Air Beriak Tanda Tak Dalam
Dalam khazanah kearifan lokal Nusantara, peribahasa menjadi cermin budaya, cara pandang, dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat. Salah satu peribahasa yang paling sering kita dengar dan sarat akan makna filosofis adalah "air beriak tanda tak dalam". Ungkapan ini, meski terdengar sederhana, menyimpan lapisan-lapisan pemahaman tentang sifat manusia, ilmu pengetahuan, dan cara kita berinteraksi di dunia. Ia bukan sekadar observasi fenomena alam, melainkan sebuah metafora tajam yang relevansinya tak lekang oleh waktu, bahkan semakin terasa kuat di era modern yang penuh dengan keriuhan informasi.
Peribahasa ini mengajak kita untuk berhenti sejenak dan merenung. Di tengah dunia yang menuntut kita untuk selalu tampil, bersuara, dan menunjukkan eksistensi, kearifan ini menawarkan perspektif sebaliknya: nilai dari ketenangan, kedalaman, dan substansi yang sering kali tidak terlihat di permukaan. Artikel ini akan mengupas tuntas makna di balik peribahasa "air beriak tanda tak dalam", menelusuri akarnya secara literal dan kiasan, serta menggali relevansinya dalam berbagai aspek kehidupan kontemporer, dari dunia profesional hingga ranah personal.
Membedah Makna Peribahasa: Dari Fisika Alam ke Psikologi Manusia
Untuk memahami sepenuhnya kekuatan peribahasa ini, kita perlu membedahnya dari dua sisi: makna harfiah yang berasal dari pengamatan alam, dan makna kiasan yang merupakan proyeksi pengamatan tersebut ke dalam karakter dan perilaku manusia.
Makna Literal: Fenomena Alam yang Sederhana dan Logis
Secara harfiah, peribahasa ini adalah sebuah hukum fisika sederhana yang bisa kita amati di alam. Bayangkan sebuah sungai atau danau. Di bagian yang dangkal, dekat tepian, sedikit saja gangguan—angin yang berembus, kerikil yang dilempar, atau hewan yang melintas—akan segera menciptakan riak yang jelas dan menyebar. Dasar perairan yang dekat dengan permukaan membuat energi dari gangguan tersebut tidak dapat diserap ke bawah, sehingga ia termanifestasi sebagai gelombang atau riak yang terlihat di permukaan. Air di bagian ini tampak "sibuk", reaktif, dan mudah terganggu.
Sekarang, bandingkan dengan bagian tengah danau atau laut yang dalam. Permukaannya cenderung lebih tenang, rata, dan hening. Angin yang sama mungkin hanya menciptakan gelombang lembut yang panjang. Sebuah batu yang dilemparkan akan lenyap ke dalam kegelapan tanpa menciptakan riak yang berarti. Kedalaman air yang luar biasa besar mampu menyerap energi gangguan tersebut, meredamnya sebelum ia sempat menciptakan gejolak signifikan di permukaan. Air yang dalam memiliki massa dan volume yang memberikannya stabilitas. Ketenangannya bukanlah tanda ketiadaan aktivitas, melainkan tanda adanya substansi dan kedalaman yang luar biasa di bawahnya.
Observasi alamiah inilah yang menjadi fondasi peribahasa tersebut. Nenek moyang kita, dengan kepekaan mereka terhadap alam, melihat paralel yang kuat antara fenomena ini dengan perilaku manusia. Mereka menyadari bahwa apa yang berlaku pada air, sering kali juga berlaku pada akal dan budi.
Makna Kiasan: Cerminan Karakter dan Pengetahuan
Ketika ditarik ke dalam ranah kiasan, air beriak tanda tak dalam menjadi sebuah alat diagnosis karakter yang sangat kuat. "Air" di sini melambangkan ilmu pengetahuan, kearifan, kebijaksanaan, atau pemahaman seseorang. "Riak" adalah manifestasi dari pengetahuan tersebut dalam bentuk ucapan, perdebatan, pamer, atau keinginan untuk selalu tampil di depan. Sementara "kedalaman" merepresentasikan substansi, pemahaman yang matang, dan kebijaksanaan yang sejati.
Seseorang yang diibaratkan sebagai "air beriak" adalah individu yang banyak bicara, gemar menyombongkan sedikit pengetahuan yang dimilikinya, dan sering kali bersikap seolah-olah paling tahu segalanya. Seperti air dangkal yang mudah terganggu, orang ini juga mudah terpancing dalam perdebatan, cepat memberikan opini tanpa pemikiran mendalam, dan lebih fokus pada tampilan luar daripada isi. Pengetahuannya hanya sebatas permukaan, sehingga ia perlu terus-menerus "menciptakan riak" agar keberadaannya diakui. Mereka adalah orator yang hebat dalam wacana, namun sering kali kosong dalam tindakan dan pemahaman esensial. Mereka terdengar paling keras di dalam ruangan, namun perkataannya sering kali tidak memiliki bobot.
Sebaliknya, seseorang yang laksana "air yang dalam" adalah pribadi yang tenang, tidak banyak bicara jika tidak perlu, dan tidak memiliki kebutuhan untuk memamerkan pengetahuannya. Ketenangan mereka bukan berasal dari kekosongan, melainkan dari keyakinan atas pemahaman yang mendalam. Mereka lebih banyak mendengar, mengamati, dan berpikir sebelum berbicara. Ketika mereka akhirnya angkat bicara, kata-kata mereka penuh bobot, berisi, dan memberikan perspektif baru. Seperti lautan dalam yang menyimpan kekuatan dahsyat di bawah permukaannya yang tenang, orang-orang ini memiliki kebijaksanaan dan kekuatan karakter yang tidak perlu ditunjukkan dengan keriuhan. Ilmu padi, "semakin berisi semakin merunduk," adalah peribahasa lain yang senada dengan filosofi ini.
Relevansi dalam Konteks Modern: Navigasi di Lautan Informasi yang Dangkal
Jika peribahasa ini sudah relevan di masa lalu, maka di era digital saat ini, urgensinya meningkat berkali-kali lipat. Kita hidup di zaman di mana "riak" dihargai lebih dari "kedalaman". Platform media sosial, siklus berita 24 jam, dan budaya "viral" telah menciptakan ekosistem yang mendukung dan bahkan mendorong perilaku "air beriak".
Dunia Digital dan Gema Media Sosial
Media sosial adalah panggung raksasa bagi fenomena air beriak tanda tak dalam. Algoritma platform ini cenderung memprioritaskan konten yang memancing reaksi cepat, kontroversial, dan sensasional. Opini singkat yang dilempar dalam 280 karakter, video pendek yang bombastis, atau komentar pedas sering kali mendapatkan lebih banyak perhatian daripada analisis mendalam yang membutuhkan waktu untuk dicerna.
Dalam lingkungan seperti ini, banyak orang merasa terdorong untuk terus "beriak". Mereka merasa harus memiliki pendapat tentang segala isu, mulai dari politik global hingga gosip selebriti, dan menyuarakannya secepat mungkin. Kedalaman riset dan kehati-hatian dalam berpendapat dikalahkan oleh kecepatan dan keinginan untuk mendapatkan "likes" dan "shares". Akibatnya, ruang publik digital kita dipenuhi oleh riak-riak dangkal: perdebatan kusir, informasi yang salah, dan klaim-klaim tanpa dasar. Orang-orang berlomba menjadi yang pertama berkomentar, bukan yang paling bijak. Di sini, peribahasa tersebut menjadi pengingat kritis: jangan mudah terpesona oleh suara yang paling keras atau akun yang paling aktif. Sering kali, kebijaksanaan sejati ditemukan dalam keheningan, pada mereka yang memilih untuk mengamati dan memahami sebelum angkat bicara.
Dunia Profesional dan Kepemimpinan
Di tempat kerja, kita juga sering bertemu dengan dua tipe individu ini. Ada kolega yang selalu mendominasi rapat dengan ide-ide besar dan retorika yang mengesankan. Mereka pandai "menjual" diri dan terdengar sangat kompeten. Mereka adalah "air beriak". Namun, ketika tiba saatnya eksekusi, sering kali mereka gagal memberikan hasil yang konkret. Wacana mereka tidak diimbangi dengan kemampuan teknis atau ketekunan untuk menyelesaikan pekerjaan.
Di sisi lain, ada kolega yang pendiam, yang mungkin tidak banyak bicara saat rapat, tetapi selalu menyelesaikan tugasnya dengan sempurna. Mereka adalah pemecah masalah yang andal, orang yang Anda cari ketika proyek menghadapi jalan buntu. Mereka adalah "air yang dalam". Kualitas kerja dan kontribusi nyata mereka adalah bukti dari kedalaman kompetensi mereka. Peribahasa ini mengajarkan para manajer dan pemimpin untuk lebih jeli dalam menilai timnya. Jangan hanya terkesan oleh mereka yang pandai berbicara, tetapi berikan penghargaan dan perhatian kepada mereka yang menunjukkan hasil melalui tindakan nyata. Seorang pemimpin sejati pun sering kali bukanlah yang paling banyak beretorika, melainkan yang paling bijaksana dalam mengambil keputusan, yang kata-katanya didasarkan pada data dan pemikiran yang matang, dan yang tindakannya menginspirasi lebih dari sekadar ucapannya.
Pengembangan Diri dan Pencarian Ilmu
Dalam perjalanan mencari ilmu, peribahasa air beriak tanda tak dalam adalah kompas yang sangat penting. Seseorang yang baru mempelajari suatu bidang sering kali merasa paling antusias dan paling tahu. Efek Dunning-Kruger menjelaskan fenomena ini: tingkat kepercayaan diri seseorang sering kali paling tinggi ketika pengetahuannya masih sangat terbatas. Mereka merasa sudah menguasai segalanya dan tidak ragu untuk membagikan "pengetahuan" mereka yang dangkal itu kepada semua orang. Inilah fase "air beriak".
"Musuh terbesar pengetahuan bukanlah kebodohan, tetapi ilusi akan pengetahuan." - Stephen Hawking
Namun, seiring seseorang terus belajar dan menggali lebih dalam, ia akan mulai menyadari betapa luas dan kompleksnya bidang yang ia pelajari. Ia akan menemukan betapa banyak hal yang belum ia ketahui. Kesadaran ini akan menumbuhkan kerendahan hati. Kepercayaan dirinya yang tadinya meluap-luap akan berubah menjadi ketenangan yang penuh kesadaran. Ia akan lebih berhati-hati dalam berucap, karena ia tahu setiap pernyataan memiliki nuansa dan konteks yang rumit. Ia telah bertransisi dari "air beriak" menjadi "air yang dalam". Proses belajar sejati bukanlah tentang mengumpulkan fakta-fakta untuk dipamerkan, melainkan tentang memperdalam pemahaman hingga mencapai tingkat kebijaksanaan di mana kita sadar akan keterbatasan kita sendiri.
Menavigasi Nuansa: Apakah Diam Selalu Emas?
Meskipun peribahasa ini sangat kuat, kita harus bijak dalam menerapkannya. Mengagungkan "kedalaman" dan ketenangan bukan berarti kita harus menolak "riak" dalam segala bentuknya. Ada konteks di mana kemampuan untuk berbicara, mengartikulasikan gagasan, dan bahkan "menciptakan riak" menjadi sangat penting. Peribahasa ini bukanlah anjuran untuk menjadi pasif atau apatis.
Kapan "Beriak" Menjadi Perlu?
Ada situasi di mana diam justru bisa berbahaya. Ketika kita menyaksikan ketidakadilan, penindasan, atau penyebaran kebohongan, diam bukanlah pilihan yang bijak. Dalam konteks ini, orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam justru memiliki tanggung jawab moral untuk "beriak"—untuk berbicara, untuk mengedukasi, untuk melawan narasi yang salah. Diamnya orang baik dapat memberikan ruang bagi berkembangnya kejahatan. Di sini, riak yang diciptakan bukanlah riak kesombongan, melainkan riak keberanian dan kebenaran yang bersumber dari kedalaman prinsip.
Selain itu, dalam dunia profesional, kemampuan komunikasi sangatlah vital. Seseorang bisa saja memiliki pengetahuan yang sangat dalam, tetapi jika ia tidak mampu mengartikulasikan idenya dengan jelas kepada timnya, klien, atau atasannya, maka kedalaman ilmunya itu tidak akan banyak berguna. Kemampuan presentasi, negosiasi, dan advokasi adalah bentuk "riak" yang positif, asalkan didukung oleh substansi yang kuat. Keseimbangan adalah kuncinya: jadilah lautan yang dalam, tetapi pelajarilah cara menciptakan gelombang yang purposeful saat dibutuhkan.
Bahaya Salah Tafsir: Diam Bukan Selalu Berarti Dalam
Sisi lain dari koin ini adalah jangan sampai kita menganggap semua orang yang pendiam pasti bijaksana. Terkadang, diam bukan tanda kedalaman, melainkan tanda ketidaktahuan, ketidakpedulian, atau ketakutan. Seseorang mungkin diam dalam sebuah diskusi bukan karena ia merenungkan jawaban yang bijak, tetapi karena ia sama sekali tidak memahami topik yang dibicarakan. Oleh karena itu, kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari seberapa banyak atau sedikit ia berbicara. Kita harus melihat kualitas dari apa yang ia ucapkan saat ia memilih untuk berbicara, dan yang lebih penting lagi, konsistensi antara ucapan dan tindakannya.
Menuju Pribadi yang "Dalam": Sebuah Perjalanan Reflektif
Memahami peribahasa air beriak tanda tak dalam bukan hanya soal menilai orang lain, tetapi yang lebih utama adalah sebagai cermin untuk refleksi diri. Bagaimana kita bisa menjadi pribadi yang lebih "dalam" di tengah dunia yang mendorong kita untuk menjadi "dangkal" dan "beriak"?
1. Praktikkan Mendengar Aktif
Langkah pertama untuk menjadi lebih dalam adalah dengan lebih banyak mendengar daripada berbicara. Namun, bukan sekadar mendengar pasif. Latihlah pendengaran aktif: dengarkan untuk memahami, bukan untuk merespons. Cobalah untuk benar-benar mengerti sudut pandang orang lain sebelum memikirkan bantahan atau jawaban Anda. Kebiasaan ini akan memperlambat keinginan impulsif untuk "beriak" dan memperkaya pemahaman Anda.
2. Berpikir Sebelum Berbicara (dan Mengetik)
Sebelum memberikan opini, terutama di ruang publik seperti media sosial, ambil jeda sejenak. Tanyakan pada diri sendiri: Apakah saya benar-benar memahami isu ini? Apakah sumber informasi saya valid? Apakah komentar saya akan menambah nilai pada diskusi, atau hanya menambah keriuhan? Apakah ini didasari oleh emosi sesaat atau pemikiran yang jernih? Jeda singkat ini bisa menjadi filter yang sangat efektif untuk mencegah kita menciptakan riak yang tidak perlu.
3. Terus Belajar dengan Kerendahan Hati
Kedalaman tidak datang dengan sendirinya; ia harus digali. Perbanyak membaca buku dari berbagai genre, ikuti kursus, pelajari keterampilan baru, dan berbicaralah dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda. Namun, yang terpenting, lakukan semua itu dengan kerendahan hati. Sadarilah bahwa semakin banyak Anda belajar, semakin banyak pula yang Anda tidak tahu. Sikap inilah yang akan menjaga Anda dari jebakan arogansi intelektual.
4. Fokus pada Tindakan dan Hasil
Alih-alih menghabiskan energi untuk membicarakan apa yang akan Anda lakukan, fokuslah untuk melakukannya. Biarkan kualitas pekerjaan, integritas karakter, dan hasil nyata yang berbicara. Reputasi yang dibangun di atas fondasi tindakan yang solid akan jauh lebih kokoh daripada reputasi yang dibangun di atas retorika yang indah. Jadikan portofolio karya Anda lebih tebal dari kamus kata-kata Anda.
5. Hargai Ketenangan dan Refleksi
Di dunia yang bising, ketenangan adalah sebuah kemewahan. Luangkan waktu untuk menyendiri, merenung, dan berpikir tanpa distraksi. Momen-momen hening inilah yang sering kali melahirkan gagasan-gagasan paling cemerlang dan pemahaman yang paling mendalam. Ketenangan eksternal membantu kita menemukan kedalaman internal.
Kesimpulan: Menemukan Kekuatan dalam Ketenangan
Peribahasa air beriak tanda tak dalam adalah sebuah kearifan abadi yang mengajarkan kita tentang nilai substansi di atas penampilan, kedalaman di atas keriuhan, dan kebijaksanaan di atas pengetahuan yang dangkal. Ia adalah pengingat bahwa dalam lautan informasi dan opini yang tak bertepi, kemampuan untuk diam, berpikir, dan merenung adalah sebuah kekuatan super.
Ini bukanlah sebuah kutukan terhadap ekspresi diri atau komunikasi, melainkan sebuah ajakan untuk memastikan bahwa ekspresi kita berakar pada pemahaman yang kokoh. Ini adalah undangan untuk menjadi pribadi yang seperti lautan dalam: tenang di permukaan namun menyimpan kekuatan, kearifan, dan ekosistem kehidupan yang kaya di bawahnya. Di dunia yang semakin menghargai riak, mari kita memilih untuk mengejar kedalaman. Karena pada akhirnya, bukan suara yang paling keras yang akan dikenang, melainkan gagasan yang paling berdampak dan karakter yang paling berintegritas.