Dalam perjalanan hidup, kata-kata memegang peranan krusial. Ia bisa menjadi jembatan yang menghubungkan hati, atau tembok yang memisahkan jiwa. Alkitab, sebagai panduan kebijaksanaan yang tak lekang oleh zaman, seringkali menyajikan hikmat dalam bentuk peribahasa yang ringkas namun padat makna. Salah satu ayat yang memberikan pencerahan mendalam mengenai pentingnya ucapan adalah Amsal 17 ayat 7. Ayat ini berbunyi:
Sekilas, ayat ini mungkin terdengar sederhana. Namun, jika kita menggali lebih dalam, kita akan menemukan lapisan-lapisan makna yang kaya tentang bagaimana seorang yang benar seharusnya menggunakan karunia bicaranya. Amsal 17 ayat 7 bukan sekadar anjuran untuk berbicara, melainkan sebuah panggilan untuk berbicara dengan tujuan yang mulia, yaitu kebenaran dan keadilan.
Mari kita bedah elemen-elemen kunci dari ayat ini. Pertama, frasa "Mulut orang benar". Siapakah "orang benar" ini? Dalam konteks Alkitab, orang benar bukanlah seseorang yang sempurna tanpa cela, melainkan seseorang yang berusaha hidup seturut kehendak Tuhan, yang memiliki hati yang tulus, dan yang berkomitmen untuk hidup dalam kebenaran. Kehidupan yang benar tercermin dalam setiap aspek perilakunya, termasuk dalam ucapan lisan. Mulut yang benar adalah mulut yang dijaga, yang tidak asal bicara, tetapi yang dipandu oleh prinsip-prinsip ilahi.
Kedua, "mengucapkan hikmat". Hikmat dalam pengertian Alkitabiah melampaui sekadar pengetahuan atau kepintaran. Hikmat adalah kemampuan untuk memahami dan menerapkan kebenaran ilahi dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah penerapan praktis dari prinsip-prinsip Tuhan. Jadi, ketika orang benar berbicara, kata-katanya dipenuhi dengan pemahaman yang mendalam, nasihat yang bijaksana, dan pandangan yang seimbang yang berasal dari sumber kebenaran tertinggi. Ucapan hikmat bukan sekadar kata-kata manis, tetapi seringkali merupakan kebenaran yang dibutuhkan, meskipun terkadang tidak nyaman untuk didengar. Ia membawa pencerahan, solusi, dan bimbingan.
Ketiga, "dan lidahnya berbicara tentang keadilan". Keadilan di sini merujuk pada tindakan yang benar, adil, dan jujur di mata Tuhan dan sesama. Lidah yang berbicara tentang keadilan berarti ia digunakan untuk membela yang lemah, mengungkapkan kesalahan, mendamaikan perselisihan dengan cara yang benar, dan menegakkan standar moral yang luhur. Ini berarti bahwa ucapan orang benar tidak hanya bersifat teoretis atau pasif, tetapi juga memiliki dampak aktif dalam mempromosikan keadilan di dunia. Lidah yang adil tidak bersalah dalam fitnah, gosip, atau penghakiman yang tidak berdasar. Sebaliknya, ia adalah suara yang mendukung apa yang benar dan menentang apa yang salah.
Perbandingan implisit dalam Amsal seringkali menyoroti kontras antara orang benar dan orang fasik. Jika orang benar menggunakan lisannya untuk hikmat dan keadilan, maka konsekuensinya bagi mereka adalah kehormatan dan berkat. Sebaliknya, orang fasik seringkali menggunakan lidahnya untuk kebohongan, penipuan, dan kehancuran. Amsal 17 ayat 7 memberikan teladan positif yang harus kita cita-citakan.
Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan penuh dengan informasi, ayat ini menjadi pengingat yang sangat relevan. Di media sosial, di tempat kerja, di lingkungan keluarga, kata-kata kita terus beredar. Apakah kata-kata tersebut membawa hikmat atau kekacauan? Apakah ia menegakkan keadilan atau mempromosikan ketidakadilan? Amsal 17 ayat 7 mendorong kita untuk secara sadar mengontrol apa yang keluar dari mulut kita. Ini berarti memilih kata-kata yang membangun, bukan merusak; yang membawa kedamaian, bukan konflik; yang memuliakan Tuhan, bukan diri sendiri atau hal-hal duniawi.
Memang, mengendalikan lidah bukanlah tugas yang mudah. Yakobus 3:8 menyatakan bahwa "lidah, sedikit pun tidak ada seorang pun yang dapat menjinakkannya." Namun, dengan pertolongan Roh Kudus dan komitmen pribadi untuk hidup dalam kebenaran, kita dapat melatih diri kita untuk menjadikan ucapan kita alat kebaikan. Ini dimulai dengan menjaga hati, karena "dari hati timbul segala macam pikiran jahat" (Matius 15:19). Jika hati kita dipenuhi dengan hikmat Tuhan dan kerinduan akan keadilan, maka ucapan kita secara alami akan mencerminkannya.
Dengan demikian, Amsal 17 ayat 7 bukan hanya sebuah ayat yang perlu dibaca dan dihafal, melainkan sebuah prinsip hidup yang harus diinternalisasi dan dipraktikkan. Marilah kita menjadikan setiap perkataan kita sebagai sarana untuk menyebarkan hikmat ilahi dan menegakkan keadilan, sehingga hidup kita benar-benar menjadi cerminan dari hati yang hidup dalam kebenaran Tuhan.