Ali bin Abi Thalib: Keputusan Paling Sunyi dan Takdir Perpisahan

Prolog: Beban Khalifah Keempat

Kisah hidup Ali bin Abi Thalib adalah narasi abadi tentang kesetiaan, kebijaksanaan yang mendalam, dan beban kepemimpinan di tengah badai fitnah yang memecah-belah umat. Setelah tiga khalifah pertama, Ali menerima tampuk kekhalifahan pada saat yang paling sulit. Kekhalifahan yang ia warisi bukanlah tatanan yang stabil, melainkan kumpulan bara yang siap meledak—diwarnai oleh dendam politik, tuntutan darah atas terbunuhnya Utsman bin Affan, dan ambisi kekuasaan yang mulai menggerogoti idealisme Islam awal.

Sejak hari pertama Ali menjabat, ia dihadapkan pada dikotomi yang brutal: antara menegakkan keadilan Ilahi secara mutlak (sebagaimana tuntutan para pendukung fanatiknya) atau bernegosiasi demi stabilitas politik (sebagaimana saran para penasihat yang lebih pragmatis). Kepribadian Ali yang teguh pada prinsip, yang menolak kompromi dalam masalah kebenaran, justru menjadi pedang bermata dua yang membelah barisannya sendiri.

Fokus utama dari tragedi politiknya bukanlah hanya konflik eksternal dengan Muawiyah di Syam, melainkan konflik internal, perpecahan yang tumbuh dari hati pasukannya sendiri. Inilah kisah tentang bagaimana seorang pemimpin yang suci harus membuat keputusan paling pahit, bahkan jika itu berarti harus biarkan dia pergi—membiarkan sebagian dari pengikutnya yang paling militan dan ideologis berjalan menjauh, menuju kehancuran mereka sendiri, karena perbedaan mendasar dalam memahami otoritas dan keadilan.

Siffin: Titik Didih dan Gagalnya Konsensus

Konflik dengan Muawiyah bin Abu Sufyan memuncak di Perang Siffin (37 H). Ali menuntut ketaatan Muawiyah, sementara Muawiyah menuntut penangkapan pembunuh Utsman sebagai prasyarat. Pertempuran berkepanjangan ini hampir dimenangkan oleh Ali dan pasukannya, yang dikenal memiliki semangat yang lebih tinggi dan legitimasi spiritual yang lebih kuat.

Namun, pada saat kemenangan hampir di tangan, Muawiyah, atas saran Amr bin al-Ash, menggunakan taktik yang mengubah sejarah: mengangkat mushaf Al-Qur'an di ujung tombak. Ini bukan sekadar isyarat perdamaian, melainkan manuver politik yang cerdik untuk menghentikan pertumpahan darah dan memindahkan medan perang dari medan tempur fisik ke medan perundingan teologis. Seruan ini, "Biarkanlah Kitab Allah yang memutuskan di antara kita!" menghipnotis sebagian besar pasukan Ali.

Di sinilah kelemahan terbesar Ali, sekaligus cerminan keadilannya yang tak tergoyahkan, terlihat. Pasukan Ali, terutama mereka yang kemudian dikenal sebagai Khawarij (kelompok yang keluar), memaksa Ali menerima arbitrase (Tahkim). Mereka mengancam untuk membunuhnya jika ia menolak. Ali, yang secara pribadi menganggap arbitrase dengan Muawiyah sebagai pengkhianatan terhadap kebenaran yang jelas, dipaksa tunduk pada kehendak mayoritas pasukannya demi menghindari perang saudara yang lebih besar di dalam barisannya saat itu juga.

Simbol Tahkim dan Keretakan Tahkim Timbangan keadilan yang pecah, simbol Tahkim dan perpecahan umat.

Pengkhianatan di Dumatul Jandal

Keputusan Tahkim menetapkan dua perwakilan: Abu Musa al-Asy'ari (mewakili Ali, meskipun Ali lebih memilih Ibn Abbas) dan Amr bin al-Ash (mewakili Muawiyah). Hasil arbitrase, yang terjadi di Dumatul Jandal, adalah sebuah bencana diplomatik bagi Ali. Abu Musa, yang naif dan kurang cerdik politik, tertipu oleh kelicikan Amr bin al-Ash. Amr mengumumkan bahwa Utsman telah dibunuh secara tidak adil dan oleh karena itu Ali (yang tidak mampu menangkap pembunuhnya) harus turun takhta, sementara Abu Musa setuju untuk mencopot Ali, tetapi tidak mampu mencalonkan kandidat lain, sehingga meninggalkan kekhalifahan dalam kekosongan yang dapat diisi oleh Muawiyah.

Hasil Tahkim ini secara de facto menempatkan Muawiyah pada pijakan politik yang setara dengan Ali, jika tidak lebih tinggi. Bagi Ali, hasil ini mengonfirmasi kekhawatiran awalnya: menempatkan hukum manusia (arbitrase politik) di atas kebenaran Ilahi. Namun, ironisnya, orang-orang yang paling keras memaksa Ali menerima Tahkim justru adalah mereka yang pertama kali menolaknya.

Munculnya Khawarij: Biarkan Dia Pergi

Segera setelah berita buruk Tahkim menyebar, ribuan anggota pasukan Ali, yang sebelumnya memaksanya menerima arbitrase, kini merasa telah melakukan dosa besar. Mereka menuduh Ali, diri mereka sendiri, dan seluruh proses Tahkim telah melanggar prinsip fundamental Islam: "La hukma illa lillah" (Tiada hukum kecuali milik Allah).

Kelompok ini, yang kemudian dikenal sebagai Khawarij (Para Pemberontak/Yang Keluar), berpendapat bahwa begitu Ali setuju menempatkan keputusan manusia di atas keputusan Tuhan (dengan menerima Tahkim), ia telah kafir. Mereka menuntut agar Ali segera bertaubat dari dosa ini dan membatalkan hasil arbitrase. Tuntutan mereka melampaui politik; itu adalah tuntutan teologis yang kaku, yang melihat dunia dalam hitam dan putih.

Dilema Sang Imam: Keseimbangan Antara Keadilan dan Kekuatan

Ali bin Abi Thalib berada di persimpangan jalan yang mengerikan. Secara prinsip, ia menolak hasil Tahkim. Namun, ia telah berjanji untuk menghormati proses tersebut, meskipun ia tahu hasil akhirnya curang. Jika ia membatalkan Tahkim hanya karena tuntutan Khawarij, ia akan dituduh sebagai pemimpin yang tidak menepati janji, memperburuk kekacauan politik.

Ketika Khawarij mulai berkumpul di Harura dan kemudian Nahrawan, dengan jumlah mencapai 12.000 orang, Ali mencoba berdialog. Ia mengirim utusan, dan bahkan ia sendiri berdiskusi panjang lebar dengan para pemimpin Khawarij. Ali mencoba menjelaskan kompleksitas politik, dan bahwa sementara hasil Tahkim tidak adil, tindakan memaksa *takfir* (pengkafiran) terhadap seluruh komunitas Muslim dan pemimpin sah adalah pelanggaran yang jauh lebih besar.

Para Khawarij menolak. Bagi mereka, tidak ada ruang abu-abu. Ali telah berdosa dan harus dihukum, atau bertaubat secara publik dan memimpin perang baru melawan Muawiyah tanpa arbitrase. Keberanian dan keteguhan ideologis mereka sama besarnya dengan bahaya yang mereka timbulkan. Mereka mulai menyerang Muslim lain yang tidak sependapat dengan mereka, menumpahkan darah tak berdosa, dan menegakkan interpretasi hukum mereka yang kejam.

Keputusan Sulit: "Biarkan Dia Pergi"

Melihat ketidakmungkinan rekonsiliasi dan bahaya yang ditimbulkan oleh kelompok ini terhadap keamanan internal umat, Ali membuat keputusan yang sangat sunyi dan menyakitkan. Pada awalnya, ia menolak memerangi mereka selama mereka tidak mengangkat senjata atau mengganggu ketertiban umum. Ini adalah manifestasi dari frasa kunci: Ali bin Abi Thalib biarkan dia pergi.

Ali menyadari bahwa memaksa mereka kembali ke barisannya hanya akan menanam benih pengkhianatan di masa depan. Lebih baik membiarkan ideologi yang sakit itu terpisah, asalkan tidak merusak komunitas yang lebih besar. Ali bersikap pasif terhadap mereka selama periode tertentu, berharap mereka akan kembali sadar. Ia memberikan mereka waktu dan ruang, seolah berkata, "Pergilah. Aku tidak akan memaksamu, tetapi jangan sentuh Muslim lain."

Namun, ketika Khawarij meningkatkan kekerasan mereka, termasuk pembunuhan keji terhadap Abdullah bin Khabbab bin al-Aratt dan istrinya yang sedang hamil, dilema Ali berakhir. Kebebasan ideologis mereka telah berubah menjadi terorisme. Tindakan kekerasan ini tidak hanya mengancam stabilitas, tetapi juga moralitas dasar negara Islam. Ali harus memilih antara membiarkan virus ini menyebar atau melakukan operasi bedah yang menyakitkan untuk menyelamatkan tubuh umat yang lebih besar.

Nahrawan: Pertempuran Melawan Ideologi

Pertempuran Nahrawan bukanlah perang melawan musuh luar; itu adalah perang saudara, melawan para ideolog yang dulunya merupakan tulang punggung pasukannya. Pada 9 Safar 38 H, Ali memimpin pasukannya menuju Nahrawan, tempat Khawarij berkumpul. Bahkan di ambang pertempuran, Ali menawarkan amnesti kepada siapa pun yang meninggalkan kelompok tersebut, menegaskan bahwa niatnya bukanlah untuk memusnahkan, tetapi untuk mengembalikan ketertiban.

Ribuan Khawarij menerima tawaran ini dan meninggalkan barisan mereka, membuktikan bahwa sebagian besar dari mereka hanya terbawa arus tanpa pemahaman teologis yang kuat. Namun, inti keras Khawarij, sekitar 4.000 orang, menolak, berseru bahwa mereka mencari mati syahid dan berperang melawan "kafir" (Ali dan pengikutnya).

Kepahitan Kemenangan

Pertempuran Nahrawan sangat cepat dan brutal. Pasukan Ali, meskipun jumlahnya lebih besar, didorong oleh keharusan, sementara Khawarij didorong oleh fanatisme. Hampir seluruh pasukan Khawarij terbunuh, hanya menyisakan beberapa orang yang melarikan diri dan membawa benih-benih ideologi Khawarij ke seluruh pelosok dunia Islam, yang akan terus menjadi sumber fitnah selama berabad-abad.

Bagi Ali, kemenangan ini lebih terasa seperti kekalahan spiritual. Ia telah mengalahkan mereka secara fisik, tetapi ia gagal menyelamatkan mereka secara ideologis. Kemenangan ini tidak memberinya keuntungan politik. Justru, ia kehilangan ribuan Muslim yang, meskipun salah arah, memiliki keberanian dan kesalehan (yang salah tempat). Ini menguras sumber daya militer dan moralnya, sementara Muawiyah di Syam semakin kuat, jauh dari kekacauan ideologis ini.

Keputusan Ali untuk memerangi mereka di Nahrawan adalah puncak dari tragedi "biarkan dia pergi." Ia membiarkan mereka pergi dari barisannya di Siffin, tetapi ketika kebebasan mereka menjadi ancaman bagi kehidupan dan keamanan, ia tidak punya pilihan selain menghadapi mereka. Keputusan ini menunjukkan batas toleransi politik seorang Khalifah terhadap ideologi subversif yang brutal.

Analisis Ideologi Khawarij: Akar Perpisahan

Untuk memahami mengapa Ali bin Abi Thalib akhirnya harus membiarkan mereka pergi, dan kemudian memerangi mereka, kita harus menyelami inti dari pemikiran Khawarij. Doktrin utama mereka adalah kekakuan dalam menerapkan hukum Ilahi dan penolakan terhadap semua bentuk perantara manusia dalam interpretasi syariat.

La Hukma Illa Lillah (Tidak Ada Hukum Kecuali Milik Allah)

Slogan ini, yang mereka gunakan melawan Ali setelah Tahkim, awalnya terdengar saleh, namun implementasinya bersifat revolusioner dan anarkis. Khawarij menolak arbitrase bukan hanya karena hasilnya buruk, tetapi karena secara filosofis, bagi mereka, menempatkan dua pria (arbitrator) untuk memutuskan nasib kekhalifahan adalah *syirik* (menyekutukan Tuhan) dalam hal legislasi dan penghakiman. Mereka meyakini bahwa segala bentuk dosa besar yang dilakukan seorang Muslim (termasuk menerima arbitrase politik yang meragukan) secara otomatis menjadikannya kafir (murtad).

Ali bin Abi Thalib, dalam debatnya, menunjukkan cacat logis dalam pandangan mereka. Ia menjelaskan bahwa manusia selalu membutuhkan perantara untuk menginterpretasikan dan menerapkan hukum Tuhan di bumi. Proses Tahkim adalah proses yang salah dalam implementasinya, tetapi bukan sebuah kekafiran dalam esensinya. Ali menegaskan, jika semua yang terlibat dalam dosa besar otomatis kafir, maka seluruh umat, termasuk Khawarij sendiri, akan hancur oleh fatwa pengkafiran mereka yang tak berujung.

Ketidakmampuan Khawarij untuk menerima realitas politik yang kompleks dan pandangan mereka yang ekstrem terhadap *takfir* inilah yang membuat mereka tidak mungkin dipertahankan dalam barisan umat. Mereka memilih untuk keluar, untuk menciptakan tatanan mereka sendiri yang murni, dan Ali, setelah segala upaya persuasif, terpaksa mengakui bahwa perpisahan (dan konfrontasi) adalah keniscayaan tragis.

Sifat Eksklusif dan Totaliter

Khawarij mengklaim diri mereka sebagai satu-satunya Muslim sejati (*Ahl al-Jannah*), dan menganggap seluruh Muslim lainnya, termasuk Ali, Muawiyah, dan semua yang terlibat di Siffin atau tidak sependapat dengan mereka, sebagai orang-orang kafir yang halal darahnya. Ideologi ini bersifat totaliter, tidak memungkinkan adanya perbedaan pendapat atau keragaman dalam interpretasi keimanan. Inilah yang membuat mereka sangat berbahaya, jauh lebih berbahaya daripada konflik politik tradisional dengan Muawiyah.

Muawiyah mencari kekuasaan politik; Khawarij mencari kemurnian ideologis melalui kekerasan. Ketika Ali harus memutuskan, ia tahu bahwa ancaman terhadap tubuh sosial umat dari Khawarij adalah ancaman terhadap eksistensi peradaban Islam itu sendiri. Oleh karena itu, membiarkan mereka pergi, pada awalnya, adalah upaya untuk menahan ancaman. Ketika itu gagal, konfrontasi di Nahrawan menjadi tindakan pencegahan yang paling pahit.

Warisan Keputusan dan Akhir Sang Khalifah

Peristiwa Khawarij dan Nahrawan bukan hanya mengakhiri masa kekhalifahan Ali, tetapi juga secara mendalam mengubah peta politik dan teologis Islam. Ali kehilangan kekuatan moral dan militer yang dibutuhkan untuk mengalahkan Muawiyah. Sementara Ali disibukkan dengan membersihkan kekacauan internal yang diciptakan oleh Khawarij, Muawiyah mengambil keuntungan penuh untuk mengonsolidasikan kekuasaannya di Syam dan Mesir.

Ali bin Abi Thalib: Pahlawan Kesunyian

Keputusan Ali untuk biarkan dia pergi dan kemudian memerangi mereka menunjukkan kualitas kepemimpinan yang langka. Ia memilih keadilan yang sulit di atas popularitas yang mudah. Ia tahu bahwa meskipun pertempuran Nahrawan akan membuatnya dibenci oleh segelintir orang yang fanatik dan melemahkan posisinya secara politik, itu adalah satu-satunya cara untuk menegakkan hukum yang melindungi Muslim tak bersalah dari kekejaman ideologis.

Namun, kebencian Khawarij tidak pernah padam. Beberapa tahun setelah Nahrawan, tiga Khawarij yang selamat—Abdurrahman bin Muljam, al-Burak bin Abdillah, dan Amr bin Bakr—bertemu dan merencanakan untuk membunuh tiga tokoh yang mereka anggap bertanggung jawab atas perpecahan umat: Ali, Muawiyah, dan Amr bin al-Ash. Meskipun Muawiyah dan Amr selamat dari upaya pembunuhan, Ali bin Abi Thalib, sang Singa Allah, tewas di tangan Ibnu Muljam saat shalat Subuh di Kufah.

Kematian Ali di tangan ideologi yang ia coba tumpas adalah ironi puncak dari kekhalifahannya. Ia menjadi martir karena konsistensi prinsipnya, menjadi korban dari ekstremisme yang lahir dari barisannya sendiri.

Implikasi Jangka Panjang

Peristiwa Tahkim dan Khawarij mengajarkan pelajaran abadi tentang bahaya formalisme agama yang kaku tanpa kebijaksanaan (*hikmah*). Khawarij mewakili fenomena ekstremisme agama: kekerasan yang dilakukan atas nama kemurnian agama, di mana interpretasi harfiah mengalahkan tujuan dan konteks syariat. Ideologi Khawarij yang membenarkan *takfir* (pengkafiran) terhadap pemimpin dan massa Muslim yang tidak sependapat terus muncul dalam sejarah Islam, menunjukkan bahwa keputusan Ali di Nahrawan, meskipun tragis, adalah keharusan yang harus dibayar demi mencegah anarki total.

Warisan Ali bin Abi Thalib tetap menjadi sumber inspirasi: seorang pemimpin yang menghadapi dilema moral dan politik terberat, yang dipaksa memilih antara mempertahankan pasukannya yang terpecah atau menegakkan ketertiban, bahkan jika itu berarti harus biarkan dia pergi menuju takdir yang kejam.

Penjabaran Filosofis: Mengapa Arbitrase Menjadi Titik Balik

Untuk benar-benar memahami tragedi Ali, perlu diperluas pemahaman tentang makna Tahkim dari sudut pandang jurisprudensi Islam awal. Tahkim bukanlah sekadar negosiasi politik; ini adalah masalah yurisprudensi. Ketika Ali menolak arbitrase, ia melakukannya bukan karena takut kalah politik, tetapi karena ia percaya bahwa posisinya sebagai Khalifah yang sah dan Muawiyah sebagai pemberontak (bagi'ah) sudah jelas menurut hukum Islam. Dalam kasus pemberontakan yang jelas, yang dibutuhkan adalah penumpasan, bukan perundingan. Proses hukumnya sudah jelas: kembali taat atau diperangi.

Ketika Khawarij memaksa Ali menerima arbitrase, mereka secara tidak sengaja membuka pintu bagi relativisme hukum yang kemudian mereka tolak sendiri. Mereka memaksa Ali untuk memindahkan kasus dari ranah *hukmullah* (keputusan yang jelas dari Tuhan, yaitu memerangi pemberontak) ke ranah *hukm ar-rijal* (keputusan manusia). Bagi Khawarij, begitu pintu ini terbuka, mustahil menutupnya tanpa mengaku telah kafir. Inilah lingkaran setan logis yang membuat mereka berpisah.

Ali memahami bahwa proses arbitrase itu sendiri sah dalam banyak kasus, tetapi bukan dalam kasus pemberontakan yang sudah jelas. Ia mencoba mengedukasi Khawarij: menerima arbitrase karena dipaksa oleh pasukannya bukanlah kekafiran. Kekafiran adalah menolak secara total kebenaran yang dibawa oleh Nabi. Namun, Khawarij tidak mampu membedakan antara kesalahan politik/strategis dan kekafiran substansial. Mereka menerapkan standar moralitas dan kebenaran yang absolut pada realitas politik yang sangat relatif dan kotor.

Tragedi ini berpusar pada kesalahpahaman tentang otoritas. Khawarij percaya bahwa otoritas hanya milik teks murni Al-Qur'an dan Sunnah, tanpa intervensi interpretasi oleh penguasa. Ali, sebaliknya, meyakini bahwa otoritas adalah milik Khalifah yang sah yang bertindak sebagai penjaga teks tersebut. Ketika Khawarij memutuskan untuk biarkan dia pergi, mereka pada dasarnya menolak seluruh struktur hierarki dan interpretasi yang telah dibangun sejak masa Nabi, demi utopia kesalehan radikal.

Dampak Jangka Panjang Keputusan Ali untuk Membiarkan Mereka Pergi

Dampak dari perpisahan ini melampaui kematian Ali dan jatuhnya Kekhalifahan Rasyidin. Keputusan Ali untuk tidak secara prematur menumpas Khawarij, atau setidaknya membiarkan mereka pergi dari medan Siffin dan berkumpul di Harura, memberikan waktu dan ruang bagi ideologi mereka untuk matang dan mengakar. Dalam konteks sejarah, tindakan ini memiliki konsekuensi yang tak terhindarkan, baik positif maupun negatif.

Penyebaran Bibit Pemberontakan

Meskipun mayoritas Khawarij tewas di Nahrawan, para penyintas (seperti Ibnu Muljam) memastikan bahwa ideologi *takfir* mereka menyebar ke daerah-daerah yang jauh, seperti Irak selatan, Persia, dan Afrika Utara. Selama abad-abad berikutnya, sekte-sekte Khawarij, seperti Azariqah dan Ibadhiyah, terus melancarkan pemberontakan brutal melawan Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah. Ini membuktikan bahwa Ali telah benar dalam menganggap mereka sebagai ancaman eksistensial, dan membiarkan dia pergi tanpa penanganan tegas akan melahirkan kekacauan tak berujung.

Jika Ali menyerang mereka segera setelah mereka memisahkan diri tanpa adanya provokasi yang jelas (seperti pembunuhan Abdullah bin Khabbab), ia akan dituduh melakukan tirani dan pertumpahan darah tanpa alasan. Ali adalah seorang negarawan yang terikat oleh hukum. Ia memberi mereka kesempatan untuk bertaubat dan kembali, memenuhi janji Ilahi untuk mendakwahkan sebelum berperang. Ketika ia akhirnya menyerang, tindakannya didukung oleh keharusan hukum, bukan sekadar ambisi politik.

Pembentukan Mazhab Teologis

Secara teologis, Khawarij memaksa ulama Islam untuk secara definitif merumuskan doktrin tentang keimanan dan dosa. Perdebatan sengit tentang status Muslim yang melakukan dosa besar (*fasiq*) muncul langsung dari tragedi Khawarij. Ali bin Abi Thalib dan para pendukungnya (yang kemudian berkembang menjadi Syiah) dan juga Sunni, menolak pandangan Khawarij bahwa pelaku dosa besar adalah kafir. Mereka berargumen bahwa dosa besar dapat mengurangi keimanan tetapi tidak otomatis mengeluarkan seseorang dari Islam.

Keputusan pahit Ali di Nahrawan, yang timbul dari keputusan awal untuk biarkan dia pergi dari barisan, menjadi katalisator bagi perkembangan ilmu Kalam (teologi spekulatif) di kalangan Muslim ortodoks. Ini adalah warisan positif yang ironis: tragedi politik memaksa artikulasi yang lebih jelas mengenai teologi yang sehat dan moderat, sebagai perlawanan terhadap ekstremisme Khawarij.

Kekosongan Moral Kepemimpinan

Kematian Ali menciptakan kekosongan moral yang tidak pernah benar-benar terisi. Para pemimpin yang menggantikannya—Muawiyah dan Dinasti Umayyah—berhasil membawa stabilitas politik, tetapi mereka kehilangan legitimasi spiritual dan moralitas murni yang dimiliki Ali. Peristiwa Khawarij menandai transisi definitif dari kekhalifahan yang dipimpin oleh kesalehan dan persaudaraan Nabi, menjadi monarki yang didorong oleh pragmatisme politik dan kekuasaan dinasti.

Dalam refleksi terakhir, seluruh episode Siffin, Tahkim, dan Nahrawan menegaskan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah seorang pahlawan yang terperangkap. Pahlawan yang berusaha keras mempertahankan persatuan, tetapi dihadapkan pada ekstremisme yang menolak segala bentuk persatuan kecuali persatuan di bawah interpretasi mereka yang sempit. Ia harus memilih antara menjaga perdamaian sementara dengan Muawiyah (yang ia tentang secara prinsip) atau membiarkan ancaman ideologis membakar tubuh umat dari dalam (Khawarij). Ia memilih yang terakhir, dan harga yang dibayar adalah nyawanya sendiri.

Kontemplasi Perpisahan: Mengapa Tidak Ada Jalan Tengah

Pertanyaan mendasar yang selalu muncul dari narasi ini adalah: Mengapa Ali tidak bisa menengahi Khawarij? Mengapa ia harus biarkan dia pergi hingga titik pertempuran berdarah? Jawabannya terletak pada sifat konflik itu sendiri. Konflik dengan Muawiyah adalah politik; konflik dengan Khawarij adalah eksistensial dan teologis.

Kebutuhan akan Identitas Mutlak

Khawarij mencari identitas mutlak. Setelah mereka memaksa Ali menerima Tahkim, mereka tidak bisa menerima bahwa tindakan itu adalah kesalahan politik yang bisa ditaubati; mereka harus menganggapnya sebagai kekafiran total agar kesalahan mereka sendiri tertebus. Ali menantang mereka dengan akal dan ayat Qur'an, tetapi mereka menolak, karena menerima argumentasi Ali berarti mereka harus mengakui bahwa mereka salah secara fundamental. Hal ini tidak dapat diterima oleh mereka yang mendasarkan eksistensi mereka pada kesucian ideologis.

Ali, sebagai pemimpin yang bertanggung jawab, tidak bisa menoleransi sebuah kelompok yang menganggapnya kafir dan menganggap darah setiap non-Khawarij halal. Jika ia membiarkan mereka hidup damai di tengah-tengahnya, mereka akan terus merekrut, mengganggu, dan akhirnya meruntuhkan pemerintahannya melalui teror. Ini bukan soal perbedaan mazhab, tetapi soal keberlanjutan negara dan hukum.

Ali dan Pasukan yang Memisahkan Diri Kesunyian Pengorbanan Ali bin Abi Thalib memandang kelompok yang memisahkan diri, menyadari perpisahan yang tak terhindarkan.

Penggunaan Waktu oleh Ali

Jeda waktu antara Tahkim dan Nahrawan adalah periode penting di mana Ali menggunakan semua alat persuasi yang dimilikinya. Ia mengirim juru bicara, seperti Ibnu Abbas, untuk berdebat dengan Khawarij. Tujuan Ali bukan untuk menghancurkan mereka, melainkan untuk membuktikan kepada pasukannya sendiri dan kepada sejarah bahwa Khawarij telah diberi setiap kesempatan untuk kembali. Ali tahu bahwa jika ia harus berperang melawan mereka, ia harus melakukannya dengan legitimasi moral yang tak terbantahkan, dan pembunuhan brutal yang dilakukan Khawarij di luar Kufah memberinya legitimasi tersebut.

Keputusan untuk biarkan dia pergi pada awalnya adalah tindakan kehati-hatian, menghormati hak setiap orang untuk tidak berada di bawah komandonya. Namun, ketika hak untuk keluar (perpisahan) berbenturan dengan hak hidup warga sipil yang tidak bersalah, maka pemimpin harus bertindak. Tindakan itu, meskipun mematikan bagi Khawarij, pada akhirnya menyelamatkan umat Muslim dari model ekstremisme yang, jika dibiarkan tanpa hukuman, akan menghancurkan masyarakat dari dasar-dasarnya.

Kontemplasi Peran Takdir: Ali dan Jalan yang Tak Terhindarkan

Dalam melihat seluruh rangkaian peristiwa ini—dari desakan Ali untuk melawan Muawiyah secara militer, pemaksaan Tahkim oleh Khawarij, penolakan Khawarij terhadap hasil Tahkim, hingga konfrontasi Nahrawan—kita melihat bagaimana Ali bin Abi Thalib, seorang tokoh yang paling dekat dengan Nabi, menjadi korban dari takdir politik yang tidak terhindarkan.

Ali mewakili idealisme kekhalifahan yang sejati, di mana kepemimpinan adalah tanggung jawab spiritual yang mutlak, bukan hak turun-temurun atau hasil manuver politik. Namun, ia hidup di era di mana idealisme ini mulai berbenturan keras dengan realitas kekuasaan, ambisi, dan, yang paling berbahaya, penafsiran agama yang fanatik dan tidak fleksibel.

Kekhalifahan Ali adalah jembatan yang runtuh antara kesucian masa Nabi dan pragmatisme kekuasaan yang muncul. Khawarij adalah manifestasi paling pahit dari keruntuhan ini. Mereka adalah mereka yang paling idealis, paling saleh, dan pada saat yang sama, paling mematikan. Mereka menuntut kemurnian yang mustahil di dunia yang fana, dan ketika Ali tidak dapat memberikan kemurnian itu, mereka membiarkan dia pergi dari otoritas mereka, dan mereka pun berpisah darinya.

Akhir hidup Ali di tangan seorang Khawarij menutup bab kekhalifahan ideal. Itu menggarisbawahi pelajaran bahwa musuh terbesar keadilan yang teguh sering kali bukanlah kejahatan terang-terangan (seperti Muawiyah yang berjuang untuk kekuasaan), tetapi fanatisme yang lahir dari kebaikan yang tersesat (seperti Khawarij yang berjuang untuk kemurnian absolut).

Narasi tentang Ali bin Abi Thalib adalah pengingat abadi bahwa kepemimpinan yang berprinsip kadang-kadang menuntut keputusan yang sangat sunyi dan menyakitkan, di mana pemimpin harus mengorbankan popularitas, stabilitas, dan bahkan nyawanya, demi melindungi tubuh sosial dari virus perpecahan yang berbasis pada kebencian dan interpretasi ekstremis.

Epilog: Warisan yang Kekal

Kisah Ali bin Abi Thalib, Khalifah yang dililit oleh fitnah dan tragedi, tetap bergema hingga kini. Ia adalah simbol kesabaran dan ketegasan. Meskipun ia gagal menyatukan kembali umat secara politik, ia berhasil mempertahankan integritas teologis dan moralnya. Keputusan untuk biarkan dia pergi dari Khawarij, dan kemudian menghadapi mereka, adalah pengorbanan yang menyelamatkan Islam dari ancaman anarki teokratis yang lebih besar.

Kehidupannya mengajarkan bahwa ketaatan pada prinsip kebenaran sering kali membawa konsekuensi pahit di dunia politik. Ali bin Abi Thalib meninggalkan warisan yang melampaui gelar Khalifah; ia meninggalkan warisan seorang pahlawan yang, dalam menghadapi kekecewaan dan perpisahan, memilih untuk berdiri sendiri di atas kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu membawanya menuju takdirnya yang paling tragis.

Setiap detail peristiwa ini, setiap perdebatan, dan setiap tetes darah di Nahrawan adalah bukti betapa beratnya memanggul amanah kenabian di tengah manusia yang ambisius dan mudah terprovokasi. Perpisahan Khawarij adalah pelajaran pahit tentang harga yang harus dibayar untuk idealisme yang tak kenal kompromi.

🏠 Homepage