Kitab Amsal, sebuah himpunan hikmat dan nasihat praktis yang diyakini disusun oleh Raja Salomo, menawarkan panduan mendalam untuk menjalani kehidupan yang benar dan bermakna. Salah satu ayat yang menyoroti kontras tajam antara jalan hikmat dan jalan kebodohan adalah Amsal 1 ayat 22. Ayat ini tidak hanya menggambarkan kondisi orang yang menolak hikmat, tetapi juga secara tegas memperingatkan konsekuensi dari pilihan tersebut.
"Betapa lama lagi, hai orang yang tak punya akal, kamu akan mencintai kebodohanmu? Dan betapa lama lagi orang mencemooh mengejek? Engkau akan membinasakan dirimu sendiri." (Amsal 1:22)
Ayat ini dapat dipecah menjadi beberapa bagian penting:
Pertanyaan retoris "Betapa lama lagi...?" menunjukkan adanya panggilan yang terus-menerus dari hikmat. Hikmat, yang sering digambarkan sebagai sosok yang berseru di tempat-tempat umum (Amsal 1:20-21), tidak pernah lelah menawarkan jalan yang benar. Panggilan ini datang dengan rasa kepedulian yang mendalam, karena penolakan terhadap hikmat bukanlah masalah sepele, melainkan mengarah pada kehancuran.
Frasa "orang yang tak punya akal" (bahasa Ibrani: peti'im) merujuk pada mereka yang mudah tertipu, naif, atau ceroboh. Mereka adalah orang yang tidak mau berpikir kritis, tidak mau belajar dari pengalaman, dan cenderung mengikuti keinginan sesaat tanpa mempertimbangkan dampaknya. Mereka mungkin tertipu oleh kenikmatan sesaat atau tawaran menyesatkan yang dijauhkan dari jalan kebenaran.
Bagian ini adalah inti dari peringatan. Bukan hanya ketidakpedulian atau ketidaktahuan, melainkan adanya kecenderungan untuk "mencintai" kebodohan. Ini menyiratkan bahwa kebodohan telah menjadi pilihan yang disukai. Orang tersebut menikmati kesesatannya, merasa nyaman dalam ketidakpeduliannya, dan bahkan mungkin memandang kebodohan sebagai bentuk kebebasan atau pemberontakan. Padahal, cinta pada kebodohan adalah akar dari banyak masalah hidup.
Ini bisa merujuk pada dua hal: pertama, orang yang bodoh seringkali menjadi sasaran cemoohan dari orang lain karena tindakan atau ucapan mereka yang tidak bijaksana. Kedua, mereka sendiri yang mengejek dan mencemooh nasihat hikmat dan orang-orang yang mengikutinya. Sikap mencemooh ini adalah tanda kesombongan dan penolakan terhadap kebenaran yang dapat membawa mereka pada kehancuran yang lebih dalam.
Penutup ayat ini sangat tegas. Konsekuensi dari terus-menerus mencintai kebodohan dan mengejek hikmat bukanlah hukuman eksternal semata, melainkan kehancuran yang berasal dari diri sendiri. Pilihan-pilihan buruk yang terus menerus dibuat akan mengarah pada kerugian materi, spiritual, relasional, dan akhirnya kehancuran total. Kehancuran ini bersifat inheren dalam jalan yang dipilih.
Dalam dunia yang serba cepat dan penuh informasi, Amsal 1:22 tetap relevan. Kita seringkali dihadapkan pada berbagai pilihan: mengikuti jalan hikmat yang membutuhkan kedisiplinan, kejujuran, dan kerja keras, atau memilih jalan instan yang seringkali penuh godaan dan ilusi. Budaya populer terkadang meromantisasi pemberontakan dan ketidakpedulian, yang bisa disalahartikan sebagai "kebodohan yang dicintai".
Ayat ini menjadi pengingat penting bagi kita untuk secara aktif mencari hikmat, berpikir kritis tentang pilihan-pilihan kita, dan menolak godaan untuk "mencintai kebodohan". Hikmat sejati tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan akademis, tetapi juga tentang pemahaman yang benar tentang nilai-nilai hidup, moralitas, dan hubungan dengan Tuhan serta sesama. Memilih hikmat adalah memilih kehidupan yang berkelanjutan, penuh makna, dan terhindar dari kehancuran diri sendiri.
Mari kita renungkan Amsal 1:22 bukan sebagai kutukan, melainkan sebagai panggilan kasih untuk bangun, mencari hikmat, dan membuat pilihan yang bijaksana demi masa depan yang lebih baik.
Kembali ke Atas