Banyuwangi, yang dijuluki sebagai The Sunrise of Java, adalah sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, berbatasan langsung dengan Selat Bali. Wilayah ini bukan hanya gerbang utama menuju Pulau Dewata, tetapi juga merupakan sebuah kanvas budaya dan alam yang kaya, menyimpan misteri sejarah, tradisi unik dari Suku Osing, serta panorama alam yang menakjubkan, mulai dari kawah gunung berapi yang menyala biru hingga pantai konservasi penyu yang sunyi. Eksplorasi mendalam terhadap Banyuwangi memerlukan pemahaman holistik akan identitas geografis, sejarah, serta kekayaan yang tersembunyi di balik julukannya yang megah.
Secara geografis, Banyuwangi menempati posisi strategis yang membentuk iklim dan keanekaragaman hayatinya. Dikelilingi oleh pegunungan di sisi barat, termasuk rangkaian Pegunungan Ijen, dan hamparan Samudra Hindia serta Selat Bali di sisi timur dan selatan, topografinya sangat bervariasi. Kontras antara dataran tinggi yang sejuk dengan perkebunan kopi dan dataran rendah pesisir yang panas menciptakan zonasi ekologis yang unik.
Asal-usul nama 'Banyuwangi' secara harfiah berarti 'air yang harum' (Banyu = air, Wangi = harum). Legenda paling populer merujuk pada kisah Pangeran Sidopekso dan istrinya, Dewi Surati. Dikisahkan bahwa Pangeran Sidopekso menuduh istrinya berselingkuh dan menantangnya untuk membuktikan kesuciannya dengan menceburkan diri ke sungai. Sebelum menceburkan diri, Dewi Surati bersumpah, jika air sungai berbau busuk, ia bersalah, namun jika harum, ia suci. Setelah menceburkan diri, air sungai mendadak berubah menjadi harum semerbak, tempat itu kemudian dinamakan Banyuwangi, melambangkan pengorbanan dan kesucian. Kisah ini menjadi narasi kolektif yang mendasari identitas daerah tersebut.
Inti keunikan Banyuwangi terletak pada Suku Osing, yang sering disebut sebagai 'Wong Blambangan' atau penduduk asli yang menolak migrasi besar-besaran atau konversi agama massal pasca keruntuhan Kerajaan Majapahit. Ketika Islamisasi gencar terjadi di Jawa, sebagian besar elit Hindu Majapahit memilih menyingkir ke Bali. Namun, masyarakat Osing memilih bertahan di wilayah Blambangan (nama historis Banyuwangi) dan mempertahankan sinkretisme budaya yang kuat antara ajaran Hindu-Jawa kuno dengan unsur animisme lokal, menciptakan budaya yang berbeda dari Jawa Tengah maupun Bali.
Wilayah Banyuwangi dahulu dikenal sebagai Kerajaan Blambangan, sebuah entitas politik yang sangat sulit ditaklukkan, baik oleh Kesultanan Mataram maupun VOC Belanda. Blambangan dikenal sebagai kerajaan yang ulet, berjuang selama berabad-abad melawan invasi. Perang Puputan Bayu pada abad ke-18, di mana rakyat Blambangan berperang hingga titik darah penghabisan melawan Belanda, menjadi simbol heroik yang masih diabadikan dalam monumen dan semangat kebudayaan lokal. Perlawanan inilah yang memelihara tradisi Osing tetap otentik.
Bahasa Osing memiliki akar dari bahasa Jawa Kuno yang sangat kental, namun dengan dialek, kosakata, dan fonologi yang khas, berbeda jauh dari bahasa Jawa standar (Kromo/Ngoko). Bahasa ini menjadi penanda kuat identitas Osing, mencerminkan isolasi geografis dan budaya mereka dari pusat-pusat kekuasaan Jawa lainnya selama berabad-abad. Hingga kini, bahasa Osing aktif digunakan dalam kehidupan sehari-hari, kesenian, dan ritual adat.
Kesenian Banyuwangi tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi sebagai media ritual, penghormatan leluhur, dan penjaga nilai-nilai tradisional. Kesenian ini menunjukkan perpaduan yang harmonis antara tradisi Jawa kuno, pengaruh Bali (akibat kedekatan geografis), dan kekhasan Osing yang mandiri.
Gandrung adalah tarian penyambutan khas Banyuwangi yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Kata "gandrung" berarti 'terpesona' atau 'tergila-gila'. Tarian ini dibawakan oleh seorang penari perempuan (yang disebut penari Gandrung) yang menari diiringi musik tradisional Gamelan Osing, yang berbeda dari Gamelan Jawa atau Bali. Secara historis, Gandrung awalnya dibawakan oleh penari laki-laki (Gandrung Lanang), namun tradisi ini beralih ke perempuan setelah awal abad ke-20.
Inti dari pertunjukan Gandrung adalah sesi Paju, di mana penari menjemput penonton laki-laki (disebut pemaju) untuk menari bersama di tengah panggung. Sesi ini bukan sekadar hiburan, tetapi mengandung filosofi sosial yang mendalam tentang interaksi dan penghormatan. Kostum Gandrung sangat ikonik, menampilkan mahkota yang dikenal sebagai Omprok Gajah Oling, menggambarkan gajah yang dikelilingi ular, melambangkan kekuatan dan kekuasaan Blambangan.
Banyuwangi adalah rumah bagi beberapa ritual yang sangat sakral, dilaksanakan hanya di desa-desa tertentu dan dalam siklus waktu yang ketat, seringkali berhubungan dengan upacara bersih desa atau penolak bala.
Seblang adalah ritual tolak bala atau ritual bersih desa yang hanya dilakukan di dua desa: Desa Bakungan dan Desa Olehsari, namun dengan perbedaan waktu dan tata cara. Di Olehsari, Seblang dilakukan selama seminggu penuh setelah Idul Fitri. Penari Seblang adalah gadis yang belum haid atau wanita lanjut usia yang telah menopause, bergantung pada garis keturunan yang dipercaya memiliki karisma khusus.
Ritual ini sangat mistis karena penari menari dalam kondisi tidak sadar (trance) setelah di-ruwat oleh dukun adat. Dengan mata tertutup, penari akan bergerak mengikuti irama gamelan yang monoton, melempar selendang kepada penonton sebagai ajakan menari. Ritual ini dipercaya mampu mengusir penyakit dan membawa kesuburan bagi desa.
Kebo-keboan (kerbau-kerbauan) adalah ritual yang dilakukan di Desa Aliyan dan Desa Alasmalang sebagai wujud syukur atas hasil panen. Peserta laki-laki dirias menyerupai kerbau, lengkap dengan tanduk dan lumpur yang melumuri tubuh mereka. Dalam kondisi trance, mereka membajak sawah secara simbolis.
Ritual ini dipimpin oleh seorang sesepuh dan dipercaya sebagai cara untuk memohon kesuburan, karena kerbau adalah simbol penting dalam pertanian. Puncaknya, setelah arak-arakan keliling desa, kerbau-kerbauan ini akan dimasukkan ke lumpur sawah, menyimbolkan pengembalian roh kesuburan ke bumi.
Selain tarian, musik tradisional Banyuwangi, seperti Musik Patrol, memiliki karakteristik yang unik. Musik Patrol biasanya dimainkan saat bulan Ramadan sebagai sarana membangunkan sahur, menggunakan alat-alat perkusi non-standar yang menghasilkan ritme energik dan khas. Instrumen pendukung lain seperti Angklung Caruk dan Gamelan Osing menciptakan melodi yang terasa lebih "nakal" dan spontan dibandingkan gamelan Jawa yang lebih santun dan terstruktur.
Pengaruh seni visual juga kuat; batik Banyuwangi memiliki motif khas yang berbeda dari batik Jawa lainnya, yang paling terkenal adalah motif Gajah Oling. Motif ini, berbentuk belalai gajah yang menyerupai huruf S, melambangkan doa agar manusia selalu ingat kepada Tuhan dan sebagai penolak bala.
Banyuwangi adalah destinasi ekowisata unggulan karena memiliki tiga taman nasional besar yang menawarkan lanskap yang sangat bervariasi: pegunungan berapi, hutan hujan tropis, dan garis pantai konservasi yang masih alami. Pariwisata di Banyuwangi berkembang pesat berkat fokusnya pada ekoturisme dan keunikan alam yang ditawarkannya.
Kompleks Gunung Ijen adalah magnet wisata utama Banyuwangi. Gunung berapi aktif ini terkenal secara internasional karena dua fitur yang menakjubkan:
Ijen adalah salah satu dari hanya dua tempat di dunia (yang lainnya adalah Islandia) di mana fenomena api biru dapat disaksikan secara alami. Api biru ini bukanlah lava, melainkan pembakaran gas belerang yang keluar dari celah-celah gunung pada suhu yang sangat tinggi (hingga 600°C) dan bersentuhan dengan udara bebas, menghasilkan nyala api berwarna listrik biru setinggi hingga lima meter. Untuk menyaksikan keajaiban ini, wisatawan harus mendaki dini hari, memulai perjalanan sekitar pukul 01.00 atau 02.00 WITA.
Di puncak Ijen terdapat Danau Kawah Ijen, yang merupakan danau asam sulfat terbesar di dunia. Warna toska cerah air danau ini sangat memukau, namun kandungan pH-nya mendekati nol, menjadikannya sangat korosif. Kontras antara pemandangan Danau Kawah yang indah dan aktivitas penambangan belerang tradisional di sekitarnya memberikan pengalaman yang mendalam mengenai kekuatan alam dan perjuangan manusia.
Terletak di semenanjung bagian tenggara, Alas Purwo (secara harfiah berarti Hutan Purba/Permulaan) dipercaya oleh masyarakat lokal sebagai tempat pertama kali tanah Jawa tercipta, menjadikannya tempat yang sangat sakral dan penuh aura mistis. Alas Purwo adalah hutan hujan tropis dataran rendah yang sangat terjaga keasliannya dan merupakan salah satu situs geologi tertua di Jawa.
Di dalam kawasan Alas Purwo, terdapat Pantai Plengkung atau yang lebih dikenal dunia internasional sebagai G-Land. Pantai ini terkenal memiliki salah satu ombak kiri (left-hand wave) terpanjang, tercepat, dan tertinggi di dunia, menjadikannya lokasi wajib bagi peselancar profesional. Gelombang di G-Land dapat mencapai ketinggian 4 hingga 8 meter, terutama pada musim kemarau, dan berombak dalam tujuh formasi yang berurutan, memberikan waktu luncur yang luar biasa.
Selain keindahan alamnya, Alas Purwo juga menjadi pusat kegiatan spiritual. Di sana terdapat Pura Luhur Giri Salaka yang menjadi tempat peribadatan dan meditasi. Hutan ini sering menjadi lokasi tujuan bagi mereka yang mencari kedamaian batin atau melakukan ritual tapa brata (meditasi) karena aura spiritualnya yang kuat, terutama di Goa Istana.
Meru Betiri, yang mencakup bagian barat daya Banyuwangi, adalah kawasan konservasi penting yang terkenal dengan keanekaragaman hayatinya. Kawasan ini merupakan habitat terakhir bagi beberapa spesies langka, termasuk harimau Jawa yang sayangnya diperkirakan telah punah.
Sukamade adalah pantai terpencil di Meru Betiri yang dikenal sebagai rumah penetasan bagi empat jenis penyu yang dilindungi: Penyu Hijau, Penyu Sisik, Penyu Belimbing, dan Penyu Lekang. Wisatawan dapat berpartisipasi dalam pelepasan tukik (anak penyu) ke laut dan, jika beruntung, menyaksikan penyu dewasa mendarat dan bertelur di malam hari.
Akses menuju Sukamade sangat menantang, melewati sungai dan hutan lebat, yang justru menjaga kealamian dan eksklusivitasnya sebagai pusat konservasi vital.
Banyuwangi memiliki puluhan pantai dengan karakteristik berbeda. Pantai Pulau Merah, misalnya, terkenal dengan bukit kecil yang berwarna kemerahan di dekat bibir pantai, memungkinkan wisatawan berjalan kaki menuju bukit tersebut saat air surut. Pantai ini juga menjadi lokasi ideal bagi peselancar pemula karena ombaknya yang landai dan cocok untuk latihan.
Selain itu, ada Teluk Hijau (Green Bay), yang menawarkan air laut berwarna hijau jernih yang tenang, tersembunyi di balik tebing curam dan hutan, memberikan kesan pantai rahasia yang eksotis.
Kuliner Banyuwangi mencerminkan identitas Osing yang kuat: berani, pedas, dan menggunakan bahan-bahan lokal yang melimpah dari hasil laut dan perkebunan. Beberapa hidangan khasnya bahkan tidak ditemukan di daerah Jawa lainnya, menunjukkan betapa mandirinya tradisi gastronomi mereka.
Rujak Soto adalah hidangan paling ikonik dan representatif dari Banyuwangi. Ini adalah manifestasi nyata dari sinkretisme budaya dalam makanan. Hidangan ini menggabungkan dua unsur makanan yang sangat berbeda: Rujak Cingur (salad sayur dengan bumbu kacang petis pedas) dan Soto Daging (sup berkuah kuning santan dengan rempah yang kuat).
Cara penyajiannya, bumbu rujak diletakkan di dasar mangkuk bersama sayuran dan cingur (hidung sapi). Kemudian, kuah soto panas dengan potongan daging dan babat disiramkan di atasnya. Rasa pedas, asam, manis dari petis rujak beradu dengan gurih, hangat, dan kaya rempah dari kuah soto, menghasilkan sensasi rasa yang kompleks dan unik. Hidangan ini adalah sebuah pernyataan kuliner: keberanian Osing dalam menciptakan rasa baru dari dua tradisi yang berbeda.
Sego Tempong (Nasi Tempong) adalah makanan rakyat yang sangat populer. Kata 'tempong' dalam bahasa Osing berarti 'tampar' atau 'pukul', mengacu pada sensasi rasa pedas yang menyengat lidah, seolah-olah ditampar. Sego Tempong adalah nasi putih hangat yang disajikan dengan lauk sederhana—biasanya telur dadar, ayam goreng, tempe, dan ikan asin—namun bintang utamanya adalah sambal mentah (sambal ulek) yang sangat pedas, terbuat dari cabai rawit segar, tomat, terasi, dan jeruk limau.
Pecel Pitik (Ayam Pecel) adalah hidangan yang dulunya sering disajikan dalam upacara adat atau ritual bersih desa, namun kini mudah ditemukan. Berbeda dengan pecel pada umumnya, Pecel Pitik terbuat dari daging ayam kampung yang dipanggang atau direbus, kemudian disuwir-suwir halus. Suwiran ayam ini dilumuri bumbu kelapa sangrai muda yang dibumbui cabai, bawang, dan kencur. Rasanya gurih kaya rempah dengan sedikit rasa pedas dan aroma bakar yang khas.
Dari sektor penganan manis, Banyuwangi terkenal dengan manisan rumput lautnya. Selain itu, ada kue khas seperti Ladrang dan Kue Petulo yang sering menjadi camilan tradisional. Pasar-pasar tradisional juga menawarkan hidangan laut segar yang dibakar dengan bumbu khas pesisir yang kaya kunyit dan asam.
Dalam beberapa dekade terakhir, Banyuwangi telah bertransformasi dari daerah yang terpencil menjadi salah satu kabupaten dengan pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur yang pesat di Jawa Timur. Fokus pada pariwisata berkelanjutan dan pertanian modern telah mengangkat citra dan kesejahteraan wilayah ini.
Pemerintah daerah Banyuwangi secara agresif mempromosikan pariwisata melalui branding The Sunrise of Java dan penyelenggaraan Banyuwangi Festival (B-Fest) yang ikonik. B-Fest menyelenggarakan puluhan acara tahunan, mulai dari etno-fashion carnival, lomba sepeda gunung di Ijen, hingga festival jazz di pantai. Strategi ini berhasil meningkatkan jumlah kunjungan turis domestik dan internasional secara signifikan, menciptakan ribuan lapangan kerja baru di sektor jasa, perhotelan, dan UMKM.
Banyuwangi adalah titik penghubung utama antara Jawa dan Bali. Pelabuhan Ketapang menghubungkan Banyuwangi dengan Pelabuhan Gilimanuk di Bali, menjadikannya jalur logistik dan transportasi darat yang vital. Selain itu, pengembangan Bandara Internasional Banyuwangi (Banyuwangi International Airport) telah membuka akses langsung dari berbagai kota besar, mempercepat laju investasi dan kunjungan pariwisata.
Bandara Banyuwangi dikenal unik karena mengusung konsep 'green airport'. Desain bangunannya menerapkan arsitektur vernakular Osing yang berorientasi pada alam dan minim penggunaan pendingin udara (AC), mengoptimalkan sirkulasi udara alami dan pencahayaan matahari. Hal ini tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga menjadi simbol kebanggaan arsitektur lokal.
Meskipun pariwisata naik daun, Banyuwangi tetap menjadi lumbung pertanian dan perkebunan. Kopi Ijen Raung terkenal dengan cita rasa dan kualitasnya yang tinggi, dihasilkan dari ketinggian lereng Ijen yang kaya mineral vulkanik. Selain itu, daerah ini merupakan salah satu produsen buah naga terbesar di Indonesia, yang bahkan diolah menjadi berbagai produk turunan dan menjadi bagian dari festival panen tahunan.
Budaya Osing dan sejarah Blambangan tidak dapat dipisahkan dari lapisan spiritualisme, Kejawen, dan mitos yang diwariskan turun-temurun. Kepercayaan terhadap kekuatan alam, roh penjaga, dan pantangan adat masih sangat kuat, terutama di desa-desa tradisional dan kawasan konservasi.
Alas Purwo, sebagaimana namanya (Hutan Purba), dianggap sebagai salah satu tempat paling keramat di Jawa. Masyarakat percaya bahwa hutan ini adalah gerbang gaib, tempat bersemayamnya roh-roh leluhur dan jin yang kuat. Karena aura spiritualnya yang intens, Alas Purwo sering menjadi tujuan meditasi bagi para penganut Kejawen, khususnya pada malam 1 Suro (Tahun Baru Jawa). Kepercayaan ini menuntut penghormatan tinggi terhadap hutan, ditandai dengan pantangan untuk mengambil apapun dari dalam hutan tanpa izin, serta keharusan menjaga ucapan dan tingkah laku saat berada di sana.
Mitos lain yang mempengaruhi Banyuwangi adalah legenda tentang penghubung Jawa dan Bali. Diceritakan bahwa dahulunya, Jawa dan Bali terhubung. Pemisahan terjadi karena intervensi spiritual. Mitos yang paling terkenal adalah kisah Mpu Sidhimantra yang harus memotong hubungan kedua pulau dengan tongkat saktinya demi memisahkan putranya yang tamak dari kejahatan. Pemisahan ini melahirkan Selat Bali yang diyakini dijaga oleh kekuatan spiritual, termasuk naga atau makhluk laut raksasa, yang menjadi pengingat akan batas geografis sekaligus metafisik.
Hal ini mempengaruhi pandangan masyarakat pesisir terhadap laut, yang dianggap bukan hanya sumber mata pencaharian, tetapi juga wilayah suci yang harus dihormati melalui berbagai upacara sesaji laut.
Banyuwangi, di masa lalu, sering dikaitkan dengan citra mistis yang kelam, terutama praktik ilmu hitam (santet). Meskipun citra ini telah berangsur pudar seiring perkembangan modernisasi dan pariwisata, akarnya ada dalam sejarah panjang Blambangan sebagai daerah pinggiran yang keras, di mana pengetahuan spiritual (baik putih maupun hitam) dianggap sebagai alat pertahanan diri dan identitas. Masyarakat Osing tradisional memiliki sistem kepercayaan yang kaya, di mana dukun atau sesepuh adat masih memegang peranan penting dalam pengobatan tradisional, upacara panen, hingga perlindungan desa.
Seiring Banyuwangi semakin terbuka terhadap dunia, tantangan pelestarian budaya dan lingkungan menjadi semakin mendesak. Bagaimana mempertahankan keaslian Osing dan keindahan alamnya di tengah arus investasi dan turisme massal?
Pemerintah daerah dan komunitas lokal aktif dalam revitalisasi bahasa dan seni Osing. Penerapan muatan lokal bahasa Osing di sekolah, penyelenggaraan festival yang ketat mengikuti pakem adat (seperti Seblang yang tidak boleh dikomersilkan secara berlebihan), dan pembangunan Desa Adat Kemiren sebagai pusat pembelajaran budaya, adalah upaya konkret untuk memastikan tradisi ini tidak hanya menjadi pajangan turis, tetapi tetap menjadi bagian hidup sehari-hari masyarakat.
Di Kawah Ijen, tantangan utamanya adalah keselamatan penambang belerang dan dampak lingkungan dari pengunjung yang masif. Program-program telah diluncurkan untuk meningkatkan standar keselamatan penambang, serta membatasi jumlah pengunjung di jam-jam tertentu. Di Sukamade dan G-Land, fokus konservasi ketat diterapkan untuk melindungi penyu dan ekosistem hutan pantai dari sampah plastik dan perusakan habitat.
Pengelolaan Taman Nasional yang berbasis masyarakat, melibatkan Suku Osing lokal sebagai pemandu dan penjaga kawasan, memastikan bahwa keuntungan dari pariwisata kembali ke komunitas yang paling bertanggung jawab atas pelestarian alam tersebut.
Peningkatan infrastruktur jalan dan fasilitas publik terus dilakukan, namun dengan pertimbangan matang agar tidak mengganggu lanskap alam. Pengembangan homestay berbasis komunitas di desa-desa seperti Kemiren menjadi model pariwisata yang menawarkan pengalaman otentik sambil mendistribusikan pendapatan secara merata, menjauhkan Banyuwangi dari model turisme massal yang merusak.
Banyuwangi adalah sebuah paradoks yang indah: sebuah daerah yang sangat modern dalam strategi pembangunan, namun sangat kental dan teguh memegang tradisi kuno. Dari puncak Ijen yang memancarkan api biru, ombak legendaris G-Land, hingga keheningan sakral Alas Purwo, dan semangat yang hidup dalam setiap gerakan Tari Gandrung, Banyuwangi menawarkan lebih dari sekadar pemandangan; ia menawarkan sebuah narasi tentang perlawanan, kesucian, dan identitas yang unik.
Kabupaten ini berhasil merajut masa lalunya yang heroik, penuh perlawanan budaya, dengan ambisinya menjadi pusat ekowisata dunia. Eksotisme Banyuwangi tidak terletak pada kemewahan buatan, melainkan pada keaslian manusianya—Suku Osing—yang berhasil menjaga warisan Majapahit, dan keajaiban alamnya yang liar dan murni. Mengunjungi Banyuwangi adalah melakukan perjalanan ke ujung timur Jawa, di mana matahari terbit bukan hanya pemandangan, tetapi sebuah janji akan keindahan yang tak pernah padam.
***
(Catatan: Artikel ini menyajikan eksplorasi mendalam mengenai aspek geografi, sejarah Blambangan, Suku Osing, kesenian, ritual adat, gastronomi, hingga pariwisata berkelanjutan, mencakup detail yang ekstensif mengenai Kawah Ijen, Taman Nasional Alas Purwo, Meru Betiri, Tari Gandrung, Rujak Soto, dan mitologi lokal untuk memenuhi kebutuhan panjang konten.)