Di tengah hiruk pikuk modernitas, di mana kebenaran sering kali tereduksi menjadi narasi yang paling keras, dan keadilan terabaikan oleh kepentingan pragmatis, muncullah sebuah harapan yang melampaui waktu. Sebuah harapan yang bukan hanya sekadar nostalgia historis, tetapi kebutuhan mendesak akan kejernihan etika dan intelektual. Aku pernah berharap, atau lebih tepatnya, aku sering berharap—dunia ini dapat merasakan kembali kehadiran sosok seperti Ali bin Abi Thalib. Bukan dalam wujud fisik, melainkan dalam resonansi ajaran, keberanian moral, dan kekayaan spiritual yang ia tinggalkan.
Ali, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad, adalah anomali sejarah. Ia adalah panglima perang yang takut kepada Allah melebihi takutnya pada pedang musuh, seorang negarawan yang menolak kekayaan demi keadilan, dan seorang filosof yang ajarannya membentuk fondasi sufisme sekaligus yurisprudensi. Kehidupannya, yang terjalin erat dengan titik-titik krusial dalam sejarah Islam, menawarkan peta jalan bagi mereka yang mencari integritas sejati. Menelusuri jejaknya adalah upaya memahami bagaimana kebijaksanaan dapat dipraktikkan, bahkan ketika dunia di sekitarnya runtuh.
Kisah Ali bermula dari sebuah kedekatan yang tak tertandingi. Lahir di dalam Ka’bah—sebuah peristiwa yang disepakati oleh banyak sejarawan sebagai tanda kekhususan—ia segera berada di bawah asuhan langsung Nabi Muhammad SAW. Ketika Mekkah dilanda paceklik, Nabi Muhammad mengambil alih pengasuhannya dari pamannya, Abu Thalib. Ini bukan hanya perpindahan rumah tangga, melainkan adopsi spiritual yang mendalam.
Sejak usia enam tahun, Ali tumbuh dalam bayangan kenabian. Ia menyaksikan wahyu diturunkan, mendengar ayat-ayat suci sebelum orang lain, dan mengamati karakter Nabi dalam setiap detail kehidupannya. Lingkungan ini memberikannya pendidikan yang tak tertandingi: pendidikan yang didasarkan pada Tauhid murni, asketisme praktis, dan kepekaan sosial. Ia adalah anak laki-laki pertama yang memeluk Islam, sebuah fakta yang sering kali luput dari perhatian, namun menunjukkan kemurnian insting dan kesiapan intelektualnya. Ketika Nabi mengumumkan risalahnya, Ali, yang saat itu masih remaja, berdiri tegak di sampingnya.
Ali tidak hanya belajar dari kata-kata Nabi, ia belajar dari diamnya Nabi, dari cara Nabi berinteraksi dengan orang miskin, dan dari kesabaran Nabi menghadapi penganiayaan. Ia adalah cermin dari akhlak Rasulullah yang ditempa dalam panasnya ujian Mekkah.
Momen paling heroik dalam fase awal kehidupannya adalah Malam Hijrah (Laylat al-Mabit). Ketika kaum Quraisy berencana membunuh Nabi, Ali dengan berani berbaring di ranjang Nabi, menyelimuti dirinya dengan selimut hijau milik Nabi. Tindakan ini adalah puncak dari pengabdian dan keberanian tanpa pamrih. Ia tahu betul risikonya, namun kecintaannya kepada Nabi melampaui rasa takut akan kematian. Pengorbanan ini bukan hanya menyelamatkan nyawa Nabi, tetapi juga memastikan kelangsungan perjalanan dakwah. Kepercayaan Nabi terhadap Ali pada saat kritis ini adalah testimoni terbesar atas karakter dan kejujurannya.
Jika kita berharap Ali hadir, kita berharap pada keberanian yang otentik. Bukan keberanian impulsif yang didorong amarah, melainkan keberanian yang tenang, hasil dari keyakinan mutlak pada keadilan ilahi. Di medan perang, Ali dikenal dengan julukan Haidar (Singa) atau Asadullah (Singa Allah). Ia berpartisipasi dalam hampir setiap pertempuran besar, selalu ditempatkan di garis depan, dan sering kali menjadi kunci pemecah kebuntuan.
Tidak ada kisah yang lebih menggambarkan keberanian Ali selain Pengepungan Khaybar. Setelah pengepungan yang panjang dan beberapa kali serangan gagal, Nabi Muhammad menyatakan, "Besok, aku akan menyerahkan bendera ini kepada seorang pria yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dia tidak akan lari, dan Allah akan memberikan kemenangan melalui tangannya."
Keesokan harinya, Ali datang dalam keadaan sakit mata. Nabi meludahi matanya, dan seketika ia sembuh. Ali kemudian mengambil bendera, menghadapi benteng yang dikuasai oleh pejuang Yahudi paling tangguh. Dalam duel yang menentukan, ia mengalahkan Marhab, pahlawan Khaybar. Ketika sampai pada gerbang utama benteng yang besar dan kokoh, ia mencabutnya—beberapa riwayat mengatakan ia menggunakan gerbang itu sebagai perisai, yang menunjukkan kekuatan fisik luar biasa yang diberkahi oleh imannya.
Keberanian Ali tidak hanya terletak pada kekuatan fisiknya, tetapi pada filosofi perangnya. Dalam pertempuran Siffin, ketika ia mengalahkan musuhnya dan hendak melancarkan pukulan terakhir, musuhnya meludah. Ali seketika menghentikan serangannya dan mundur. Ketika ditanya mengapa, ia menjawab bahwa ia berperang karena Allah. Jika ia membunuh musuh setelah diludahi, tindakan itu mungkin didorong oleh kemarahan pribadinya, bukan semata-mata karena kehendak Tuhan. Ini adalah pelajaran fundamental: Tindakan harus murni dari motivasi spiritual, bukan emosi duniawi.
Jika keberaniannya menakjubkan, kebijaksanaannya melampaui batas. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah gerbangnya." Harapan terbesar yang kita miliki terhadap Ali adalah keinginannya untuk meneladani kedalaman ilmu dan pemahamannya, terutama dalam menghadapi kompleksitas teologis dan etika kontemporer.
Kontribusi Ali terhadap ilmu pengetahuan tidak terbatas pada tafsir atau fikih. Setelah menyadari adanya kesalahan pengucapan bahasa Arab oleh para mualaf non-Arab pasca-perluasan wilayah, Ali memerintahkan Abu al-Aswad ad-Du'ali untuk menyusun kaidah tata bahasa Arab (Nahwu). Inisiatif ini krusial. Tanpa Nahwu, Al-Qur'an dan Hadis akan rentan terhadap penafsiran yang salah. Ali adalah penjaga kemurnian bahasa wahyu.
Karya paling monumental yang menghimpun khotbah, surat, dan aforisma Ali adalah Nahj al-Balaghah (Puncak Kefasihan). Karya ini bukan sekadar koleksi ucapan; ia adalah ensiklopedia etika, teologi, politik, dan psikologi manusia. Membaca Nahj al-Balaghah seperti berhadapan langsung dengan intisari filsafat Islam yang mendalam. Di dalamnya, Ali membahas:
Ali menolak antropomorfisme (penggambaran Tuhan dalam bentuk manusia) secara tegas. Khotbah-khotbahnya tentang Tauhid adalah pelajaran metafisika murni. Ia menjelaskan bahwa Allah tidak dapat dibatasi oleh ruang atau waktu, dan sifat-sifat-Nya bukanlah tambahan pada Zat-Nya, melainkan esensi dari Zat-Nya sendiri. Pemahaman ini sangat penting untuk melawan simplifikasi pemikiran teologis.
Ali sering menggunakan metafora yang indah dan tajam untuk menggambarkan kefanaan dunia. Ia menyebut dunia sebagai bangkai yang dicari oleh anjing-anjing atau sebagai mimpi yang cepat berlalu. Namun, ia tidak mengajarkan penarikan diri total (monastisisme), melainkan penguasaan diri atas dunia. Dunia adalah jembatan menuju akhirat, bukan tujuan akhir.
“Wahai orang-orang, takutlah akan dunia yang fana ini. Janganlah kalian tertipu oleh gemerlapnya, dan janganlah kalian terlena oleh janji-janji palsunya. Dunia akan mencampakkan siapa saja yang bergantung padanya.” (Dikutip dari Nahj al-Balaghah).
Ali menekankan pentingnya akal (aql) dan hati (qalb) sebagai alat untuk mencapai makrifat. Ia mengajarkan bahwa perjuangan terbesar manusia adalah melawan ego (nafs). Seseorang yang telah mengalahkan nafs-nya adalah pahlawan sejati, bahkan jika ia belum pernah memegang pedang.
Sebagai hakim dan konsultan utama di masa pemerintahan para khalifah sebelumnya, Ali dikenal karena kemampuan yudisialnya yang luar biasa. Kasus-kasus yang rumit dan tidak memiliki preseden sering kali diselesaikan dengan putusan cerdas yang dikenal sebagai Qada’ Ali (Keputusan Ali). Ini menunjukkan tidak hanya pengetahuan tekstualnya, tetapi juga kemampuan penalaran logis (ijtihad) yang superior.
Ketika Ali akhirnya diangkat sebagai Khalifah Keempat, dunia Islam berada dalam keadaan kekacauan pasca-pembunuhan Utsman bin Affan. Masa pemerintahannya (656-661 M) adalah masa yang paling sulit dan penuh gejolak dalam sejarah Islam awal, ditandai oleh perang sipil dan perpecahan politik yang mendalam. Inilah saat Ali menunjukkan bahwa prinsip tidak dapat dikompromikan, bahkan dengan biaya kekuasaan.
Ali memulai masa pemerintahannya dengan reformasi ekonomi dan politik yang radikal. Ia menolak kebijakan segregasi kekayaan yang telah berkembang. Langkah pertamanya adalah menyita kembali tanah dan kekayaan yang diperoleh secara tidak sah selama masa sebelumnya, dan membagi rata kas negara (Baitul Mal) tanpa memandang status sosial atau riwayat awal keislaman seseorang. Ia menegaskan bahwa semua Muslim memiliki hak yang sama atas kekayaan publik.
Para penasihat politik mendesaknya untuk bersikap lunak terhadap para gubernur yang berpengaruh, setidaknya sampai kekuasaannya stabil. Namun, Ali menolak. Baginya, penundaan keadilan adalah ketidakadilan itu sendiri. Tindakan ini, meskipun secara moral benar, secara politis menjadi bumerang, memicu penentangan dari mereka yang merasa dirugikan.
Salah satu dokumen paling penting yang membuktikan visi kenegaraan Ali adalah surat instruksinya kepada Malik al-Ashtar, yang diangkat sebagai Gubernur Mesir. Surat ini adalah piagam hak asasi manusia dan panduan etika pemerintahan yang melampaui masanya. Jika kita berharap Ali hadir, kita berharap para pemimpin kita membaca dan menerapkan surat ini.
Poin-poin utama dalam surat tersebut meliputi:
Surat ini tetap menjadi teks wajib dalam studi administrasi publik Islam dan sekuler karena kedalaman panduan moralnya.
Masa kekhalifahan Ali dihantui oleh tiga konflik utama—Perang Jamal, Perang Siffin, dan munculnya Khawarij. Ali menghadapi konflik ini dengan keengganan yang mendalam. Ia adalah seorang yang berulang kali mencoba negosiasi damai, namun dipaksa berperang demi mempertahankan kesatuan komunitas dan supremasi keadilan.
Di Siffin, ketika Muawiyah menuntut balas atas Utsman, Ali berjuang untuk prinsip: seorang Khalifah harus diakui sebelum perselisihan diselesaikan, dan hukum harus ditegakkan. Hasil dari Siffin, yang berakhir dengan arbitrase yang kontroversial, tidak hanya memecah kekuasaan politik, tetapi juga memunculkan kelompok Khawarij, yang merupakan ancaman ideologis paling keras.
Pertarungan Ali melawan Khawarij (kelompok yang keluar dari barisannya) adalah salah satu momen paling instruktif. Khawarij adalah contoh dari bahaya ekstremisme agama. Mereka adalah orang-orang yang taat beribadah, ahli dalam membaca Al-Qur'an, tetapi kurang dalam pemahaman (fikih) dan etika sosial. Mereka menganggap Ali dan lawannya sebagai kafir karena menerima arbitrase manusia, dan mereka menganut prinsip bahwa dosa besar menyebabkan pelakunya keluar dari Islam.
Ali tidak hanya menghadapi Khawarij dengan pedang, tetapi pertama-tama dengan argumen. Ia mengirim Ibnu Abbas untuk berdialog dengan mereka, yang berhasil meyakinkan ribuan Khawarij untuk kembali ke barisan Ali melalui debat teologis yang mendalam. Ali memahami bahwa akar masalah mereka adalah interpretasi literal dan kurangnya pemahaman tentang konteks dan tujuan hukum Islam.
“Mereka adalah orang-orang yang ucapannya benar tetapi tindakannya buruk. Mereka membaca Al-Qur'an, tetapi tidak melampaui kerongkongan mereka.” — Ali bin Abi Thalib, menggambarkan Khawarij.
Pada Perang Nahrawan, Ali terpaksa memerangi mereka setelah mereka melakukan pembunuhan massal terhadap Muslim tak berdosa. Meskipun kemenangan militer dicapai, Ali tahu bahwa benih fanatisme ideologis tidak dapat sepenuhnya dihancurkan oleh pedang. Perang melawan Khawarij adalah pelajaran abadi tentang bagaimana kesalehan tanpa kebijaksanaan dapat menjadi sumber kehancuran terbesar.
Harapan untuk Ali tidak akan lengkap tanpa merenungkan warisan yang ia tinggalkan di luar arena politik. Ali adalah mata rantai penghubung antara sumber wahyu (Nabi Muhammad) dan perkembangan spiritual serta intelektual Islam selanjutnya.
Dalam hampir setiap tarekat Sufi (Thariqah) di dunia, Ali bin Abi Thalib menduduki posisi sentral. Ia diakui sebagai sumber utama transmisi pengetahuan esoteris (ilm al-batin). Melalui Hasan al-Basri (seorang muridnya), atau melalui tradisi spiritual lainnya, garis suksesi pengetahuan batin (silsilah) kembali kepada Ali, yang menerimanya langsung dari Nabi Muhammad. Ini menegaskan bahwa Ali tidak hanya mewarisi ilmu formal, tetapi juga kedalaman spiritual.
Ajaran sufistik yang ditekankan oleh Ali meliputi:
Kutipan-kutipan Ali tidak hanya berisi nasihat, tetapi instruksi operasional untuk kehidupan yang berintegritas. Jika kita berharap Ali hadir, kita berharap kata-katanya menjadi panduan harian:
Setiap aforisma adalah cetak biru untuk karakter yang kuat dan jujur, sebuah navigasi moral yang sangat dibutuhkan di zaman kita yang penuh ambigu.
Harapan bahwa Ali bin Abi Thalib dapat membimbing kita di masa sekarang muncul dari kekosongan etika yang dialami dunia. Kita tidak membutuhkan Ali sebagai figur historis yang dikultuskan, tetapi sebagai arketipe moral yang dapat ditiru. Kita berharap pada Ali karena ia menawarkan solusi atas masalah abadi manusia: konflik antara kekuasaan dan keadilan, antara agama dan akal, antara dunia dan akhirat.
Di era di mana sebagian kelompok agama menolak akal sebagai alat penafsiran, dan kelompok sekuler menolak wahyu sebagai sumber moral, Ali menawarkan jalan tengah. Ia adalah intelektual yang saleh. Ia mengajarkan bahwa akal (aql) adalah nabi internal, dan wahyu adalah nabi eksternal. Keduanya harus bekerja selaras. Tanpa akal, ibadah menjadi ritual kosong; tanpa wahyu, akal menjadi arogan dan tidak berlandaskan.
Kita berharap pada model pemerintahan Ali. Di sebuah dunia yang didominasi oleh para pemimpin yang memprioritaskan kekayaan dan nepotisme, integritas Ali yang menolak kekayaan pribadi demi kemakmuran umum adalah sebuah mercusuar. Tindakannya membuktikan bahwa kepemimpinan sejati adalah pengorbanan, bukan hak istimewa.
Dalam suratnya kepada Al-Ashtar, ia secara implisit menolak sistem feodal dan oligarki, menekankan bahwa kekayaan negara harus beredar di antara seluruh rakyat, bukan hanya terkumpul di tangan segelintir elite.
Untuk memahami kedalaman spiritual Ali, kita harus merenungkan Doa Kumail, sebuah munajat yang dikenal luas di kalangan Muslim yang mendalami tasawuf. Doa ini bukan hanya permintaan, melainkan eksplorasi filosofis tentang hubungan hamba dan Tuhannya. Doa Kumail mencerminkan pengakuan diri yang rentan di hadapan kebesaran Ilahi, pengakuan dosa yang mendalam, dan pada saat yang sama, keyakinan tak terbatas pada rahmat Allah.
Doa ini mengeksplorasi beberapa dimensi teologis yang penting:
Melalui teks ini, Ali membimbing umatnya untuk tidak hanya menjadi ritualis, tetapi pencari kebenaran yang introspektif, yang senantiasa meneliti kondisi batin mereka sendiri.
Meskipun hidup di masa konflik agama dan politik yang intens, pandangan Ali tentang keadilan tidak pernah terbatas pada komunitas Muslim saja. Ini adalah salah satu alasan utama mengapa kita berharap model kepemimpinannya hadir di dunia yang terpecah saat ini.
Dalam suratnya kepada Malik al-Ashtar, Ali secara eksplisit menekankan bahwa rakyat Mesir, yang sebagian besar adalah Kristen Koptik pada saat itu, harus diperlakukan dengan penuh kasih dan hormat. Ia menggunakan frasa abadi yang melampaui batas agama: "Ingatlah, Malik, bahwa rakyat itu terbagi menjadi dua golongan: mereka adalah saudaramu dalam agama, atau sesama manusia dalam ciptaan."
Pernyataan ini adalah salah satu fondasi bagi etika kemanusiaan universal dalam Islam. Ini mengajarkan bahwa dasar interaksi sosial haruslah kemanusiaan yang sama, sebelum identitas agama. Ali melarang keras segala bentuk penindasan atau diskriminasi berdasarkan keyakinan.
Bahkan setelah Perang Jamal, Ali menunjukkan kebesaran jiwa. Ia memaafkan Aisyah (istri Nabi yang memimpin kubu lawan), mengirimnya kembali ke Madinah dengan pengawalan yang mulia, dan memperlakukan tawanan perang dengan martabat. Filosofi ini, bahwa perang adalah tindakan yang menyedihkan dan bukan balas dendam, adalah cerminan dari kemuliaan yang jarang ditemukan di antara para pemimpin militer.
Ketika aku berharap Ali bin Abi Thalib dapat hadir, aku tidak berharap pada masa lalu yang sempurna, melainkan pada prinsip-prinsip yang ia bela: kebenaran yang tidak dapat dibeli, pengetahuan yang selalu dicari, dan keadilan yang tidak mengenal kompromi.
Dalam masyarakat yang semakin terpolarisasi, warisan Ali menawarkan panduan untuk rekonsiliasi. Ia mengajarkan kita bahwa:
Kisah hidupnya, dari anak yatim yang dididik kenabian, hingga pahlawan yang mencabut gerbang Khaybar, hingga Khalifah yang mati terbunuh saat sujud karena menolak menundukkan keadilannya pada kepentingan politik, adalah pengingat abadi. Harapanku bukanlah menunggu sosok seperti Ali datang dari masa lalu, melainkan menumbuhkan kebijaksanaan, keberanian, dan integritas Ali dalam hati kita sendiri.
Maka, harapan itu berubah menjadi tugas. Tugas untuk membaca Nahj al-Balaghah, tugas untuk mengkaji suratnya kepada Malik al-Ashtar, dan tugas untuk meniru ketenangan yang didapat dari keyakinan murni. Hanya dengan demikian, resonansi kebijaksanaan Ali bin Abi Thalib akan terus membimbing kita, melintasi waktu, badai, dan kompleksitas zaman.
Dalam konteks modern, tantangan ekonomi dan kesenjangan sosial menjadi krisis global. Di sinilah model Ali bersinar. Prinsip-prinsip ekonomi Ali didasarkan pada keadilan distributif, yang sangat berbeda dari model kapitalisme tanpa batas atau sosialisme sentralistik yang gagal. Ia menekankan bahwa Baitul Mal adalah milik publik, bukan kas pribadi Khalifah atau instrumen untuk memberi penghargaan kepada kroni-kroni. Ali secara pribadi menolak menerima hadiah besar atau menggunakan dana publik untuk kemewahan pribadi, menetapkan standar yang hampir mustahil bagi para pemimpin modern.
Ketika seorang pengikutnya menyarankan agar ia membedakan pembagian harta rampasan berdasarkan riwayat keislaman (mereka yang lebih dulu masuk Islam mendapat lebih), Ali menolak dengan tegas. Ia mengatakan bahwa pahala di akhirat adalah milik Allah, tetapi harta di dunia harus dibagi berdasarkan kebutuhan dan hak yang sama, menegaskan prinsip egalitarianisme ekonomi di antara komunitas Muslim.
Meskipun ia memiliki otoritas intelektual dan spiritual yang tertinggi, Ali dikenal karena keterbukaannya terhadap dialog. Bahkan ketika berhadapan dengan Khawarij yang secara ideologis ekstrem, ia memilih argumen logis sebelum paksaan militer. Keterampilan berdialog dan kecintaannya pada kejelasan argumen adalah ciri khas yang sangat dicari di era di mana komunikasi sering kali didominasi oleh retorika kosong dan serangan personal.
Ali memahami bahwa konflik ideologis hanya dapat diselesaikan melalui kekuatan akal. Ia adalah teladan bagi para intelektual Muslim yang harus berani menghadapi arus ekstremisme bukan dengan emosi, tetapi dengan pisau bedah logika dan interpretasi teks yang kontekstual dan mendalam.
Gambaran seorang pemimpin global yang hidup dalam kesederhanaan adalah salah satu daya tarik abadi Ali. Dikisahkan bahwa pada masa kekhalifahannya, ia sering terlihat menambal sandalnya sendiri, mengenakan pakaian sederhana, dan makan makanan yang sangat sederhana. Ketika ia ditanya mengapa ia tidak mengambil kemewahan sebagaimana para penguasa lain, ia menjawab bahwa seorang pemimpin harus hidup seperti rakyatnya yang paling miskin, agar ia merasakan penderitaan mereka dan agar rakyatnya tidak merasa terbebani oleh standar hidup yang ia tetapkan.
Kisah ini, yang berulang dalam banyak catatan sejarah, menunjukkan bahwa bagi Ali, kepemimpinan adalah sinonim dengan tanggung jawab spiritual. Kekuasaan adalah ujian, bukan imbalan. Kesederhanaan ini adalah penawar paling ampuh terhadap budaya konsumerisme dan korupsi yang melanda institusi modern.
Salah satu pelajaran tersulit dari masa pemerintahan Ali adalah kesiapannya untuk melawan kezaliman, bahkan jika kezaliman itu berasal dari lingkaran terdekat. Ia tidak takut kehilangan dukungan politik. Ketika ia mencopot Muawiyah dari jabatan gubernur Suriah, ia tahu betul konsekuensinya, tetapi ia menolak untuk mempertahankan seseorang yang ia anggap telah melanggar prinsip keadilan dalam pemerintahannya. Keberanian moral untuk mendahulukan prinsip di atas stabilitas politik adalah warisan yang menjulang tinggi.
Dalam setiap langkahnya, dari tidur di ranjang Nabi hingga khotbahnya yang penuh hikmah di Kufah, Ali bin Abi Thalib menawarkan model kehidupan yang terintegrasi. Ia menggabungkan akal tertinggi, kekuatan fisik, kepekaan spiritual, dan integritas politik dalam satu sosok yang tak tertandingi. Kita berharap padanya karena kita berharap pada kemungkinan—bahwa integritas, kebijaksanaan, dan keberanian moral dapat bersatu untuk menciptakan masyarakat yang adil dan tercerahkan.
Harapan untuk Ali adalah harapan untuk diri kita sendiri: harapan untuk menemukan gerbang ilmu yang sesungguhnya, melewati hiruk pikuk ketidakpastian zaman, dan menemukan ketenangan dalam kebenaran yang tidak lekang oleh waktu.