Banyuwangi, yang dikenal sebagai ‘The Sunrise of Java’ (Matahari Terbitnya Jawa), bukan hanya sekadar gerbang menuju keindahan Kawah Ijen atau pelabuhan menuju Pulau Dewata. Lebih dari itu, kabupaten di ujung timur Pulau Jawa ini adalah rumah bagi peradaban unik Suku Osing, yang keberadaannya terawat rapi di desa-desa adat dan desa-desa penyangga ekowisata. Desa-desa di Banyuwangi merupakan cerminan otentik dari harmoni antara tradisi leluhur, bahasa lokal yang khas, dan upaya konservasi lingkungan yang berkelanjutan. Menjelajahi desa-desa ini adalah menyelami akar budaya Majapahit akhir yang berakulturasi dengan kearifan lokal, menghasilkan sebuah kekayaan yang tak ternilai.
Perjalanan ini akan membawa kita menelusuri lima desa kunci yang memiliki peran vital dalam lanskap sosial dan ekologi Banyuwangi. Dari pusat pelestarian tradisi Osing yang paling murni, hingga desa-desa yang menjadi garda terdepan dalam menjaga keanekaragaman hayati laut dan pegunungan, setiap sudut desa menyimpan kisah, ritual, dan filosofi hidup yang menawan.
Desa Kemiren: Jantung Budaya Suku Osing
Desa Kemiren, yang terletak di Kecamatan Glagah, adalah benteng utama pelestarian identitas Suku Osing. Osing, yang berarti 'tidak', merujuk pada keturunan rakyat Majapahit yang menolak mengikuti eksodus massal ke Bali pasca keruntuhan kerajaan. Mereka memilih bertahan dan mengembangkan kebudayaan yang unik, berbeda dari Jawa Mataram maupun Bali. Kemiren ditetapkan sebagai desa wisata budaya yang berfokus pada pengalaman otentik, bukan sekadar etalase.
Arsitektur Tradisional dan Filosofi Omah Osing
Ciri khas Kemiren terlihat jelas dari arsitektur rumah tradisionalnya yang masih dipertahankan. Rumah-rumah ini, dikenal sebagai *Omah Adat Osing*, memiliki filosofi mendalam. Ada tiga jenis utama berdasarkan konstruksinya: *Tikel Balung* (rumah dengan tiga deret tiang), *Cacagan* (dua deret tiang), dan *Croco* (yang paling sederhana). Struktur ini bukan hanya soal estetika, tetapi juga mencerminkan status sosial dan kemampuan ekonomi pemiliknya. Rumah-rumah ini dibangun menghadap selatan atau utara, menghindari arah matahari terbit dan terbenam, sesuai dengan kepercayaan lokal.
Penting untuk dicatat adalah penggunaan material alami—kayu, bambu, dan atap ijuk atau genteng tanah liat. Tata letak interiornya biasanya memisahkan ruang publik (tempat menerima tamu) dengan ruang privat, dan terdapat area khusus, seringkali di bagian belakang, yang diperuntukkan bagi aktivitas spiritual atau penyimpanan pusaka keluarga. Konsistensi dalam menjaga arsitektur ini menjadikan Kemiren sebagai museum hidup yang tak tertandingi.
Bahasa dan Kesusastraan Osing
Meskipun secara geografis berada di Pulau Jawa, Bahasa Osing memiliki kekhasan yang membedakannya dari Bahasa Jawa baku (Jawa Tengahan). Bahasa Osing memiliki intonasi yang lebih tegas dan kosakata yang lebih dekat dengan Jawa Kuno. Di Kemiren, bahasa ini menjadi bahasa ibu sehari-hari, dan upaya pelestariannya dilakukan melalui seni pertunjukan, seperti pementasan *Lagu Using* yang biasanya diiringi alat musik tradisional seperti kendang kempul dan angklung paglak.
Salah satu karya sastra lisan yang melegenda dan terus diwariskan adalah *Kidungan*. Kidungan adalah bentuk puisi atau nyanyian yang seringkali berisi nasihat, sejarah, atau doa, disampaikan dalam irama yang khas. Melalui tradisi lisan inilah, sejarah lokal, termasuk kisah Raden Mas Alit dan Blambangan, tetap hidup di ingatan kolektif masyarakat Kemiren.
Ritual Sakral: Kebo-Keboan dan Barong Ider Bumi
Kemiren adalah lokasi pelaksanaan beberapa ritual adat paling ikonik di Banyuwangi:
1. Kebo-Keboan (Kerbau-Kerbauan)
Ritual ini adalah upacara tolak bala yang diadakan setahun sekali, biasanya setelah masa panen. Kebo-keboan bertujuan memohon kesuburan tanah dan keselamatan dari hama penyakit. Peserta ritual yang dirasuki roh kerbau akan berkeliling desa, membajak sawah secara simbolis di tengah keramaian. Puncak dari ritual ini adalah suasana histeria kolektif yang dipercaya sebagai manifestasi dari kekuatan spiritual leluhur yang turun untuk memberkati desa. Ritual ini adalah perpaduan unik antara kepercayaan animisme, Hindu-Buddha, dan Islam yang terangkum dalam tradisi Osing.
2. Barong Ider Bumi
Diadakan di Desa Kemiren dan juga beberapa desa Osing lainnya, Barong Ider Bumi adalah ritual bersih desa yang dilakukan dengan mengarak barong (makhluk mitologi berwujud singa atau harimau) mengelilingi batas desa. Ritual ini dilakukan pada hari kedua Idul Fitri. Tujuannya adalah untuk membersihkan desa dari segala bentuk energi negatif dan menyeimbangkan alam semesta lokal. Prosesi ini selalu diiringi musik tradisional dan dihadiri oleh seluruh warga desa, menandakan pentingnya kebersamaan dalam menjaga keharmonisan desa.
Ekonomi Berbasis Budaya dan Komoditas Khas
Ekonomi Desa Kemiren kini bertumpu kuat pada pariwisata berbasis budaya. Namun, di luar itu, desa ini terkenal dengan produk pertanian khasnya. Salah satu yang paling terkenal adalah Kopi Osing dan Beras Merah Genjah Arum. Kopi Osing ditanam di lahan perkebunan sekitar Kemiren dengan metode tradisional, menghasilkan rasa yang pekat dan aromatik. Sementara itu, Genjah Arum adalah varietas padi lokal yang usianya pendek (*genjah*) dan menghasilkan beras merah dengan kualitas premium, menjadi bagian penting dari kuliner ritual dan sehari-hari.
Industri rumahan seperti batik Osing dengan motif Gajah Oling—motif tertua yang melambangkan kejayaan dan kemakmuran—serta kuliner khas seperti Pecel Pitik (ayam kampung panggang dengan bumbu kacang pedas yang dimasak tradisional) dan Sego Cawuk, semakin memperkaya daya tarik ekonomi Kemiren. Setiap rumah di desa ini seakan berfungsi ganda sebagai galeri mini dan warung kuliner tradisional.
Desa Tamansari: Gerbang Pegunungan Ijen dan Ekowisata Berkelanjutan
Desa Tamansari, yang terletak di kaki Pegunungan Ijen, Kecamatan Licin, adalah contoh sukses transformasi desa dari daerah penyangga tambang menjadi pusat ekowisata berbasis masyarakat. Keberadaannya sangat strategis, menjadikannya titik awal utama bagi wisatawan yang ingin mendaki Kawah Ijen untuk menyaksikan fenomena ‘api biru’ atau *blue fire* yang mendunia.
Sejarah dan Peran Penyangga Ijen
Secara tradisional, masyarakat Tamansari hidup dari pertanian kopi dan peternakan. Namun, sejak Ijen mulai ramai, desa ini menghadapi tantangan baru: bagaimana mengelola arus wisatawan sambil tetap menjaga kelestarian lingkungan dan budaya lokal. Transformasi Tamansari dimulai dengan pembentukan kelompok sadar wisata (Pokdarwis) yang fokus pada edukasi lingkungan dan pengembangan homestay, memastikan manfaat ekonomi dirasakan langsung oleh warga.
Desa ini juga menjadi saksi bisu kehidupan para penambang belerang Ijen. Meskipun penambangan belerang adalah pekerjaan yang keras dan berbahaya, profesi ini telah membentuk karakter masyarakat setempat yang dikenal gigih. Wisatawan sering diajak berinteraksi dengan penambang, mendengar kisah perjuangan mereka, sebuah pengalaman yang menawarkan perspektif kemanusiaan yang mendalam di tengah keindahan alam yang ekstrem.
Ekowisata dan Inisiatif Hijau
Tamansari telah menerima berbagai penghargaan atas komitmennya terhadap ekowisata. Mereka mengembangkan konsep ‘desa penambang kopi’ di mana setiap proses dari menanam, memanen, hingga menyeduh kopi disajikan sebagai pengalaman edukatif. Kopi Arabika dan Robusta yang tumbuh subur di ketinggian Licin memiliki kualitas yang diakui dan menjadi salah satu produk unggulan desa.
Selain kopi, Tamansari menawarkan:
- Wisata Sumber Air Panas Alami: Pemandian air panas yang bersumber dari aktivitas vulkanik Ijen, dipercaya memiliki khasiat terapeutik. Pengelolaan pemandian ini dilakukan secara tradisional dan sederhana, menjaga nuansa alaminya.
- Tracking Jalur Adat: Rute-rute pendakian alternatif yang menampilkan hutan hujan tropis, air terjun tersembunyi, dan ladang-ladang milik warga. Rute ini dikelola untuk mengurangi beban jalur utama pendakian Ijen, sekaligus memberikan mata pencaharian tambahan bagi pemandu lokal.
- Homestay Berbasis Komunitas: Hampir semua penginapan di Tamansari adalah rumah warga yang telah dimodifikasi, memungkinkan interaksi langsung antara wisatawan dan keluarga Osing. Ini adalah inti dari ekowisata Tamansari—memberi tamu rasa otentik kehidupan desa.
Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana
Berada di zona rawan bencana vulkanik, masyarakat Tamansari memiliki kearifan lokal yang kuat terkait mitigasi bencana. Mereka memiliki penanda alam dan sistem komunikasi tradisional untuk memantau aktivitas Ijen. Ritualitas dan kepercayaan terhadap penjaga gunung (seperti *Danyang*) juga berperan dalam menjaga rasa hormat terhadap alam, yang secara tidak langsung mendorong praktik-praktik konservasi berbasis spiritual.
Pendidikan lingkungan juga diintegrasikan ke dalam kurikulum lokal, memastikan generasi muda memahami pentingnya menjaga ekosistem Ijen yang rapuh. Upaya ini menunjukkan bahwa Desa Tamansari tidak hanya menjual keindahan alam, tetapi juga menjual filosofi hidup yang harmonis dengan lingkungan pegunungan yang ekstrem.
Desa Bangsring: Konservasi Laut dan Bangsring Underwater
Bergerak dari pegunungan ke pesisir, kita menemukan Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo, yang terletak di pantai utara Banyuwangi. Desa ini adalah kisah inspiratif tentang bagaimana komunitas nelayan yang semula merusak lingkungan (menggunakan bom ikan dan potasium) bertransformasi menjadi pelopor konservasi laut.
Transformasi Kelompok Nelayan (Pokmas Samudera Bakti)
Pada awal dekade ini, terumbu karang di perairan Bangsring mengalami kerusakan parah akibat praktik penangkapan ikan ilegal. Inisiatif perubahan datang dari sekelompok nelayan lokal yang membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmas) Samudera Bakti. Mereka menyadari bahwa masa depan ekonomi mereka sangat bergantung pada kesehatan ekosistem laut. Langkah pertama adalah menghentikan penangkapan ikan merusak dan fokus pada rehabilitasi terumbu karang.
Mereka memulai program transplantasi karang masif. Struktur karang buatan, seringkali dibuat dari beton yang dicetak, ditanam kembali di dasar laut. Hasilnya luar biasa: ekosistem pulih dengan cepat, menarik kembali berbagai jenis ikan dan biota laut. Bangsring Underwater (Bunder) lahir dari upaya ini, menjadi destinasi wisata bahari yang berfokus pada snorkeling, diving, dan edukasi konservasi.
Rumah Apung dan Penangkaran Hiu
Ikon utama Bangsring adalah Rumah Apung, sebuah struktur dermaga yang mengapung sekitar 20 meter dari bibir pantai. Rumah apung ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat kegiatan wisata, tetapi juga sebagai fasilitas edukasi dan konservasi.
Di bawah rumah apung, terdapat area penangkaran hiu, khususnya hiu sirip hitam (*Carcharhinus melanopterus*). Hiu-hiu ini diselamatkan dari pasar gelap atau nelayan, direhabilitasi, dan dipelihara dalam kurungan besar sebelum dilepasliarkan kembali ke perairan yang lebih luas. Program ini bertujuan menghilangkan stigma negatif terhadap hiu dan mempromosikan pariwisata hiu yang etis (menonton, bukan memancing). Kehadiran hiu dan Rumah Apung telah meningkatkan kesadaran masyarakat lokal dan nasional tentang pentingnya rantai makanan laut yang sehat.
Dampak Sosial dan Ekonomi Konservasi
Konservasi di Bangsring memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Pendapatan nelayan tidak lagi hanya bergantung pada hasil tangkapan, tetapi juga dari jasa pariwisata, mulai dari penyewaan alat snorkeling, pemandu, hingga pengelolaan homestay. Model Bangsring membuktikan bahwa ekologi dan ekonomi dapat berjalan beriringan. Desa ini telah menjadi studi kasus nasional tentang bagaimana kearifan lokal yang dipadukan dengan kesadaran lingkungan dapat menghasilkan perubahan sosial-ekonomi yang dramatis.
Salah satu kunci sukses mereka adalah regulasi adat yang ketat. Pokmas Samudera Bakti menetapkan zona tangkap yang diizinkan dan zona larangan tangkap (kawasan konservasi). Pelanggaran terhadap aturan ini dikenakan sanksi sosial atau denda adat yang tegas, menciptakan rasa kepemilikan kolektif terhadap sumber daya laut.
Desa Licin dan Jambewangi: Sentra Pertanian dan Hortikultura
Desa Licin dan Jambewangi (terletak di dataran tinggi dekat lereng Ijen) mewakili wajah agraris Banyuwangi yang makmur. Kedua desa ini dikenal dengan suhu udaranya yang sejuk dan tanah vulkanik yang sangat subur, ideal untuk komoditas yang membutuhkan iklim dingin.
Komoditas Unggulan: Hortikultura dan Rempah
Jika Tamansari berfokus pada kopi, Licin dan Jambewangi menjadi pusat produksi hortikultura unggulan. Produk andalan dari kawasan ini meliputi:
- Sayuran Dataran Tinggi: Kubis, wortel, dan kentang yang dipasok ke berbagai pasar di Jawa Timur dan Bali.
- Buah Naga (Naga Merah): Meskipun Banyuwangi dikenal luas sebagai produsen Buah Naga, banyak sentra pertanian utamanya berlokasi di desa-desa sekitar Licin dan Songgon. Masyarakat lokal mengembangkan teknik penanaman yang efisien dan ramah lingkungan.
- Cengkeh dan Vanili: Komoditas rempah ini menjadi sumber pendapatan utama bagi banyak keluarga, khususnya di area perbatasan hutan. Kualitas cengkeh dari Licin dikenal memiliki kandungan minyak atsiri yang tinggi.
Subak Abian: Sistem Irigasi Tradisional
Keberhasilan pertanian di Licin sangat bergantung pada sistem irigasi yang terorganisir dengan baik, mirip dengan sistem *Subak* di Bali, tetapi dengan penyesuaian lokal. Sistem ini, yang disebut *Subak Abian* untuk kebun atau *Subak Sawah* untuk padi, mengatur pembagian air secara adil dan merata di antara para petani. Pengelolaan air tidak hanya dilihat sebagai masalah teknis, tetapi juga spiritual, melibatkan ritual persembahan sebelum musim tanam dan panen, yang dipimpin oleh tokoh adat atau *petani sepuh*.
Sistem ini memastikan keberlanjutan sumber daya air yang berasal dari pegunungan Ijen. Musyawarah mufakat menjadi kunci dalam menyelesaikan sengketa air, memastikan bahwa kearifan lokal berfungsi sebagai perangkat hukum yang mengikat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Wisata Edukasi Pertanian
Belakangan, desa-desa ini mulai membuka diri untuk wisata edukasi, di mana pengunjung dapat belajar langsung cara menanam dan memanen. Konsep *petik sendiri* menjadi daya tarik, terutama bagi keluarga urban. Edukasi ini juga mencakup pengenalan sistem pertanian organik yang mulai diterapkan beberapa kelompok tani untuk mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia, demi menjaga kesuburan tanah vulkanik yang merupakan aset tak ternilai.
Desa Sumberagung, Pesanggaran: Batas Selatan dan Mistisisme Hutan
Desa Sumberagung, terletak di Kecamatan Pesanggaran, mewakili kawasan selatan Banyuwangi, yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi utama seperti Taman Nasional Meru Betiri dan Alas Purwo. Area ini dikenal karena keindahan pantai selatannya yang liar, pertaniannya, dan aura spiritual yang kental.
Dekatnya Alam Liar: Meru Betiri dan Alas Purwo
Keterbatasan infrastruktur di masa lalu menjadikan desa-desa selatan ini mempertahankan kealamiannya. Sumberagung menjadi salah satu pintu gerbang menuju Pantai Sukamade, tempat penyu bertelur, yang merupakan bagian dari Meru Betiri. Keterlibatan masyarakat Sumberagung dalam patroli pantai dan program penetasan penyu adalah wujud nyata konservasi berbasis masyarakat.
Masyarakat setempat hidup berdampingan dengan hutan tropis, yang menghasilkan kearifan lokal mengenai pemanfaatan hasil hutan non-kayu dan perlindungan satwa liar. Cerita-cerita tentang Macan Tutul Jawa, yang masih berkeliaran di hutan lindung, menjadi bagian dari mitologi sehari-hari, mengajarkan rasa hormat terhadap batas-batas alam.
Kepercayaan dan Ritual Pesisir
Berbeda dengan Kemiren yang kental budaya Osing non-pesisir, desa-desa di Sumberagung memiliki perpaduan budaya Jawa Pesisir, Osing Selatan, dan pengaruh Bali (akibat migrasi atau kontak historis). Ritual pesisir, seperti selamatan laut atau upacara tolak bala sebelum melaut, menjadi bagian integral dari kehidupan nelayan. Tujuan utamanya adalah memohon keselamatan dan hasil tangkapan yang melimpah.
Area ini juga dekat dengan situs-situs yang dianggap keramat, terutama di Alas Purwo. Masyarakat Sumberagung sering bertindak sebagai penjaga informal atau pemandu bagi para peziarah yang mencari ketenangan spiritual di hutan tertua di Jawa tersebut. Keseimbangan antara memanfaatkan alam untuk hidup dan menjaganya sebagai tempat suci adalah inti dari filosofi hidup mereka.
Isu Konflik dan Keberlanjutan
Sumberagung juga menjadi perhatian karena isu lingkungan terkait pertambangan di Tumpangpitu. Konflik antara kebutuhan pembangunan ekonomi (pertambangan) dan pelestarian lingkungan (keseimbangan ekosistem dan sumber air) menjadi dinamika sosial yang kompleks di desa ini. Masyarakat setempat dituntut untuk menimbang antara peluang kerja dan risiko kerusakan lingkungan jangka panjang, yang pada akhirnya memicu perdebatan tentang model pembangunan desa yang paling berkelanjutan.
Filosofi Hidup dan Struktur Sosial Desa Osing
Untuk memahami desa-desa di Banyuwangi, kita harus memahami dasar filosofi yang mengikat masyarakat Osing, yang dikenal sebagai *Lare Osing* atau Anak Osing. Filosofi ini berakar pada prinsip keterikatan kuat terhadap tanah kelahiran, penghormatan terhadap leluhur, dan egaliterisme.
Egaliterisme dan Musyawarah
Masyarakat Osing dikenal lebih egaliter dibandingkan dengan struktur sosial di Jawa bagian tengah yang mengenal tingkatan bahasa (undha-usuk). Meskipun ada tokoh adat (*Kyai* atau *Danyang*), keputusan desa sering diambil melalui musyawarah mufakat, khususnya di tingkat Rukun Tetangga (RT) atau Rukun Warga (RW). Sistem ini memastikan partisipasi aktif warga dalam setiap keputusan yang menyangkut kepentingan umum, mulai dari pengelolaan irigasi hingga perencanaan acara adat.
Prinsip Urip Bejajaran (Hidup Berdampingan)
Prinsip *Urip Bejajaran* menekankan pentingnya hidup berdampingan, baik sesama manusia maupun dengan alam. Konsep ini terlihat nyata dalam pola pemukiman tradisional Osing yang rapat dan terbuka (tanpa pagar tinggi), mencerminkan solidaritas sosial. Dalam konteks alam, *Urip Bejajaran* berarti mengambil dari alam secukupnya dan mengembalikan keseimbangannya melalui ritual dan konservasi. Masyarakat desa sangat percaya bahwa kerusakan alam akan membawa konsekuensi buruk bagi kehidupan kolektif.
Peran Perempuan dalam Perekonomian Desa
Di banyak desa Banyuwangi, terutama Kemiren dan Licin, peran perempuan sangat dominan dalam mempertahankan ekonomi rumah tangga dan budaya. Mereka adalah pewaris resep kuliner tradisional (seperti membuat Sambal Sego Tempong atau Kopi Osing), pengrajin batik, dan pengelola warung-warung kecil. Pemberdayaan perempuan melalui koperasi dan kelompok usaha mikro telah menjadi faktor kunci dalam meningkatkan kesejahteraan desa dan menjaga transmisi budaya dari generasi ke generasi.
Jejak Rasa di Setiap Desa: Kekayaan Kuliner Khas Banyuwangi
Keunikan desa di Banyuwangi tidak lengkap tanpa eksplorasi kulinernya. Makanan tradisional di sini mencerminkan perpaduan iklim, hasil bumi lokal, dan pengaruh budaya yang beragam, menghasilkan rasa yang pedas, segar, dan kaya rempah.
Sego Tempong (Nasi Tempong)
Sego Tempong, yang secara harfiah berarti "nasi tampar," adalah hidangan yang terkenal karena sambalnya yang super pedas, seolah "menampar" lidah. Makanan ini sederhana, terdiri dari nasi hangat, aneka sayuran rebus (seperti bayam, kenikir), lauk pauk (biasanya tahu, tempe, atau ikan asin), dan kunci utamanya adalah sambal mentah (sambal ulek) yang segar dan berlimpah. Di desa-desa agraris, Sego Tempong adalah menu makan siang para petani karena memberikan energi instan.
Pecel Pitik dan Ayam Kesrut
Pecel Pitik adalah hidangan ayam kampung yang dimasak dengan bumbu parutan kelapa muda, cabai, dan bumbu rempah lainnya, kemudian dipanggang atau dibakar. Hidangan ini sering disajikan dalam upacara adat di desa-desa Osing karena menggunakan ayam kampung yang dianggap lebih sakral. Sementara itu, Ayam Kesrut adalah hidangan berkuah asam pedas yang segar, menggunakan belimbing wuluh (belimbing sayur) sebagai penambah rasa asam, sangat cocok disantap di daerah pegunungan yang dingin.
Kopi Joss dan Kopi Osing
Selain produksi biji kopi di Tamansari dan Licin, budaya ngopi di desa-desa Banyuwangi sangat kuat. Di beberapa warung desa, Anda masih bisa menemukan Kopi Joss, kopi hitam yang disajikan dengan bara arang panas yang dimasukkan langsung ke dalam gelas, menghasilkan sensasi rasa yang unik dan filosofi kehangatan. Kopi Osing sendiri merujuk pada kopi yang diolah secara tradisional, seringkali disangrai dengan kayu bakar, yang memberikan aroma khas pedesaan.
Eksplorasi kuliner di desa-desa ini adalah cara terbaik untuk memahami geografi dan budaya mereka; apa yang tumbuh di tanah mereka dan bagaimana leluhur mereka mengolahnya menjadi warisan rasa yang turun-temurun.
Tantangan dan Masa Depan Desa di Banyuwangi
Meskipun desa-desa di Banyuwangi telah meraih kesuksesan dalam pariwisata dan pelestarian budaya, mereka tidak luput dari tantangan global dan lokal yang harus dihadapi untuk menjamin keberlanjutan. Memastikan bahwa desa-desa ini tetap menjadi pusat kebudayaan dan konservasi memerlukan strategi yang terencana dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat.
Tantangan Globalisasi dan Regenerasi Budaya
Globalisasi dan arus informasi yang cepat menjadi ancaman serius terhadap Bahasa Osing dan praktik ritual tradisional. Anak-anak muda desa kini lebih terpapar budaya luar, yang berpotensi menggerus minat mereka untuk mempelajari tradisi leluhur. Di Desa Kemiren, misalnya, terdapat upaya keras untuk memasukkan kurikulum Bahasa Osing dan kesenian tradisional di sekolah-sekolah, memastikan bahwa penutur asli tidak hilang di tengah modernitas. Regenerasi pelaku seni (penari Gandrung, penyanyi Osing) menjadi prioritas utama agar ritual seperti Kebo-keboan dan Barong Ider Bumi tetap memiliki penerus yang fasih dan tulus.
Keseimbangan Antara Pariwisata dan Pelestarian
Desa-desa yang sukses menjadi destinasi wisata (seperti Tamansari dan Bangsring) menghadapi masalah overtourism. Peningkatan jumlah pengunjung dapat menekan infrastruktur desa yang terbatas dan bahkan merusak situs budaya atau lingkungan yang justru menjadi daya tarik utama. Solusinya adalah menerapkan konsep pariwisata berkelanjutan yang membatasi jumlah kunjungan harian (carrying capacity), menaikkan kualitas pengalaman daripada kuantitas pengunjung, dan memastikan bahwa mayoritas pemasukan tetap berputar di tangan masyarakat desa, bukan hanya operator wisata besar dari luar.
Ketahanan Lingkungan dan Perubahan Iklim
Desa-desa agraris di Licin dan Jambewangi sangat rentan terhadap perubahan iklim, yang dapat mengubah pola tanam dan mengancam sumber air dari Ijen. Demikian pula, desa pesisir seperti Bangsring terancam oleh kenaikan permukaan laut dan pemutihan karang akibat pemanasan global. Masyarakat desa kini proaktif dalam mengadopsi pertanian berbasis iklim (climate-smart agriculture) dan memperkuat program rehabilitasi pesisir (penanaman mangrove dan karang) sebagai benteng alami terhadap dampak eksternal.
Penguatan Infrastruktur Digital dan Aksesibilitas
Meskipun pariwisata berbasis alam dan budaya perlu mempertahankan keotentikannya, desa-desa ini juga membutuhkan akses digital yang lebih baik untuk promosi, transaksi non-tunai, dan pendidikan jarak jauh. Peningkatan infrastruktur digital dapat membantu memasarkan produk lokal (Kopi Osing, Batik Osing) ke pasar yang lebih luas tanpa menghilangkan esensi kehidupan pedesaan yang damai dan tradisional.
Secara keseluruhan, desa-desa di Banyuwangi adalah permata yang menampilkan kekayaan budaya dan keindahan alam Jawa Timur. Mereka adalah benteng pertahanan terakhir bagi Suku Osing dan garda terdepan bagi upaya konservasi, membuktikan bahwa desa bukanlah sekadar wilayah geografis, melainkan pusat peradaban yang berdenyut kuat.
Kisah Desa Kemiren, yang gigih menjaga rumah adat dan ritual sakralnya; Desa Tamansari, yang berhasil menyelaraskan kopi dengan kawah belerang; Desa Bangsring, yang mengubah bom ikan menjadi terumbu karang; serta desa-desa agraris yang subur, semuanya merangkai mozaik kehidupan di Banyuwangi. Perjalanan menjelajahi desa-desa ini adalah janji untuk menemukan Indonesia yang otentik, di mana tradisi dan keberlanjutan berjalan seiring mewujudkan masa depan yang lebih baik.