Dalam hiruk pikuk kehidupan modern, seringkali kita terjebak dalam rutinitas, mengejar kesuksesan yang didefinisikan oleh dunia luar, atau justru terpuruk oleh kegagalan dan kekecewaan. Di tengah gejolak ini, muncul sebuah konsep yang menawarkan perspektif baru yang lebih mendalam: amor vivendi. Frasa Latin ini secara harfiah berarti "cinta kehidupan". Namun, maknanya jauh lebih kaya dari sekadar mencintai momen-momen bahagia. Amor vivendi adalah sebuah sikap filosofis untuk merangkul kehidupan secara utuh, termasuk segala suka, duka, tantangan, dan keindahannya.
Mencintai kehidupan dalam arti amor vivendi bukanlah tentang memaksakan diri untuk selalu bahagia atau menyangkal kenyataan pahit. Sebaliknya, ini adalah tentang menerima bahwa kehidupan secara inheren adalah campuran kompleks antara cahaya dan bayangan. Ini adalah seni melihat keindahan dalam ketidaksempurnaan, menemukan pelajaran dalam kesulitan, dan menghargai keberadaan itu sendiri, terlepas dari keadaan eksternal. Ketika kita mengadopsi prinsip amor vivendi, kita belajar untuk tidak hanya bertahan hidup, tetapi benar-benar hidup.
Setiap kehidupan pasti memiliki dualitasnya. Kesenangan seringkali diikuti oleh kesedihan, keberhasilan bisa datang setelah serangkaian kegagalan, dan kegembiraan bisa bercampur dengan kecemasan. Amor vivendi mengajarkan kita untuk tidak melawan dualitas ini, tetapi untuk memahaminya sebagai bagian tak terpisahkan dari pengalaman manusia. Ketika kita merasa sakit, kita belajar untuk tidak menyalahkan diri sendiri atau dunia, melainkan menerima rasa sakit itu sebagai sinyal, sebagai bagian dari perjalanan. Ketika kita merasakan kebahagiaan, kita belajar untuk menghargainya tanpa takut akan segera kehilangannya, karena kita tahu bahwa kebahagiaan juga merupakan bagian dari siklus kehidupan.
Ini adalah tentang menemukan ketenangan di tengah badai. Bayangkan seorang pelaut yang tidak hanya berharap ada laut yang tenang, tetapi juga memiliki keterampilan dan keberanian untuk berlayar melalui ombak besar. Pelaut tersebut tidak membenci badai; dia menghadapinya, belajar darinya, dan terus maju. Demikian pula, praktisi amor vivendi belajar untuk menavigasi tantangan hidup dengan ketangguhan dan penerimaan, bukan dengan keputusasaan atau penolakan.
Konsep amor vivendi seringkali tercermin dalam berbagai bentuk seni. Lukisan yang menggambarkan momen-momen sederhana namun penuh makna, musik yang mampu membangkitkan berbagai emosi, atau sastra yang mengeksplorasi kedalaman jiwa manusia—semuanya bisa menjadi ekspresi dari cinta terhadap kehidupan. Seniman yang mampu menangkap esensi kehidupan, dengan segala kompleksitasnya, seringkali telah merangkul amor vivendi dalam karyanya.
Misalnya, seniman yang melukis pemandangan alam tidak hanya menampilkan keindahan hijaunya pepohonan atau birunya langit, tetapi juga mungkin menangkap suasana senja yang melankolis atau badai yang mengamuk. Kedua gambaran tersebut, meskipun kontras, sama-sama merupakan bagian dari alam dan, oleh karena itu, bagian dari kehidupan itu sendiri yang layak untuk dicintai dan direnungkan. Sastrawan yang menulis tentang karakter yang berjuang melawan kesulitan, bukan hanya untuk menunjukkan perjuangan itu, tetapi untuk mengeksplorasi ketahanan manusia, kapasitas untuk cinta, dan pencarian makna—itulah inti dari amor vivendi yang diterjemahkan ke dalam narasi.
Prinsip amor vivendi juga memiliki implikasi mendalam dalam hubungan antarmanusia. Ketika kita mencintai kehidupan secara utuh, kita juga cenderung lebih mampu mencintai orang lain apa adanya, termasuk kekurangan dan ketidaksempurnaan mereka. Ini berarti menerima pasangan, teman, atau keluarga kita dengan segala dinamikanya, tanpa terus-menerus berusaha untuk mengubah mereka agar sesuai dengan ideal kita.
Dalam hubungan, amor vivendi berarti merayakan momen kebahagiaan bersama dengan tulus, dan juga hadir serta memberikan dukungan saat masa sulit melanda. Ini adalah tentang membangun fondasi yang kuat yang mampu bertahan dari ujian waktu dan tantangan. Alih-alih mencari kesempurnaan dalam hubungan, kita belajar untuk menghargai keaslian dan kedalaman koneksi yang terjalin. Cinta terhadap kehidupan yang kita miliki akan terpancar dalam cara kita berinteraksi dengan orang lain, menciptakan lingkungan yang lebih penuh kasih dan pengertian.
Pada akhirnya, amor vivendi adalah tentang menemukan makna dalam keberadaan kita. Ini adalah penegasan bahwa setiap momen, setiap pengalaman, dan setiap hubungan memiliki nilai intrinsiknya. Ini adalah pengingat bahwa hidup ini adalah sebuah anugerah yang patut disyukuri, bukan sebagai sesuatu yang harus selalu sempurna atau bebas masalah, tetapi sebagai sebuah anugerah yang kaya akan pelajaran, pertumbuhan, dan keindahan yang tersembunyi.
Mengadopsi amor vivendi bukanlah tujuan akhir yang mudah dicapai, melainkan sebuah perjalanan berkelanjutan. Ini membutuhkan latihan kesadaran diri, keberanian untuk menghadapi ketakutan, dan kemauan untuk terus belajar. Dengan merangkul cinta kehidupan dalam segala bentuknya, kita membuka diri pada pengalaman yang lebih kaya, hubungan yang lebih dalam, dan kedamaian batin yang sejati. Ini adalah seni menciptakan kehidupan yang tidak hanya dijalani, tetapi benar-benar dicintai.