Banyuwangi, sebuah kabupaten yang terletak di ujung paling timur Pulau Jawa, seringkali dikenal sebagai gerbang menuju Bali. Namun, jauh sebelum peran geografisnya sebagai penghubung, Banyuwangi menyimpan sebuah kekayaan budaya yang unik dan mendalam, yaitu Suku Osing. Suku ini bukanlah sekadar kelompok etnis lokal, melainkan penjaga terakhir dari sisa-sisa peradaban besar Kerajaan Blambangan yang pernah menguasai wilayah timur Jawa. Desa-desa adat Osing, seperti Kemiren, Bakungan, dan Olehsari, menjadi laboratorium hidup di mana tradisi, bahasa, dan filosofi leluhur tetap dijaga dengan teguh.
Osing memiliki identitas yang sangat kuat, seringkali didefinisikan berdasarkan penolakan atau pemisahan mereka dari pengaruh dominan budaya Mataram (Jawa Tengah) dan Majapahit akhir. Inilah yang membuat Osing menjadi sebuah anomali sekaligus mutiara budaya. Mereka adalah pewaris yang melestarikan tradisi Jawa Kuno dengan sedikit intervensi dari keraton-keraton pedalaman, menghasilkan dialek, seni, dan arsitektur yang khas—berbeda dari Priangan, Jawa Tengah, maupun Bali.
Mengunjungi Desa Osing berarti melakukan perjalanan mundur melintasi waktu, menyaksikan bagaimana masyarakat agraris berhasil mempertahankan pola hidup dan pandangan dunia yang diwariskan turun-temurun. Dalam setiap ukiran rumah, nada Gendhing Osing, dan ritual sakral, terkandung kisah perjuangan panjang Kerajaan Blambangan yang berabad-abad menjadi medan pertempuran antara kekuatan lokal, Mataram, VOC, dan Bali.
Representasi geografis Banyuwangi sebagai titik persilangan budaya yang unik.
Untuk memahami Suku Osing, kita harus menyelami sejarah Kerajaan Blambangan, entitas politik yang menjadi payung identitas mereka. Blambangan bukanlah sekadar wilayah pinggiran; ia merupakan kelanjutan langsung dari Majapahit timur yang menolak tunduk pada kekuasaan Islam di Jawa bagian tengah pada abad ke-16.
Setelah runtuhnya Majapahit, terjadi fragmentasi kekuasaan. Blambangan tetap mempertahankan keyakinan Hindu-Buddha yang kental dan menjadi benteng pertahanan terakhir. Istilah ‘Osing’ sendiri dipercaya berasal dari kata “sing” yang berarti ‘tidak’ atau ‘bukan’ dalam bahasa Jawa. Ada beberapa interpretasi populernya, salah satunya merujuk pada penolakan mereka untuk diakui sebagai bagian dari kerajaan tertentu: “Kami bukan [bagian dari] Mataram,” atau “Kami bukan [bagian dari] Jawa Tengah.” Ini menegaskan garis pemisah yang sengaja ditarik.
Periode paling dramatis dalam sejarah Blambangan adalah abad ke-17 dan ke-18, ketika kerajaan ini menjadi sasaran ekspansi tiga kekuatan besar: Kesultanan Mataram di barat, VOC (Belanda), dan kerajaan-kerajaan Bali di timur. Blambangan terpaksa memainkan peran diplomatik yang rumit, terkadang beraliansi dengan Bali untuk melawan Mataram, atau bersekutu dengan VOC untuk mengimbangi pengaruh Mataram.
Puncak perlawanan terjadi dalam apa yang dikenal sebagai Perang Puputan Bayu (sekitar tahun 1771-1772), di mana rakyat Blambangan berperang habis-habisan melawan VOC. Meskipun akhirnya mengalami kekalahan besar, semangat perlawanan inilah yang mengkristal menjadi etos Suku Osing: keberanian, kegigihan, dan komitmen total terhadap kemandirian budaya. Sejarah ini menjelaskan mengapa identitas Osing begitu lekat dengan konsep kebanggaan lokal (lokalitas) yang tak tergoyahkan.
Akibat kontak dengan berbagai pihak, budaya Osing menjadi sinkretis, namun dengan basis yang kuat. Pengaruh Bali terlihat dalam beberapa unsur seni dan ritual, sementara pengaruh Islam masuk perlahan namun damai, menghasilkan bentuk kesenian yang unik, seperti tarian Kuntulan atau seni Patrol. Warisan sejarah ini terus diabadikan melalui cerita rakyat dan lagu-lagu tradisional, memastikan generasi muda Osing memahami betapa mahal harga yang dibayar untuk mempertahankan identitas mereka.
Bahasa Osing, atau sering disebut Bahasa Jawa Dialek Banyuwangi, merupakan salah satu elemen terpenting yang membedakan Suku Osing dari suku Jawa lainnya. Secara linguistik, Bahasa Osing adalah dialek Jawa Timur Kuno yang mengalami evolusi terpisah, mempertahankan banyak kosakata dan struktur gramatikal yang telah hilang atau berubah dalam Bahasa Jawa Baku (Surakarta/Yogyakarta).
Berbeda dengan Bahasa Jawa standar yang menggunakan tingkatan bahasa (Krama Inggil, Madya, Ngoko), Bahasa Osing secara umum jauh lebih egaliter. Meskipun terdapat perbedaan dalam konteks kesopanan, pembagian kasta bahasa yang kaku seperti di Jawa Tengah hampir tidak ditemukan. Mayoritas percakapan menggunakan bentuk yang lebih mendekati ‘Ngoko’ atau Jawa Kuno, tetapi diucapkan dengan intonasi yang khas dan cepat.
Salah satu ciri paling mencolok adalah penggunaan konsonan yang kuat dan vokal yang jelas, terutama vokal ‘a’ di akhir kata yang diucapkan terbuka, berbeda dengan vokal ‘a’ yang cenderung dibaca ‘o’ dalam Jawa Tengah.
Beberapa kosakata kunci yang menunjukkan perbedaan signifikan:
Keunikan bahasa ini mencerminkan isolasi geografis dan resistensi budaya Blambangan. Bahasa Osing berfungsi ganda: sebagai alat komunikasi sehari-hari dan sebagai benteng pertahanan identitas. Dalam beberapa dekade terakhir, terdapat upaya intensif untuk membakukan dan mengajarkan Bahasa Osing di sekolah-sekolah lokal, memastikan kelangsungan hidupnya di tengah arus globalisasi dan dominasi bahasa nasional. Pelestarian bahasa ini dianggap setara dengan pelestarian arsitektur atau kesenian tradisi.
Bahasa Osing, pilar utama identitas, menggunakan kosa kata yang khas seperti ‘Isun’ dan ‘Riko’.
Rumah tradisional Osing bukan hanya tempat berlindung, melainkan manifestasi fisik dari kosmologi dan status sosial masyarakatnya. Arsitektur Osing sangat pragmatis, disesuaikan dengan iklim tropis yang lembap, namun juga kaya akan makna filosofis. Material utamanya didominasi oleh bahan-bahan alam yang mudah didapatkan: kayu kelapa atau kayu nangka sebagai tiang penyangga, bambu sebagai dinding (gedheg), dan ijuk atau genteng tanah liat untuk atap.
Rumah Osing memiliki beberapa tipe dasar yang dibedakan berdasarkan bentuk atap dan struktur penyangga, yang sekaligus menunjukkan status ekonomi pemiliknya.
Ini adalah tipe rumah yang paling umum dan dianggap sebagai bentuk rumah Osing murni. Nama Tikel Balung (secara harfiah: tulang yang dilipat) menggambarkan struktur atap pelana yang sederhana namun kokoh. Filosofinya mencerminkan sikap hidup Osing yang sederhana, praktis, dan dekat dengan alam. Rumah ini biasanya dibangun menghadap ke arah kiblat atau timur, sesuai dengan pandangan kosmis yang menghormati arah matahari terbit dan ketentuan ibadah.
Crocogan memiliki bentuk atap yang lebih miring dan lebih sederhana dibandingkan Tikel Balung, seringkali digunakan oleh masyarakat dengan status ekonomi yang lebih rendah atau sebagai lumbung padi.
Baresan adalah bentuk yang lebih kompleks, biasanya dengan penambahan serambi depan atau teras yang lebih luas, menunjukkan kemampuan finansial yang lebih baik atau fungsi sebagai rumah kepala desa/tetua adat.
Rumah Osing dibagi menjadi tiga zona utama yang merefleksikan konsep Tri Loka (tiga dunia) dalam kepercayaan tradisional Jawa Kuno, meskipun telah diislamisasikan.
Salah satu detail arsitektur yang menarik adalah Ceblokan, yaitu balok kayu besar yang berfungsi sebagai pondasi utama, diletakkan tanpa semen, hanya bertumpu pada batu-batu kecil. Ini melambangkan fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi suku Osing terhadap gempa bumi dan perubahan lingkungan.
Pelestarian arsitektur ini sangat penting. Di desa-desa adat seperti Kemiren, ada aturan ketat yang melarang pembangunan rumah modern di zona inti desa, memastikan bahwa warisan visual dan filosofis ini tetap utuh. Rumah Osing mengajarkan bahwa kehidupan yang baik adalah kehidupan yang selaras dengan bahan-bahan lokal dan prinsip kesederhanaan.
Kesenian adalah jantung dari identitas Osing. Dari semua bentuk seni pertunjukan yang ada, Gandrung adalah yang paling ikonik dan dikenal secara nasional, bahkan internasional. Kesenian ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai ritual sosial, media komunikasi spiritual, dan penanda sejarah perjuangan.
Gandrung secara etimologis berarti ‘terpesona’ atau ‘tergila-gila’, merujuk pada kekaguman masyarakat terhadap penari perempuan yang membawakannya. Gandrung diyakini berakar dari tradisi ritual kesuburan atau upacara adat yang sudah ada sejak era Blambangan. Beberapa sejarawan mengaitkannya dengan ungkapan syukur pasca panen atau bentuk pemujaan Dewi Sri.
Gandrung modern yang kita kenal hari ini adalah evolusi dari Gandrung Lanang (penari pria) menjadi Gandrung Marsan (penari wanita) yang populer sejak pertengahan abad ke-19. Pertunjukan Gandrung memiliki struktur yang sangat terikat dan panjang, biasanya berlangsung semalam suntuk (dari isya hingga subuh).
Kostum Gandrung sangat khas: kain penutup dada (kemben), hiasan kepala yang rumit (disebut Omprok) yang dihiasi ornamen emas dan perak, serta kipas. Musik pengiringnya, yang disebut Gamelan Osing, memiliki laras yang unik, lebih dinamis dan riang dibandingkan laras pelog atau slendro Jawa Tengah. Instrumen utamanya meliputi kendang, kempul, gong, saron, dan biola (pengaruh kolonial).
Gandrung juga merupakan simbol perlawanan. Konon, tarian ini dahulu digunakan sebagai alat sandi atau bahkan pancingan untuk mengintai musuh pada masa perang Blambangan. Dengan demikian, Gandrung adalah perpaduan sempurna antara keindahan seni, ritual sakral, dan catatan sejarah heroik.
Meskipun Gandrung adalah ikon, kekayaan seni Osing tidak berhenti di situ. Beberapa kesenian lain menunjukkan spektrum pengaruh budaya yang luas, mulai dari Hindu-Jawa hingga Islam.
Kesenian ini jelas menunjukkan akulturasi dengan budaya Islam. Kuntulan adalah tarian kelompok yang dibawakan oleh perempuan (atau laki-laki yang menyerupai perempuan di masa lalu) dengan gerakan yang menyerupai burung bangau (kuntul) atau gerakan baris-berbaris yang rapi. Iringannya didominasi oleh alat musik rebana dan vokal yang melantunkan syair-syair Islami, seringkali dimainkan saat perayaan hari besar agama.
Janger Osing berbeda dengan Janger Bali. Ia adalah teater rakyat yang menggabungkan tarian, musik, dan drama komedi. Kisah-kisah yang dibawakan biasanya tentang kehidupan sehari-hari masyarakat, kritik sosial, atau legenda lokal, menjadikannya media komunikasi dan pendidikan moral yang efektif.
Barong di Banyuwangi berbeda dengan Barong Bali atau Reog Ponorogo. Barong Osing berbentuk singa atau harimau yang besar dan berbulu, yang diyakini berfungsi sebagai penolak bala (tolak balak) dan sering diarak dalam ritual Ider Bumi. Sosok Barong Osing sangat dihormati dan dianggap memiliki kekuatan supranatural yang menjaga desa.
Gandrung, tarian sakral dan profan, adalah ikon seni Osing yang paling dikenal.
Kehidupan masyarakat Osing sangat terikat pada siklus alam dan kepercayaan tradisional. Ritual dan upacara adat bukan sekadar tontonan, melainkan inti dari upaya mereka menjaga harmoni dengan alam, leluhur, dan Tuhan. Dua ritual terbesar dan paling dikenal adalah Tumpeng Sewu dan Ider Bumi.
Ritual Tumpeng Sewu (Seribu Tumpeng) adalah perayaan tahunan yang diadakan di desa-desa adat, seperti Desa Kemiren. Ritual ini diselenggarakan pada malam satu bulan Zulhijah (Hari Raya Idul Adha) dalam kalender Islam, namun esensinya adalah ritual bersih desa dan ungkapan syukur yang berakar pada tradisi agraris Hindu-Jawa.
Tujuan utama Tumpeng Sewu adalah membersihkan desa dari mara bahaya (tolak balak) dan memohon keselamatan serta berkah panen. Yang unik adalah unsur gotong royongnya yang sangat kental. Setiap rumah tangga Osing di desa wajib membuat satu tumpeng pecel pitik. Pecel pitik adalah ayam kampung panggang yang dilumuri bumbu pecel khas Osing.
Ribuan tumpeng ini kemudian diletakkan di sepanjang jalan utama desa. Setelah doa bersama yang dipimpin oleh tetua adat (Kyai atau Pemangku Adat), masyarakat makan bersama. Ritual makan massal ini melambangkan persatuan dan kemakmuran komunal. Sambil menunggu ritual makan, biasanya ditampilkan kesenian tradisional seperti Barong Osing dan Macan-macanan.
Tumpeng Sewu adalah demonstrasi nyata bahwa Suku Osing telah berhasil mengintegrasikan kepercayaan lama (pembersihan desa, penghormatan Dewi Sri) dengan ajaran Islam, menciptakan sinkretisme yang harmonis dan otentik.
Ritual Ider Bumi (Mengelilingi Desa) adalah upacara lain yang penting, biasanya diadakan sehari setelah Tumpeng Sewu. Ritual ini bertujuan untuk memperingati pendiri desa (Dampo Awang atau Buyut Cili) dan menyucikan batas-batas desa.
Prosesi Ider Bumi melibatkan arak-arakan keliling desa yang dipimpin oleh tokoh adat, diikuti oleh Barong Osing dan seluruh masyarakat. Dalam perjalanan, mereka berhenti di beberapa titik sakral (punden) untuk melakukan doa dan menabur bunga. Ini adalah upaya simbolis untuk memastikan bahwa energi negatif tidak dapat masuk dan merusak tatanan sosial serta hasil pertanian desa.
Sebagai masyarakat agraris, Osing memiliki serangkaian ritual yang terkait erat dengan siklus tanam dan panen. Ngaruwat adalah upacara membersihkan lahan pertanian sebelum ditanami atau saat terjadi hama. Ritual ini melibatkan sesaji (sajen) tertentu dan pembacaan mantra yang ditujukan untuk roh penjaga sawah, memastikan hasil panen yang melimpah dan bebas dari penyakit. Kepercayaan ini menunjukkan hubungan spiritual yang mendalam antara Osing dengan tanah yang mereka garap.
Ritual daur hidup Osing, mulai dari kelahiran, sunatan, hingga pernikahan, juga diwarnai dengan kekhasan lokal. Pernikahan Osing, misalnya, sering melibatkan prosesi ‘Gebyog’ (pemberian seserahan berupa hasil bumi) yang menegaskan lagi akar agraris mereka. Upacara kematian juga dilakukan dengan cara yang unik, memadukan tradisi ziarah kubur (nyekar) dengan pembacaan tahlil Islami yang menggunakan irama dan nada khas Osing.
Melalui ritual-ritual ini, masyarakat Osing tidak hanya memelihara tradisi tetapi juga memperkuat ikatan komunal mereka. Kepatuhan pada adat adalah janji untuk mempertahankan identitas Blambangan yang independen.
Kehidupan sehari-hari di desa-desa Osing tradisional berpusat pada pertanian, kerajinan tangan, dan sistem kekerabatan yang kuat. Ekonomi mereka bersifat subsisten tetapi stabil, didukung oleh tanah yang subur di kaki Gunung Ijen.
Padi adalah komoditas utama, namun Osing juga dikenal mahir dalam budidaya komoditas perkebunan, terutama kopi robusta dan buah naga, yang telah menjadi komoditas ekspor penting Banyuwangi.
Pangan khas Osing sangat unik dan pedas, mencerminkan selera yang berbeda dari Jawa Barat maupun Tengah. Pecel Pitik, yang menjadi makanan wajib saat Tumpeng Sewu, adalah contoh masakan otentik. Ada juga Sego Tempong (Nasi Tempong), yang artinya ‘nasi ditampar’, merujuk pada rasa pedas yang sangat kuat sehingga membuat orang terkejut, seolah ditampar. Makanan ini adalah cerminan karakter Osing yang terbuka dan tegas.
Sistem sosial Osing didasarkan pada prinsip gotong royong dan kesetaraan (egalitarianisme lokal). Keterlibatan komunitas dalam setiap hajatan, mulai dari membangun rumah, menggarap sawah, hingga upacara pernikahan, adalah kewajiban sosial yang tak tertulis.
Konsep ‘Rukun Tetangga’ di sini sangat kuat. Tidak ada warga desa yang merasa sendiri dalam menghadapi kesulitan. Musyawarah untuk mufakat adalah cara utama menyelesaikan sengketa, dengan tetua adat atau tokoh agama (Kyai) berperan sebagai penengah utama. Keberadaan sistem ini memastikan kohesi sosial yang tinggi, yang menjadi benteng pertahanan terakhir terhadap perubahan cepat dari luar.
Masyarakat Osing masih memegang teguh pengetahuan tradisional mengenai pengobatan herbal (jamu) dan ritual penyembuhan. Para *Balian* (dukun atau penyembuh tradisional) berperan penting dalam kesehatan masyarakat, menggunakan ramuan dari tanaman lokal dan doa-doa yang diyakini memiliki kekuatan penyembuh. Pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan ini diwariskan secara lisan dan merupakan bagian integral dari kearifan lokal.
Selain itu, masyarakat Osing memiliki kearifan lokal dalam mitigasi bencana dan pelestarian lingkungan. Mereka percaya bahwa hutan dan mata air memiliki penjaga spiritual, sehingga eksploitasi alam dilakukan dengan sangat hati-hati, sebuah etos yang sangat relevan dalam menghadapi isu lingkungan modern.
Kehidupan ekonomi Osing berlandaskan pada hasil bumi dan gotong royong yang kokoh.
Pada dua dekade terakhir, Banyuwangi telah bertransformasi menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di Jawa Timur. Desa-desa Osing, terutama Kemiren, kini menjadi etalase budaya yang menarik ribuan pengunjung. Situasi ini membawa berkah sekaligus tantangan besar bagi kelangsungan budaya Osing.
Di satu sisi, pariwisata telah memberikan dampak positif yang signifikan. Pengakuan terhadap Gandrung dan ritual seperti Tumpeng Sewu telah meningkatkan kebanggaan lokal dan memberikan insentif ekonomi bagi pelestari seni. Generasi muda kini melihat seni tradisi sebagai profesi yang menjanjikan, bukan hanya warisan yang memberatkan. Dana dari turisme juga digunakan untuk merenovasi rumah adat dan menyediakan pelatihan seni.
Namun, di sisi lain, turisme membawa risiko komersialisasi dan hilangnya otentisitas. Ada kekhawatiran bahwa ritual sakral seperti Gandrung atau Ider Bumi dapat direduksi menjadi sekadar pertunjukan yang disingkat dan disesuaikan untuk jadwal turis. Otentisitas gerakan, durasi ritual, dan makna spiritual dapat terkikis demi efisiensi pertunjukan massal.
Pemerintah daerah dan tokoh adat Osing kini berupaya keras menemukan keseimbangan. Mereka menerapkan kebijakan yang membatasi modifikasi ritual dan menetapkan desa-desa tertentu sebagai ‘Desa Adat Murni’ di mana aturan pembangunan dan perilaku sosial diatur ketat untuk menjaga keaslian.
Pelestarian budaya Osing sangat bergantung pada lembaga adat yang dikenal sebagai Paguyuban Adat Osing (PAO). PAO berperan sebagai penjaga moral dan etika budaya, memastikan bahwa semua inovasi atau adaptasi dilakukan tanpa mengorbankan nilai-nilai inti.
Pendidikan formal juga menjadi garda terdepan. Kurikulum muatan lokal di Banyuwangi telah memasukkan Bahasa Osing dan sejarah Blambangan secara wajib. Anak-anak diajari Gandrung sejak usia dini, dan pelajaran tentang arsitektur tradisional diajarkan melalui praktik langsung. Upaya sistematis ini memastikan bahwa transfer pengetahuan budaya tidak hanya bergantung pada tradisi lisan yang rentan.
Selain itu, pendokumentasian. Upaya-upaya serius dilakukan untuk mendokumentasikan semua repertoar musik Gandrung, notasi Gamelan Osing, serta detail filosofis dari setiap jenis rumah dan ritual. Dokumentasi ini vital sebagai arsip budaya yang akan menjadi referensi baku di masa depan, melawan distorsi yang mungkin timbul akibat interaksi dengan dunia luar.
Filosofi hidup Osing sering diringkas dalam konsep ‘Lare Osing’ yang mencakup kepribadian, pandangan dunia, dan hubungan mereka dengan lingkungan. Istilah ini bukan sekadar merujuk pada anak-anak Osing, melainkan pada semangat yang diwariskan.
Karakter Osing sering digambarkan sebagai masyarakat yang terbuka namun sangat teguh pada prinsip. Ketegasan ini adalah warisan dari era Blambangan yang harus terus berjuang untuk eksistensi. Mereka tidak ragu menyatakan pendapat mereka (seperti dalam penggunaan bahasa 'Ngoko' yang egaliter), namun mereka juga sangat terbuka terhadap tamu (seperti ditunjukkan dalam ritual Paju Gandrung).
Salah satu filosofi terbesar Osing adalah kemampuan mereka melakukan sinkretisme tanpa kehilangan inti. Mereka berhasil mengawinkan tradisi Hindu-Jawa Kuno, nilai-nilai Islam, dan pengaruh Bali, menciptakan budaya yang sangat kaya. Misalnya, ritual Tumpeng Sewu adalah perpaduan antara syukur Islam (diadakan saat Idul Adha) dan bersih desa Jawa Kuno. Sinkretisme ini bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan adaptasi dan negosiasi yang memungkinkan mereka bertahan di tengah badai sejarah.
Penghormatan terhadap leluhur (punden) dan alam adalah inti dari kosmologi Osing. Setiap ritual, dari Tumpeng Sewu hingga Ngaruwat, selalu diawali dengan penghormatan kepada arwah pendiri desa dan permohonan izin kepada kekuatan alam. Ini menciptakan etika lingkungan yang kuat, di mana eksploitasi sumber daya harus diimbangi dengan pelestarian dan rasa hormat spiritual.
Keseluruhan filosofi ini menempatkan Osing sebagai masyarakat yang seimbang: modern dalam keterbukaan terhadap dunia luar, namun kuno dan sakral dalam menjaga akar budayanya. Inilah yang membuat desa-desa Osing bukan sekadar destinasi wisata, melainkan sumber pengetahuan hidup tentang bagaimana identitas dapat dipertahankan di tengah arus perubahan.
Perjalanan memahami Desa Osing di Banyuwangi adalah perjalanan yang kompleks, menyingkap lapisan-lapisan sejarah, bahasa, dan seni yang membentuk identitas yang teguh. Suku Osing adalah bukti hidup bahwa keberagaman budaya Indonesia tidak hanya terletak pada perbedaan geografis, tetapi juga pada detail-detail sejarah perlawanan dan adaptasi.
Dari kokohnya rumah Tikel Balung, dinamisnya irama Gamelan Osing dalam tarian Gandrung, hingga ribuan tumpeng yang berjejer dalam upacara Tumpeng Sewu, setiap elemen budaya ini menceritakan kisah Blambangan yang tak pernah sepenuhnya tunduk. Mereka memilih jalur mereka sendiri, menciptakan sebuah identitas yang ‘sing’ (bukan) Mataram, ‘sing’ (bukan) Bali, melainkan murni Osing.
Di era modern ini, ketika banyak budaya lokal mulai tergerus, Desa Osing berdiri sebagai model pelestarian yang berhasil, di mana kearifan lokal berinteraksi secara cerdas dengan tuntutan globalisasi. Mereka mengajarkan bahwa menjaga tradisi bukanlah berarti stagnan, tetapi mampu beradaptasi sambil tetap memegang erat pada akar sejarah. Osing adalah warisan abadi, penjaga sejati jati diri Nusantara di ujung timur Pulau Jawa.