Sebuah Kajian Komprehensif tentang Pemanfaatan Waktu dan Pencarian Hakikat Pengetahuan dalam Kehidupan
Gambar: Representasi Ilmu sebagai Cahaya yang Membimbing
Frasa "Barakallah fii umrik fii ilmi" adalah doa yang mendalam, melampaui sekadar ucapan selamat. Ia merupakan permohonan agar Allah SWT melimpahkan barakah (keberkahan) dalam dua aset paling fundamental yang dimiliki manusia: usia (umrik) dan ilmu (ilmi). Doa ini mengandung harapan agar waktu yang diberikan tidak berlalu sia-sia, melainkan terisi dengan pengetahuan yang berguna dan amal shaleh yang berkelanjutan.
Konsep keberkahan dalam Islam bukanlah tentang kuantitas semata. Waktu yang berkah tidak diukur dari panjangnya jam, melainkan dari kepadatan manfaat yang dihasilkan. Demikian pula ilmu; ia tidak diukur dari tebalnya buku yang dibaca, melainkan dari sejauh mana ilmu tersebut mampu mengubah perilaku, meningkatkan ketakwaan, dan memberikan kontribusi positif bagi semesta.
Secara bahasa, barakah (بركة) berarti pertambahan, pertumbuhan, atau kebaikan yang melimpah dan menetap. Dalam konteks spiritual, keberkahan adalah karunia ilahi yang menaungi sesuatu, menjadikannya bermanfaat jauh melampaui kapasitas fisiknya. Keberkahan adalah kunci yang mengubah sesuatu yang sedikit menjadi cukup, yang fana menjadi abadi (pahala).
Keberkahan bukanlah hasil dari usaha keras semata, tetapi merupakan anugerah yang harus dicari dan dipertahankan melalui ketaatan. Ketika kita meminta Barakallah, kita sesungguhnya memohon agar Tuhan menjadikan hidup, waktu, dan pengetahuan kita sebagai sumber kebaikan yang tidak pernah habis, terus menerus mengalir kebaikan meski raga telah tiada. Ini adalah pemahaman awal yang krusial sebelum kita membedah elemen usia dan ilmu.
Usia, atau umrik, adalah modal terbesar dan paling terbatas yang dimiliki setiap insan. Setiap detik yang berlalu adalah satu helai nafas yang tidak akan pernah kembali. Keberkahan dalam usia bukan berarti hidup hingga seratus tahun, melainkan bagaimana kualitas 10, 20, atau 60 tahun tersebut diisi dengan amalan dan pembelajaran yang maksimal. Waktu adalah mata uang akhirat.
Waktu yang berkah memiliki karakteristik unik. Seseorang mungkin memiliki jam yang sama dengan orang lain (24 jam), namun ia mampu menyelesaikan pekerjaan yang jauh lebih banyak, beribadah dengan lebih khusyuk, dan berinteraksi sosial dengan lebih baik. Ini adalah tanda bahwa waktu mereka telah disirami oleh barakah.
Usia yang berkah adalah usia yang padat manfaat. Setiap aktivitas, bahkan yang mubah (diperbolehkan), diarahkan menjadi jalur ibadah. Makan menjadi ibadah ketika diniatkan untuk menguatkan fisik agar mampu beribadah. Tidur menjadi ibadah ketika diniatkan untuk memulihkan energi agar dapat bangun malam. Tanpa niat yang benar, usia hanyalah deretan angka yang menuju penghujung yang hampa.
Keberkahan usia tercermin dalam konsistensi beramal, atau istiqomah. Amalan yang sedikit namun rutin dan berkelanjutan jauh lebih disukai daripada amalan besar yang dilakukan hanya sesekali. Istiqomah menjaga api amal tetap menyala, memastikan bahwa setiap hari memberikan kontribusi positif terhadap 'tabungan' akhirat kita. Ini adalah bukti nyata dari usia yang dikelola dengan bijak dan spiritual.
Konsep usia yang berkah selalu terkait dengan kesadaran akan pertanggungjawaban. Dalam ajaran spiritualitas, manusia akan ditanyai tentang empat hal, salah satunya adalah tentang usianya, ke mana ia habiskan. Kesadaran ini memicu urgensi (kebutuhan mendesak) untuk senantiasa berbenah dan memastikan bahwa waktu yang tersisa dihabiskan untuk hal-hal yang tidak akan disesali di hari perhitungan kelak. Usia yang berkah adalah usia yang dipimpin oleh visi jangka panjang, yaitu kebahagiaan abadi.
Sebaliknya, usia yang tidak berkah, meskipun mungkin panjang, terasa cepat berlalu tanpa meninggalkan jejak kebaikan. Ini disebut sebagai al-ghurbah, keterasingan atau kehampaan. Seseorang mungkin sibuk sepanjang hari, namun ketika malam tiba, ia menyadari bahwa ia tidak menghasilkan apa pun yang mendekatkannya pada Tuhannya. Ini adalah kerugian yang paling besar, karena ia kehilangan modal abadi tanpa disadari.
Mengatasi kehampaan ini memerlukan disiplin diri yang ketat, perencanaan yang matang, dan evaluasi harian (muhasabah). Muhasabah memastikan bahwa kita selalu melakukan penyesuaian arah, memperbaiki kesalahan-kesalahan kecil sebelum ia menumpuk menjadi penyesalan yang besar. Usia yang berkah adalah hasil dari muhasabah yang intens dan berkelanjutan.
Refleksi Umrik: Apakah kita menghabiskan waktu, ataukah kita menginvestasikannya? Usia bukanlah sungai yang kita arungi, melainkan ladang yang harus kita tanam benihnya setiap hari. Hasil panennya ditentukan oleh benih ilmu dan amal yang kita tabur.
Usia yang diberkahi juga membawa ketenangan psikologis yang mendalam. Ketika seseorang yakin bahwa waktunya dihabiskan untuk hal-hal yang dicintai Tuhannya, kekhawatiran dan kecemasan duniawi cenderung berkurang. Mereka tidak lagi takut kehilangan harta atau jabatan, karena tujuan utama mereka sudah tercapai: keridaan Ilahi. Hal ini melepaskan energi yang luar biasa yang sebelumnya terikat pada stres dan ketakutan.
Manajemen waktu secara spiritual (umrik) mengajarkan kita untuk melepaskan kontrol atas hasil, dan fokus pada upaya (proses). Kita berupaya keras menanam, namun hasil panennya diserahkan sepenuhnya kepada Sang Pemberi Berkah. Paradigma ini adalah obat mujarab bagi penyakit kecemasan modern.
Elemen kedua dari doa ini adalah fii ilmi, keberkahan dalam ilmu. Ilmu adalah bekal utama yang membedakan manusia dari makhluk lain. Namun, tidak semua ilmu membawa keberkahan. Ilmu yang berkah adalah ilmu yang menjadi jembatan menuju amal, membawa manusia lebih dekat kepada penciptanya, dan memperbaiki kualitas kehidupan sekitarnya.
Ilmu yang bermanfaat (ilm an-nafi') adalah ilmu yang, ketika dipelajari, menimbulkan rasa takut (takwa) kepada Allah, mendorong kerendahan hati, dan memicu keinginan untuk beramal shaleh. Jika seseorang bertambah ilmunya namun bertambah pula kesombongannya, kefasikannya, atau jauh dari amal, maka ilmu itu mungkin baginya adalah beban, bukan berkah.
Keberkahan ilmu juga berarti bahwa ilmu tersebut 'bertahan lama' dan 'mengalir'. Ini adalah ilmu yang diajarkan, diamalkan, dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Ilmu yang hanya tersimpan di kepala tanpa dibagi atau diamalkan, cenderung hilang keberkahannya.
Ilmu tanpa amal adalah pohon tanpa buah, sedangkan amal tanpa ilmu adalah perjalanan tanpa peta. Keduanya harus menyatu. Ilmu yang berkah memastikan bahwa amal yang dilakukan benar, sah, dan diterima. Keberkahan adalah ketika kita memahami suatu konsep teoritis, dan pemahaman itu segera memicu perubahan konkret dalam perilaku dan interaksi kita sehari-hari.
Seorang pendidik atau pelajar yang ilmunya berkah akan mendapati bahwa ketika ia menyampaikan pengetahuan, ia tidak merasa kehilangan, melainkan semakin kokoh pemahamannya. Keberkahan dalam penyampaian membuat ilmu mudah diterima oleh orang lain dan mampu bertahan dalam memori. Ini mencakup etika berbagi dan niat ikhlas saat mengajarkan.
Pencarian ilmu yang berkah harus didahului oleh adab (etika). Adab kepada guru, kepada sumber pengetahuan (kitab), dan kepada diri sendiri (kesabaran dan kerendahan hati). Kerendahan hati adalah wadah bagi ilmu. Semakin rendah hati seorang penuntut ilmu, semakin banyak ilmu yang bisa ia tampung. Tanpa adab, ilmu akan menjadi pisau bermata dua yang dapat memotong pemiliknya sendiri.
Ilmu yang berkah tidak hanya berhenti pada hafalan, tetapi mencapai kedalaman pemahaman (tafaqquh). Ia menghubungkan berbagai disiplin ilmu, melihat korelasi antara sains, sosial, dan spiritualitas. Hal ini memungkinkan seseorang untuk melihat tanda-tanda kebesaran Tuhan di setiap sudut alam semesta, yang pada gilirannya meningkatkan takwa.
Ilmu yang paling berkah adalah ilmu yang menjadi sedekah jariyah. Ketika seseorang wafat, amalnya terputus kecuali tiga hal, salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat. Investasi terbesar dalam ilmu adalah memastikan bahwa ia terus memberikan manfaat bagi orang lain bahkan setelah kematian. Ini dicapai melalui penulisan, pengajaran, atau pembentukan institusi pendidikan.
Gambar: Representasi Waktu (Jam Pasir) dan Garis Kehidupan (Path)
Tingkat tertinggi dari keberkahan hidup dicapai ketika elemen usia (umrik) dan ilmu (ilmi) bersinergi secara sempurna. Usia menjadi lahan, dan ilmu menjadi benih dan airnya. Tanpa ilmu, usia hanya menghasilkan kelelahan. Tanpa usia (waktu), ilmu hanyalah teori tanpa kesempatan untuk diwujudkan.
Waktu adalah peluang yang terus menerus diberikan. Ilmu adalah peta yang menunjukkan ke mana peluang itu harus diarahkan. Seorang yang memiliki usia panjang namun tanpa ilmu yang benar akan menghabiskan waktu pada hal-hal yang keliru, menumpuk dosa alih-alih pahala. Sebaliknya, seseorang yang memiliki ilmu mendalam namun menunda amal dan menyia-nyiakan waktu, telah membuang peluang terbaiknya.
Sinergi ini mewujudkan konsep Hayatun Thayyibah (Kehidupan yang Baik). Kehidupan yang baik bukanlah kehidupan yang bebas dari masalah, melainkan kehidupan yang, meskipun penuh tantangan, selalu diisi dengan tindakan yang benar (dibimbing oleh ilmu) dalam bingkai waktu yang produktif (berkah usia).
Siklus keberkahan ilmu dan usia bergerak dalam lingkaran yang saling menguatkan:
Siklus ini harus dilakukan terus menerus. Inilah esensi dari doa agar keberkahan dalam ilmu dan usia terus meningkat hingga akhir hayat. Keberkahan bukanlah status statis, melainkan proses dinamis yang memerlukan pemeliharaan konstan.
Di era modern, tantangan terbesar bagi keberkahan usia dan ilmu adalah disrupsi informasi dan gangguan digital. Ilmu yang melimpah ruah di internet sering kali tidak disertai dengan adab dan sanad (rantai transmisi), yang dapat mengurangi keberkahannya. Sementara itu, waktu kita dirampas oleh distraksi yang terus-menerus, membuat usia terasa cepat berlalu tanpa meninggalkan jejak amal yang signifikan.
Untuk menjaga keberkahan, kita harus menjadi filter yang ketat terhadap informasi yang masuk, memilih guru yang memiliki integritas dan sanad yang jelas, serta melakukan ‘detoksifikasi digital’ secara berkala untuk merebut kembali waktu yang hilang dari layar gawai. Keberanian untuk mengatakan 'tidak' pada hal yang mubah namun menghabiskan waktu adalah kunci menjaga barakah usia.
Keberkahan usia dan ilmu bukan hanya relevan pada tingkat individu, tetapi juga pada tingkat komunitas dan kepemimpinan. Seorang pemimpin yang usianya berkah adalah pemimpin yang mampu menghasilkan dampak besar dalam waktu yang relatif singkat, membawa perubahan yang bersifat abadi (warisan kebaikan), bukan hanya pencapaian sementara. Ilmu yang dimilikinya menjadi kebijakan yang adil dan membawa maslahat bagi rakyatnya.
Jika ilmu seorang pemimpin hanya berfokus pada kekuasaan atau keuntungan pribadi, maka usianya, meskipun panjang, hanya akan menjadi bencana bagi komunitas. Sebaliknya, jika ilmunya tentang keadilan, empati, dan spiritualitas, maka setiap menit masa kepemimpinannya akan menjadi sumber keberkahan kolektif.
Ilmu yang paling mendesak untuk diberkahi adalah ilmu yang berkaitan dengan pemurnian jiwa (tazkiyatun nafs). Ilmu ini meliputi pemahaman tentang penyakit hati (seperti riya, ujub, hasad) dan cara mengobatinya. Jika ilmu formal (fikih, akidah) adalah pengetahuan tentang bagaimana beramal, maka tazkiyatun nafs adalah ilmu tentang mengapa dan dengan hati seperti apa kita harus beramal.
Tanpa keberkahan dalam ilmu jiwa, semua amal yang dilakukan dalam usia yang berkah sekalipun dapat rusak oleh niat yang tidak murni. Usia yang berkah harus diisi dengan perjuangan terus-menerus melawan ego (nafsu amarah), memastikan bahwa setiap detik dihabiskan dalam keadaan sadar dan ikhlas.
Seringkali terjadi kesalahpahaman bahwa ilmu yang berkah hanya terbatas pada ilmu agama (ulum syar'iyyah). Kenyataannya, ilmu duniawi (kedokteran, teknik, ekonomi) juga bisa menjadi sangat berkah asalkan diniatkan dan diarahkan untuk kemaslahatan umat. Ilmu kedokteran yang berkah adalah ilmu yang digunakan untuk menyembuhkan dengan empati, bukan hanya mencari keuntungan. Ilmu ekonomi yang berkah adalah ilmu yang diterapkan untuk menghapus kemiskinan dan menciptakan keadilan, bukan menumpuk kekayaan pribadi.
Keberkahan ilmu duniawi terletak pada orientasi etisnya. Ketika seorang insinyur membangun jembatan dengan standar tertinggi, menghindari korupsi, dan memastikan keselamatan publik, ilmunya telah menyentuh dimensi keberkahan. Usia yang ia habiskan untuk profesinya adalah usia yang dihitung sebagai ibadah.
Konteks integrasi ini adalah kunci untuk memahami bahwa kehidupan seorang Muslim secara keseluruhan adalah satu kesatuan ibadah, di mana waktu (umrik) dan pengetahuan (ilmi) menjadi dua sayap yang membawanya menuju Tuhan.
Keberkahan tidak tumbuh di ruang hampa. Lingkungan sosial sangat mempengaruhi kemampuan kita untuk mempertahankan usia yang berkah dan ilmu yang bermanfaat. Bergaul dengan orang-orang yang produktif, yang senantiasa menuntut ilmu, dan yang mengingatkan pada akhirat akan menjaga momentum keberkahan.
Sebaliknya, lingkungan yang penuh dengan kelalaian (ghaflah), hiburan yang berlebihan, dan pembicaraan yang sia-sia akan menyedot keberkahan waktu dan mengaburkan pandangan kita terhadap tujuan ilmu yang sebenarnya. Menciptakan 'ekosistem barakah' di rumah, tempat kerja, dan lingkaran pertemanan adalah strategi bertahan hidup spiritual di era yang serba cepat ini.
Hal ini termasuk menjaga sumber rezeki. Rezeki yang halal adalah prasyarat utama untuk keberkahan, baik dalam waktu maupun ilmu. Jika sumber pendapatan tidak murni, ia akan menjadi penghalang antara manusia dan manfaat spiritual dari waktu dan pengetahuannya.
Doa "Barakallah fii umrik fii ilmi" adalah peta jalan menuju kehidupan yang sukses di dunia dan akhirat. Ia adalah pengingat bahwa kita harus selalu memposisikan diri sebagai pelajar (penuntut ilmu) dan sebagai pengelola waktu yang cermat (menjaga umrik).
Manajemen keberkahan ini memerlukan praktik harian, yang jauh lebih penting daripada proyek tahunan. Ia adalah hasil dari kesadaran yang terus-menerus, niat yang diperbaharui setiap pagi, dan kemauan untuk menunda kenikmatan sesaat demi keuntungan abadi. Keberkahan bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba, melainkan karunia yang diperoleh melalui disiplin spiritual yang konsisten.
Sesungguhnya, harapan terbesar dari doa ini adalah bahwa ketika ajal menjemput, kita didapati dalam keadaan terbaik: usia yang telah terpakai secara maksimal, dan ilmu yang telah diamalkan serta diwariskan. Keberkahan sejati adalah kematian yang datang ketika kita sedang berada di puncak amal terbaik kita. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan Barakallah Fii Umrik Fii Ilmi kepada kita semua, menjadikan setiap detik dan setiap lembar pengetahuan kita sebagai jembatan menuju keridaan-Nya.
Konsep umrik (usia) memaksa kita menghadapi fakta eksistensial tentang keterbatasan dan kefanaan. Kita hidup di bawah bayangan dua kepastian: kelahiran dan kematian. Keberkahan usia muncul ketika kita berhasil menjadikan rentang waktu di antara keduanya sebagai proyek konstruksi spiritual yang intensif. Tanpa kesadaran akan kefanaan ini, waktu menjadi tak berharga, dan konsep barakah menjadi sekadar kata-kata manis.
Dalam pandangan filosofis spiritual, waktu bukanlah garis lurus melainkan serangkaian 'sekarang' yang harus dimanfaatkan. Orang yang usianya berkah adalah orang yang sepenuhnya hadir dalam momen sekarang, melaksanakan tugasnya dengan khusyuk dan penuh perhatian, karena ia tahu bahwa momen ini tidak akan terulang. Ini bertentangan dengan penyakit modern di mana kita hidup di masa lalu (penyesalan) atau di masa depan (kekhawatiran), sementara masa kini (peluang amal) terabaikan.
Tujuan utama dari keberkahan usia adalah menghindari datang ke hadapan Tuhan dengan 'tangan kosong'. Apa yang dibawa adalah kualitas amal yang terakumulasi. Seseorang mungkin telah menguasai banyak keterampilan duniawi (ilmu), memiliki kekayaan, dan menikmati waktu luang, tetapi jika semua itu tidak dikonversi menjadi pahala, umur panjangnya justru menjadi bumerang. Inilah yang dihindari oleh doa Barakallah fii umrik. Kita memohon agar kualitas tindakan kita melampaui kuantitas detik yang kita jalani.
Meminta keberkahan dalam ilmu (fii ilmi) berarti meminta transformasi diri melalui pengetahuan. Ilmu yang hanya dikoleksi di kepala—seperti buku yang berdebu—tidak memiliki daya ubah. Transformasi melalui ilmu terjadi dalam tiga tahap:
Keberkahan terletak pada penyatuan ketiga tahap ini. Ilmu yang berkah akan membuat hati tersentuh (afeksi), dan sentuhan itu menghasilkan tindakan nyata (konasi). Jika kita tahu tentang pentingnya shalat Dhuha (kognisi), namun tidak pernah tergerak untuk melaksanakannya (tidak ada konasi), maka keberkahan ilmu itu masih dipertanyakan.
Dalam tradisi keilmuan, keberkahan seringkali dihubungkan dengan sanad—rantai guru yang menghubungkan pelajar dengan sumber asli pengetahuan. Sanad bukan sekadar formalitas, tetapi sebuah transmisi keberkahan dan adab. Ketika ilmu diterima dari sumber yang terpercaya dan melalui saluran yang benar, ia membawa serta cahaya yang melekat pada guru-guru sebelumnya.
Hilangnya sanad dalam pembelajaran modern (terutama melalui otodidak internet tanpa bimbingan) seringkali menyebabkan ilmu menjadi kering, tanpa adab, dan mudah menyesatkan. Oleh karena itu, mencari guru yang saleh dan berilmu adalah bagian integral dari upaya mencari Barakallah fii ilmi. Guru bukan hanya penyampai materi, tetapi juga pemancar keberkahan waktu dan kedalaman pemahaman.
Gaya hidup serba cepat (fast living) adalah musuh utama barakah fii umrik. Kecepatan membuat kita kurang perhatian, terburu-buru dalam beribadah, dan gagal merenungkan makna dari tindakan kita. Keberkahan membutuhkan jeda, ketenangan (thuma'ninah), dan refleksi.
Untuk menanggulanginya, kita perlu menerapkan 'gerak lambat spiritual'. Ini bukan berarti menolak kemajuan, tetapi memastikan bahwa kecepatan aktivitas duniawi tidak mengorbankan kualitas ibadah dan refleksi kita. Misalnya, sengaja meluangkan waktu lebih lama untuk shalat (dengan thuma'ninah yang sempurna), atau meluangkan waktu khusus setiap pekan untuk membaca buku tanpa gangguan digital.
Konsep ini juga meluas ke ekonomi. Mencari barakah dalam harta berarti tidak hanya mengejar volume pendapatan, tetapi juga kualitas sumbernya dan cara penggunaannya. Harta yang berkah, meskipun sedikit, mampu memenuhi kebutuhan tanpa membawa kesulitan, dan digunakan untuk investasi akhirat (sedekah jariyah). Sebaliknya, harta yang tidak berkah, meskipun melimpah, seringkali menjadi sumber masalah, pertikaian, dan tidak pernah terasa cukup. Ilmu ekonomi yang berkah mengajarkan tentang distribusi adil dan menjauhi praktik riba, yang merupakan penghalang utama keberkahan finansial dan waktu.
Puncak dari sinergi umrik dan ilmi adalah kemampuan untuk menghasilkan amal jariyah (amal yang terus mengalir pahalanya). Amal jariyah adalah cara manusia memperpanjang usianya secara spiritual, jauh melampaui batas biologisnya. Ketika kita melakukan amal yang dampaknya berkelanjutan—membangun masjid, menulis buku bermanfaat, menanam pohon, mendidik anak-anak—kita menggunakan waktu (umrik) dan ilmu (ilmi) kita untuk meneken kontrak keberkahan jangka panjang dengan Sang Pencipta.
Setiap kali seseorang mengambil manfaat dari ilmu yang kita tinggalkan, atau dari infrastruktur yang kita bangun, atau dari anak saleh yang kita didik, seolah-olah kita mendapatkan 'waktu tambahan' yang diisi dengan amal, meskipun kita telah berada di alam barzah. Ini adalah wujud paling konkret dari jawaban atas doa Barakallah Fii Umrik Fii Ilmi—kehidupan yang terus memberikan manfaat, abadi dalam ingatan kebaikan.
Pada akhirnya, tujuan tertinggi dari usia dan ilmu yang berkah adalah mencapai husnul khatimah (akhir yang baik). Kualitas ilmu dan amal yang terakumulasi sepanjang hidup menjadi penentu bagaimana kita mengakhiri perjalanan ini. Kematian yang berkah adalah bukan sekadar kematian yang tenang, tetapi kematian yang datang setelah usia dihabiskan untuk tugas-tugas agung, dengan ilmu yang telah dipraktikkan, dan jiwa yang ikhlas. Itu adalah pemanenan keberkahan yang sesungguhnya.
Permintaan Barakallah Fii Umrik Fii Ilmi adalah deklarasi bahwa hidup ini adalah sebuah misi. Misi untuk mencari kebenaran (ilmu) dan menggunakannya secara optimal (umrik), sehingga setiap tarikan napas dan setiap ide yang muncul menjadi saksi atas kepatuhan kita kepada kebaikan yang hakiki.
Oleh karena itu, marilah kita jadikan sisa usia kita sebagai waktu yang paling berharga, dan setiap upaya pencarian ilmu sebagai bekal yang tak ternilai. Dengan demikian, kita berharap, keberkahan itu akan menyertai langkah kita hingga kita bertemu dengan Sang Khaliq.
-- Selesai --