Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab adalah salah satu figur intelektual Muslim terkemuka di Indonesia, yang kontribusinya melintasi batas-batas akademik, sosial, dan keagamaan. Dikenal luas melalui karya tafsirnya yang monumental, Tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab mewakili corak pemikiran Islam modern yang menekankan moderasi (wasatiyyah), kontekstualitas, dan rasionalitas dalam memahami ajaran suci. Kehadirannya dalam diskursus keagamaan tidak hanya memperkaya khazanah keilmuan, tetapi juga membentuk pandangan publik tentang bagaimana Al-Quran seharusnya diinterpretasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari yang kompleks.
Artikel ini bertujuan untuk mengulas secara mendalam sosok M. Quraish Shihab, menelusuri latar belakang keilmuan yang membentuknya, menganalisis metodologi tafsir yang ia gunakan, serta menelaah pengaruh dan relevansi pemikirannya terhadap isu-isu kontemporer. Pemikirannya menawarkan sebuah jembatan yang kokoh antara warisan klasik Islam yang kaya dan tantangan modernitas, menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk yang hidup dan relevan bagi setiap zaman.
Lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, Quraish Shihab dibesarkan dalam lingkungan keluarga ulama dan bangsawan yang sangat menjunjung tinggi tradisi keilmuan Islam. Ayahnya, Prof. K.H. Abdurrahman Shihab, adalah seorang ulama dan rektor IAIN Alauddin Makassar yang mendidik anak-anaknya dengan tradisi keilmuan yang kuat, termasuk penguasaan bahasa Arab klasik sejak dini. Lingkungan ini menanamkan pada Quraish muda apresiasi mendalam terhadap teks suci dan warisan keilmuan Islam.
Perjalanan akademis Quraish Shihab merupakan perpaduan langka antara sistem pendidikan tradisional pesantren dan pendidikan modern Timur Tengah. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di kampung halaman, ia melanjutkan studinya di Kairo, Mesir, sebuah pusat peradaban dan keilmuan Islam yang memiliki tradisi panjang. Di Universitas Al-Azhar, ia menempuh jenjang pendidikan sarjana hingga doktoral, spesialisasi dalam bidang Tafsir Al-Quran. Pengalaman belajar di Al-Azhar, di mana ia berinteraksi dengan berbagai mazhab pemikiran, menjadi kunci utama dalam pembentukan metodologi tafsirnya yang inklusif dan terbuka.
Di Al-Azhar, Quraish Shihab tidak hanya mempelajari ilmu tafsir secara tekstual, tetapi juga menginternalisasi pendekatan yang menggabungkan tradisi klasik dengan tuntutan rasionalitas modern. Guru-guru besarnya di sana mengajarkan pentingnya membedakan antara makna hakiki (literal) dan makna majazi (figuratif) dalam Al-Quran, serta menekankan peran konteks historis (*asbabun nuzul*) dalam memahami pesan ilahi. Studi mendalam terhadap tafsir-tafsir klasik seperti Tafsir Al-Thabari, Al-Razi, hingga tafsir modern seperti Al-Manar, memberinya perspektif komprehensif yang melampaui pendekatan tunggal.
Penguasaan bahasa Arab yang sangat mumpuni, yang diasah selama bertahun-tahun di Mesir, menjadi pondasi utama keahlian tafsirnya. Ia mampu menelisik nuansa semantik dan leksikal yang sangat halus dalam bahasa Al-Quran, memungkinkan ia untuk mengeksplorasi kekayaan makna sebuah ayat yang sering terlewatkan dalam terjemahan biasa. Kemampuan ini menjadi ciri khas yang membedakan karyanya, di mana setiap kata atau frasa dalam Al-Quran diperlakukan dengan penuh penghormatan terhadap kemukjizatan bahasanya.
Karya paling monumental Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, adalah sumbangan terbesarnya bagi diskursus Islam di Indonesia dan dunia. Tafsir ini bukan sekadar terjemahan atau penafsiran ayat per ayat, melainkan sebuah upaya untuk ‘membumikan’ pesan-pesan Al-Quran agar relevan dan mudah diakses oleh masyarakat modern. Metodologinya dapat dianalisis melalui beberapa pilar utama:
Tafsir Al-Misbah dikenal menggunakan corak *adabi ijtima'i* (sastra dan sosial kemasyarakatan). Corak ini menempatkan Al-Quran sebagai teks yang memiliki keindahan bahasa (sastra) yang tak tertandingi, namun pada saat yang sama, berfungsi sebagai pedoman hidup (sosial) yang harus dijawab oleh umat manusia dalam interaksi keseharian mereka. Quraish Shihab secara konsisten menghindari penafsiran yang terlalu dogmatis atau skripturalis tanpa memperhatikan konteks zaman.
Ia sangat menekankan konsep munasabah (korelasi atau keterkaitan) antar ayat dan antar surat. Dalam pandangannya, Al-Quran adalah sebuah kesatuan organik. Penafsiran yang baik harus mampu menjelaskan bagaimana sebuah ayat terkait dengan ayat sebelumnya, atau bagaimana satu surat memiliki benang merah tematik dengan surat berikutnya. Pendekatan munasabah ini memberikan keutuhan pemahaman, mencegah pembaca mengambil ayat secara terpisah dan memutusnya dari konteks besar narasi Al-Quran.
Salah satu kritik terhadap tafsir klasik adalah bahasanya yang terlalu teknis dan terkesan eksklusif hanya bagi kalangan ulama. Quraish Shihab sengaja menggunakan bahasa Indonesia yang sangat cair, elegan, dan mudah dicerna oleh berbagai lapisan masyarakat. Tujuan utamanya adalah demokratisasi ilmu tafsir, di mana pesan suci dapat diakses oleh siapa pun, termasuk mereka yang tidak memiliki latar belakang keilmuan Islam formal yang mendalam.
Namun, kemudahan bahasa ini tidak mengurangi kedalaman substansi. Sebelum menjelaskan makna kontekstual, ia selalu memulai dengan analisis leksikal mendalam (bahasa Arab), menjelaskan berbagai sinonim yang mungkin, dan kemudian membandingkannya dengan pandangan ulama-ulama klasik (seperti Al-Razi atau Ibnu Katsir). Dengan cara ini, ia menghadirkan kekayaan warisan keilmuan tanpa membebani pembaca dengan istilah-istilah yang rumit.
Quraish Shihab adalah penganut kuat bahwa tidak ada kontradiksi antara wahyu ilahi dan sains modern, selama sains tersebut telah teruji validitasnya. Dalam Tafsir Al-Misbah, ia sering menyajikan korelasi antara ayat-ayat kauniyah (ayat-ayat yang berbicara tentang alam semesta) dengan temuan-temuan ilmiah terbaru. Pendekatan ini dikenal sebagai tafsir *ilmi* (ilmiah), namun ia menggunakannya dengan sangat hati-hati, memastikan bahwa penafsiran ilmiah tidak dipaksakan atau dijadikan satu-satunya kebenaran, mengingat ilmu pengetahuan selalu berkembang.
Ia memposisikan akal (rasio) sebagai instrumen penting dalam memahami Al-Quran. Rasionalitas diperlukan untuk membedakan antara prinsip abadi (ushul) dan cabang (furu’) yang dapat berubah sesuai zaman dan konteks. Pendekatan rasional ini sangat penting dalam menghadapi isu-isu kontemporer, di mana penafsiran harus mampu memberikan jawaban yang logis dan relevan.
Kontribusi Quraish Shihab tidak berhenti pada karya tafsirnya saja, tetapi meluas ke dalam pemikirannya tentang bagaimana ajaran Islam harus direspon dalam konteks sosial, politik, dan budaya modern. Karya-karyanya seperti Membumikan Al-Quran dan Wawasan Al-Quran menjadi panduan penting bagi umat Muslim yang mencari keseimbangan antara keimanan dan kehidupan modern.
Quraish Shihab secara konsisten mengedepankan konsep Wasatiyyah (moderasi atau jalan tengah) yang termaktub dalam Surah Al-Baqarah ayat 143. Baginya, Islam adalah agama yang mengajarkan keseimbangan, menghindari ekstremitas, baik dalam bentuk liberalisme yang kebablasan maupun konservatisme yang kaku. Moderasi dalam beragama menuntut umat untuk selalu bersikap adil, berimbang, dan berorientasi pada kemaslahatan umum (*mashlahah*).
Konsep moderasi ini sangat relevan dalam menghadapi tantangan radikalisme dan ekstremisme. Ia mengajarkan bahwa kekerasan dan paksaan dalam beragama bertentangan dengan semangat dasar Al-Quran, yang menekankan rahmat (*rahmatan lil alamin*) dan kasih sayang (*mahabbah*). Penekanannya pada etika dan moralitas sebagai inti ajaran, melampaui formalitas hukum semata, menjadi ciri khas dakwahnya.
Salah satu aspek pemikiran Quraish Shihab yang paling progresif dan banyak diperdebatkan adalah pandangannya mengenai perempuan. Ia menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan gender dengan pendekatan yang sangat kontekstual dan substantif, berbeda dengan penafsiran tradisional yang cenderung patriarkal.
Ia berpendapat bahwa secara substansial, tidak ada perbedaan derajat antara laki-laki dan perempuan di mata Tuhan, kecuali dalam hal ketakwaan. Jika terdapat ayat yang secara literal tampaknya membedakan peran, hal itu harus dilihat dalam konteks sosial masyarakat Arab saat wahyu diturunkan, bukan sebagai hukum universal yang tidak dapat diubah. Ia mengkritik interpretasi yang mengekang potensi perempuan dan menganggapnya sebagai penyempitan makna Al-Quran yang sesungguhnya universal.
Dalam karyanya, ia menjelaskan bahwa konsep kepemimpinan (*qawwamah*) yang sering disalahartikan sebagai dominasi, sesungguhnya lebih mengarah pada tanggung jawab laki-laki dalam menafkahi dan melindungi keluarga, bukan superioritas gender. Penafsiran ini memberikan landasan teologis bagi kesetaraan dan pemberdayaan perempuan dalam ranah publik maupun domestik.
Prof. Quraish Shihab sangat vokal dalam mempromosikan toleransi antarumat beragama. Ia selalu mengingatkan bahwa Al-Quran mengakui eksistensi keberagaman, dan bahwa persaingan yang dikehendaki Tuhan adalah persaingan dalam kebajikan (*fastabiqul khairat*), bukan persaingan dalam perebutan klaim kebenaran tunggal yang absolut di dunia ini.
Dalam penafsirannya terhadap Surah Al-Kafirun, ia menekankan pentingnya pengakuan terhadap keyakinan orang lain, sebagaimana termuat dalam frasa "Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku." Prinsip ini bukan hanya sekadar koeksistensi, tetapi penghormatan mendasar terhadap kebebasan berkeyakinan, yang merupakan inti ajaran Islam. Ia mengajarkan bahwa tugas manusia adalah berdakwah dengan hikmah (kebijaksanaan) dan *mauidzah hasanah* (nasihat yang baik), bukan dengan penghakiman atau pemaksaan.
Untuk benar-benar memahami kontribusi Quraish Shihab, perlu dilakukan telaah yang lebih rinci mengenai bagaimana ia menyusun Tafsir Al-Misbah, yang berjilid-jilid tebal namun tetap terasa ringan dibaca. Pendekatan hermeneutika (ilmu penafsiran) yang ia gunakan adalah perpaduan unik antara *tafsir bi al-ma’thur* (berdasarkan riwayat) dan *tafsir bi al-ra’yi* (berdasarkan rasio/pemikiran), dengan penekanan kuat pada dimensi *balaghah* (retorika dan keindahan bahasa).
Salah satu ciri khas yang memperkaya Tafsir Al-Misbah adalah kejelian Quraish Shihab dalam menelaah perbedaan tipis (nuansa makna) antara kata-kata bahasa Arab yang tampaknya bersinonim. Misalnya, ia akan menjelaskan perbedaan antara kata *al-qalb*, *al-fu’ad*, dan *al-shadr*—ketiganya sering diterjemahkan sebagai 'hati'—namun memiliki konotasi psikologis dan spiritual yang berbeda dalam konteks ayat tertentu.
Pendekatan ini menjauhkan pembaca dari pemahaman yang dangkal. Ketika Al-Quran menggunakan kata tertentu, itu bukanlah kebetulan, melainkan pilihan yang paling tepat dan retoris. Dengan menjelaskan nuansa ini, ia membongkar keindahan mukjizat bahasa Al-Quran dan memberikan kedalaman spiritual pada penafsiran hukum atau etika.
Ketika menafsirkan ayat-ayat hukum (*ayat al-ahkam*), Quraish Shihab menunjukkan sikap yang hati-hati. Ia selalu menyajikan pandangan-pandangan ulama mazhab yang berbeda (Maliki, Hanafi, Syafi'i, Hanbali) mengenai implikasi hukum sebuah ayat. Namun, ia tidak hanya berhenti pada perbedaan hukum positif (*fiqh*), melainkan mengarahkan pembaca untuk memahami filosofi di balik penetapan hukum tersebut (*maqashid syariah*).
Sebagai contoh, dalam menafsirkan ayat tentang warisan, ia tidak hanya menyebutkan jatah bagian warisan, tetapi juga menjelaskan bahwa tujuan akhir hukum warisan adalah menegakkan keadilan sosial dan memastikan kesejahteraan anggota keluarga yang lemah (seperti perempuan dan anak yatim). Dengan fokus pada *maqashid*, ia membuka ruang ijtihad yang lebih luas bagi umat Muslim modern, memungkinkan mereka untuk beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa melanggar prinsip dasar keadilan Islam.
Quraish Shihab sering mengutip pepatah ulama bahwa perbedaan penafsiran adalah rahmat (*ikhtilaf al-mufassirin rahmat*). Ia membedakan secara tegas antara: (a) *Qath’i al-Dalalah* (makna yang mutlak pasti, misalnya tentang keesaan Allah), yang tidak boleh diperdebatkan; dan (b) *Zhanni al-Dalalah* (makna yang bersifat dugaan atau relatif, sebagian besar ayat Al-Quran termasuk di sini), yang terbuka untuk interpretasi sesuai konteks dan zaman.
Penegasan ini memberikan legitimasi teologis bagi pluralitas penafsiran dalam masyarakat Muslim. Dengan mengakui bahwa sebagian besar teks suci bersifat *zhanni*, ia memberikan ruang gerak bagi intelektual Muslim untuk berijtihad dan menawarkan solusi atas masalah-masalah baru tanpa dicap bid’ah atau menyimpang.
Kontribusi Quraish Shihab diperkuat melalui perannya sebagai pendidik dan pendiri lembaga. Ia pernah menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN), dan memegang berbagai jabatan publik, termasuk Menteri Agama, yang menunjukkan peran aktifnya dalam ranah kebijakan negara.
Namun, warisan terpentingnya di bidang pendidikan adalah pendirian Pusat Studi Al-Quran (PSQ) di Jakarta. PSQ didirikan sebagai wadah kajian Al-Quran yang profesional, independen, dan berorientasi pada kemajuan. Melalui PSQ, Quraish Shihab berhasil mencetak generasi baru cendekiawan Muslim yang memiliki tradisi keilmuan yang kuat (menguasai bahasa Arab, Hadis, dan Tafsir klasik) namun sekaligus terbuka terhadap isu-isu modern dan teknologi.
PSQ tidak hanya menjadi tempat riset, tetapi juga pusat dialog. Lembaga ini menjadi platform untuk menyelenggarakan seminar, publikasi, dan diskusi yang melibatkan berbagai mazhab dan latar belakang keilmuan. Hal ini sejalan dengan filosofi Quraish Shihab yang percaya bahwa pemahaman terbaik terhadap Al-Quran hanya dapat dicapai melalui diskusi yang konstruktif dan tanpa prasangka.
Melalui buku-buku popularnya yang diterbitkan secara berkala, Quraish Shihab berhasil membawa wacana akademis tingkat tinggi ke meja makan masyarakat umum. Karya-karyanya seperti Perempuan, Keluarga, dan Masyarakat dan seri Mutiara Hikmah, menunjukkan konsistensinya dalam menyebarkan nilai-nilai Islam yang ramah, rasional, dan beretika. Gaya penyampaiannya yang tenang, santun, dan didasari oleh kecintaan yang mendalam terhadap Al-Quran, menjadikannya figur yang dihormati lintas kelompok.
Gaya dakwah Quraish Shihab dapat diringkas dalam tiga kata kunci: Cinta (*Mahabbah*), Kebijaksanaan (*Hikmah*), dan Keseimbangan (*I’tidal*).
Dalam banyak kesempatan, Quraish Shihab menegaskan bahwa dakwah harus didasarkan pada cinta. Ia menghindari retorika yang menghakimi, menyalahkan, atau merendahkan pihak lain. Baginya, tujuan dakwah bukanlah mengubah orang lain menjadi ‘sama’ persis dengan dirinya, tetapi membantu mereka menemukan jalan terbaik menuju Tuhan mereka, sesuai dengan fitrah dan potensi masing-masing.
Filosofi ini sangat penting di era polarisasi sosial. Dengan menonjolkan aspek moral dan spiritual Islam, daripada aspek hukum yang kaku, ia berhasil merangkul kelompok-kelompok yang mungkin merasa terpinggirkan oleh wacana keagamaan yang dominan.
Ayat yang sering dikutip dalam konteks dakwah adalah Surah An-Nahl ayat 125, yang memerintahkan dakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Quraish Shihab menafsirkan hikmah sebagai penempatan sesuatu pada tempatnya yang tepat. Ini berarti, cara berdakwah harus disesuaikan dengan objek dakwah. Tidak semua masalah agama memerlukan jawaban keras atau hukum yang definitif. Seringkali, yang dibutuhkan adalah pemahaman yang mendalam, refleksi spiritual, dan teladan yang baik.
Kebijaksanaan dalam berdakwah juga berarti mengakui bahwa kebenaran itu kompleks. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, hikmah menuntut seorang ulama untuk berbicara tidak hanya kepada umat Islam, tetapi juga memastikan bahwa pesannya dapat dipahami dan diterima oleh warga negara lain, demi terciptanya kehidupan berbangsa yang harmonis.
Meskipun Quraish Shihab diakui sebagai tokoh sentral yang telah memoderasi pemahaman keagamaan di Indonesia, pemikirannya, seperti halnya setiap pemikiran besar, tidak luput dari kritik dan diskusi. Kritik-kritik yang muncul biasanya berkaitan dengan keberaniannya dalam melakukan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat yang dianggap *mutasyabihat* (samar) atau yang secara tradisional telah diterima dengan makna literal.
Salah satu kontroversi yang pernah muncul adalah pandangannya mengenai kemungkinan kenabian perempuan. Meskipun ia tidak secara definitif mengatakan ada nabi perempuan, ia membuka ruang diskusi mengenai perbedaan antara *Nabi* (pembawa kabar) dan *Rasul* (pembawa syariat), serta bagaimana Al-Quran menggunakan istilah-istilah yang merujuk pada beberapa figur perempuan suci yang menerima wahyu (*Maryam*, *Ibu Musa*). Pendekatan ini sering dianggap terlalu liberal oleh kelompok konservatif yang berpegangan pada konsensus klasik bahwa seluruh nabi dan rasul adalah laki-laki.
Namun, bagi pendukungnya, penafsiran ini adalah demonstrasi metodologis yang konsisten: ia berusaha kembali ke akar semantik Al-Quran dan membebaskan pemahaman dari belenggu interpretasi budaya yang tidak selalu sejalan dengan teks suci itu sendiri. Ia tidak mengubah teks, tetapi membuka kemungkinan makna yang lebih luas.
Kritik lain berfokus pada pendekatan *adabi ijtima'i* yang terkadang dianggap kurang menonjolkan aspek hukum positif. Quraish Shihab menjawab bahwa Al-Quran, meskipun mencakup hukum, lebih banyak berbicara tentang moralitas universal dan etika. Hukum bersifat adaptif terhadap moral. Ia menekankan bahwa penafsiran harus menjadi proses yang berkelanjutan, atau yang disebutnya sebagai pembacaan Al-Quran yang ‘kontinu’.
Pembacaan kontinu ini mengisyaratkan bahwa setiap generasi memiliki tanggung jawab untuk menggali relevansi pesan suci sesuai tantangan zaman mereka. Al-Quran tidak pernah usang, tetapi pemahaman kita terhadapnya yang bisa menjadi statis. Oleh karena itu, *Tafsir Al-Misbah* adalah sebuah upaya untuk memberikan panduan kepada pembaca agar tidak berhenti pada terjemahan, tetapi melanjutkan perjalanan spiritual dan intelektual mereka sendiri dalam memahami Kalamullah.
Prof. Quraish Shihab, melalui seluruh karya dan dakwahnya, secara fundamental mengajarkan bahwa pemahaman Al-Quran tidak boleh terlepas dari dua dimensi utama: Teks (kekuatan bahasa dan struktur ayat) dan Konteks (latar belakang historis, sosial, dan relevansi kontemporer). Kedua dimensi ini, dalam pandangannya, adalah sepasang sayap yang harus digunakan secara seimbang untuk terbang menuju pemahaman yang otentik.
Dalam metodologinya, dialektika ini diwujudkan melalui tahapan:
Pendekatan yang terintegrasi ini menghasilkan sebuah tafsir yang tidak kaku dalam dogma, tetapi sangat teguh pada prinsip-prinsip universal Islam, seperti keadilan, kemanusiaan, dan cinta damai. Ia berhasil memposisikan dirinya sebagai *mufassir* (penafsir) yang bukan hanya seorang ahli bahasa, tetapi juga seorang filsuf sosial dan spiritual.
Quraish Shihab menolak dualisme antara agama yang ‘sebagai ritual pribadi’ dan ‘sebagai sistem publik’ yang terpisah. Baginya, Al-Quran adalah panduan hidup total. Namun, totalitas ini diwujudkan bukan melalui formalitas hukum yang dipaksakan, melainkan melalui internalisasi nilai-nilai etika universal yang kemudian diwujudkan dalam tindakan sosial. Totalitas agama berarti seseorang membawa integritas moral dan spiritualnya ke dalam setiap aspek kehidupannya—dari politik, ekonomi, hingga hubungan interpersonal.
Refleksi ini terlihat jelas dalam karyanya mengenai akhlak, di mana ia menekankan bahwa ibadah yang sah harus menghasilkan dampak positif pada masyarakat, seperti kejujuran, keadilan, dan kepedulian terhadap fakir miskin. Jika ritual ibadah tidak membuahkan akhlak mulia, maka ritual tersebut kehilangan makna esensialnya.
Prof. Dr. M. Quraish Shihab telah meletakkan landasan kuat bagi pengembangan ilmu tafsir di Indonesia, yang berkarakteristik nusantara—inklusif, moderat, dan adaptif terhadap kearifan lokal. Warisan keilmuannya dapat dirangkum sebagai berikut:
Pertama, Standardisasi Tafsir Modern Populer. Tafsir Al-Misbah telah menjadi tolok ukur baru bagi tafsir berbahasa Indonesia, menunjukkan bahwa kedalaman akademis dapat disajikan dengan bahasa yang indah dan mudah dijangkau. Karya ini menjembatani jurang antara ulama tradisional dan intelektual modern.
Kedua, Penanaman Prinsip Wasatiyyah. Melalui dakwahnya yang lembut dan berbasis argumentasi, ia menanamkan pemahaman bahwa moderasi adalah identitas sejati Islam. Hal ini sangat krusial dalam melawan narasi ekstremisme yang sering mengatasnamakan teks suci.
Ketiga, Pemberdayaan Perempuan dalam Wacana Islam. Ia telah memberikan kontribusi signifikan dalam membebaskan tafsir Al-Quran dari interpretasi patriarkal yang kaku, membuka jalan bagi cendekiawan perempuan untuk semakin aktif dalam ranah *ijtihad* dan penafsiran.
Keempat, Integrasi Ilmu Pengetahuan. Dengan kemampuannya mengintegrasikan filsafat, psikologi, sosiologi, dan sains modern ke dalam penafsiran, Quraish Shihab memperlihatkan bahwa Al-Quran adalah sumber ilmu pengetahuan yang tak terbatas, relevan untuk seluruh perkembangan peradaban manusia. Ia menjadikan Al-Quran bukan sekadar buku sejarah masa lalu, melainkan peta jalan masa depan.
Prof. Quraish Shihab adalah figur langka yang mampu menggabungkan kedalaman akademik seorang ahli tafsir klasik dengan kepedulian sosial seorang intelektual publik. Ia menggunakan kecerdasan linguistiknya untuk mengungkap pesan kasih sayang dan keadilan yang tersembunyi dalam ayat-ayat suci, menantang umat untuk tidak hanya membaca Al-Quran, tetapi untuk menghidupinya. Melalui karya-karyanya yang mendalam dan dakwahnya yang menyejukkan, ia terus menjadi mercusuar yang membimbing umat Muslim Indonesia menuju pemahaman agama yang damai, cerdas, dan bermartabat.
Seluruh kontribusinya menegaskan kembali bahwa esensi Islam adalah rahmat bagi semesta alam, dan bahwa pintu ijtihad senantiasa terbuka bagi mereka yang mendekati teks suci dengan hati yang tulus dan pikiran yang terbuka. Warisan Quraish Shihab adalah panggilan abadi untuk merenungkan makna Al-Quran dalam konteks yang selalu berubah, memastikan bahwa cahaya petunjuk ilahi tidak pernah pudar oleh belitan zaman.
Pemikirannya tentang kemanusiaan yang universal, yang melampaui sekat-sekat suku dan agama, merupakan inti dari visinya tentang Islam Indonesia yang ideal. Ia mengajarkan bahwa Muslim yang sejati adalah mereka yang paling bermanfaat bagi sesama, dan yang senantiasa mencari keharmonisan antara iman, ilmu, dan amal. Dalam konteks global yang penuh gejolak, pendekatan Quraish Shihab menawarkan sebuah model bagaimana tradisi dapat dipertahankan tanpa mengorbankan progresivitas, dan bagaimana keimanan dapat dihidupkan tanpa jatuh ke dalam fanatisme.
Kajian mendalam terhadap setiap jilid Tafsir Al-Misbah akan menunjukkan dedikasi luar biasa dalam menjaga orisinalitas makna Al-Quran sambil tetap memberinya nafas kontekstual. Misalnya, ketika membahas tentang nasib umat terdahulu (seperti kaum Aad atau Tsamud), Quraish Shihab tidak hanya menyajikan kisah historis, tetapi selalu menekankan relevansi moralnya: bahwa kesombongan, ketidakadilan, dan penolakan terhadap kebenaran adalah penyakit universal yang bisa menimpa siapapun, kapanpun. Dengan demikian, Al-Quran diubah dari sekadar kitab sejarah menjadi cermin refleksi diri yang abadi.
Kehadiran Quraish Shihab dalam media massa dan ruang publik juga memainkan peran penting. Ia berhasil memutus stereotip bahwa ulama besar harus selalu kaku dan jauh dari kehidupan sehari-hari. Dengan menggunakan platform modern untuk menyebarkan pemikirannya, ia memastikan bahwa khazanah keilmuan Islam yang autentik dan moderat mencapai audiens yang seluas-luasnya, melawan arus informasi keagamaan yang ekstrem dan simplistik. Keteladanan dan integritas pribadinya menjadi penegasan bahwa ilmu dan akhlak tidak dapat dipisahkan dalam sosok seorang ulama.
Metode penelitian yang ia ajarkan kepada para mahasiswanya dan diterapkan di PSQ selalu berorientasi pada penyelesaian masalah umat (*problem-solving*). Ilmu tafsir, dalam pandangannya, bukanlah sekadar latihan teoretis, melainkan alat operasional untuk meningkatkan kualitas spiritual dan sosial kehidupan manusia. Oleh karena itu, tafsir harus senantiasa peka terhadap fenomena kemiskinan, kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan, dan krisis moral yang dihadapi masyarakat.
Pada akhirnya, warisan terbesar Quraish Shihab bukanlah pada satu buku atau satu posisi, melainkan pada metode berpikir yang ia wariskan: sebuah metode yang mengajak Muslim untuk mencintai Al-Quran dengan akal dan hati, menafsirkan kebenaran dengan kebijaksanaan, dan menerapkan ajaran agama dengan kasih sayang. Ia mengajarkan bahwa kekayaan Islam terletak pada kelenturannya, dan kekuatan Islam terletak pada kemampuannya untuk berdialog dengan dunia modern tanpa kehilangan identitas aslinya.