Pedoman Lengkap Seputar Sunnah, Kewajiban, dan Tarbiyah Anak
Ilustrasi: Perlindungan dan Keberkahan dalam Kelahiran
Kelahiran seorang anak adalah peristiwa monumental, sebuah mukjizat kecil yang membawa perubahan besar dalam kehidupan pasangan suami istri. Dalam Islam, momen ini disambut dengan sukacita yang mendalam, dibarengi dengan kesadaran akan tanggung jawab besar yang menyertai anugerah tersebut. Ucapan “Barakallah atas kelahiran” atau varian lengkapnya, seperti “Barakallahu laka fil mauhubi laka, wa syakartal waahib, wa balagha asyuddahu, wa ruziqta birrahu” (Semoga Allah memberkahimu pada yang dianugerahkan kepadamu, engkau mensyukuri Sang Pemberi, ia mencapai kedewasaannya, dan engkau dianugerahi baktinya), adalah lebih dari sekadar ucapan selamat. Ia adalah doa, harapan, dan pengakuan atas kekuasaan Allah SWT.
Ucapan ini menjadi gerbang pembuka menuju serangkaian amalan sunnah dan kewajiban syariat yang harus dilaksanakan oleh orang tua, mulai dari saat pertama bayi menghirup udara dunia hingga ia dewasa dan mandiri. Kehidupan seorang anak dalam pandangan Islam adalah amanah (titipan) dari Allah yang harus dipelihara, dididik, dan dibentuk karakternya sesuai tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Artikel yang mendalam ini akan menguraikan secara rinci dan komprehensif, tahap demi tahap, segala aspek yang berkaitan dengan kelahiran anak dalam kacamata syariat Islam, memastikan bahwa setiap orang tua memahami bukan hanya apa yang harus dilakukan, tetapi juga mengapa setiap amalan tersebut memiliki hikmah dan keutamaan yang tak terhingga.
Setelah mendengar kabar gembira dan mengucapkan barakallah atas kelahiran, ada beberapa amalan yang dianjurkan segera dilakukan oleh orang tua, yang memiliki dampak spiritual dan psikologis yang besar bagi bayi dan keluarga.
Salah satu amalan pertama dan utama yang dianjurkan adalah mengumandangkan adzan di telinga kanan bayi dan iqamah di telinga kirinya. Walaupun terdapat perbedaan pandangan ulama mengenai derajat hadits yang mendukung amalan ini, kebanyakan ulama sepakat bahwa ini adalah praktik yang baik (mustahab) yang bertujuan untuk menanamkan kalimat tauhid sebagai hal pertama yang didengar oleh sang bayi.
Tahnik adalah sunnah yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW. Ini melibatkan mengoleskan sedikit kurma yang sudah dilunakkan (dikunyah) ke langit-langit mulut bayi. Jika kurma tidak tersedia, bisa diganti dengan sesuatu yang manis lainnya, seperti madu murni.
Hikmah Tahnik adalah untuk memperkuat otot-otot mulut dan tenggorokan bayi, mempersiapkannya untuk menyusu, serta memasukkan zat yang manis dan halal sebagai inisiasi nutrisi. Lebih dari itu, jika Tahnik dilakukan oleh orang saleh, ia berharap keberkahan dan doa baik dari orang tersebut tertular pada sang bayi.
Pemberian nama (Tasmiah) adalah hak dan kewajiban penting orang tua. Nama bukanlah sekadar identitas, tetapi doa dan harapan yang akan melekat pada anak sepanjang hidupnya dan bahkan di akhirat kelak.
Syariat memberikan kelonggaran waktu. Nama boleh diberikan segera pada hari pertama kelahiran, atau pada hari ketujuh, seringkali bertepatan dengan pelaksanaan Aqiqah. Pemberian nama yang baik menunjukkan penghormatan orang tua terhadap amanah yang diberikan.
Nama yang paling dicintai Allah adalah ‘Abdullah (hamba Allah) dan ‘Abdurrahman (hamba Ar-Rahman). Secara umum, nama harus memenuhi kriteria berikut:
Disunnahkan mencukur seluruh rambut bayi pada hari ketujuh. Rambut yang dicukur kemudian ditimbang, dan orang tua disunnahkan bersedekah perak atau emas seberat timbangan rambut tersebut. Amalan ini mencerminkan kepedulian sosial dan penyucian fisik bagi bayi.
Mencukur rambut ini adalah bagian dari penyucian yang bertujuan menghilangkan kotoran yang mungkin melekat sejak dalam kandungan, dan sedekah yang menyertainya menjadi penebus dosa kecil bagi orang tua sekaligus amal kebajikan yang bermanfaat bagi fakir miskin.
Puncak dari penyambutan kelahiran dan wujud syukur atas karunia Allah adalah pelaksanaan Aqiqah. Aqiqah adalah penyembelihan hewan (kambing atau domba) sebagai tebusan bagi anak yang baru lahir, dan hukumnya adalah Sunnah Muakkadah (Sunnah yang sangat ditekankan) menurut mayoritas ulama.
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anak tergadaikan dengan Aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama.” (Hadits Riwayat Tirmidzi). Frasa “tergadaikan” menunjukkan pentingnya Aqiqah. Para ulama menafsirkan bahwa keberkahan dan syafaat anak mungkin tertahan hingga Aqiqah dilaksanakan.
Standar jumlah hewan untuk Aqiqah adalah:
Namun, jika orang tua tidak mampu, satu ekor kambing untuk anak laki-laki sudah mencukupi, mengikuti pendapat sebagian ulama yang memandang kesanggupan finansial.
Hewan yang digunakan harus memenuhi syarat seperti hewan kurban, yaitu sehat, tidak cacat, dan mencapai usia minimal yang ditentukan syariat (misalnya, kambing minimal satu tahun).
Waktu pelaksanaan terbaik adalah Hari Ketujuh setelah kelahiran. Jika tidak memungkinkan pada hari ketujuh, boleh pada hari keempat belas, atau hari kedua puluh satu. Jika kemampuan finansial belum ada hingga anak dewasa, sebagian ulama membolehkan pelaksanaan Aqiqah kapan saja saat orang tua telah mampu, atau bahkan anak tersebut bisa melakukannya sendiri setelah baligh.
Daging Aqiqah berbeda dengan daging kurban dalam beberapa aspek. Sunnahnya, daging Aqiqah dimasak terlebih dahulu sebelum dibagikan. Daging tersebut dibagi menjadi tiga bagian utama:
Menyajikan Aqiqah sebagai hidangan jamuan adalah hal yang sangat dianjurkan, menunjukkan kebersamaan dan kegembiraan dalam menyambut karunia Allah. Tindakan ini merupakan perwujudan syukur yang nyata, menggabungkan ibadah penyembelihan dengan sedekah dan silaturahim.
Aqiqah bukan sekadar ritual menyembelih hewan. Di dalamnya terkandung makna filosofis yang sangat dalam, meliputi:
Setelah ucapan barakallah atas kelahiran dan pelaksanaan sunnah-sunnah awal, tugas hakiki orang tua baru dimulai: Tarbiyah (pendidikan dan pengasuhan) yang komprehensif. Tarbiyah dalam Islam adalah proses berkelanjutan yang mencakup aspek fisik, intelektual, emosional, dan spiritual.
Fondasi terpenting dalam Tarbiyah adalah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan iman. Anak adalah peniru ulung; ia akan menyerap perilaku dan nilai-nilai yang ia lihat sehari-hari dari orang tuanya.
Lingkungan yang baik mencakup membiasakan diri mendengarkan bacaan Al-Qur'an, berbicara dengan kata-kata yang baik (menghindari caci maki), serta menampakkan rasa cinta dan hormat antara ayah dan ibu. Stabilitas emosional dan spiritual orang tua secara langsung memengaruhi kondisi jiwa sang anak.
Para pendidik Muslim membagi fase pertumbuhan anak menjadi tiga tahapan penting yang memerlukan pendekatan pengasuhan yang berbeda:
Fase ini adalah masa keemasan penanaman cinta dan keamanan. Anak diperlakukan sebagai 'raja' yang kebutuhannya dipenuhi dengan kasih sayang tanpa batas. Fokus Tarbiyah di usia ini adalah:
Di fase ini, anak mulai diajak memahami kewajiban syariat. Anak diperlakukan sebagai 'tawanan' yang harus dididik dan didisiplinkan dengan tegas namun penuh hikmah. Ini adalah masa di mana orang tua mulai memerintahkan anak untuk shalat, puasa (latihan), dan mengenalkan konsep halal dan haram secara lebih mendalam.
Ketegasan pada fase ini harus dibarengi dengan penjelasan logis dan contoh nyata. Anak perlu diajarkan konsekuensi dari perbuatan mereka, dan disiplin harus bersifat mendidik, bukan merusak harga diri.
Anak memasuki fase baligh, dan perlakuan harus berubah menjadi 'sahabat' atau mitra diskusi. Perintah dan larangan keras harus diganti dengan dialog, musyawarah, dan penyampaian nasihat yang bersifat persuasif. Orang tua menjadi fasilitator dan mentor, bukan lagi komandan.
Penting bagi orang tua untuk menghargai pendapat remaja, memberikan ruang untuk bertanggung jawab atas keputusan mereka, sambil tetap membimbing mereka dalam koridor syariat. Fase ini menentukan kematangan identitas keagamaan mereka.
Tujuan utama Tarbiyah Islami adalah membentuk insan yang memiliki Adab yang mulia (akhlakul karimah). Pendidikan Adab lebih diutamakan daripada sekadar kecerdasan akademis.
Pendidikan Adab ini diajarkan melalui keteladanan (uswah hasanah). Jika orang tua menuntut kejujuran tetapi sering berbohong, pesan Tarbiyah akan gagal total. Keteladanan adalah pilar utama yang tidak bisa digantikan oleh teori manapun.
Tantangan besar dalam Tarbiyah modern adalah bagaimana mengelola perbedaan pandangan antara ayah dan ibu, atau antara keluarga besar dan keluarga inti. Penting untuk disepakati bahwa di hadapan anak, orang tua harus menunjukkan kesatuan sikap. Jika ada perbedaan pandangan mengenai disiplin, diskusikan di luar kehadiran anak. Anak yang melihat orang tuanya tidak konsisten akan merasa bingung dan mungkin memanfaatkan celah tersebut.
Setelah mengucapkan barakallah atas kelahiran, orang tua menyadari bahwa upaya manusiawi dalam mendidik tidak akan sempurna tanpa pertolongan Allah. Doa adalah senjata utama orang tua, sebuah ibadah yang tiada batas waktunya.
Para Sahabat dan ulama salaf memiliki kebiasaan mendoakan bayi yang baru lahir, memohon perlindungan dan keberkahan untuk masa depannya. Beberapa doa yang dianjurkan meliputi:
Mengikuti sunnah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW, orang tua hendaknya mendoakan anak agar terlindungi dari godaan syaitan. Doa yang masyhur adalah doa perlindungan yang dibacakan Nabi Ibrahim untuk kedua putranya, Ismail dan Ishaq:
أُعِيْذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ
(U’iidzuka bi kalimaatillaahit taammati min kulli syaithaanin wa haammatin, wa min kulli ‘ainin laammatin.)
Artinya: “Aku melindungimu dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari setiap setan dan binatang berbisa, dan dari setiap mata jahat yang berbahaya.”
Doa ini tidak hanya relevan untuk orang tua baru tetapi juga untuk anak-anak mereka kelak. Doa yang sering diulang dari Al-Qur'an adalah:
Doa Nabi Zakariya: “Rabbî hab lî min ladunka dzurriyyatan thayyibah, innaka samî’ud du’â’.” (Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.)
Orang tua harus senantiasa mendoakan agar anak istiqamah dalam shalat dan ibadah lainnya. Doa ini penting untuk ditanamkan sejak dini:
“Rabbij’alni muqîmush-shalâti wa min dzurriyyatî rabbanâ wa taqabbal du’â’.” (Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.)
Meskipun doa bisa dipanjatkan kapan saja, doa orang tua untuk anaknya memiliki keutamaan khusus dan diyakini termasuk doa yang mustajab (dikabulkan). Waktu-waktu utama untuk menguatkan doa ini meliputi:
Seiring perkembangan zaman dan teknologi kedokteran, muncul beberapa isu fiqih baru terkait kelahiran yang perlu dipahami oleh umat Muslim yang baru mengucapkan barakallah atas kelahiran.
Semua sunnah dan kewajiban Aqiqah tetap berlaku bagi anak yang lahir prematur atau yang memiliki kondisi kesehatan khusus. Namun, pelaksanaan sunnah-sunnah seperti Tahnik mungkin ditunda atau disesuaikan berdasarkan anjuran medis. Jika bayi meninggal segera setelah lahir, beberapa ulama tetap menganjurkan pelaksanaan Aqiqah sebagai pemenuhan hak bayi tersebut di dunia, meskipun hal ini menjadi khilafiyah (perbedaan pendapat) yang tidak wajib.
Dalam kasus anak yang lahir melalui teknologi reproduksi berbantuan (seperti IVF atau bayi tabung), yang paling penting adalah memastikan kejelasan nasab. Syariat Islam sangat ketat menjaga garis keturunan (nasab) agar tidak tercampur. Oleh karena itu, teknologi tersebut hanya diperbolehkan jika menggunakan benih (sperma dan ovum) dari pasangan suami istri yang sah, dan tidak melibatkan donor pihak ketiga.
Jika nasabnya sah (dari pasangan suami istri), maka status anak tersebut sama seperti anak yang lahir secara alami, dan semua kewajiban Tarbiyah, nafkah, dan sunnah Aqiqah berlaku penuh.
Kewajiban Tarbiyah dan nafkah tetap melekat pada orang tua kandung. Jika anak yatim, wali atau kerabat terdekat mengambil alih kewajiban ini. Mengenai anak angkat, sangat penting untuk memahami bahwa dalam Islam, anak angkat tidak menghapus nasab asli. Anak angkat tetap dinasabkan kepada orang tua biologisnya. Oleh karena itu:
Walaupun demikian, merawat dan mendidik anak angkat (terutama anak yatim) adalah amal jariyah yang sangat mulia, sebuah puncak kebaikan setelah mengucapkan barakallah atas kelahiran kepada kerabat yang dikaruniai anak.
Kekhawatiran finansial seringkali menyertai kelahiran anak. Islam mengajarkan bahwa setiap jiwa yang dilahirkan telah dijamin rezekinya oleh Allah SWT. Keyakinan (tauhid) ini harus menjadi pilar ketenangan orang tua.
Al-Qur’an mengingatkan bahwa Allah yang memberi rezeki kepada orang tua dan anak. Rasa takut akan kemiskinan tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan hak anak atau bahkan, nauzubillah, menolaknya. Justru, kehadiran anak seringkali membuka pintu rezeki baru bagi keluarga.
Rezeki bukan hanya materi. Keberkahan adalah rezeki yang lebih utama. Anak yang saleh, rumah tangga yang harmonis, kesehatan, dan waktu luang untuk beribadah adalah bentuk rezeki yang sering diabaikan. Ketika orang tua menjalankan Tarbiyah sesuai sunnah dan mengucapkan doa barakallah, mereka sedang mengundang keberkahan rezeki dalam segala bentuk.
Kewajiban memberi nafkah yang layak adalah hak anak. Nafkah meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, dan pendidikan. Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan penuh kesadaran bahwa ia adalah bentuk ibadah.
Orang tua dianjurkan mencari rezeki secara halal dan terbaik, karena makanan yang masuk ke mulut anak akan membentuk jasad dan karakternya. Harta yang haram, meskipun banyak, cenderung menghilangkan keberkahan dan dapat memengaruhi akhlak anak di masa depan.
Harta yang paling berharga yang bisa diwariskan kepada anak bukanlah kekayaan materi, melainkan ilmu agama (ilmu nafi’) dan keimanan yang kokoh. Jika anak dibekali iman dan adab yang baik, mereka akan mampu mencari dan mengelola rezeki mereka sendiri, dan yang terpenting, mereka akan menjadi sumber amal jariyah bagi orang tua setelah meninggal dunia.
Tanggung jawab Tarbiyah tidak boleh dibebankan hanya pada satu pihak. Dibutuhkan sinergi sempurna antara Ayah (Qawwam) dan Ibu (Madrasah Pertama) untuk memastikan pertumbuhan anak yang seimbang.
Ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anak. Selama masa menyusui dan balita, interaksi ibu adalah kunci. Ibu bertanggung jawab utama dalam menanamkan kasih sayang, mengajarkan kebersihan, dan menanamkan dasar-dasar keimanan yang lembut melalui cerita dan lagu-lagu Islami.
Kelembutan, kesabaran, dan konsistensi ibu dalam merawat adalah fondasi yang membentuk karakter dasar anak. Jika ibu tenang dan dekat dengan agama, anak akan tumbuh dengan kedamaian batin.
Ayah adalah pemimpin dan pemberi contoh utama. Peran ayah tidak hanya mencari nafkah, tetapi juga bertanggung jawab atas:
Ucapan “Barakallah atas kelahiran” yang kita sampaikan atau kita terima adalah sebuah janji suci. Ia mengingatkan kita bahwa setiap bayi yang lahir dalam keadaan fitrah adalah potensi kebaikan yang menunggu untuk dibentuk menjadi generasi Rabbani—generasi yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia.
Proses Tarbiyah anak adalah investasi akhirat. Ini memerlukan kesabaran tak bertepi, doa yang tak pernah putus, dan konsistensi dalam memberikan teladan yang baik. Tantangan zaman modern mungkin besar, tetapi dengan berpegang teguh pada tuntunan Rasulullah SAW dalam setiap aspek pengasuhan, dari Adzan pertama hingga mencapai kedewasaan, kita berharap Allah SWT akan memudahkan jalan kita dan menjadikan anak-anak kita penyejuk hati (qurrata a’yun) di dunia dan penyelamat di akhirat kelak.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan berkah dan rahmat-Nya bagi setiap keluarga Muslim yang menyambut anggota baru dalam kehidupan mereka. Amin ya Rabbal ‘Alamin.