Ilustrasi visual pesan keadilan.
Dalam deretan kitab para nabi dalam Alkitab, kitab Amos berdiri tegak sebagai seruan lantang terhadap ketidakadilan sosial dan kemerosotan moral. Di antara berbagai peringatan dan nubuat yang disampaikan oleh nabi dari Tekoa ini, satu ayat memiliki resonansi mendalam dan terus relevan hingga kini: Amos 5:7. Ayat ini bukanlah sekadar kata-kata kuno, melainkan sebuah deklarasi fundamental tentang karakter Allah dan tuntutan-Nya atas umat-Nya.
Untuk memahami kedalaman Amos 5:7, kita perlu melihat konteksnya dalam pasal kelima kitab Amos. Pasal ini dipenuhi dengan ungkapan kesedihan dan kemarahan atas keadaan umat Israel pada masa itu, terutama di Kerajaan Utara. Amos mengutuk praktik-praktik keagamaan yang kosong, di mana ritual dipersembahkan tetapi hati dan tindakan tidak mencerminkan kesalehan yang sejati. Keadilan diperkosa, yang lemah ditindas, dan orang benar diabaikan.
Di tengah gambaran suram ini, Tuhan melalui Amos menyatakan, "Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu, dan Aku tidak senang pada perkumpulan rayamu." (Amos 5:21). Pernyataan yang kuat ini menunjukkan bahwa ibadah yang terpisah dari keadilan adalah najis di mata Tuhan. Puncak dari seruan ini adalah ayat yang menjadi fokus kita: "Kamu mengubah keadilan menjadi ipuh, dan kebenaran menjadi apa yang tidak benar." (Amos 5:7).
Terjemahan harfiah dari "mengubah keadilan menjadi ipuh" dan "kebenaran menjadi apa yang tidak benar" menggambarkan sebuah perbuatan yang sangat tercela. Ipuh (atau empedu) dalam bahasa Ibrani merujuk pada sesuatu yang pahit, racun, atau sumber penderitaan. Sementara itu, "apa yang tidak benar" mengacu pada sesuatu yang melenceng, tidak adil, atau bahkan kebohongan.
Jadi, ayat ini secara gamblang menyatakan bahwa umat Israel, yang seharusnya menjadi penjaga dan penegak keadilan serta kebenaran, justru memutarbalikkannya. Mereka mengambil sesuatu yang seharusnya suci dan adil, lalu mengubahnya menjadi pahit dan merusak. Alih-alih membawa keadilan, tindakan mereka justru menimbulkan ketidakadilan. Alih-alih menjunjung kebenaran, mereka menabur kebohongan dan ketidakbenaran. Ini adalah bentuk pengkhianatan tertinggi terhadap prinsip-prinsip ilahi.
Bayangkan seorang hakim yang seharusnya adil, namun justru menerima suap dan memenangkan kasus yang salah. Bayangkan seorang pemimpin yang seharusnya melindungi rakyatnya, namun justru menindas dan merampas hak-hak mereka. Inilah gambaran mengerikan yang dilukiskan oleh Amos 5:7. Ini adalah kondisi di mana struktur keadilan yang seharusnya menjadi penopang masyarakat justru menjadi alat penindasan.
Pesan Amos 5:7 sangat relevan bagi masyarakat kontemporer. Di era di mana informasi menyebar dengan cepat, dan norma-norma sosial terus diuji, godaan untuk memutarbalikan keadilan dan kebenaran selalu ada. Kita dapat melihat manifestasi dari pemutarbalikan ini dalam berbagai bentuk:
Amos 5:7 mengingatkan kita bahwa Tuhan tidak acuh tak acuh terhadap ketidakadilan. Sebaliknya, keadilan adalah atribut inti dari karakter-Nya. Dia adalah "Allah yang adil" dan Dia menghendaki agar umat-Nya juga mencerminkan karakter-Nya. Seruan nabi ini bukan hanya teguran, tetapi juga panggilan untuk pertobatan dan pemulihan.
Membaca Amos 5:7 seharusnya memicu refleksi mendalam dalam diri kita. Apakah kita, secara individu maupun kolektif, tanpa sadar telah turut serta dalam memutarbalikan keadilan? Apakah kita telah membiarkan kebenaran dikalahkan oleh kepalsuan demi keuntungan pribadi atau kelompok?
Pesan ini menuntut keberanian. Keberanian untuk membela yang benar, bahkan ketika itu sulit. Keberanian untuk berbicara menentang ketidakadilan, bahkan ketika suara kita mungkin terdengar lemah. Keberanian untuk memastikan bahwa institusi, baik sipil maupun keagamaan, berfungsi sebagai penegak keadilan sejati, bukan sebagai alat penindasan.
Amos 5:7 adalah pengingat abadi bahwa Tuhan peduli pada keadilan sosial. Keadilan bukanlah pilihan sekunder dalam kehidupan beriman; ia adalah syarat mutlak. Ketika keadilan diabaikan atau diputarbalikkan, fondasi masyarakat dan hubungan kita dengan Tuhan akan runtuh. Maka, marilah kita merangkul pesan ini sebagai panggilan untuk hidup sesuai dengan tuntutan Allah yang adil, memastikan bahwa kebenaran menang dan keadilan mengalir seperti sungai yang tak pernah kering.