Kitab Amsal merupakan kumpulan hikmat yang mendalam, mengajarkan prinsip-prinsip hidup yang praktis dan relevan untuk segala zaman. Salah satu ayat yang seringkali terlewat namun sarat makna adalah Amsal 17:27. Ayat ini berbunyi:
"Siapa menahan perkataannya mematut pengetahuan, dan orang yang berakal budi ia tenang jiwanya."
Ayat ini secara gamblang mengaitkan dua kualitas penting dalam kehidupan seseorang: pengendalian diri dalam berbicara dan ketenangan jiwa. Mari kita bedah lebih dalam makna di balik ungkapan hikmat ini.
Frasa "siapa menahan perkataannya" bukanlah ajakan untuk bungkam selamanya. Sebaliknya, ini adalah seruan untuk bijak dalam memilih kapan dan apa yang harus diucapkan. Seseorang yang "menahan perkataannya" adalah orang yang tidak gegabah dalam melontarkan kata-kata. Ia mempertimbangkan dampaknya, menimbang kebenarannya, dan merasakan urgensi dari setiap ucapan yang keluar dari bibirnya.
Kemampuan menahan diri dalam berbicara seringkali diasosiasikan dengan pengetahuan. Bukan sekadar akumulasi fakta, melainkan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan, tentang manusia, dan tentang konsekuensi dari setiap tindakan, termasuk ucapan. Orang yang berpengetahuan tidak akan sembarangan berbicara karena ia tahu bahwa kata-kata memiliki kekuatanākekuatan untuk membangun, menyemangati, mendamaikan, tetapi juga kekuatan untuk merusak, menyakiti, dan memecah belah.
Dalam dunia yang serba cepat, di mana informasi mengalir deras dan opini mudah disuarakan, godaan untuk segera merespons, mengomentari, atau bahkan menghakimi seringkali sangat besar. Namun, hikmat Amsal 17:27 mengingatkan kita untuk berhenti sejenak. Sebelum jari-jari kita mengetikkan pesan di layar gawai atau lidah kita tergerak untuk berbicara, marilah kita bertanya pada diri sendiri: apakah perkataan ini perlu diucapkan? Apakah ini membangun? Apakah ini benar? Apakah ini sesuai dengan waktu dan tempatnya?
Menahan perkataan juga berarti kemampuan untuk mendengarkan. Seseorang yang selalu ingin berbicara seringkali kehilangan kesempatan untuk belajar dari orang lain. Dengan mendengarkan, kita membuka diri terhadap perspektif baru, mendapatkan pemahaman yang lebih luas, dan pada akhirnya, memperkaya pengetahuan kita sendiri. Ini adalah siklus yang positif: pengetahuan membuat kita lebih berhati-hati dalam berbicara, dan kehati-hatian dalam berbicara memberi kita ruang untuk terus belajar dan menambah pengetahuan.
Bagian kedua dari ayat ini, "dan orang yang berakal budi ia tenang jiwanya," menunjukkan konsekuensi positif dari pengendalian diri dalam berbicara. Ketenangan jiwa adalah keadaan batin yang damai, bebas dari kegelisahan yang berlebihan, kecemasan, dan gejolak emosi negatif yang seringkali dipicu oleh perkataan yang tidak terkontrol.
Bagaimana perkataan yang tidak terkontrol dapat mengganggu ketenangan jiwa? Ketika kita terburu-buru berbicara, kita mungkin saja mengucapkan kata-kata yang menyesal, menyakiti orang lain, atau bahkan membuat janji yang tidak bisa ditepati. Konsekuensi dari ucapan semacam ini bisa berupa rasa bersalah, penyesalan, konflik dengan orang lain, dan hilangnya kepercayaan. Semua ini adalah sumber kegelisahan yang menggerogoti ketenangan jiwa.
Sebaliknya, seseorang yang berakal budi, yang mengendalikan perkataannya, cenderung menghindari situasi-situasi yang dapat menimbulkan kegelisahan tersebut. Ia memilih kata-katanya dengan hati-hati, sehingga perkataannya cenderung benar, membangun, dan memberikan dampak positif. Hal ini menciptakan hubungan yang lebih harmonis dengan orang lain, meminimalkan potensi konflik, dan membangun rasa percaya diri yang sehat. Ketenangan batin yang timbul dari kesadaran bahwa perkataannya telah dipertimbangkan dengan baik adalah anugerah yang tak ternilai.
Lebih dari itu, ketenangan jiwa juga berarti kemampuan untuk tetap tenang dalam menghadapi tantangan atau provokasi. Orang yang berakal budi tidak akan mudah terpancing emosinya untuk membalas setiap ucapan negatif dengan kata-kata yang lebih keras. Ia memilih respons yang bijak, yang tidak memperburuk keadaan, melainkan justru berupaya mencari solusi atau meredakan situasi. Kemampuan untuk "tetap tenang" ini adalah bukti kedewasaan rohani dan emosional.
Penerapan Amsal 17:27 bisa kita lihat dalam berbagai aspek kehidupan:
Memang tidak mudah untuk senantiasa mengendalikan perkataan. Kita semua pernah khilaf dan mengucapkan sesuatu yang kemudian disesali. Namun, dengan kesadaran akan hikmat Amsal 17:27, kita didorong untuk terus berlatih. Setiap kali kita memilih untuk berpikir sebelum berbicara, setiap kali kita menahan lidah kita dari perkataan yang merusak, kita sedang menabur benih ketenangan jiwa bagi diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita.
Ayat Amsal 17:27 adalah pengingat yang berharga bahwa hikmat sejati tidak hanya terletak pada apa yang kita ketahui, tetapi juga pada bagaimana kita menerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari, terutama dalam cara kita berkomunikasi. Dengan mengendalikan perkataan, kita membuka jalan menuju kehidupan yang lebih damai, bijaksana, dan penuh ketenangan jiwa.