Utsman. Bagi Mu'awiyah, kebijakan Ali untuk merombak struktur kekuasaan tanpa menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman adalah tanda kelemahan atau bahkan keterlibatan dalam konflik tersebut. Penolakan Mu'awiyah secara efektif membagi Kekhalifahan menjadi dua entitas politik yang bersaing, di mana Syam menjadi pusat oposisi yang terorganisir.
Ali berpendapat bahwa penegakan keadilan dan penanganan korupsi harus menjadi prioritas utama, dan masalah pembunuhan Utsman harus diselesaikan setelah kekhalifahan telah distabilkan. Namun, ketegasan ini justru dipersepsikan oleh lawan-lawannya sebagai kesewenang-wenangan, yang mengobarkan api Fitnah Kubra.
2. Prinsip Meritokrasi dan Integritas
Dalam penunjukan pejabat baru, Ali menekankan prinsip meritokrasi dan integritas moral di atas ikatan kesukuan atau keluarga. Surat-suratnya kepada para gubernur (yang sebagian besar didokumentasikan dalam *Nahj al-Balaghah*) adalah dokumen penting yang menggariskan etika pemerintahan Ali. Ia menuntut agar pejabatnya menjauhi kesenangan duniawi, menjaga jarak dari rakyat jelata, dan memastikan bahwa kebijakan yang mereka terapkan memberikan manfaat bagi kaum miskin dan tertindas. Beliau secara eksplisit melarang praktik suap dan penggunaan harta publik untuk kepentingan pribadi.
Salah satu instruksi paling terkenal Ali mengenai tata kelola adalah penekanannya pada pengawasan ketat terhadap pejabat keuangan dan keadilan. Ia memerintahkan agar para pejabat diberi gaji yang memadai agar mereka tidak tergoda untuk korupsi, namun pada saat yang sama, mereka harus diawasi oleh mata-mata rahasia yang akan melaporkan setiap penyalahgunaan kekuasaan. Ini menunjukkan komitmen Ali terhadap sistem akuntabilitas yang berlapis, sebuah kebijakan yang jauh lebih maju daripada sistem pemerintahan pada masanya.
Inti dari kebijakan administrasinya adalah penolakan terhadap pemisahan antara urusan duniawi (politik) dan spiritual (agama). Bagi Ali, pemerintahan harus menjadi manifestasi praktis dari ajaran Islam tentang keadilan total (*al-adl al-kamil*).
3. Pengekangan Sentralisasi Kekuatan
Meskipun Ali adalah pemimpin yang kuat, ia mencoba menyeimbangkan kekuatan sentral dengan hak-hak rakyat untuk menuntut pertanggungjawaban. Ia sering mengadakan majelis di Kufah (ibu kota barunya) di mana ia secara langsung berinteraksi dengan warga, mendengarkan keluhan, dan memecahkan perselisihan. Ini adalah upaya untuk mengembalikan praktik konsultasi (*syura*) yang otentik, yang ia yakini telah memudar digantikan oleh otokrasi. Kebijakan ini, meskipun idealis, menjadi sulit dipertahankan ketika konflik militer menuntut keputusan yang cepat dan otoriter.
III. Kebijakan Ekonomi: Revolusi Keadilan Baitul Mal
Jika kebijakan politik Ali bersifat reformis, kebijakan ekonominya bersifat revolusioner. Ali bergerak cepat untuk membalikkan sistem distribusi yang telah memberikan hak istimewa kepada beberapa kalangan (terutama Bani Umayyah dan sahabat senior yang lebih dahulu memeluk Islam) di atas yang lain. Tujuan utamanya adalah menegakkan Keadilan Absolut dalam Pembagian Kekayaan Publik.
1. Prinsip Kesetaraan dalam 'Atha (Tunjangan)
Di masa khalifah-khalifah sebelumnya, sistem tunjangan (*'Atha*) dari Baitul Mal (kas negara) didasarkan pada urutan keislaman, hubungan keluarga, atau jasa militer. Ini menciptakan hierarki ekonomi yang jelas. Ali menolak sistem hirarki ini. Ia menetapkan kebijakan bahwa semua Muslim yang memenuhi syarat, terlepas dari status sosial, suku, atau kapan mereka masuk Islam, berhak atas tunjangan yang sama dari Baitul Mal.
Ketika menerapkan kebijakan ini di Kufah, Ali mengambil langkah dramatis: ia mendistribusikan semua kekayaan yang ada di Baitul Mal, bahkan sampai menyapu lantai Baitul Mal untuk memastikan tidak ada satu koin pun yang tertinggal. Ia menyatakan bahwa harta negara adalah hak milik bersama umat Islam, dan tidak boleh ditimbun atau digunakan untuk kepentingan segelintir orang.
Kebijakan ini disambut gembira oleh kaum miskin, kaum Mawali (non-Arab yang baru masuk Islam), dan sahabat-sahabat junior. Namun, hal ini menyebabkan kemarahan besar di kalangan elit Quraisy, termasuk Thalhah dan Zubair, yang merasa hak istimewa mereka telah dirampas. Bagi mereka, kebijakan ini merupakan perusakan tatanan sosial-ekonomi yang telah mapan dan menjadi salah satu faktor utama yang mendorong mereka untuk membelot dan memimpin Perang Jamal.
2. Akuntabilitas dan Pengembalian Harta Publik
Ali secara aktif mengejar upaya untuk mengembalikan harta publik yang diyakininya telah disalahgunakan atau dicuri oleh pejabat-pejabat sebelumnya. Ia mengumumkan bahwa semua properti dan hadiah yang diberikan dari Baitul Mal secara tidak adil akan disita kembali. Kebijakan ini diterapkan dengan ketat, tidak memandang bulu kepada siapa harta itu diberikan. Bahkan, ia menargetkan tanah dan aset yang diberikan kepada kerabat dekat Khalifah Utsman dan gubernur yang telah diberhentikan.
Pengejaran aset ini menunjukkan komitmen Ali terhadap prinsip bahwa tidak ada individu, sekaya atau seberkuasa apa pun, yang berada di atas hukum ekonomi Khalifah. Namun, proses pemulihan aset ini sangat sulit dilakukan di wilayah-wilayah yang dikuasai oposisi, seperti Syam, yang menganggap kebijakan Ali sebagai perampasan harta yang sah dan bukannya pemulihan hak publik.
3. Pengawasan Pasar dan Regulasi Harga
Selain distribusi yang adil, Ali juga sangat fokus pada regulasi pasar untuk mencegah eksploitasi. Ia menekankan pentingnya moralitas dalam transaksi bisnis. Ia memerintahkan para inspektur pasar untuk memastikan kejujuran dalam timbangan, mencegah penimbunan (monopoli), dan mengatur harga barang-barang pokok. Ali sendiri dilaporkan sering mengunjungi pasar untuk memantau keadaan dan berinteraksi langsung dengan pedagang dan pembeli.
Kebijakan ekonomi yang keras ini mencerminkan pandangan teologisnya bahwa keadilan ekonomi adalah bagian integral dari tauhid (keesaan Tuhan) dan bahwa negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa sumber daya alam didistribusikan secara merata kepada seluruh rakyatnya.
IV. Kebijakan Militer dan Konflik: Manajemen Krisis Internal
Kekhalifahan Ali adalah periode perang saudara berkelanjutan, dimulai dari Perang Jamal, berlanjut ke Perang Siffin, dan diakhiri dengan konflik melawan Khawarij di Nahrawan. Kebijakan militer Ali unik karena didasarkan pada prinsip-prinsip syariat yang ketat mengenai pertempuran antar sesama Muslim, yang belum pernah diformalkan sebelumnya.
1. Doktrin Konflik Internal (Baghy)
Ali adalah khalifah pertama yang harus merumuskan doktrin tentang bagaimana memerangi kelompok pemberontak Muslim (*baghi*). Kebijakannya dalam Perang Jamal dan Siffin menetapkan preseden hukum yang signifikan dalam fikih Islam, terutama dalam Mazhab Hanafi dan Hanbali selanjutnya.
- Larangan Mengejar yang Melarikan Diri: Setelah perang, Ali memerintahkan pasukannya untuk tidak mengejar tentara yang melarikan diri, tidak membunuh yang terluka, dan tidak menjarah harta benda pribadi mereka.
- Tidak Perbudakan: Istri dan anak-anak dari tentara yang kalah tidak boleh dijadikan budak. Ini adalah perbedaan mencolok dari perlakuan terhadap musuh non-Muslim.
- Pengambilan Harta Militer Saja: Harta benda yang disita hanyalah senjata dan perlengkapan militer yang digunakan untuk melawan. Aset pribadi harus dikembalikan kepada ahli waris.
Kebijakan ini menunjukkan keinginan Ali untuk meminimalkan kerugian dan mempercepat rekonsiliasi, memperlakukan oposisi sebagai 'saudara yang bersalah' daripada musuh total yang harus dimusnahkan. Meskipun demikian, kebijakan ini juga dikritik karena dianggap terlalu lunak, yang memungkinkan lawan-lawannya di Syam untuk membangun kekuatan kembali.
2. Penerapan Tahkim (Arbitrasi) di Siffin
Perang Siffin melawan Mu'awiyah adalah konflik paling menentukan, yang berakhir bukan karena kemenangan militer tuntas, melainkan melalui kebijakan arbitrase (*tahkim*). Ketika pasukan Ali hampir memenangkan pertempuran, Mu'awiyah mengangkat mushaf (salinan Al-Qur'an) sebagai seruan untuk menyelesaikan masalah berdasarkan hukum Allah.
Kebijakan Ali untuk menerima arbitrase adalah keputusan yang sangat politis dan teologis. Ia dipaksa menerimanya oleh tekanan dari sebagian besar pasukannya yang sudah lelah perang, meskipun ia secara pribadi skeptis terhadap ketulusan Mu'awiyah. Penerimaan arbitrase ini menunjukkan komitmen Ali untuk menghindari pertumpahan darah lebih lanjut di antara umat Islam, sebuah prinsip yang ia hargai di atas kemenangan politik total.
Namun, arbitrase tersebut gagal total. Kedua pihak memilih perwakilan (Abu Musa al-Asy'ari untuk Ali, dan Amr bin al-Ash untuk Mu'awiyah). Hasil arbitrase yang tidak jelas dan menguntungkan Mu'awiyah secara efektif melemahkan posisi Ali, yang menghasilkan perpecahan terburuk dalam pasukannya: munculnya Khawarij.
3. Kebijakan Terhadap Khawarij: Keseimbangan antara Dialog dan Represi
Khawarij adalah kelompok yang awalnya mendukung Ali tetapi kemudian memberontak melawannya karena ia menerima arbitrase. Mereka berpendapat bahwa "Keputusan hanya milik Allah" (*La hukma illa lillah*) dan Ali telah berbuat kufur dengan menyerahkan keputusan manusia. Ini memaksa Ali merumuskan kebijakan terhadap mereka yang memberontak atas dasar doktrin agama.
Awalnya, Ali menerapkan kebijakan dialog. Ia mengirim ulama terkemuka untuk berdebat dengan Khawarij, menjelaskan argumen syar'i tentang perlunya arbitrase. Kebijakannya adalah menahan diri dari kekerasan kecuali jika mereka menyerang secara fisik. Ia berpendapat:
"Kami tidak akan memerangi kalian selama kalian tidak menumpahkan darah atau merampok harta. Selama kalian tinggal di rumah kalian, kami akan membiarkan kalian. Jika kalian bertindak agresi, kami akan memerangi kalian."
Namun, ketika Khawarij mulai melakukan pembunuhan terhadap Muslim yang mereka anggap murtad (paling terkenal adalah pembunuhan terhadap Sahabat Khabbab bin al-Aratt dan keluarganya), Ali terpaksa mengambil tindakan militer. Perang Nahrawan adalah implementasi kebijakan represif terakhir Ali terhadap ancaman internal yang tidak dapat direformasi. Kemenangan ini, meskipun militer, menguras tenaga politiknya dan pada akhirnya menyebabkan pembunuhannya sendiri oleh seorang Khawarij.
V. Kebijakan Hukum dan Keilmuan: Fondasi Tradisi Fikih
Sebagai seorang pemimpin dan ulama yang dihormati, kebijakan Ali juga meluas ke bidang yudikatif dan intelektual. Kontribusinya dalam meletakkan dasar-dasar hukum Islam sangat besar, menetapkan praktik-praktik yang akan diikuti oleh para ahli fikih di generasi selanjutnya.
1. Penekanan pada Pengetahuan dan Integritas Qadhi (Hakim)
Ali sangat ketat dalam menunjuk para hakim. Dalam instruksinya kepada Malik al-Asytar (gubernur Mesir), ia menggarisbawahi bahwa hakim harus dipilih dari kalangan terbaik, yang memiliki pengetahuan mendalam tentang hukum, integritas tak bercela, dan tidak mudah terpengaruh oleh tekanan politik atau emosi. Ia menuntut gaji yang tinggi untuk para qadhi agar mereka tidak dapat disuap, namun juga menuntut mereka menjauhi kesombongan dan keterasingan dari masyarakat.
Salah satu kontribusi pentingnya adalah penekanannya pada penggunaan *Qiyas* (analogi) dan *Ijtihad* (penalaran independen) ketika tidak ada teks Al-Qur'an atau Sunnah yang jelas. Ali dikenal karena keputusannya yang cerdas dan seringkali inovatif, menjadikannya salah satu sumber utama bagi tradisi fikih awal yang kemudian dikenal sebagai 'Madrasah Kufah'.
2. Penyelarasan Bahasa Arab (Nahwu)
Meskipun ini bukan kebijakan pemerintahan formal, Ali dianggap sebagai pelindung dan penggagas awal dari tata bahasa Arab (Nahwu). Dengan masuknya banyak penaklukan non-Arab ke dalam Islam, muncul kekhawatiran tentang hilangnya kemurnian bahasa Al-Qur'an. Diceritakan bahwa Ali menugaskan Abu al-Aswad al-Du'ali untuk menyusun kaidah-kaidah dasar tata bahasa. Tindakan ini merupakan kebijakan kebudayaan dan keagamaan strategis untuk memastikan bahwa teks-teks suci dapat dibaca dan dipahami dengan benar oleh generasi mendatang, sebuah kebijakan yang memiliki dampak abadi pada peradaban Islam.
3. Kebijakan Pendidikan Keagamaan
Kufah di bawah pemerintahan Ali menjadi pusat intelektual. Ali mendorong studi Al-Qur'an dan Hadis secara intensif. Ia adalah sumber utama Hadis, dan banyak dari ulama Hadis dan Fikih terbesar di generasi Tab'in (pengikut) berasal dari Kufah dan belajar dari kebijakan dan fatwa-fatwa Ali. Kebijakannya adalah mempromosikan diskusi keilmuan terbuka, bahkan terhadap lawan-lawannya, selama diskusi itu bersifat konstruktif dan tidak mengancam keamanan publik.
VI. Warisan dan Dampak Jangka Panjang Kebijakan Ali
Meskipun kekhalifahan Ali relatif singkat dan sarat konflik, kebijakan-kebijakannya memberikan warisan yang mendalam pada tiga bidang utama: pemikiran politik Islam, fikih, dan sejarah sektarian.
1. Politik Islam: Ideal Keadilan Revolusioner
Dalam pemikiran politik, Ali mewakili idealisme yang menuntut keadilan mutlak tanpa kompromi. Kebijakannya tentang kesetaraan Baitul Mal dan penolakan terhadap nepotisme menjadi cetak biru moral bagi semua gerakan reformis di masa depan. Konsepnya tentang pemerintahan yang berbasis pada meritokrasi dan ketakwaan, serta tanggung jawab Khalifah terhadap kaum miskin, menetapkan standar yang hampir mustahil dicapai oleh dinasti-dinasti berikutnya (terutama Umayyah dan Abbasiyah).
Bagi banyak ulama dan sejarawan, kegagalan politik Ali bukan karena kebijakan-kebijakannya buruk, tetapi karena idealisme tersebut terlalu maju untuk konteks sosial-politik yang penuh kepentingan pribadi dan kesukuan pada saat itu. Idealisme ini menjadi sumber inspirasi utama bagi Syiah, yang memandang Ali sebagai contoh sempurna pemimpin yang sah, yang mengutamakan prinsip moral di atas kekuasaan pragmatis.
2. Hukum dan Fikih: Doktrin Perang Internal
Kebijakan Ali dalam Perang Jamal dan Siffin menciptakan kerangka hukum untuk menangani pemberontakan internal (Hukum *Baghy*). Aturan-aturan tentang tidak menjarah atau memperbudak musuh Muslim menjadi norma yang diterima dalam fikih Sunni. Para ulama fikih selanjutnya (seperti Abu Hanifah) banyak menarik pelajaran dari keputusan Ali di medan perang mengenai hak dan kewajiban pemberontak dan pemerintah.
Lebih dari itu, keputusan Ali mengenai arbitrase dan perdebatan dengan Khawarij menggarisbawahi pentingnya ijtihad dan interpretasi otoritas keagamaan di masa konflik, memberikan bahan baku bagi pengembangan metodologi hukum Islam.
3. Peningkatan Perpecahan Sektarian
Sayangnya, meskipun niat Ali adalah untuk menyatukan umat, kebijakan-kebijakannya secara langsung berkontribusi pada formalisasi perpecahan sektarian. Tiga kelompok utama muncul sebagai hasil langsung dari kebijakan dan krisis di masa kekhalifahan Ali:
- Syiah (Pendukung Ali): Mereka yang menganggap Ali sebagai pemimpin sah yang mewakili garis keturunan spiritual dan politik. Mereka mengidolakan kebijakan keadilan dan reformasi Ali.
- Khawarij (Pembangkang): Mereka yang menolak Ali karena menerima arbitrase, menuntut kepemimpinan yang bebas dari dosa. Kebijakan represif Ali terhadap mereka di Nahrawan tidak memadamkan ideologi mereka; sebaliknya, ideologi ini menyebar dan terus mengancam stabilitas Kekhalifahan selama berabad-abad.
- Bani Umayyah/Pihak Mu'awiyah: Mereka yang menolak kebijakan reformasi radikal Ali, yang mengedepankan stabilitas politik dan pragmatisme di atas keadilan ekonomi mutlak. Kemenangan mereka setelah pembunuhan Ali menandai peralihan dari Kekhalifahan Rasyidin ke sistem dinasti.
VII. Analisis Mendalam Kebijakan Fiskal: Mengapa Kesetaraan Gagal Membawa Stabilitas
Kebijakan Ali yang paling menantang, sekaligus paling mencerminkan prinsip idealnya, adalah reformasi Baitul Mal. Kebijakan ini harus dilihat dalam konteks akumulasi kekayaan pasca penaklukan Persia dan Romawi. Pada masa Utsman, kekayaan telah didistribusikan secara tidak merata, menciptakan jurang antara sahabat kaya raya yang menerima tunjangan besar, dan massa yang menerima tunjangan minimal.
Ali, berpegangan pada tradisi Nabi Muhammad dan Khalifah Abu Bakar, percaya bahwa semua Muslim adalah sama di mata Allah, dan harta Baitul Mal tidak boleh menjadi alat untuk menciptakan elit politik atau ekonomi. Ketika Ali menerapkan kebijakan tunjangan yang sama rata, ia secara efektif melucuti kekuasaan ekonomi para pemimpin Quraisy dan Bani Umayyah. Ini adalah tindakan revolusioner, yang membalikkan kebijakan Khalifah Umar dan Utsman yang mengakui hirarki berdasarkan jasa dan keislaman awal.
Dampak finansial dari kebijakan ini segera terasa. Banyak sahabat senior, seperti Thalhah dan Zubair, yang terbiasa dengan tunjangan besar, merasa terhina. Mereka berargumen bahwa mereka seharusnya mendapatkan lebih karena pengorbanan awal mereka. Kebijakan ini mengubah musuh politik menjadi musuh ekonomi. Ali menolak kompromi, bahkan ketika ia diperingatkan bahwa kebijakan ini akan memicu pemberontakan. Ia menjawab bahwa keadilan adalah perintah ilahi, dan ia tidak akan menukarnya dengan kekuasaan sementara.
Kegagalan kebijakan fiskal ini untuk membawa stabilitas terletak pada dua faktor. Pertama, Ali tidak memiliki kekuatan militer atau birokrasi yang cukup untuk memaksa para gubernur kaya di provinsi jauh (terutama Syam) untuk mematuhinya. Mu'awiyah, misalnya, terus mendistribusikan kekayaan sesuai kebijakan Utsman, menggunakan kekayaan tersebut untuk membeli kesetiaan militer dan politik. Kedua, sebagian besar elit lama lebih menghargai kekuasaan dan kekayaan daripada idealisme kesetaraan. Dalam pertempuran antara prinsip dan pragmatisme, pragmatisme berbasis ekonomi terbukti lebih kuat dalam jangka pendek.
VIII. Dinamika Kebijakan Pengangkatan: Studi Kasus Malik al-Asytar
Untuk memahami kebijakan Ali tentang integritas dan meritokrasi, penting untuk mengkaji penunjukan tokoh-tokoh kunci. Ali menolak menggunakan anggota klannya, Bani Hasyim, untuk posisi-posisi penting, berbeda dengan praktik-praktik yang ia kritik di masa lalu. Sebagai gantinya, ia memilih individu-individu berdasarkan kesalehan dan kesetiaan mereka terhadap prinsip-prinsip revolusionernya.
Penunjukan Malik al-Asytar sebagai gubernur Mesir adalah contoh kebijakan yang paling jelas. Al-Asytar adalah seorang pemimpin suku dan tokoh militer yang keras, tetapi ia juga seorang reformis yang sangat setia kepada Ali. Instruksi yang diberikan Ali kepada Al-Asytar, yang dikenal sebagai *Ahd al-Asytar*, adalah salah satu dokumen paling komprehensif tentang teori tata kelola pemerintahan dalam sejarah Islam. Dokumen ini berfungsi sebagai konstitusi administrasi Ali, menggarisbawahi poin-poin berikut:
- Tanggung Jawab Kepada Semua Rakyat: Pemerintah bertanggung jawab tidak hanya kepada Muslim, tetapi juga kepada minoritas agama (Dzimmis), menuntut perlakuan yang sama tanpa diskriminasi.
- Pentingnya Sumber Daya Manusia: Perluasan detail tentang bagaimana memilih menteri, pejabat pajak, dan hakim, menekankan bahwa mereka harus diuji integritasnya sebelum diberi jabatan.
- Peran Militer: Militer harus melayani rakyat, bukan menindas mereka. Mereka harus diberi gaji yang cukup untuk memastikan kesetiaan dan profesionalisme.
Kebijakan ini, meskipun luar biasa dari sudut pandang etika pemerintahan, menunjukkan kurangnya pragmatisme politik Ali. Ia sering menunjuk orang-orang yang sangat idealis, tetapi kurang memiliki kemampuan diplomatik untuk menahan oposisi yang terorganisir, terutama di wilayah-wilayah yang bergolak. Penunjukan Al-Asytar di Mesir, misalnya, segera memicu reaksi militer dari Mu'awiyah, yang melihat Mesir sebagai kunci kekuasaan dan berusaha mencegah Al-Asytar mengambil alih jabatan. Kebijakan penunjukan yang berani tetapi kurang didukung oleh kekuatan militer sentral pada akhirnya melemahkan kontrol Ali atas provinsi-provinsi periferal.
IX. Tantangan Kebijakan Keamanan dan Pertahanan: Strategi Perang Proaktif vs. Reaktif
Dalam menghadapi ancaman yang terus menerus, kebijakan pertahanan Ali harus beradaptasi dengan cepat. Sebelum Fitnah Kubra, kebijakan militer Kekhalifahan difokuskan pada penaklukan dan pertahanan perbatasan dari Bizantium dan Persia. Di bawah Ali, fokus bergeser sepenuhnya ke pertahanan internal. Markas besar militer dipindahkan dari Madinah ke Kufah, sebuah kota garnisun yang strategis di Irak, yang menunjukkan orientasi baru kekuasaannya.
1. Prioritas Pertahanan: Irak dan Hijaz
Ali memprioritaskan keamanan Irak (yang merupakan basis utama pasukannya) dan Hijaz. Ia harus secara konstan menanggapi gerakan sporadis dari Khawarij di satu sisi, dan mengkonsolidasikan garis pertahanan terhadap agresi dari Syam di sisi lain. Kebijakannya seringkali reaktif, merespons setiap kali oposisi muncul, seperti serangan Mu'awiyah ke Hijaz atau pengkhianatan di Mesir.
Satu aspek penting dari kebijakan pertahanan Ali adalah penggunaan sumber daya lokal. Berbeda dengan kebijakan dinasti Umayyah di masa depan yang mengandalkan tentara Syam, Ali sangat mengandalkan sukarelawan suku-suku Irak, yang sayangnya terbukti kurang disiplin dan lebih rentan terhadap perpecahan ideologis (seperti yang terjadi sebelum arbitrase Siffin).
2. Penekanan pada Diplomasi dan Utusan
Meskipun dikenal sebagai komandan militer yang brilian, Ali secara konsisten mencoba menyelesaikan konflik melalui diplomasi sebelum menggunakan kekerasan. Sebelum Perang Jamal, ia menghabiskan waktu berhari-hari mengirim utusan dan berdialog dengan Thalhah dan Zubair. Sebelum Siffin, ia juga berulang kali mengirim surat kepada Mu'awiyah, menuntut bai'at dan mencoba meyakinkan dirinya untuk menyelesaikan perbedaan tanpa pertumpahan darah. Kebijakan ini menunjukkan ketaatan Ali pada prinsip Nabi Muhammad yang selalu mengutamakan pencegahan konflik.
Namun, kebijakan diplomasi ini seringkali dipersepsikan oleh lawan-lawannya sebagai kelemahan atau keragu-raguan. Dalam lingkungan politik yang keras, kebijakan Ali yang mengutamakan musyawarah dan dialog dibandingkan kekuatan keras tidak selalu berhasil mencapai hasil yang diinginkan, terutama melawan lawan yang cerdik seperti Amr bin al-Ash dan Mu'awiyah, yang menggunakan setiap dialog untuk memperkuat posisi mereka sendiri.
X. Epilog: Refleksi Kebijaksanaan Ali
Kebijakan Ali bin Abi Thalib, yang didasarkan pada penegakan keadilan yang tegas, kesetaraan ekonomi, dan integritas pemerintahan, mewakili puncak idealisme dalam politik Islam awal. Ia berusaha mengembalikan umat ke masa awal Madinah, di mana kekuasaan dan kekayaan tidak terpisah dari moralitas dan kesalehan. Namun, kebijakan-kebijakan ini diterapkan pada saat yang salah dalam sejarah Islam—saat kekayaan telah menjadi daya tarik yang tak tertahankan, dan ikatan kesukuan kembali menguat melampaui ikatan agama.
Ali harus berjuang melawan warisan masalah struktural yang telah mengakar. Setiap kebijakannya—mulai dari reformasi Baitul Mal yang radikal hingga keputusan menerima arbitrase—adalah upaya untuk menyelamatkan komunitas Muslim dari kehancuran moral dan politik. Bahwa kebijakannya sering berakhir dengan kekerasan atau perpecahan lebih lanjut menunjukkan betapa dalamnya krisis yang ia hadapi, bukan kegagalan prinsip-prinsipnya.
Hingga saat ini, surat-surat Ali dan fatwa-fatwanya terus dipelajari sebagai model tata kelola pemerintahan yang beretika. Kebijakan-kebijakannya tetap menjadi sumber utama bagi perdebatan abadi dalam pemikiran politik Islam: apakah seorang pemimpin harus memilih stabilitas dan persatuan melalui kompromi, atau mengejar keadilan moral absolut, meskipun harus dibayar dengan konflik internal yang berlarut-larut.
Warisan Ali adalah bahwa keadilan sejati membutuhkan pengorbanan terbesar, dan bagi seorang pemimpin yang idealis, pengorbanan itu terkadang harus berupa kekuasaan itu sendiri. Kekhalifahan Ali, singkat dan tragis, adalah periode di mana prinsip-prinsip murni diuji dalam kancah kekerasan politik, yang mengubah peta Islam selamanya.
Tentu saja, detail lebih lanjut dari kebijakan pengangkatan Ali di wilayah Yaman, Persia, dan Mekah juga menunjukkan pola yang sama. Di Yaman, ia menunjuk Abdullah bin Abbas, seorang tokoh Hasyimi yang sangat berpengetahuan, yang menunjukkan bahwa nepotisme dihindari, tetapi pengangkatan tokoh yang kompeten dari lingkaran keluarga terdekat tetap dilakukan jika memenuhi standar integritas yang tinggi. Sementara itu, kebijakan terhadap pajak tanah (kharaj) di Irak menunjukkan kehati-hatian dalam memeras sumber daya dari tanah pertanian demi mempertahankan kesetiaan suku-suku agrikultural yang menjadi tulang punggung kekuatan militernya di Kufah. Kontras antara kebijakan fiskal yang idealis di pusat (kesetaraan 'Atha) dan kebijakan fiskal yang lebih hati-hati di pinggiran (pengelolaan kharaj) menunjukkan kompleksitas dan tekanan yang ia hadapi dalam menjalankan pemerintahan di tengah krisis likuiditas politik.
Ali juga menerapkan kebijakan tentang perlindungan minoritas agama dengan sangat ketat, sejalan dengan perintah dalam *Ahd al-Asytar*. Ia mengeluarkan instruksi eksplisit yang melarang perlakuan tidak adil terhadap non-Muslim, memastikan bahwa Baitul Mal menyediakan dana untuk minoritas yang rentan dan melindungi properti gereja dan sinagog. Komitmen terhadap keadilan universal ini memperkuat pandangannya bahwa tugas Khalifah adalah melindungi setiap jiwa di wilayahnya, terlepas dari keyakinan mereka. Kebijakan ini sangat penting mengingat Mu'awiyah mencoba memenangkan hati minoritas Kristen Suriah dengan kebijakan yang lebih lunak, membuat Ali harus bersaing dalam memberikan perlindungan dan keadilan.
Lebih jauh lagi, kebijakan pendidikan militer dan keahlian perang di bawah Ali memiliki corak yang khas. Ia bukan hanya seorang ahli taktik, tetapi juga seorang guru bagi pasukannya, menekankan pentingnya moralitas di medan perang. Ia mengajarkan pasukannya untuk menghindari kesombongan, menjaga kesabaran, dan memprioritaskan nyawa daripada kemenangan brutal. Kebijakannya adalah membangun tentara yang tidak hanya kuat secara fisik tetapi juga teguh secara spiritual. Ini berbeda dengan militerisme pragmatis yang mulai tumbuh di bawah pengaruh gubernur-gubernur Syam, yang mengutamakan efisiensi militer di atas etika perang. Perbedaan mendasar dalam kebijakan ini adalah akar dari konflik ideologis antara Kufah dan Damaskus.
Peran Ali dalam penanganan kasus hukum yang rumit dan unik (yang kemudian dikumpulkan sebagai *Qada Ali*) menunjukkan kebijakan peradilan yang inovatif. Ia sering menggunakan penalaran induktif dan deduktif yang kompleks, yang jauh melampaui teks literal Al-Qur'an dan Hadis, untuk mencapai putusan yang adil. Misalnya, keputusannya mengenai pembagian harta warisan dalam kasus-kasus tanpa preseden, atau penentuan hukuman dalam kasus yang melibatkan keraguan, menjadi batu ujian bagi sistem peradilan Islam di masa depan. Kebijakannya adalah memastikan bahwa hukum melayani keadilan, bukan hanya formalitas. Ia secara eksplisit menentang hukuman yang terlalu keras jika ada keraguan, sebuah kebijakan yang mencerminkan sifatnya yang dikenal pemaaf dan bijaksana.
Dalam konteks kebijakan sosial, Ali menaruh perhatian besar pada orang-orang cacat dan yatim piatu. Ia memastikan bahwa tunjangan sosial diberikan secara teratur dan memadai. Tindakan Ali ini merupakan perwujudan praktis dari kebijakan kesetaraan ekonominya, di mana yang terlemah di masyarakat tidak boleh diabaikan demi kepentingan elit militer atau politik. Ini adalah kebijakan yang membutuhkan pengawasan ketat terhadap birokrasi, yang sayangnya terganggu oleh kondisi perang yang terus-menerus. Keteguhan Ali dalam menjaga kesejahteraan sosial di tengah perang adalah bukti komitmennya yang teguh terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan Islam.
Penting untuk dicatat bahwa kebijakan Ali tentang *syura* (konsultasi) meskipun idealis, sering kali terhambat oleh realitas. Ali sangat bergantung pada musyawarah dengan para pemimpin Kufah, namun hal ini juga menjadi kelemahannya. Dalam kasus arbitrase Siffin, tekanan dari kelompok pro-arbitrase dalam pasukannya memaksa dia untuk menerima keputusan yang dia tahu secara politis berbahaya. Ini menunjukkan dilema kebijakan yang dihadapi Ali: apakah seorang Khalifah harus menjalankan keadilan absolut secara otoriter, atau tunduk pada tekanan demokratis yang mungkin keliru. Ali memilih yang terakhir, dan keputusan itu menelan biaya politik yang besar, tetapi menggarisbawahi komitmennya pada prinsip konsultasi, meskipun hasilnya pahit.
Kebijakan luar negeri Ali, meskipun sekunder dibandingkan konflik internal, juga patut disorot. Selama masa kekhalifahannya, ekspansi militer praktis terhenti karena sumber daya dialihkan untuk perang internal. Kebijakan Ali adalah mempertahankan batas-batas yang ada (terutama di perbatasan dengan Bizantium dan Persia) sambil menghindari provokasi lebih lanjut. Ia menempatkan komandan yang loyal di perbatasan untuk menjaga wilayah yang baru ditaklukkan, tetapi fokus utama adalah mengakhiri perselisihan internal. Ini adalah kebijakan isolasi militer parsial, yang secara tidak sengaja memberikan Mu'awiyah kesempatan untuk memperkuat Syam tanpa ancaman eksternal yang serius, yang pada akhirnya memperkuat posisi Damaskus sebagai pusat oposisi yang stabil.
Secara keseluruhan, kebijakan Ali bin Abi Thalib adalah studi kasus yang mendalam tentang bagaimana idealisme spiritual diuji oleh realitas politik kekuasaan. Dari reformasi Baitul Mal yang radikal hingga upaya kerasnya menjaga integritas sistem peradilan dan militer, setiap tindakan Ali bertujuan untuk membangun kembali fondasi moral dan hukum masyarakat Islam. Walaupun upayanya tidak berhasil menyatukan Kekhalifahan dalam masa hidupnya, cetak biru yang ia tinggalkan—terutama dalam hal keadilan ekonomi, tata kelola yang bertanggung jawab, dan doktrin konflik internal—telah membentuk perdebatan tentang kekuasaan dan moralitas dalam Islam hingga hari ini. Kebijakannya adalah cerminan dari keyakinan teguh bahwa tata kelola terbaik adalah yang paling dekat dengan idealisme profetik, tanpa peduli seberapa besar perlawanan dari kekuatan duniawi yang ia hadapi. Kebijakan ini, meskipun tidak populer di kalangan elit yang kehilangan kekuasaan, memberikan harapan dan legitimasi bagi kaum tertindas, menjadikan Ali sebagai simbol keadilan sejati dalam sejarah Islam.
Kesinambungan kebijakan Ali dalam hal akuntabilitas birokrasi, yang ia tuntut dari Malik al-Asytar, adalah salah satu elemen modern dalam pemerintahannya. Ia tidak hanya menuntut kejujuran, tetapi juga meminta para pejabat untuk melakukan inspeksi mendadak, menjaga catatan keuangan yang transparan, dan menyediakan jalur komunikasi langsung bagi warga untuk melaporkan penyalahgunaan kekuasaan. Kebijakan ini menunjukkan kesadaran Ali akan pentingnya struktur kelembagaan untuk melawan korupsi, bukan hanya moralitas pribadi. Sayangnya, sistem ini rapuh karena bergantung pada kesetiaan Kufah, yang juga terpecah oleh intrik Khawarij dan kepentingan suku. Kebijakan ini, meskipun gagal secara luas karena kurangnya konsolidasi teritorial, menetapkan standar teoretis yang sangat tinggi untuk administrasi publik dalam tradisi Islam.