Kitab Amos, salah satu nabi dalam Perjanjian Lama, dikenal karena pesannya yang tajam dan tanpa kompromi mengenai keadilan sosial dan penghakiman ilahi. Di antara banyak perikop penting dalam kitab ini, Amos 3:8 sering kali menjadi sorotan karena kekuatannya dalam menyampaikan konsekuensi dari tindakan dan panggilan Allah yang tidak dapat diabaikan. Ayat ini berbunyi, "Singa telah mengaum, siapakah yang tidak takut? Tuhan ALLAH telah berfirman, siapakah yang tidak bernubuat?"
Untuk memahami kedalaman Amos 3:8, penting untuk melihat konteks historis dan teologisnya. Amos adalah seorang gembala dan pemungut buah ara dari Tekoa, sebuah desa di Yehuda. Namun, panggilannya membawanya ke utara, ke Kerajaan Israel yang makmur namun secara moral dan spiritual telah menyimpang jauh dari jalan Allah. Israel pada masa itu menikmati kemakmuran ekonomi, tetapi kemakmuran ini dicapai melalui penindasan terhadap kaum miskin, ketidakadilan dalam sistem hukum, dan penyembahan berhala yang merajalela.
Amos diutus untuk menyampaikan teguran keras dari Allah terhadap dosa-dosa ini. Pesannya bukanlah tentang penebusan atau pengampunan yang mudah, melainkan tentang keadilan yang akan datang dan penghakiman yang tak terhindarkan jika tidak ada pertobatan. Dalam pasal 3, Amos secara khusus membahas hubungan khusus antara Allah dan umat-Nya. Allah telah memilih Israel, memberinya kasih karunia dan anugerah yang unik. Namun, pilihan ini tidak menghilangkan tanggung jawab; sebaliknya, itu berarti bahwa pelanggaran Israel akan memiliki konsekuensi yang lebih besar.
Perbandingan yang digunakan dalam ayat ini sangat kuat. "Singa telah mengaum, siapakah yang tidak takut?" Metafora singa yang mengaum adalah gambaran yang jelas tentang kekuatan, ancaman, dan otoritas. Raungan singa adalah tanda bahaya yang universal, memicu respons naluriah dari ketakutan. Tidak ada makhluk yang dapat mendengar raungan singa tanpa merasa terintimidasi atau terancam. Ini adalah respons alami terhadap manifestasi kekuatan yang luar biasa.
Kemudian, ayat ini membuat lompatan logis yang menghubungkan gambaran alam ini dengan komunikasi ilahi. "Tuhan ALLAH telah berfirman, siapakah yang tidak bernubuat?" Jika raungan singa begitu efektif dalam membangkitkan rasa takut, maka Firman Tuhan, yang datang dari Penguasa alam semesta, seharusnya memiliki dampak yang jauh lebih besar. Ketika Allah berfirman, terutama untuk menyampaikan pesan penghakiman dan keadilan, respons yang seharusnya muncul bukanlah ketakutan pasif, melainkan tindakan yang sesuai – yaitu, bernubuat.
Frasa "siapakah yang tidak bernubuat?" bukanlah pertanyaan literal yang mencari jawaban. Ini adalah pertanyaan retoris yang menegaskan. Artinya, jika Allah telah berfirman, maka respons yang tepat dan tak terhindarkan adalah bernubuat. Mengapa? Karena nabi adalah saluran komunikasi Allah. Ketika Allah berfirman, ia ingin pesannya didengar, dipahami, dan, yang terpenting, direspon.
Dalam konteks Amos, ini berarti bahwa para nabi, termasuk Amos sendiri, memiliki kewajiban yang tak terhindarkan untuk menyampaikan pesan Allah. Mereka tidak bisa diam ketika Allah telah berbicara. Mereka dipanggil untuk menjadi suara Allah di tengah-tengah masyarakat yang sedang berdosa. Kegagalan untuk bernubuat, dalam pandangan Allah, adalah kegagalan untuk merespon Firman-Nya secara memadai. Ini bisa diartikan sebagai semacam ketidaktaatan atau pengabaian terhadap otoritas ilahi.
Amos 3:8 memiliki relevansi yang mendalam bahkan di zaman modern. Pesan ini mengingatkan kita bahwa Firman Allah bukanlah sekadar koleksi cerita kuno yang harus disimpan di rak buku. Ketika Allah berbicara, baik melalui Kitab Suci, melalui hati nurani kita, atau melalui pengalaman hidup, ada sebuah panggilan untuk respon. Dan respon yang paling utama adalah kesediaan untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya dan untuk meneruskan pesan-Nya kepada orang lain.
Dalam dunia yang sering kali dibanjiri oleh suara-suara kebisingan, pesannya adalah panggilan untuk mendengarkan suara Allah yang sejati, suara yang membawa keadilan, kebenaran, dan perubahan.
Bagi orang percaya, ini berarti bahwa kita tidak dapat menutup telinga terhadap panggilan Allah untuk bertindak, untuk mencari keadilan, untuk mengasihi sesama, dan untuk hidup dengan integritas. "Siapakah yang tidak bernubuat?" dapat diartikan secara lebih luas sebagai "siapakah yang tidak akan bertindak berdasarkan apa yang Allah telah ungkapkan?"
Lebih jauh lagi, ayat ini menegaskan otoritas Firman Allah. Sama seperti raungan singa tidak dapat diabaikan, demikian pula Firman Allah memiliki kekuatan dan otoritasnya sendiri. Mengabaikan Firman Allah berarti mengabaikan Sumber kehidupan dan kebenaran itu sendiri. Oleh karena itu, Amos 3:8 adalah pengingat yang kuat bahwa kita dipanggil untuk mendengarkan, memahami, dan bertindak berdasarkan apa yang Allah katakan, karena respons terhadap Firman-Nya adalah bagian integral dari hubungan kita dengan Dia.
Singa mengaum untuk memberi peringatan, dan Allah berfirman untuk memimpin, menguji, dan kadang-kadang menghakimi. Menjadi orang yang merespon panggilan Allah, baik melalui perkataan maupun perbuatan, adalah inti dari kehidupan beriman yang setia.