Banyuwangi, kota yang dijuluki sebagai ‘The Sunrise of Java’, tidak hanya kaya akan budaya lokal Suku Osing yang unik, tetapi juga menyimpan mozaik keberagaman etnis yang telah berinteraksi selama berabad-abad. Di antara keramaian pelabuhan dan hiruk pikuk pasar pesisir, terdapat sebuah komunitas yang mempertahankan identitas bahari mereka dengan teguh, sebuah komunitas yang akarnya terentang jauh melintasi Selat Bali hingga ke Sulawesi Barat: Kampung Mandar.
Kampung Mandar di Banyuwangi bukan sekadar permukiman, melainkan manifestasi nyata dari sejarah panjang pelayaran dan perdagangan maritim di Nusantara. Komunitas ini, yang merupakan diaspora dari Suku Mandar, membawa serta tradisi melaut, arsitektur rumah panggung, dan bahasa yang khas, menanamkan kekayaan budaya Sulawesi di tanah Jawa.
Gambar: Representasi jalur pelayaran tradisional Mandar dari Sulawesi menuju pesisir Jawa.
Secara geografis, Kampung Mandar di Banyuwangi umumnya terletak di kawasan pesisir yang dekat dengan aktivitas pelabuhan perikanan atau dermaga. Kedekatan dengan laut adalah hal yang mutlak, mengingat identitas utama mereka adalah pelaut. Penempatan ini memastikan bahwa aktivitas ekonomi utama—melaut, menangkap ikan, dan berlayar—dapat dilakukan secara efisien.
Berada di ujung timur Pulau Jawa, Banyuwangi menjadi titik singgah penting dalam jalur perdagangan rempah-rempah dan komoditas antar pulau. Bagi pelaut Mandar, yang terkenal sebagai navigator ulung, lokasi ini menawarkan akses mudah ke Selat Bali, kepulauan Nusa Tenggara, hingga jalur kembali ke Sulawesi melalui perairan selatan Jawa.
Meskipun telah berasimiliasi dalam banyak aspek kehidupan sosial dengan penduduk lokal (Suku Osing dan Jawa), komunitas Mandar tetap mempertahankan ciri khas mereka, terutama dalam hal kearifan lokal bahari, teknik navigasi, dan seni pembuatan kapal. Kekuatan identitas ini menjadi magnet utama kajian sejarah dan budaya di Banyuwangi.
Untuk memahami Kampung Mandar di Banyuwangi, kita harus melihat kembali sejarah Suku Mandar secara keseluruhan. Suku Mandar, yang mendiami empat kabupaten utama di Sulawesi Barat (Polman, Majene, Mamuju, dan Mamasa), dikenal dengan filosofi hidup sebagai Passompe—orang yang mengarungi lautan dan berlayar jauh dari kampung halaman demi mencari penghidupan yang lebih baik.
Kedatangan pelaut Mandar ke Jawa, khususnya Banyuwangi, bukanlah peristiwa tunggal, melainkan serangkaian gelombang migrasi yang dipicu oleh berbagai faktor kompleks:
Jalur perdagangan rempah-rempah yang membentang dari timur ke barat Nusantara selalu menjadi magnet bagi pelaut ulung. Mandar membawa hasil laut, kopra, dan kadang-kadang hasil hutan dari Sulawesi. Banyuwangi, dengan letaknya yang strategis sebelum memasuki Jawa, menjadi pelabuhan transshipment penting. Pelaut-pelaut ini awalnya singgah sementara, namun seiring waktu, beberapa memutuskan untuk menetap karena potensi ekonomi yang ditawarkan.
Aktivitas niaga ini didukung oleh kemampuan mereka membangun dan mengoperasikan kapal-kapal niaga tangguh seperti Padewakang, yang mampu mengangkut muatan besar melintasi lautan lepas. Keahlian ini membuat mereka menjadi mitra dagang yang dicari oleh kerajaan-kerajaan lokal di Jawa Timur.
Beberapa gelombang migrasi dipengaruhi oleh gejolak politik di Sulawesi, terutama persaingan antara kerajaan-kerajaan Mandar atau konflik dengan kekuatan eksternal (termasuk Belanda). Ketika situasi di kampung halaman tidak kondusif, mencari suaka atau tanah baru di luar menjadi pilihan. Jawa Timur, yang pada masa tertentu relatif lebih stabil atau menawarkan perlindungan dari penguasa lokal, menjadi tujuan aman.
Ada pula motivasi ekologis, di mana kekeringan atau kesulitan panen di wilayah asal mendorong kelompok-kelompok kecil untuk mencari sumber daya perikanan yang lebih melimpah. Banyuwangi, dengan garis pantainya yang panjang dan kaya akan hasil laut, menyediakan kondisi ideal bagi komunitas nelayan untuk memulai kehidupan baru.
Para pendatang Mandar tidak langsung membentuk kampung besar. Mereka biasanya menetap di pinggiran permukiman lokal, seringkali di lokasi yang kurang diminati oleh penduduk pribumi, yaitu daerah pesisir yang rawan gelombang atau abrasi, namun strategis untuk melabuhkan perahu. Mereka membangun rumah panggung mereka, Bola Kasiwatanang, yang secara inheren cocok untuk lingkungan pesisir berawa atau pasang surut.
Integrasi awal dilakukan melalui perdagangan dan, yang lebih penting, melalui pernikahan campuran dengan Suku Osing atau Jawa. Proses akulturasi ini memungkinkan Mandar untuk diterima tanpa menghilangkan sepenuhnya identitas mereka. Mereka berkontribusi pada ekonomi lokal sebagai penyedia ikan dan ahli perahu, keterampilan yang sangat dihargai di Banyuwangi.
Salah satu ciri khas yang paling mudah dikenali dari Kampung Mandar di Banyuwangi adalah arsitektur rumahnya. Berbeda dengan rumah tradisional Jawa atau Osing yang cenderung berbentuk limasan atau joglo yang berada di atas tanah padat, rumah Mandar tetap setia pada desain rumah panggung (Bola).
Rumah panggung Mandar dibangun dengan tiga filosofi utama: mitigasi bencana, pemanfaatan ruang, dan simbolisme sosial. Tiang-tiang kayu yang tinggi (seringkali dari kayu ulin atau jati lokal) menopang struktur utama, menciptakan ruang kolong yang disebut *Awa’ Bola*.
Fungsi Kolong (Awa’ Bola): Ruang di bawah rumah ini memiliki multifungsi. Pada musim pasang, kolong melindungi rumah dari banjir rob. Pada kehidupan sehari-hari, kolong digunakan untuk menyimpan peralatan melaut, seperti jaring, dayung, dan alat-alat perbaikan perahu. Kadang kala, kolong juga berfungsi sebagai kandang ternak atau tempat menjalin benang pukat.
Orientasi Rumah: Hampir semua rumah panggung di Kampung Mandar diarahkan menghadap ke laut. Orientasi ini bukan hanya masalah pemandangan, tetapi merupakan kebutuhan fungsional dan spiritual. Menghadap laut melambangkan hubungan yang tak terputus dengan sumber kehidupan mereka dan memudahkan mereka memantau kondisi cuaca dan perahu yang sedang berlabuh.
Material Konstruksi: Meskipun di Banyuwangi mereka mulai menggunakan material lokal seperti bambu dan kayu jati, teknik penyambungan dan struktur rangka tetap mempertahankan gaya Mandar, termasuk penggunaan pasak dan minimnya penggunaan paku logam pada bagian struktur utama, menunjukkan keahlian pertukangan tradisional yang diwariskan.
Tata ruang Kampung Mandar mencerminkan hirarki sosial dan kebutuhan maritim. Jalur-jalur di dalam kampung seringkali dibuat cukup lebar untuk memungkinkan pergerakan hasil laut dan peralatan besar. Bagian terpenting dari tata ruang adalah area dermaga kecil atau tempat penarikan perahu (Tappereq) yang berada di ujung jalan akses utama kampung, langsung terhubung ke pantai.
Berbeda dengan permukiman pertanian yang cenderung memusatkan kehidupan di lapangan tengah (alun-alun), Kampung Mandar memusatkan kehidupan sosial mereka di area perahu dan tempat pelelangan ikan sementara (TPI mini), menjadikannya ruang publik utama untuk interaksi, transaksi, dan pertukaran informasi cuaca dan hasil tangkapan.
Inti dari identitas Mandar adalah hubungan mistis dan praktis mereka dengan laut. Kemampuan mereka dalam membangun perahu dan menavigasi tanpa alat modern telah melegenda di seluruh Nusantara. Di Banyuwangi, warisan ini tetap hidup melalui keberadaan kapal-kapal tradisional dan teknik melaut yang khas.
Gambar: Ilustrasi Perahu Sandeq, warisan kemaritiman Suku Mandar.
Meskipun di Banyuwangi kapal-kapal yang digunakan untuk penangkapan ikan saat ini banyak mengadopsi mesin modern, warisan filosofi Sandeq tetap kuat. Sandeq, yang berarti "runcing" dalam bahasa Mandar, adalah perahu bercadik ganda yang dikenal memiliki kecepatan luar biasa. Dalam sejarahnya, Sandeq digunakan tidak hanya untuk memancing tetapi juga untuk perlombaan dan komunikasi cepat antar pulau.
Pembuatan Sandeq melibatkan ritual khusus dan pengetahuan yang mendalam tentang sifat kayu dan perairan. Prosesnya disebut Ma'gandang (membentuk lambung). Proses ini bukan sekadar pertukangan; ia adalah ritual transfer ilmu dan spiritualitas dari generasi tua ke generasi muda. Di Banyuwangi, meskipun Sandeq asli mungkin jarang digunakan untuk operasi penangkapan harian, teknik dan prinsip hidrodinamika yang digunakan dalam Sandeq diterapkan pada desain perahu motor mereka, menghasilkan kapal yang tetap gesit dan stabil di Selat Bali yang sering berarus kuat.
Konsep *Passompe* membentuk etos kerja komunitas Mandar di Banyuwangi. Ini adalah semangat merantau yang penuh keberanian dan kemandirian. Passompe harus mampu bertahan hidup jauh dari kampung halaman, mengandalkan pengetahuan alam, navigasi bintang, dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan baru. Etos ini diterjemahkan menjadi:
Seiring berjalannya waktu, fokus ekonomi Mandar di Banyuwangi telah bergeser dari perdagangan jarak jauh (Padewakang) menjadi penangkapan ikan profesional (Nelayan). Adaptasi ini sangat dipengaruhi oleh modernisasi perkapalan dan regulasi maritim.
Nelayan Mandar dikenal memiliki spesialisasi yang tinggi dalam beberapa jenis penangkapan, yang membedakan mereka dari nelayan lokal lainnya:
Pukat Cincin (Purse Seine): Banyak nelayan Mandar yang sukses dalam operasional pukat cincin, menangkap ikan pelagis kecil seperti lemuru, kembung, dan tuna kecil. Operasi ini membutuhkan koordinasi tim yang presisi dan pengetahuan mendalam tentang migrasi ikan.
Penangkapan Ikan Dasar Jauh: Beberapa kelompok Mandar masih mempertahankan keahlian melaut jarak jauh, berlayar hingga perairan selatan Jawa (Samudra Hindia) untuk mencari ikan demersal yang bernilai tinggi, menunjukkan kemampuan navigasi yang tetap mumpuni meskipun telah menggunakan GPS.
Pengolahan dan Distribusi: Tidak hanya menangkap, banyak keluarga Mandar yang terlibat dalam rantai nilai perikanan, mulai dari pengasinan, pengeringan, hingga distribusi ke pasar lokal dan bahkan regional. Hal ini memperkuat posisi ekonomi mereka di Banyuwangi.
Model bisnis di Kampung Mandar seringkali berbasis kekeluargaan (patrilokal). Pemilik kapal (Juragan) biasanya merupakan tetua atau anggota keluarga yang memiliki modal besar. Sistem bagi hasil (sistem *parao*) diatur berdasarkan tradisi yang adil, memastikan setiap ABK (Anak Buah Kapal) mendapatkan bagian yang layak berdasarkan kontribusinya. Kepercayaan dan ikatan kekerabatan menjadi jaminan utama dalam transaksi ekonomi mereka, mengurangi ketergantungan pada institusi keuangan formal.
Keahlian turunan seperti pandai besi (pembuat jangkar dan alat tangkap), tukang kayu perahu (punggawa), dan ahli mesin kapal juga menjadi mata pencaharian pendukung yang vital dalam komunitas ini. Semua profesi ini berinteraksi secara erat, membentuk ekosistem ekonomi yang mandiri dan saling mendukung.
Meskipun berada di lingkungan yang didominasi bahasa Jawa dan Osing, komunitas Mandar di Banyuwangi berupaya keras melestarikan bahasa, adat istiadat, dan kesenian mereka sebagai penanda identitas yang tak terpisahkan.
Bahasa Mandar, yang termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia, masih digunakan sebagai bahasa pengantar utama di rumah tangga dan pertemuan adat. Penggunaan bahasa ini berfungsi sebagai benteng budaya dan pembeda sosial. Anak-anak generasi ketiga dan keempat Mandar di Banyuwangi seringkali tumbuh sebagai bilingual—mahir berbahasa Mandar di rumah dan Bahasa Osing/Indonesia di luar.
Namun, terjadi pergeseran linguistik. Kontak intensif dengan bahasa lokal mengakibatkan munculnya dialek Mandar Banyuwangi, yang menyerap beberapa kosa kata Osing atau Jawa, terutama istilah-istilah yang berkaitan dengan daratan atau administrasi lokal.
Salah satu ritual penting yang dipertahankan adalah upacara syukuran laut atau peluncuran perahu baru. Meskipun ritual ini telah disesuaikan dengan konteks Islam-Jawa, elemen-elemen Mandar tetap terlihat, seperti:
Meskipun beberapa kesenian Mandar seperti *Sayyang Pattu'du* (Kuda Menari) mungkin tidak sepopuler di Sulawesi, tradisi lisan seperti cerita rakyat (To Manurun) dan lagu-lagu pelaut (*Kacaping*) masih diceritakan dan dinyanyikan, khususnya pada malam-malam pertemuan keluarga besar atau acara adat. Kesenian ini berperan sebagai media pendidikan karakter, mengajarkan nilai-nilai kejujuran, keberanian, dan kesetiaan maritim.
Keberadaan Mandar di Banyuwangi tidak terisolasi. Selama berabad-abad, mereka telah berinteraksi intensif dengan dua kelompok etnis dominan: Suku Osing (penduduk asli Banyuwangi) dan Suku Jawa.
Mayoritas Mandar adalah Muslim. Di Banyuwangi, praktik keagamaan mereka menyatu dengan tradisi Islam Nusantara yang kental dengan unsur lokal. Mereka beribadah di masjid yang sama dengan warga Osing, namun seringkali terdapat kelompok pengajian atau majelis taklim Mandar yang menggunakan bahasa Mandar untuk memudahkan pemahaman para tetua.
Salah satu titik akulturasi yang menarik adalah pada ritual pernikahan dan kematian. Meskipun prosesi inti mengikuti syariat Islam, elemen-elemen pra-Islam dari kedua budaya (Mandar dan Osing/Jawa) sering muncul, menciptakan ritual hibrida yang unik bagi Kampung Mandar Banyuwangi.
Hubungan antara Mandar dan Osing sangatlah erat, didasarkan pada hubungan ekonomi. Mandar menyediakan ikan, dan Osing (yang dominan di sektor pertanian dan daratan) menyediakan kebutuhan pangan non-ikan. Interaksi ini membentuk rasa saling menghormati dan meminimalisir konflik sosial. Banyak nama keluarga di Kampung Mandar yang menunjukkan adanya garis keturunan campuran.
Di era modern, Kampung Mandar menghadapi tantangan besar. Globalisasi membawa masuk teknologi modern (kapal fiberglass, GPS, radio komunikasi) yang mengubah cara melaut tradisional. Generasi muda semakin banyak yang memilih pekerjaan di luar sektor kelautan (misalnya, menjadi TKI, berdagang di kota besar, atau bekerja di sektor pariwisata). Hal ini mengancam pewarisan keterampilan pembuatan perahu dan navigasi tradisional.
Upaya pelestarian kini berfokus pada pendidikan formal dan informal, yaitu memasukkan sejarah kemaritiman Mandar dalam kurikulum lokal dan mendirikan sanggar-sanggar budaya yang mengajarkan bahasa dan teknik melaut kepada anak-anak.
Dengan latar belakang budaya yang kuat dan arsitektur yang khas, Kampung Mandar memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata warisan (heritage tourism) di Banyuwangi.
Arsitektur Unik: Rumah panggung tradisional di tepi laut menjadi daya tarik visual yang kuat, menawarkan pemandangan yang berbeda dari pemukiman Osing di pedalaman.
Wisata Edukasi Pembuatan Kapal: Pengunjung dapat menyaksikan langsung proses pembuatan atau perbaikan perahu nelayan, mempelajari teknik tradisional Mandar yang terkenal. Hal ini memberikan nilai tambah edukatif yang tinggi.
Kuliner Khas Pesisir: Kuliner Mandar, yang umumnya menggunakan bumbu khas Sulawesi namun diolah dengan bahan baku ikan segar Banyuwangi, menawarkan pengalaman rasa yang unik, misalnya Jepa (makanan dari singkong) yang disajikan bersama ikan segar.
Akses ke Pelabuhan: Lokasi yang dekat dengan aktivitas perikanan utama memberikan kesempatan bagi wisatawan untuk melihat kegiatan pelelangan ikan (TPI) dan kehidupan nelayan secara otentik.
Gambar: Arsitektur Rumah Panggung Mandar yang beradaptasi di pesisir Banyuwangi.
Sangat tidak mungkin membahas komunitas Mandar tanpa mendalami pengetahuan tradisional mereka tentang navigasi dan cuaca, yang dikenal sebagai *Pappassana* (petunjuk atau nasihat). Pengetahuan ini memungkinkan mereka berlayar jauh sebelum teknologi modern ditemukan.
Pelaut Mandar menggunakan rasi bintang sebagai panduan utama mereka saat berlayar di malam hari. Pengetahuan ini diwariskan secara lisan dan merupakan kurikulum wajib bagi setiap anak laki-laki Mandar yang bercita-cita menjadi pelaut. Mereka memiliki nama-nama lokal untuk rasi bintang tertentu yang menunjukkan arah utara, selatan, timur, dan barat, serta rasi yang menandakan waktu terbaik untuk berlayar atau memancing (musim ikan).
Misalnya, penampakan rasi Bintang Tujuh (Pleiades) sering dikaitkan dengan perubahan musim dan prediksi cuaca buruk. Pengetahuan ini sangat relevan di Selat Bali yang memiliki pola angin yang sangat dinamis dan dapat berubah dalam hitungan jam.
Nelayan Mandar di Banyuwangi sangat mahir dalam membaca perubahan warna air, bentuk ombak, dan perilaku hewan laut. Mereka tahu bahwa kehadiran jenis burung laut tertentu di area tertentu dapat mengindikasikan keberadaan kelompok ikan pelagis besar. Mereka juga ahli dalam memprediksi datangnya badai hanya dengan mengamati gerakan awan di Gunung Raung atau Ijen.
Keahlian ini menyelamatkan nyawa dan memastikan efisiensi penangkapan ikan. Sementara nelayan modern bergantung pada prakiraan BMKG, pengetahuan tradisional Mandar seringkali lebih akurat untuk kondisi mikroklimat di sekitar perairan pesisir Banyuwangi.
Kehidupan sosial di Kampung Mandar ditopang oleh sistem kekerabatan yang kuat dan filosofi hidup yang berakar pada laut dan komunitas.
Meskipun mereka jauh dari pusat kekuasaan adat di Sulawesi, sistem keluarga besar (*Lili'na Mandar*) tetap menjadi fondasi sosial. Pimpinan keluarga besar, biasanya tetua yang paling dihormati (seringkali pensiunan *Punggawa* atau Juragan kapal), bertindak sebagai mediator konflik dan penentu kebijakan internal kampung.
Kehormatan (Siri’) adalah konsep sentral. Pelanggaran terhadap norma sosial atau kegagalan dalam memenuhi tanggung jawab profesi (misalnya, menjadi pelaut yang malas atau tidak terampil) dapat membawa malu tidak hanya pada individu tetapi pada seluruh keluarga besar. Ini mendorong setiap anggota komunitas untuk bekerja keras dan menjunjung tinggi nama baik keluarga.
Pendidikan di Mandar tidak hanya bersifat formal. Anak laki-laki dididik sejak usia dini dalam keterampilan melaut, mulai dari berenang, mengikat tali (simpul), hingga membedakan jenis kayu untuk perahu. Pendidikan ini bersifat praktis dan langsung di bawah pengawasan ayah dan paman mereka. Anak perempuan diajarkan keterampilan ekonomi pesisir, seperti mengolah ikan dan mengelola keuangan hasil tangkapan.
Pendidikan karakter Mandar menekankan kejujuran, karena di laut, kerja sama dan kepercayaan adalah kunci kelangsungan hidup. Seorang kapten harus bisa mempercayai ABK-nya, dan ABK harus yakin bahwa kapten mereka adalah navigator ulung.
Adaptasi rumah panggung Mandar di Banyuwangi juga mencerminkan interaksi material dan lingkungan lokal. Struktur rumah panggung di Mandar asli dirancang untuk tahan gempa karena Sulawesi berada di zona aktif tektonik. Meskipun Banyuwangi berbeda, prinsip fleksibilitas struktur tetap dipertahankan.
Rumah Mandar memiliki tiga bagian utama: *Kasiwatanang* (ruang tengah), *Poro* (ruang tidur), dan *Tindoro* (teras/dapur). Tiang penyangga (Patteke) tidak ditanam ke dalam tanah melainkan diletakkan di atas batu datar (*Batu Patteke*). Teknik ini memungkinkan rumah untuk bergerak sedikit saat terjadi guncangan atau gelombang pasang tanpa merusak struktur, sebuah kearifan lokal yang luar biasa.
Di Banyuwangi, karena ketersediaan Kayu Jati yang melimpah dan kuat, material tiang sering beralih ke Jati, menggantikan kayu Ulin yang sulit didapatkan. Namun, teknik persambungan sendi tanpa paku (yang memungkinkan rumah ‘bernafas’) tetap dipertahankan, memastikan sirkulasi udara yang baik, sangat penting untuk iklim tropis yang lembap di pesisir Jawa Timur.
Keberhasilan nelayan Mandar di Banyuwangi tidak lepas dari sistem bagi hasil yang telah baku dan sangat detail. Sistem ini disebut Sistem Paro atau Pabise, yang menentukan pembagian hasil tangkapan setelah dikurangi biaya operasional.
Pembagian biasanya dibagi ke dalam tiga komponen besar: kapal/peralatan, Juragan (Kapten), dan ABK.
Sistem ini sangat transparan dan didasarkan pada prinsip gotong royong dan keadilan, sebuah tradisi yang telah teruji selama berabad-abad di perantauan. Soliditas ekonomi ini menjadi kunci ketahanan Kampung Mandar menghadapi fluktuasi harga ikan dan kondisi cuaca ekstrem.
Kampung Mandar di Banyuwangi berdiri sebagai monumen hidup atas kegigihan Suku Mandar sebagai pelaut ulung dan diaspora Nusantara yang tangguh. Kehadiran mereka memperkaya peta budaya Banyuwangi, melengkapi keunikan Suku Osing dengan tradisi bahari yang mendalam.
Mereka membawa lautan dalam darah mereka, filosofi *Passompe* dalam setiap langkah, dan Sandeq dalam setiap desain perahu. Di tengah arus modernisasi dan perubahan zaman, upaya pelestarian budaya, bahasa, dan kearifan lokal mereka adalah sebuah keharusan. Kampung Mandar bukan hanya tentang masa lalu; ia adalah tentang bagaimana tradisi maritim yang kuat terus menopang kehidupan dan identitas di ujung timur Pulau Jawa.
Melalui rumah panggung yang menghadap laut, keahlian tangan yang menghasilkan perahu tercepat, dan cerita lisan yang diwariskan, Kampung Mandar memastikan bahwa kisah pelayaran dari Sulawesi ke Jawa akan terus diabadikan oleh ombak Selat Bali.