Ilustrasi yang menggambarkan perbedaan antara harapan yang terpusat pada manusia (waktu yang bergejolak) dan harapan yang stabil pada Sang Pencipta (bintang penuntun).
Dalam khazanah kebijaksanaan Islam, nama Ali bin Abi Thalib, Khalifah keempat, menantu Rasulullah SAW, dan sosok yang dikenal sebagai 'Gerbang Kota Ilmu', selalu dikaitkan dengan kedalaman pemikiran yang melampaui zamannya. Salah satu nasihatnya yang paling mendasar dan relevan sepanjang masa, yang menjadi pilar bagi ketenangan jiwa seorang mukmin, adalah: "Jangan berharap kepada manusia." Kalimat ini, singkat namun padat makna, bukanlah ajakan untuk hidup soliter atau meninggalkan interaksi sosial; sebaliknya, ia adalah seruan untuk memetakan sumber kekuatan dan ketahanan mental kita secara akurat dan benar.
Nasihat ini merupakan fondasi tauhid dalam dimensi psikologis dan emosional. Ia mengajarkan pembebasan diri dari belenggu ekspektasi yang selalu berujung pada kekecewaan. Ketika kita meletakkan harapan, bahkan dalam kadar yang kecil sekalipun, pada makhluk yang sama-sama fana, lemah, dan terikat oleh keterbatasan, kita telah menyiapkan jalan menuju rasa sakit yang tidak perlu. Manusia adalah subjek yang berubah-ubah, hari ini ia mencintai, esok ia mungkin lalai; hari ini ia berjanji, esok ia mungkin lupa atau tidak mampu menepati. Kelemahan bawaan inilah yang menjadikan manusia sebagai wadah yang rapuh untuk menampung beban harapan yang berat.
Artikel ini akan mengurai secara mendalam, dari berbagai sudut pandang—filosofis, spiritual, psikologis, dan sosiologis—mengapa nasihat Ali bin Abi Thalib ini menjadi esensial bagi pembangunan karakter yang teguh, jiwa yang mandiri, dan iman yang murni. Kita akan menelusuri bagaimana pemindahan titik fokus harapan dari yang diciptakan kepada Sang Pencipta (Allah SWT) dapat mengubah kualitas kehidupan, menghadirkan ketenangan, dan menjadikan individu kebal terhadap gejolak pengkhianatan dan ketidakpastian duniawi.
Dalam konteks nasihat ini, ‘harapan’ (Raja’) tidak semata-mata berarti keinginan. Ia adalah ketergantungan (I’timad) total, keyakinan bahwa pemenuhan kebutuhan atau penyelesaian masalah kita akan datang dari sumber tertentu. Ali (RA) mengingatkan bahwa jika kita mengandalkan manusia, kita mengandalkan sesuatu yang terputus, karena setiap manusia memiliki batas kemampuan, batas umur, dan batas niat baik. Manusia bisa saja ingin membantu, namun tangannya mungkin terikat oleh kemiskinan, penyakit, atau bahkan kematian. Hanya Dzat yang Mahakuasa, yang tidak terikat oleh waktu dan keterbatasan, yang layak menjadi tujuan tunggal dari harapan sejati.
Ketika harapan diletakkan pada manusia, itu sama saja meletakkan beban takdir pada bahu makhluk yang lemah. Beban ini terlalu berat, baik bagi yang memberi harapan maupun yang menerimanya. Seseorang yang diharapkan akan merasa tertekan, dan pada akhirnya, yang berharap akan merasa dikhianati, meskipun pengkhianatan itu mungkin berasal dari kelemahan, bukan niat jahat.
Nasihat Ali bin Abi Thalib tidak lahir dari pesimisme, melainkan dari realisme yang mendalam mengenai hakikat penciptaan. Filosofi di balik larangan ini berakar pada pemahaman akan keterbatasan (had) yang melekat pada eksistensi manusia.
Manusia adalah makhluk yang tersusun dari tiga kelemahan fundamental yang menjadikannya tidak layak dijadikan sandaran mutlak:
Pemahaman akan ketiga kelemahan ini membebaskan kita dari menyalahkan orang lain ketika bantuan tidak datang. Kita menyadari bahwa mereka adalah korban dari keterbatasan mereka sendiri, sama seperti kita. Ini bukan tentang mencari kesempurnaan pada manusia, melainkan tentang mencari sumber kesempurnaan itu sendiri.
Ketika ketergantungan menjadi kebiasaan, ia menciptakan siklus berbahaya:
Nasihat agung ini tidak diucapkan oleh seorang filsuf yang hidup dalam menara gading, melainkan oleh seorang pemimpin, pejuang, dan individu yang telah mengalami puncak kebahagiaan dan jurang pengkhianatan. Kehidupan Ali bin Abi Thalib adalah studi kasus sempurna mengenai dinamika harapan dan kekecewaan manusia.
Ali (RA) menyaksikan secara langsung kelemahan manusiawi bahkan di kalangan orang-orang yang paling dekat dengannya. Ia melihat bagaimana:
Pengalaman-pengalaman ini memperkuat keyakinannya bahwa ketenangan hanya dapat ditemukan di luar ranah interaksi manusia yang penuh gejolak. Kekecewaan datang bukan karena manusia itu jahat, tetapi karena ia lemah dan tidak konsisten. Inilah yang mendorongnya untuk menyarankan umatnya agar mencari sumber daya yang tak pernah habis, sebuah janji yang tak pernah diingkari.
Ketika Ali (RA) berkata 'jangan berharap kepada manusia', ia secara implisit memerintahkan kita untuk menerapkan konsep Tawakkul (penyerahan diri total kepada Allah) dan Istighna' (merasa cukup dan kaya di hadapan Sang Pencipta, sehingga tidak memerlukan makhluk).
Tawakkul bukanlah pasifisme. Tawakkul yang benar, sebagaimana dicontohkan oleh Ali (RA) yang merupakan pejuang tangguh, adalah melakukan segala upaya yang mungkin (kasb), namun melepaskan diri secara emosional dan mental dari hasil yang diatur oleh manusia. Hasil tersebut, baik atau buruk, harus diserahkan sepenuhnya kepada Kehendak Ilahi. Ini adalah kunci menuju ketahanan mental yang tak tertandingi.
"Kalian tidak akan pernah mendapatkan ketenangan hati kecuali jika kalian meletakkan harapan kalian pada Dzat yang tidak akan pernah mati."
Implikasi dari nasihat ini meluas pada seluruh spektrum kehidupan. Dalam bisnis, kita harus bekerja keras, tetapi tidak perlu panik jika seorang mitra membatalkan kesepakatan, karena kita yakin rezeki datang dari sumber yang lebih tinggi. Dalam hubungan, kita harus memberi cinta dan dukungan tanpa mengharapkan pengembalian yang setara, karena kita tahu penghargaan sejati hanya akan datang dari Allah SWT.
Pesan Ali (RA) adalah landasan teologis yang mendalam, bertujuan untuk membersihkan hati dari segala bentuk ketergantungan yang mengotori kemurnian tauhid. Dalam akidah Islam, hanya Allah SWT yang memiliki sifat *Qayyum* (Berdiri Sendiri, Mandiri, dan Menghidupkan segala sesuatu).
Seringkali terjadi kekeliruan dalam memahami nasihat ini. Manusia tentu saja diciptakan untuk saling membutuhkan (ta'awun). Kita butuh dokter saat sakit, guru saat belajar, dan pasangan saat menjalani hidup. Ali (RA) tidak melarang kita berinteraksi atau meminta bantuan. Yang ia larang adalah ketergantungan hati, yaitu keyakinan bahwa *hanya* melalui orang itu masalah kita terselesaikan, atau bahwa kegagalan orang itu membantu akan berarti kehancuran total bagi kita.
Perbedaan kuncinya terletak pada 'Al-Qashd' (Maksud Utama):
Ketika kita meminta bantuan kepada sesama, kita harus melakukannya dengan kesadaran penuh bahwa jika bantuan itu datang, itu adalah anugerah dari Allah yang dialirkan melalui tangan hamba-Nya. Dan jika bantuan itu ditolak atau gagal, kita tidak kecewa, karena kita tahu Dzat yang Maha Berkuasa tidak terhalang oleh kegagalan hamba-Nya.
Apabila harapan dialihkan sepenuhnya kepada Allah, dampaknya adalah munculnya sifat Qana'ah, yaitu kepuasan hati dengan apa yang telah diberikan dan ditetapkan. Individu yang memiliki Qana'ah tidak akan merasa miskin karena uluran tangan manusia ditarik, dan tidak akan merasa kaya hanya karena menerima kekayaan dari manusia. Mereka kaya karena memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan pada Pengatur alam semesta.
Qana'ah ini menghasilkan kebebasan mutlak, sebuah kemerdekaan jiwa dari perbudakan ekspektasi sosial. Orang yang bebas dari harapan manusia tidak perlu menjilat, tidak perlu takut kehilangan muka, dan tidak perlu mengorbankan prinsip hanya demi mendapatkan persetujuan atau bantuan dari orang lain. Inilah kemuliaan yang sejati.
Dari sudut pandang psikologi modern, nasihat Ali bin Abi Thalib ini adalah resep sempurna untuk kesehatan mental dan ketahanan emosional (resiliensi). Kekecewaan adalah salah satu penyebab utama stress, depresi, dan kemarahan yang tidak terkelola. Dan kekecewaan hampir selalu berbanding lurus dengan besarnya harapan yang diletakkan pada pihak yang salah.
Kekecewaan adalah reaksi emosional terhadap ketidaksesuaian antara realitas dan ekspektasi. Ketika kita berharap pada manusia, kita secara tidak sadar memproyeksikan sifat-sifat ketuhanan—kemampuan tanpa batas, konsistensi sempurna, dan keadilan mutlak—ke dalam diri manusia. Ketika manusia gagal mencapai standar ilahiah yang kita proyeksikan tersebut, kita merasa dikhianati.
Padahal, kegagalan manusia untuk memenuhi harapan kita bukanlah pengkhianatan; itu adalah realitas. Manusia hanya bisa memberi apa yang ia miliki, dan apa yang ia miliki, termasuk energi, waktu, dan sumber daya, terbatas. Dengan menginternalisasi nasihat Ali (RA), kita memotong rantai ekspektasi yang tidak realistis ini, sehingga kita tidak perlu membayar harga psikologis yang mahal.
Ketika seseorang menolak membantu kita, orang yang bergantung pada manusia akan berkata: "Mengapa dia tega?" Orang yang bersandar pada Tuhan akan berkata: "Pasti ada hikmahnya, dan Allah akan menggantinya melalui jalan lain yang lebih baik, atau ini bukan waktu yang tepat." Reaksi kedua menghasilkan kedamaian, sedangkan reaksi pertama menghasilkan dendam atau rasa sakit berkepanjangan.
Penerapan nasihat ini juga mengatur etika kita dalam meminta. Jika kita harus meminta, kita harus melakukannya dengan kerendahan hati dan kesiapan total untuk menerima penolakan tanpa rasa sakit. Ali (RA) mengajarkan bahwa jika kita meminta sesuatu kepada manusia, kita meminta dari sumber yang mungkin menolak kita, dan penolakan itu seharusnya tidak menggoyahkan kebahagiaan kita sedikit pun.
Nasihat ini juga berfungsi sebagai pencegahan terhadap rasa bangga yang berlebihan bagi yang memberi. Seseorang yang memberi harus menyadari bahwa ia hanyalah saluran, sehingga ia tidak boleh merasa superior atau menuntut balas budi. Ia memberi karena ia merasa cukup berkat harapannya pada Tuhan, dan ia membantu orang lain sebagai bentuk syukur dan ketaatan, bukan sebagai investasi sosial untuk menuntut kembali di masa depan. Ini adalah keseimbangan spiritual yang sempurna antara memberi dan menerima.
Kekuatan psikologis terletak pada kesadaran bahwa rasa aman (sekuritas) kita tidak boleh berbasis pada variabel luar (manusia lain), melainkan pada Dzat yang konstan dan tak tergoncangkan. Ini menciptakan inti pribadi yang sangat kuat, yang dikenal dalam psikologi modern sebagai pusat kendali internal yang sehat.
Ketergantungan pada manusia, terutama dalam ranah emosional, seringkali lebih merusak daripada ketergantungan materi. Seseorang yang bergantung pada pujian, pengakuan, atau persetujuan orang lain untuk merasa berharga, telah menyerahkan kunci kebahagiaannya kepada pihak luar. Ali bin Abi Thalib secara implisit mengajarkan pembebasan diri dari tirani pendapat publik.
Ketika kita meletakkan harapan bahwa pasangan, sahabat, atau atasan akan selalu memahami, mendukung, atau memenuhi kebutuhan emosional kita tanpa cela, kita sedang membebani mereka dengan tugas yang mustahil. Mereka adalah manusia, mereka memiliki hari buruk, mereka memiliki kebutuhan sendiri, dan mereka pasti akan membuat kesalahan. Dengan menyandarkan nilai diri kita pada pengakuan Ilahi (bahwa kita diciptakan berharga), kita menjadi stabil dan tidak rentan terhadap pasang surutnya penerimaan manusia. Kita mencari validasi dari Yang Maha Kekal, bukan dari yang fana.
Kemandirian emosional ini adalah fondasi dari kepribadian yang tenang. Ia membebaskan kita dari kebutuhan untuk memanipulasi atau menjadi budak keinginan orang lain. Kita berbuat baik karena itu adalah perintah Ilahi, bukan karena kita ingin mendapatkan imbalan atau balasan emosional dari manusia. Inilah yang membedakan hubungan yang sehat (berbasis kerja sama dan kasih sayang) dari hubungan yang toksik (berbasis ekspektasi dan ketergantungan).
Bagaimana praktisnya menerapkan nasihat "Jangan berharap kepada manusia" tanpa harus menjadi seorang pertapa yang antisosial?
Ali bin Abi Thalib tidak pernah menganjurkan pengasingan. Sebaliknya, ia mendorong umatnya untuk menjadi bagian aktif dalam masyarakat. Penerapan nasihat ini berfokus pada kondisi batin kita saat berinteraksi:
Melalui praktik ini, kita memastikan bahwa semua hubungan kita dibangun atas dasar cinta Ilahi dan kemuliaan, bukan atas dasar kontrak kepentingan atau ketergantungan yang rapuh.
Dalam urusan materi, nasihat ini sangat relevan. Banyak orang merasa jatuh miskin atau hancur ketika kehilangan pekerjaan, kontrak besar dibatalkan, atau investor menarik diri. Ini terjadi karena mereka menempatkan sumber rezeki pada posisi, perusahaan, atau individu tertentu.
Orang yang mengikuti ajaran Ali (RA) memahami bahwa: rezeki adalah ketetapan Ilahi (Qadar). Manusia hanyalah perantara. Jika satu pintu rezeki tertutup (misalnya, atasan memecat Anda), itu hanya berarti Allah sedang mengarahkan Anda ke pintu lain yang telah Dia siapkan. Ketenangan ini membuat seseorang cepat bangkit dari kegagalan finansial, karena keyakinannya terhadap Sumber Rezeki tidak pernah goyah.
Keyakinan ini menghasilkan tindakan proaktif—ia akan segera mencari jalan lain—bukan tindakan pasif yang menunggu orang lain menyelamatkan dirinya. Ini adalah etos kerja yang menggabungkan usaha maksimal (kerja keras) dengan penyerahan diri total (tawakkul).
Untuk memahami kedalaman nasihat ini, kita harus melihatnya melalui lensa berbagai konsep spiritual yang saling terkait, yang semuanya mengarah pada pemurnian hubungan kita dengan Sang Khaliq.
Dunia ini (dunia) secara harfiah berarti sesuatu yang dekat, sementara secara filosofis sering dipahami sebagai dunia pergerakan (Harakah) dan perubahan. Segala sesuatu di dalamnya tunduk pada hukum perubahan: cuaca, emosi, kesehatan, kekayaan, dan manusia. Jika kita menyandarkan diri pada sesuatu yang terus bergerak dan berubah, kita sendiri akan menjadi gelisah dan tidak stabil.
Ali bin Abi Thalib mengajak kita mencari Sukūn (Ketenangan/Stabilitas) yang abadi. Ketenangan hanya dapat ditemukan pada Yang Maha Kekal (Al-Baqi') yang tidak tunduk pada hukum perubahan. Ketika hati kita terpaut pada Dzat yang tetap, yang janji-Nya pasti, maka gejolak dunia, termasuk kegagalan manusia menepati janji, tidak akan mampu menggoyahkan kedamaian batin kita. Kita melihat perubahan manusiawi sebagai bagian alami dari keberadaan yang fana, bukan sebagai musibah pribadi.
Kajian mendalam ini membutuhkan penelusuran terhadap bagaimana konsep *futur* (kemalasan atau penurunan semangat) dan *ghirah* (kecemburuan) muncul ketika kita gagal menerapkan prinsip ini. Ketika kita terlalu bergantung pada motivasi atau dukungan dari manusia, ketiadaan dukungan itu akan menghasilkan *futur* dalam diri kita. Kita berhenti bergerak, menunggu dorongan eksternal. Sebaliknya, jika kita termotivasi oleh harapan akan pahala dari Allah, motivasi itu bersifat internal dan terus-menerus. Kita tidak perlu menunggu tepuk tangan dari manusia untuk meneruskan perjuangan kita. Ini adalah sumber daya spiritual yang tak terbatas.
Lebih jauh lagi, harapan yang salah tempat sering kali memicu rasa cemburu sosial atau *ghirah* yang negatif. Kita merasa iri ketika melihat keberhasilan orang lain karena kita berharap keberhasilan serupa datang kepada kita melalui perantara yang sama (misalnya, melalui koneksi atau bantuan finansial yang sama). Ketika harapan itu hanya ditujukan kepada Allah, kita melihat rezeki orang lain sebagai bagian dari keagungan takdir Ilahi, yang tidak mengurangi rezeki yang telah disiapkan untuk kita. Setiap orang memiliki porsi rezeki yang telah dijamin, dan energi untuk mendapatkan rezeki itu harus diinvestasikan pada usaha yang benar, bukan pada upaya sia-sia untuk memenangkan hati orang yang kita harapkan bantuannya.
Penerapan "Jangan berharap kepada manusia" sangat terkait dengan pengembangan sifat Sabar dan Keyakinan.
Kesabaran: Ketika manusia mengecewakan, respons yang wajar adalah amarah atau frustrasi. Namun, jika kita telah menyiapkan hati kita dengan keyakinan bahwa manusia memang lemah, maka kita akan lebih sabar menghadapi kelemahan mereka. Kita sabar terhadap kekurangan mereka, karena kita tahu mereka tidak bertanggung jawab atas takdir kita. Kesabaran ini adalah hasil logis dari Tauhid yang benar.
Keyakinan: Ini adalah level iman tertinggi, di mana hati tidak lagi ragu terhadap janji-janji Tuhan. Jika bantuan manusia gagal datang, orang dengan Yaqīn akan semakin yakin bahwa Allah akan menunjukkan jalan yang lebih luar biasa. Mereka melihat penutupan pintu manusia sebagai pengarahan Ilahi menuju pintu yang lebih lebar dan abadi.
Kontemplasi ini menuntut refleksi atas kisah-kisah para nabi dan orang-orang saleh yang diuji dengan pengkhianatan dan kegagalan manusia, namun mereka tetap teguh. Nabi Yusuf AS dihadapkan pada pengkhianatan saudara-saudaranya dan fitnah dari lingkungan istana, namun karena harapannya terikat pada Allah, ia tidak hancur. Ia hanya berkata: "Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kedukaan ini." Ini adalah cetak biru mental yang diajarkan oleh Ali (RA).
Nasihat ini juga berfungsi untuk menjaga harga diri (Izzah) dan martabat seseorang. Seseorang yang terus menerus menggantungkan harapan pada orang lain sering kali harus merendahkan diri, bahkan sampai pada titik menjilat atau mengorbankan kehormatan. Ali (RA) mengajarkan bahwa kemuliaan seorang mukmin terletak pada tidak bergantungnya ia pada makhluk.
Jika kita dapat memenuhi kebutuhan kita sendiri melalui usaha kita dan bantuan dari Allah, kita tidak perlu membiarkan orang lain mengendalikan harga diri kita. Jika kita harus meminta, kita melakukannya dengan menjaga *Izzah* kita, karena kita tahu permintaan itu hanya ditujukan pada sarana, bukan pada Sumber Sejati. Ini adalah perbedaan antara meminta dengan merendahkan diri dan meminta dengan penuh martabat.
Kemandirian sejati bukan berarti tidak menerima apa pun. Ia berarti menerima dengan hati yang bebas, tanpa ikatan utang emosional. Kita menerima kebaikan sebagai anugerah, bukan sebagai hak atau sebagai alasan untuk berutang budi yang tak terbayar.
Bayangkan Anda memiliki sebuah harta benda yang sangat berharga (misalnya, kesehatan, jabatan, atau kekayaan). Jika Anda meyakini bahwa manusia yang memberi Anda harta itu, maka ketika manusia itu mencabutnya (misalnya, atasan memecat Anda), Anda merasa telah kehilangan segalanya dan merasa marah kepada manusia itu.
Namun, jika Anda meyakini bahwa Allah adalah pemilik hakiki dan manusia hanyalah pengelola sementara yang ditunjuk-Nya untuk menyalurkan berkah itu, maka ketika manusia itu mencabutnya, Anda tahu bahwa Sang Pemilik Sejati masih memegang kunci. Anda mungkin sedih atas kehilangan sarana tersebut, tetapi Anda tidak akan pernah marah kepada manusia, dan yang terpenting, Anda tidak akan kehilangan harapan. Kehilangan hanya bersifat sementara dan di dunia ini, sementara janji Tuhan bersifat abadi. Pemahaman ini adalah pelindung spiritual yang menjaga hati tetap utuh dan stabil di tengah badai kehidupan.
Beban spiritual dari ketergantungan pada manusia juga sangat berat. Ketika kita meletakkan beban takdir kita pada bahu orang lain, kita secara tidak sadar memberinya tanggung jawab ilahiah yang ia tidak mampu pikul. Ini menciptakan hubungan yang tidak sehat, penuh tekanan, dan pada akhirnya, akan kolaps. Ali (RA) mengajak kita untuk membebaskan manusia dari beban ini dan mengembalikannya kepada Allah, Dzat yang memang layak memikul beban takdir seluruh alam semesta.
Ketika kita membebaskan diri dari harapan kepada manusia, akhlak kita menjadi lebih murni. Kita tidak lagi berbuat baik demi pengakuan, kita tidak lagi menghindari kejahatan karena takut dicela. Segala tindakan kita dimotivasi oleh ibadah. Ini menghasilkan kualitas diri yang disebut *Ikhlas* (ketulusan).
Orang yang ikhlas tidak terpengaruh oleh sanjungan maupun cemoohan. Sanjungan manusia tidak membuatnya terbang, dan celaan manusia tidak membuatnya jatuh. Stabilitas emosional ini adalah hadiah terbesar dari penerapan nasihat Ali bin Abi Thalib. Stabilitas ini memungkinkan seseorang untuk menjadi pemimpin yang adil, sahabat yang setia, dan individu yang tenang, karena motivasinya murni berasal dari dalam dan diarahkan ke atas, bukan berasal dari luar dan diarahkan horizontal pada makhluk.
Untuk mencapai kedalaman ini, diperlukan latihan spiritual yang terus-menerus (mujahadah). Latihan ini meliputi introspeksi rutin untuk memeriksa "di mana saya meletakkan harapan saya hari ini?". Apakah saya bekerja keras karena ingin dipromosikan oleh atasan (harapan pada manusia), atau karena saya ingin memenuhi tugas saya dengan sempurna sebagai bentuk ibadah (harapan pada Allah)? Apakah saya berbuat baik kepada tetangga karena saya mengharapkan pujian dari masyarakat, atau karena saya mengharapkan pahala? Pergeseran niat inilah inti dari pemurnian tauhid yang diajarkan oleh Ali (RA).
Dalam konteks modern, kita bisa melihat penerapan ini dalam dunia digital. Kita sering mencari validasi melalui jumlah 'likes' atau 'followers'. Ini adalah bentuk ketergantungan yang sangat rapuh. Ali (RA) mengingatkan kita bahwa berharap pada 'klik' atau persetujuan virtual adalah sama rapuhnya dengan berharap pada janji lisan yang mudah diingkari. Ketenangan sejati datang ketika nilai diri kita ditentukan oleh Sang Pencipta, bukan oleh algoritma atau komentar manusia.
Kualitas kesabaran yang muncul dari penyerahan diri ini juga sangat penting. Ketika kita menghadapi kegagalan bisnis atau penyakit yang tak kunjung sembuh, orang yang tidak bersandar pada Tuhan akan mencari 'siapa yang harus disalahkan', menyalahkan dirinya sendiri atau orang di sekitarnya. Orang yang bersandar pada Allah akan fokus pada 'apa yang bisa saya pelajari' dan 'bagaimana saya bisa mendekat kepada-Nya melalui ujian ini'. Mereka melihat setiap kegagalan manusia sebagai penegasan bahwa hanya Allah lah tempat kembalinya semua urusan.
Salah satu pendorong utama harapan yang salah tempat adalah *Khawf* atau ketakutan—ketakutan akan kemiskinan, ketakutan akan kesendirian, atau ketakutan akan kegagalan. Ketika kita takut kehilangan sesuatu, kita cenderung menempel pada manusia yang kita yakini dapat mencegah kehilangan tersebut.
Ali bin Abi Thalib mengajarkan bahwa ketakutan sejati hanya boleh diarahkan kepada Dzat yang memiliki kendali mutlak atas segala sesuatu. Jika kita takut kepada Allah, kita tidak perlu takut kepada makhluk. Jika kita berharap kepada Allah, kita tidak perlu menggantungkan nasib kita pada manusia.
Mengatasi ketakutan ini adalah proses pembebasan diri. Ini adalah pengakuan bahwa jika Allah telah menetapkan sesuatu untuk kita, tidak ada manusia yang dapat mengambilnya, dan jika Allah tidak menetapkannya, tidak ada manusia yang dapat memberikannya. Ketika Keyakinan (Yaqīn) mencapai level ini, ketakutan (Khawf) terhadap manusia lenyap, digantikan oleh ketenangan dan keberanian. Inilah yang memungkinkan para sahabat, termasuk Ali (RA), untuk menghadapi medan perang tanpa gentar, karena mereka tahu hidup dan mati mereka berada di tangan Yang Maha Kuasa, bukan di tangan musuh.
Penerapan nasihat ini dalam konteks modern berarti berhenti merangkai hidup kita berdasarkan apa yang dipikirkan orang lain. Ini berarti membuat keputusan penting—tentang karier, pernikahan, atau hijrah—berdasarkan bimbingan Ilahi dan upaya terbaik kita, bukan berdasarkan apa yang disukai oleh keluarga, teman, atau lingkungan sosial. Kita mencari persetujuan dari Yang Maha Melihat (Allah), yang nilainya jauh melampaui persetujuan sementara dari manusia.
Inti dari ajaran Ali bin Abi Thalib ini adalah sebuah undangan untuk mencapai puncak kemerdekaan spiritual. Mampu berinteraksi dengan dunia dan seisinya, berbuat baik, bekerjasama, mencintai dan dicintai, tanpa pernah membiarkan kondisi batin kita digantungkan pada reaksi atau tindakan makhluk lain. Inilah puncak *Zuhud* (melepaskan keterikatan duniawi) dalam arti yang paling fungsional.
Nasihat agung dari Ali bin Abi Thalib, "Jangan berharap kepada manusia," bukanlah sekadar pepatah, melainkan sebuah peta jalan menuju kebahagiaan yang tahan banting, kebebasan yang hakiki, dan pemurnian akidah. Ia adalah seruan untuk memutus ketergantungan yang menyakitkan pada yang fana dan menghubungkan hati kita pada sumber kekuatan yang tak terbatas dan abadi.
Dengan mengamalkan prinsip ini, kita tidak hanya menyelamatkan diri kita dari sakitnya kekecewaan, tetapi kita juga memuliakan orang lain dengan membebaskan mereka dari ekspektasi yang tidak adil. Kita menjadi pribadi yang memberi tanpa pamrih dan menerima dengan hati yang lapang, karena kita tahu bahwa setiap kebaikan dan setiap rezeki, pada hakikatnya, berasal dari satu Sumber yang sama, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Pelajaran terpenting dari nasihat ini adalah: Ketenangan sejati bukanlah ketiadaan masalah atau ketiadaan pengkhianatan, melainkan kehadiran Keyakinan (Yaqīn) yang teguh di tengah badai masalah. Keyakinan tersebut hanya mungkin terwujud ketika harapan kita telah ditempatkan pada Dzat yang tidak pernah mengecewakan, Dzat yang kekal abadi, Allah SWT.
Marilah kita terus berjuang untuk memurnikan harapan kita, menjadikan Allah sebagai sandaran tunggal. Dengan demikian, kita akan menemukan bahwa keterbatasan manusia tidak lagi menjadi sumber penderitaan, melainkan pengingat yang konstan akan keagungan Sang Pencipta.