Dalam perjalanan kehidupan, kita senantiasa dihadapkan pada berbagai situasi yang menuntut respons dan interaksi. Salah satu elemen krusial dalam interaksi ini adalah perkataan kita. Seberapa penting kah perkataan itu? Apakah ada pedoman yang dapat kita ikuti untuk memastikan perkataan kita tidak hanya efektif, tetapi juga membangun dan tidak merugikan? Alkitab, khususnya kitab Amsal, menawarkan hikmat yang mendalam mengenai berbagai aspek kehidupan, termasuk cara kita berbicara. Salah satu ayat yang sangat relevan adalah Amsal 23 ayat 9.
"Jangan berbicara di telinga orang bebal, sebab ia akan menganggap hina akal budimu." (Amsal 23:9)
Ayat ini, sekilas, tampak sederhana. Namun, di dalamnya terkandung sebuah prinsip yang sangat kuat mengenai pentingnya memilih audiens dan konteks saat kita ingin menyampaikan sesuatu yang berharga. Frasa "jangan berbicara di telinga orang bebal" mengindikasikan adanya orang-orang yang, karena sifat dan pemikiran mereka, tidak akan mampu atau tidak mau menerima nasihat, kebijaksanaan, atau bahkan kebenaran yang kita sampaikan.
Siapakah "orang bebal" dalam konteks ini? Dalam kitab Amsal, kebebalan bukanlah sekadar kurangnya kecerdasan. Seringkali, kebebalan merujuk pada penolakan terhadap hikmat dan peringatan, arogansi yang menolak masukan, atau sikap keras kepala yang enggan belajar dari pengalaman. Orang bebal cenderung meremehkan nilai-nilai yang baik, menolak nasihat yang membangun, dan seringkali terjebak dalam siklus kesalahan yang sama.
Akibat dari berbicara kepada orang yang bebal dijelaskan dengan jelas: "sebab ia akan menganggap hina akal budimu." Ini berarti usaha kita untuk berbagi pemikiran, pengalaman, atau pelajaran berharga justru akan disalahpahami, diremehkan, bahkan diejek. Nasihat yang tulus bisa jadi dianggap sebagai campur tangan yang tidak sopan, pemikiran yang bijak dianggap sebagai kebodohan, dan kebenaran yang ingin disampaikan justru dipandang sebagai celaan. Hal ini tentu saja sangat mengecewakan dan membuang-buang energi serta waktu kita.
Lalu, bagaimana kita mengaplikasikan prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari? Ini bukanlah ajakan untuk menjadi apatis atau tidak peduli pada sesama. Sebaliknya, ini adalah anjuran untuk menggunakan hikmat dalam komunikasi kita. Berikut adalah beberapa poin penting yang dapat direnungkan:
Namun, penting untuk digarisbawahi bahwa ayat ini tidaklah mengajarkan kita untuk menghindari semua orang yang mungkin memiliki kekurangan atau kesalahan. Amsal juga mendorong kita untuk berinteraksi, belajar, dan bahkan menolong sesama. Kuncinya adalah kebijaksanaan dalam cara kita berkomunikasi. Ini berarti kita perlu membedakan antara orang yang secara sengaja menolak hikmat dan orang yang mungkin sedang bergumul atau membutuhkan waktu untuk memahami.
Mengaplikasikan Amsal 23:9 membantu kita untuk lebih efektif dalam komunikasi. Kita tidak membuang-buang energi pada situasi yang tidak produktif, dan kita dapat mengarahkan upaya kita pada orang-orang yang benar-benar siap untuk menerima dan bertumbuh. Ini juga melindungi hati kita dari kekecewaan yang berlebihan dan menjaga integritas hikmat yang kita miliki agar tidak diremehkan. Dengan bijak memilih kapan dan kepada siapa kita berbicara, kita memastikan bahwa perkataan kita memiliki dampak yang positif, membangun, dan sesuai dengan kehendak Tuhan.