Kisah hidup Ali bin Abi Thalib adalah sebuah epos yang tidak terpisahkan dari sejarah permulaan Islam. Ia adalah sepupu sekaligus menantu Rasulullah ﷺ, Khulafaur Rasyidin keempat, seorang ksatria tak tertandingi di medan perang, dan salah satu sumber kebijaksanaan spiritual dan hukum terbesar yang pernah dikenal umat Islam. Kehidupannya dipenuhi dengan pengabdian total, ujian berat, dan peran sentral dalam membentuk struktur sosial dan intelektual masyarakat Islam. Ia adalah manifestasi sempurna dari keadilan, kezuhudan, dan ilmu yang mendalam.
Ali bin Abi Thalib lahir di Mekkah, diyakini di dalam Ka’bah, sebuah kehormatan yang tidak pernah dinikmati oleh orang lain. Ayahnya, Abu Thalib, adalah paman Nabi Muhammad ﷺ dan pelindung utama beliau dari intimidasi suku Quraisy. Ibunya adalah Fatimah binti Asad. Kedekatan Ali dengan Nabi Muhammad dimulai sejak usia sangat muda, dan hubungan ini membentuk seluruh karakter dan pandangan hidup Ali.
Ketika Ali masih kecil, Mekkah dilanda kemarau panjang yang menyebabkan kesulitan ekonomi bagi Abu Thalib, yang memiliki banyak anak. Nabi Muhammad ﷺ, bersama pamannya yang lain, Abbas, menawarkan diri untuk meringankan beban Abu Thalib. Nabi Muhammad mengambil Ali untuk diasuh dan dididik di rumahnya. Dengan demikian, Ali dibesarkan langsung di bawah pengawasan dan didikan akhlak mulia Nabi Muhammad ﷺ, menjadikannya murid pertama, bahkan sebelum turunnya wahyu kenabian. Ali menyerap ajaran Islam secara langsung dari sumbernya, jauh dari pengaruh tradisi jahiliah yang menguasai Mekkah saat itu.
Pendidikan di rumah kenabian tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga praktis. Nabi Muhammad ﷺ menanamkan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keberanian pada diri Ali. Hal ini menjelaskan mengapa Ali menjadi salah satu pemuda dengan integritas paling kuat di antara kaum Quraisy.
Ketika wahyu pertama turun kepada Nabi Muhammad ﷺ, Ali adalah orang kedua yang menerima Islam, atau yang pertama dari kalangan anak-anak. Saat itu, Ali diperkirakan baru berusia sekitar sepuluh tahun. Tindakan ini menunjukkan kematangan spiritualnya yang luar biasa, berani menentang keyakinan leluhur suku Quraisy pada usia yang begitu muda. Penerimaan Ali terhadap Islam tidak hanya berdasarkan cinta kepada sepupunya, tetapi juga keyakinan yang mendalam terhadap kebenaran pesan tersebut.
Keislaman Ali sangat rahasia pada awalnya, namun ia tidak pernah ragu untuk melaksanakan shalat bersama Nabi Muhammad ﷺ dan Khadijah di celah-celah kota Mekkah, menjauh dari pandangan kasar para penentang. Keberaniannya, yang kelak akan membuatnya terkenal di medan pertempuran, sudah tampak sejak langkah pertamanya dalam dakwah.
Ilustrasi 1: Ilmu dan Kebijaksanaan
Periode Mekkah adalah masa ujian yang intens bagi kaum Muslimin. Ali, sebagai bagian integral dari keluarga Nabi, ikut merasakan tekanan dan ancaman yang semakin meningkat dari Quraisy. Namun, peran terbesarnya dalam sejarah dakwah muncul pada malam Hijrah.
Ketika kaum Quraisy memutuskan untuk membunuh Nabi Muhammad ﷺ secara kolektif—sebuah rencana yang dikenal sebagai Lailatul Mabit—Nabi menerima wahyu untuk meninggalkan Mekkah menuju Madinah. Dalam salah satu tindakan keberanian dan pengorbanan terbesar dalam sejarah Islam, Nabi meminta Ali untuk tidur di ranjang beliau, berselimutkan selimut hijau milik Nabi.
Tindakan ini sangat berisiko. Ali tahu betul bahwa para pemuda Quraisy yang mengepung rumah bisa saja salah mengenali dirinya dalam kegelapan dan membunuhnya. Namun, keimanannya dan cintanya kepada Nabi jauh melebihi rasa takut akan kematian. Pengorbanan ini memungkinkan Nabi Muhammad ﷺ meninggalkan Mekkah dengan aman dan memulai perjalanan Hijrah. Pengorbanan Ali ini diabadikan dalam catatan sejarah sebagai bukti pengabdiannya yang tak tergoyahkan.
Tugas Ali belum berakhir setelah Nabi pergi. Setelah berhasil mengecoh para pengepung, Ali tetap berada di Mekkah selama tiga hari. Tugasnya adalah menyelesaikan amanah dan mengembalikan harta benda yang dititipkan kepada Nabi Muhammad ﷺ (yang dikenal sebagai Al-Amin) kepada pemiliknya. Ini adalah tugas diplomatik dan logistik yang sangat sensitif, menunjukkan bahwa bahkan dalam bahaya besar, prinsip kejujuran harus diutamakan.
Setelah menunaikan semua amanah tersebut, barulah Ali memulai perjalanan Hijrahnya menuju Madinah dengan berjalan kaki, membawa serta Fatimah binti Muhammad dan beberapa wanita Muslim lainnya. Ia tiba di Madinah dengan kaki melepuh, namun disambut hangat oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Setibanya di Madinah, Ali bin Abi Thalib sepenuhnya mengabdikan diri untuk pembangunan negara Islam yang baru. Ia berpartisipasi dalam persaudaraan (Muakhah) yang dijalankan Nabi, di mana Ali dipersaudarakan dengan Nabi Muhammad ﷺ sendiri, sebuah ikatan yang melampaui ikatan darah. Ini menegaskan posisi unik Ali dalam komunitas Muslim.
Salah satu peristiwa paling penting dalam kehidupan Ali di Madinah adalah pernikahannya dengan Fatimah Az-Zahra, putri bungsu Nabi Muhammad ﷺ, yang sangat dicintai. Pernikahan ini terjadi setelah Perang Badr. Meskipun Ali tidak memiliki harta duniawi yang melimpah, ia memiliki keberanian, kesalehan, dan kedudukan spiritual yang tak ternilai.
Pernikahan ini menjadi poros keturunan Nabi Muhammad ﷺ. Dari pernikahan Ali dan Fatimah, lahirlah Hasan, Husain, Zainab, dan Ummu Kultsum. Hasan dan Husain, yang sangat dicintai oleh Nabi, menjadi pemimpin pemuda di Surga dan pewaris spiritual penting. Keluarga ini, dikenal sebagai Ahlul Bayt, memegang peran sentral dalam pengembangan doktrin Islam dan sejarah politik umat.
Kehidupan rumah tangga Ali dan Fatimah sangat sederhana, mencerminkan kezuhudan Ali. Seringkali, mereka menghadapi kemiskinan dan kelaparan, namun tidak pernah mengeluh. Ali bekerja keras, terkadang sebagai buruh angkut air atau pengairi kebun, sementara Fatimah menggiling gandum hingga tangannya lecet. Kesederhanaan ini menjadi contoh ideal tentang bagaimana pemimpin dan keluarganya harus hidup, fokus pada akhirat daripada kemewahan dunia.
Julukan "Singa Allah" (Asadullah) yang disematkan kepada Ali bin Abi Thalib bukanlah isapan jempol belaka. Di setiap pertempuran besar sejak Hijrah, Ali menunjukkan keberanian, strategi, dan keahlian pedang yang luar biasa. Kehadirannya sering kali menjadi penentu kemenangan kaum Muslimin.
Dalam Perang Badr, pertempuran besar pertama antara Muslimin dan Quraisy, Ali memainkan peran sentral. Ia termasuk dalam tiga orang yang maju dalam duel pembuka (mubarazah). Ali berhasil menumbangkan lawannya, Al-Walid bin Utbah. Keberhasilan ini memberikan dorongan moral yang sangat besar bagi tentara Muslim. Di usia muda, Ali sudah menjadi salah satu ksatria yang paling ditakuti oleh pihak musuh.
Meskipun Muslimin mengalami kekalahan sementara dalam Perang Uhud, Ali menunjukkan kesetiaan luar biasa. Ketika banyak sahabat lari, Ali tetap berada di sisi Nabi Muhammad ﷺ, mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi beliau dari serangan lawan. Ia menerima lebih dari enam puluh luka dalam pertempuran itu, namun tidak pernah mundur dari posisinya.
Pada Perang Khandaq, Madinah dikepung oleh koalisi besar suku-suku Arab. Momen paling kritis terjadi ketika Amr bin Abduwudd, ksatria Quraisy yang legendaris, berhasil melompati parit dan menantang duel. Tidak ada yang berani maju kecuali Ali bin Abi Thalib. Setelah Nabi memberinya pedangnya, Dzul Faqar, Ali menghadapi Amr.
Duel ini bukan hanya pertarungan fisik, tetapi pertarungan psikologis dan spiritual. Ketika Ali berhasil mengalahkan Amr, hal ini tidak hanya membunuh pemimpin musuh, tetapi juga menghancurkan moral koalisi Quraisy. Kemenangan Ali di Khandaq dianggap setara dengan kemenangan seluruh pasukan.
Mungkin puncak dari catatan keberanian Ali adalah pengepungan benteng Yahudi di Khaybar. Benteng ini sangat kuat, dan Muslimin telah berusaha menaklukkannya selama beberapa hari tanpa hasil. Nabi Muhammad ﷺ kemudian menyatakan:
"Aku akan menyerahkan panji perang esok hari kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dia adalah orang yang menyerang, bukan melarikan diri, dan Allah akan memberikan kemenangan melalui tangannya."
Keesokan harinya, yang terpilih adalah Ali, meskipun saat itu ia menderita sakit mata yang parah. Ali memimpin serangan, dan ketika perisainya jatuh, ia dengan kekuatan yang luar biasa mencabut pintu gerbang Khaybar yang besar dan menggunakannya sebagai perisai. Setelah menembus pertahanan, benteng Khaybar berhasil ditaklukkan. Kejadian ini menegaskan status Ali sebagai ksatria paling ulung dan berani dalam Islam.
Ilustrasi 2: Keberanian dan Ksatria
Selain sebagai seorang ksatria, Ali bin Abi Thalib dikenal secara universal sebagai "Gerbang Kota Ilmu." Nabi Muhammad ﷺ bersabda, "Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah gerbangnya." Hadis ini menyoroti kedalaman pemahaman Ali terhadap ajaran agama, hukum, dan metafisika.
Karena dibesarkan bersama Nabi dan menjadi saksi langsung turunnya wahyu, Ali memiliki pemahaman yang tak tertandingi mengenai konteks (Asbabun Nuzul) dan interpretasi (Tafsir) Al-Qur'an. Ia dikenal sebagai salah satu perawi hadis terbanyak dan paling akurat, serta seorang yang sangat teliti dalam mengeluarkan fatwa hukum.
Pengetahuannya mencakup fikih (jurisprudensi), tauhid (teologi), dan tarikh (sejarah). Ali memiliki kemampuan untuk menganalisis masalah yang kompleks dan menyelesaikannya dengan solusi yang adil dan logis, menjadikan dia rujukan utama bagi para khalifah sebelum beliau.
Ali bin Abi Thalib juga diyakini sebagai peletak dasar ilmu tata bahasa Arab (Nahwu). Seiring meluasnya kekuasaan Islam dan berinteraksinya bangsa Arab dengan non-Arab, muncul kekhawatiran akan terjadinya kesalahan dalam pembacaan Al-Qur'an. Atas permintaan Ali, Abu al-Aswad ad-Du'ali mulai menyusun aturan-aturan dasar tata bahasa, memastikan kemurnian bahasa wahyu tetap terjaga. Ini adalah kontribusi monumental terhadap pelestarian budaya dan intelektual Islam.
Karya paling monumental yang mengumpulkan hikmah, khotbah, surat, dan ucapan Ali adalah Nahjul Balaghah (Jalan Kefasihan). Meskipun disusun berabad-abad kemudian oleh Syarif Ar-Radhi, koleksi ini menampilkan kefasihan, kedalaman filosofis, dan keindahan retorika Ali yang tak tertandingi. Ucapan-ucapannya mencakup:
Salah satu kutipan yang paling terkenal menekankan nilai ilmu:
"Ilmu lebih baik daripada harta. Ilmu menjagamu, sedangkan harta engkau yang menjaganya. Ilmu bertambah dengan dibelanjakan, sedangkan harta berkurang dengan dibelanjakan."
Sebelum menjadi khalifah, Ali sering bertindak sebagai hakim yang ditunjuk oleh Nabi Muhammad ﷺ, dan kemudian sebagai penasihat hukum ulama bagi para Khalifah Rasyidin. Keputusannya (Qadha) dikenal karena keadilannya yang tajam dan kemampuannya untuk menemukan inti kebenaran, bahkan dalam kasus-kasus yang paling rumit. Umar bin Khattab pernah berkata, "Seandainya bukan karena Ali, celakalah Umar," menunjukkan ketergantungannya pada kebijaksanaan hukum Ali.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ, Ali, meskipun sempat menjauhkan diri dari urusan politik untuk beberapa waktu demi fokus pada kompilasi Al-Qur'an dan keluarga, memainkan peran penting sebagai penasihat kunci bagi tiga khalifah pertama: Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan.
Ali memberikan baiat kepada Abu Bakar beberapa waktu setelah baiat pertama. Meskipun ada perbedaan pendapat politik di awal suksesi, Ali menunjukkan loyalitas terhadap persatuan umat. Ia sering memberikan saran strategis kepada Abu Bakar, terutama dalam masalah hukum dan penyelesaian sengketa, memastikan stabilitas internal negara Islam yang masih rentan.
Hubungan Ali dengan Umar sangat erat dan didasarkan pada rasa saling menghormati atas dasar ilmu dan keadilan. Umar secara rutin berkonsultasi dengan Ali mengenai masalah-masalah kompleks administrasi dan hukum. Ali membantu Umar dalam penetapan kalender Hijriah dan dalam banyak keputusan militer serta kebijakan fiskal. Pengakuan Umar terhadap keilmuan Ali adalah bukti betapa vitalnya peran Ali dalam fondasi pemerintahan Islam awal.
Selama masa kekhalifahan Utsman, Ali bertindak sebagai penengah dan penasihat saat ketidakpuasan politik mulai meningkat. Ali berusaha keras melindungi Utsman dari kritik berlebihan dan ancaman, meskipun ia terkadang berbeda pandangan dengan Utsman mengenai kebijakan tertentu. Ketika krisis mencapai puncaknya dan Utsman dikepung, Ali mengirim putra-putranya, Hasan dan Husain, untuk menjaga pintu rumah Utsman, menunjukkan komitmennya pada ketertiban dan kepemimpinan yang sah.
Setelah syahidnya Utsman bin Affan, umat Islam di Madinah, menghadapi kekosongan kepemimpinan dan kekacauan, mendesak Ali untuk menerima jabatan khalifah. Ali awalnya enggan, menyadari beratnya tugas di tengah fitnah yang telah melanda umat, namun akhirnya menerima baiat pada Zulhijah. Masa khilafahnya, yang berlangsung kurang dari lima tahun, adalah masa yang paling bergolak dan penuh tantangan dalam sejarah Islam awal.
Ali segera menegaskan bahwa ia akan mengembalikan pemerintahan kepada prinsip-prinsip ketat keadilan dan egaliterianisme yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Langkah pertamanya yang kontroversial namun esensial adalah:
Langkah-langkah ini, meskipun didasari oleh keinginan untuk membersihkan pemerintahan, secara langsung menantang kepentingan golongan elit dan para bangsawan Quraisy yang telah menikmati hak istimewa, memicu resistensi politik yang serius.
Masa khilafah Ali didominasi oleh tiga konflik internal besar yang dikenal sebagai Fitnah Kubra (Kekacauan Besar), perpecahan yang dampaknya terasa hingga hari ini.
Perang pertama terjadi antara Ali dan faksi yang dipimpin oleh Aisyah binti Abu Bakar, Talhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. Mereka menuntut Ali segera menghukum pembunuh Utsman. Ali berpendapat bahwa stabilitas harus dipulihkan terlebih dahulu sebelum keadilan dapat ditegakkan. Pertempuran terjadi di dekat Basra. Ali berusaha menghindari pertumpahan darah, namun negosiasi gagal. Perang Unta adalah tragedi pertama di mana Muslimin saling bunuh. Ali berhasil menang, dan setelah pertempuran, ia memperlakukan Aisyah dengan hormat dan mengirimnya kembali ke Madinah.
Konflik terbesar terjadi melawan Muawiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Syam (Suriah) yang sangat kuat. Muawiyah menolak mengakui Ali sebagai khalifah sampai Ali menyerahkan pembunuh Utsman kepadanya. Muawiyah menggunakan baju Utsman yang berlumuran darah sebagai simbol perlawanan.
Kedua pasukan bertemu di Shiffin. Setelah pertempuran berlarut-larut yang merenggut ribuan nyawa, dan saat pasukan Ali hampir memenangkan pertempuran, tentara Muawiyah mengangkat mushaf Al-Qur'an di ujung tombak, menyerukan arbitrase berdasarkan Kitab Allah. Ali terpaksa menyetujui arbitrase, meskipun ia curiga terhadap taktik ini.
Keputusan Ali untuk menerima arbitrase menyebabkan perpecahan di dalam barisannya sendiri. Sekelompok besar pasukannya menolak arbitrase, mengklaim bahwa "Keputusan hanya milik Allah" (La Hukma Illa Lillah), dan menganggap Ali telah melakukan dosa besar karena menyerahkan keputusan kepada manusia. Kelompok ini dikenal sebagai Khawarij (Kaum yang Keluar).
Khawarij menjadi kelompok radikal yang mengancam keamanan sipil. Ali berusaha bernegosiasi, namun ketika mereka melakukan pembunuhan terhadap warga sipil yang tidak bersalah, Ali terpaksa menghadapi mereka dalam Perang Nahrawan. Ini adalah pertempuran yang paling menyakitkan bagi Ali, karena ia melawan orang-orang yang dulunya adalah pasukannya sendiri.
Ilustrasi 3: Keadilan dan Kepemimpinan
Meskipun Ali berhasil mengalahkan Khawarij di Nahrawan, sisa-sisa kelompok tersebut bersumpah untuk membalas dendam dengan membunuh tiga pemimpin yang mereka anggap bertanggung jawab atas perpecahan umat: Ali, Muawiyah, dan Amru bin Ash. Ketiga pembunuh itu berangkat ke target masing-masing pada malam yang sama.
Di Kufah, Irak, pada bulan Ramadhan, saat Ali tengah menuju masjid untuk memimpin shalat Subuh, ia diserang oleh Abdurrahman bin Muljam. Ali ditikam dengan pedang beracun di kepala. Ia meninggal dua hari kemudian, wafat sebagai syahid.
Kata-kata terakhirnya dilaporkan mencerminkan ketakwaannya dan kepasrahannya pada kehendak Allah. Syahadahnya menandai berakhirnya era Khulafaur Rasyidin dan membuka jalan bagi era Dinasti Umayyah di bawah Muawiyah.
Ali adalah pemimpin yang langka karena ia menggabungkan sifat-sifat yang jarang bersatu:
Pengaruh Ali bin Abi Thalib jauh melampaui masanya sebagai khalifah. Ia adalah sosok sentral yang dihormati dan dicintai oleh seluruh umat Islam, meskipun status dan kedudukannya ditafsirkan berbeda oleh berbagai mazhab.
Dalam tradisi Sunni, Ali dihormati sebagai khalifah keempat yang adil, salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga (Al-’Asyarah Al-Mubasysyarun Bil Jannah), dan sebagai pahlawan perang yang legendaris. Ia adalah sumber utama hadis, tafsir, dan fikih. Umat Sunni mengakui keilmuannya dan kedudukannya yang istimewa sebagai menantu dan sepupu Nabi. Ia dilihat sebagai model zuhud dan keberanian yang sempurna.
Bagi Muslim Syiah, Ali memiliki kedudukan yang jauh lebih tinggi. Mereka meyakini bahwa Ali adalah penerus sah Nabi Muhammad ﷺ yang ditunjuk oleh Allah (melalui peristiwa Ghadir Khumm) dan merupakan Imam pertama yang ma’shum (terpelihara dari dosa). Kedudukannya bukan hanya sebagai pemimpin politik, tetapi sebagai pemimpin spiritual (Imam). Keturunannya, melalui Hasan dan Husain, menjadi sumber kepemimpinan spiritual dan politik (Imamah) selama berabad-abad.
Dalam dunia tasawuf, Ali memegang peran yang sangat penting. Hampir semua silsilah (rantai spiritual) tarekat Sufi menelusuri garis keturunan pengetahuan spiritual mereka kembali kepada Ali bin Abi Thalib. Ini dikarenakan penekanannya pada ilmu batin, spiritualitas mendalam, dan penghayatan makna Al-Qur'an. Ia dianggap sebagai guru spiritual dan sumber utama ilmu 'irfani (gnosis atau pengetahuan esoteris) setelah Nabi Muhammad ﷺ.
Sebagai sosok yang sangat mementingkan keindahan bahasa dan kaligrafi, Ali diyakini memiliki peran dalam pengembangan gaya penulisan Arab. Banyak ahli kaligrafi Islam menelusuri asal-usul keterampilan mereka kembali ke Ali, yang dikenal memiliki tulisan tangan yang indah dan mendorong seni menulis. Warisan ini menjadi pilar kebudayaan Islam.
Ali bin Abi Thalib adalah studi kasus tentang bagaimana seorang manusia dapat menggabungkan kecemerlangan intelektual, kekejaman militer (demi kebenaran), dan kerendahan hati spiritual yang ekstrem. Kehidupannya memberikan pelajaran abadi mengenai kepemimpinan, moralitas, dan peran agama dalam kehidupan publik.
Salah satu dokumen paling berharga yang ditinggalkan Ali adalah suratnya kepada Malik Al-Asytar, yang diangkatnya sebagai gubernur Mesir. Surat ini adalah piagam tata kelola negara yang luar biasa, sering dipelajari dalam ilmu politik Islam. Di dalamnya, Ali menguraikan tanggung jawab seorang pemimpin:
Surat ini menunjukkan visi Ali tentang negara yang ideal, di mana keadilan dan belas kasihan adalah fondasi kekuasaan, bukan kekerasan atau tirani.
Kehidupan Ali sering digambarkan sebagai kisah pahlawan tragis. Ia adalah orang yang paling dekat dengan Nabi, yang paling berilmu, dan yang paling berani, namun masa pemerintahannya dihabiskan untuk memerangi sesama Muslim, bukan musuh eksternal. Tragedi ini bukan disebabkan oleh kegagalannya, melainkan oleh teguhnya ia berpegangan pada prinsip keadilan yang tidak dapat dikompromikan di tengah zaman yang menuntut fleksibilitas politik. Ia memilih kebenaran (al-Haqq) di atas keuntungan politik (al-Mashlahah), dan inilah yang membuatnya menderita dan akhirnya gugur.
Nama Ali bin Abi Thalib tetap abadi tidak hanya di masjid dan madrasah, tetapi juga dalam literatur, filsafat, dan tradisi kesatriaan di seluruh dunia Islam. Ia adalah cerminan dari semangat Islam yang paling murni: semangat ilmu, pengorbanan, keberanian yang tenang, dan kepemimpinan yang ditujukan untuk melayani, bukan menguasai. Kisahnya berfungsi sebagai pengingat bahwa kepemimpinan sejati diukur bukan dari kemewahan kekuasaan, melainkan dari konsistensi moral di hadapan tantangan terberat.
Pengabdiannya terhadap ilmu, keteguhannya dalam membela kebenaran, dan keberaniannya yang legendaris, menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai sosok yang tak pernah padam sinarnya, sebuah mercusuar yang menerangi jalan bagi umat Islam dari generasi ke generasi.
***