Muhammad Quraish Shihab, yang sering disapa dengan penuh hormat sebagai Abi Quraish, merupakan salah satu tokoh intelektual Muslim kontemporer Indonesia yang paling berpengaruh. Kontribusinya melampaui batas-batas akademik dan teologis, merasuk ke dalam diskursus sosial dan kenegaraan. Karya-karyanya, terutama 'Tafsir Al-Misbah', telah menjadi mercusuar bagi umat Islam di Nusantara yang mencari pemahaman mendalam mengenai wahyu Illahi yang relevan dengan tantangan zaman modern. Pemikiran beliau ditandai oleh pendekatan yang holistik, humanis, dan selalu menekankan pada konsep wasathiyah atau moderasi beragama, sebuah prinsip yang kini menjadi pondasi penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
I. Formasi Intelektual dan Jejak Pendidikan Abi Quraish Shihab
Lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, Abi Quraish tumbuh dalam lingkungan keluarga yang kental dengan tradisi keilmuan Islam. Ayah beliau, Prof. K.H. Abdurrahman Shihab, adalah seorang ulama dan rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, yang menjadi fondasi awal pendidikan agama dan intelektualnya. Namun, titik balik terpenting dalam pembentukan kerangka berpikir beliau adalah masa studinya yang panjang dan mendalam di Mesir, pusat keilmuan Islam modern.
Perjalanan Akademik di Al-Azhar, Kairo
Abi Quraish memulai pendidikan tingginya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pada dekade 1950-an. Al-Azhar pada masa itu bukan sekadar institusi pendidikan, melainkan episentrum perdebatan intelektual antara tradisionalisme dan modernisme Islam. Masa studi beliau terbagi dalam dua fase krusial. Fase pertama adalah saat menempuh tingkat License (S1) dan Master (S2) di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits. Dalam fase ini, beliau mendalami metodologi tafsir klasik, memahami secara menyeluruh karya-karya mufasir terdahulu, mulai dari Al-Thabari, Al-Razi, hingga Ibnu Katsir. Penguasaan yang kuat terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab (linguistik Qurani) dan ilmu-ilmu bantu tafsir (Ulumul Qur’an) menjadi ciri khas yang kemudian tampak jelas dalam seluruh karya-karyanya.
Fase kedua yang lebih menentukan adalah saat beliau kembali ke Mesir untuk menempuh program doktoral pada tahun 1970-an. Disertasi doktornya yang membahas tentang keserasian Al-Quran (munasabah) dan keterkaitannya dengan isu-isu kontemporer menunjukkan ketertarikan beliau untuk menjembatani teks suci dengan realitas modern. Pengalaman di Al-Azhar ini tidak hanya memberikan modal keilmuan yang masif, tetapi juga menanamkan sikap terbuka (inklusi) terhadap berbagai mazhab pemikiran, sebuah ciri khas yang sangat dipegang teguh dalam pandangan teologisnya.
Pengaruh guru-guru besar Al-Azhar, yang banyak di antaranya juga berjuang menghadapi tantangan kolonialisme dan modernisasi, membentuk pandangan Abi Quraish bahwa Islam harus mampu berbicara kepada manusia modern tanpa kehilangan akar spiritual dan teksnya. Beliau menyerap semangat pembaharuan yang diusung oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, namun dengan pendekatan yang lebih hati-hati terhadap rasionalisme murni, selalu menempatkan aspek bayani (linguistik) dan burhani (rasional) dalam keseimbangan dengan irfani (spiritual).
II. Tafsir Al-Misbah: Cerminan Metodologi Holistik
Karya monumental Abi Quraish Shihab, 'Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran', yang terdiri dari 15 volume, adalah sumbangan terbesar beliau bagi khazanah keilmuan Islam di Indonesia dan dunia. Tafsir ini bukan sekadar terjemahan atau penjelasan harfiah, melainkan interpretasi yang mencoba menangkap "pesan" hakiki dari firman Tuhan, sekaligus memberikan "kesan" personal dan spiritual bagi pembaca.
Karakteristik Kunci Al-Misbah
Al-Misbah berbeda dari kebanyakan tafsir klasik yang cenderung bersifat tahlili (analitis per kata) atau fiqhi (berorientasi hukum). Abi Quraish menggunakan pendekatan maudhu'i (tematik) yang dipadukan dengan lughawi (linguistik) dan kontekstual. Beberapa karakteristik utama Tafsir Al-Misbah meliputi:
- Pendekatan Lughawi yang Mendalam: Sebelum membahas makna ayat, Abi Quraish selalu mengupas akar kata (morfologi) dan sinonim dalam bahasa Arab untuk menemukan nuansa makna yang paling kaya dan tepat. Misalnya, beliau sangat teliti membedakan antara kata qalbu (hati), fuaad (jiwa yang bergejolak), dan shadr (dada), yang seringkali diterjemahkan sama dalam bahasa Indonesia. Penekanan pada bahasa ini memastikan bahwa interpretasi tidak melenceng dari otoritas linguistik Al-Quran.
- Menekankan Keserasian (Munasabah): Inti dari metode Al-Misbah adalah konsep munasabah, yaitu keterkaitan dan keserasian antara satu ayat dengan ayat berikutnya, bahkan antara satu surat dengan surat lainnya. Beliau meyakini bahwa Al-Quran adalah sebuah kesatuan yang utuh, dan tidak ada satupun ayat yang berdiri sendiri tanpa konteks sistematis. Hal ini membantu pembaca menghindari pemahaman parsial yang seringkali menjadi sumber ekstremisme.
- Humanisme dan Kontekstualisasi: Tafsir ini sangat humanis, menempatkan akal dan kemanusiaan sebagai penerima wahyu. Beliau selalu berusaha mengaitkan ayat-ayat dengan masalah sosial kontemporer, seperti isu gender, lingkungan, sains, dan demokrasi. Ini menjadikan Al-Misbah sangat relevan bagi kaum terpelajar modern.
- Menghindari Israiliyyat (Kisah Non-Qurani): Abi Quraish sangat berhati-hati dalam memasukkan kisah-kisah yang bersumber dari tradisi Yahudi atau Kristen (Israiliyyat) yang tidak memiliki dasar kuat dalam riwayat Islam, kecuali sebagai pembanding belaka. Beliau berfokus pada apa yang secara jelas dan otentik termaktub dalam teks Al-Quran itu sendiri, menjaga kemurnian interpretasi.
Analisis Konsep Sentral dalam Tafsir Al-Misbah
Salah satu kontribusi terbesar Al-Misbah adalah cara Abi Quraish menafsirkan ayat-ayat yang secara tradisional dianggap kaku atau literal. Beliau memperkenalkan konsep ‘makna hakiki’ (makna asli) dan ‘makna majazi’ (makna kiasan) dengan sangat hati-hati. Dalam isu-isu teologis seperti sifat-sifat Tuhan (sifatullah), beliau cenderung pada tafsiran yang tidak mengarah pada antropomorfisme (penyerupaan Tuhan dengan makhluk), menekankan bahwa pemahaman kita terhadap realitas Ilahi harus selalu diwarnai oleh keterbatasan akal manusia.
Dalam membahas isu-isu krusial seperti jihad, Abi Quraish secara tegas memisahkan makna 'perang' (qital) dari makna 'usaha keras' (jihad) yang jauh lebih luas. Beliau menunjukkan bahwa Al-Quran memberikan spektrum makna jihad yang meliputi perjuangan intelektual, moral, dan sosial, sementara perang hanya diizinkan dalam konteks pertahanan diri yang ketat. Penjelasan ini sangat penting untuk menanggulangi narasi radikal yang menyempitkan makna jihad hanya pada dimensi kekerasan bersenjata.
Al-Misbah juga secara ekstensif membahas tentang peran ilmu pengetahuan dan akal dalam Islam. Beliau menekankan bahwa Al-Quran adalah kitab yang mendorong refleksi dan penelitian. Ayat-ayat tentang alam semesta (ayat-ayat kawniyyah) tidak dilihat sebagai penjelasan ilmiah final, melainkan sebagai pemicu untuk manusia menggunakan akal dan meneliti fenomena alam, yang pada akhirnya harus mengarah pada pengakuan akan kebesaran Sang Pencipta. Sinergi antara wahyu dan sains inilah yang menjadikan Tafsir Al-Misbah sangat dihormati oleh kalangan akademisi umum.
III. Pilar Wasathiyah: Moderasi Beragama Sebagai Intisari Ajaran
Jika Tafsir Al-Misbah adalah metodologi, maka wasathiyah (moderasi) adalah ideologi inti dari seluruh pemikiran Abi Quraish Shihab. Beliau adalah salah satu tokoh kunci di Indonesia yang secara konsisten mempromosikan Islam yang moderat, toleran, dan inklusif. Konsep ini bersumber langsung dari Surah Al-Baqarah [2]: 143, yang menyatakan umat Islam sebagai "umat pertengahan" (ummatan wasathan).
Abi Quraish mendefinisikan wasathiyah bukan sekadar di tengah-tengah antara dua ekstrem (misalnya, liberalisme dan konservatisme), melainkan sebagai sikap dinamis yang mampu menempatkan sesuatu pada proporsinya yang adil. Wasathiyah menuntut keseimbangan dalam empat dimensi utama:
1. Keseimbangan Teks (Nash) dan Konteks (Waqi')
Moderasi, menurut beliau, adalah kemampuan untuk membaca teks suci (Al-Quran dan Hadits) sambil mempertimbangkan konteks historis turunnya wahyu (asbabun nuzul) dan konteks sosial modern (waqi'). Pendekatan ini memungkinkan fleksibilitas hukum dan penafsiran. Contohnya, sementara prinsip dasar moral tetap abadi, aplikasi sosial dari hukum tersebut dapat berubah seiring perubahan waktu, tempat, dan kondisi masyarakat (taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah).
2. Keseimbangan Akal ('Aql) dan Wahyu (Naql)
Abi Quraish menolak ekstrem kaum yang terlalu mengagungkan rasionalitas hingga menolak otoritas wahyu, dan ekstrem kaum yang menolak penggunaan akal dalam memahami wahyu. Beliau menegaskan bahwa akal adalah karunia Tuhan yang harus digunakan untuk menggali makna wahyu, bukan untuk menolaknya. Akal menjadi alat untuk memahami "mengapa" sebuah perintah diturunkan, bukan sekadar "bagaimana" melaksanakannya. Keseimbangan ini menghindari taklid buta sekaligus liberalisme yang kebablasan.
3. Keseimbangan Duniawi (Dunia) dan Ukhrawi (Akhirat)
Islam moderat adalah agama yang memandang penting kehidupan dunia tanpa melupakan tujuan akhirat. Kekayaan, ilmu pengetahuan, dan pembangunan adalah bagian dari ibadah, asalkan dilakukan sesuai dengan nilai-nilai moral. Beliau sering mengingatkan bahwa seorang Muslim yang sejati adalah mereka yang berhasil di dunia (sebagai khalifah di bumi) dan juga di akhirat. Ini menolak pandangan asketis ekstrem yang menganggap dunia hanya sebagai penjara.
4. Keseimbangan Individual dan Sosial (Fardi wa Ijtima'i)
Ibadah ritual (seperti salat dan puasa) harus diimbangi dengan ibadah sosial (seperti zakat dan kepedulian terhadap sesama). Moderasi menuntut Muslim tidak hanya sibuk memperbaiki hubungannya dengan Tuhan (habluminallah) tetapi juga dengan manusia (habluminannas). Konsep ini menjadi landasan kuat untuk mempromosikan toleransi dan kepedulian sosial dalam masyarakat majemuk Indonesia.
Wasathiyah: Keseimbangan dan Keadilan dalam Berpikir
IV. Tafsir Kontemporer: Menjawab Isu Keperempuanan dan Sains
Salah satu aspek yang paling banyak dikaji dari pemikiran Abi Quraish adalah keberanian beliau dalam menafsirkan ayat-ayat yang sensitif terhadap isu modern, terutama yang berkaitan dengan perempuan dan ilmu pengetahuan. Pendekatan beliau selalu berusaha membebaskan interpretasi dari budaya patriarki masa lalu yang mungkin tidak lagi relevan.
Reinterpretasi Isu Gender
Abi Quraish sangat hati-hati dalam membahas ayat-ayat yang secara tradisional digunakan untuk menjustifikasi superioritas laki-laki atau pembatasan peran perempuan. Dalam menafsirkan Surah An-Nisa [4]: 34, yang seringkali diperdebatkan terkait kepemimpinan dan hukuman, beliau menekankan bahwa Al-Quran tidak pernah secara mutlak menempatkan laki-laki di atas perempuan. Perbedaan yang disebutkan adalah dalam konteks tanggung jawab sosial dan ekonomi tertentu (qawwamun), yang harus dilihat secara proporsional. Beliau menafsirkan kata-kata seperti dharaba (memukul) dengan sangat kontekstual, bahkan cenderung menganggapnya sebagai hukuman simbolis atau langkah terakhir yang hampir mustahil untuk dipraktikkan, menekankan bahwa inti hubungan suami-istri adalah mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang).
Selain itu, beliau konsisten mengangkat kisah-kisah perempuan mulia dalam Al-Quran (seperti Maryam dan Ratu Balqis) untuk menunjukkan bahwa Islam memberikan ruang yang luas bagi perempuan untuk memimpin, berkarya, dan berprestasi, asalkan dilakukan dengan kearifan dan kepatuhan moral. Pendekatan ini sangat memengaruhi gerakan kesetaraan gender dalam Islam di Indonesia.
Integrasi Sains dan Wahyu
Dalam karyanya yang lain, 'Wawasan Al-Quran tentang Ilmu Pengetahuan', Abi Quraish mempertegas pandangan bahwa tidak ada kontradiksi fundamental antara wahyu dan temuan ilmiah yang valid. Beliau berpendapat bahwa Al-Quran adalah sumber inspirasi untuk penelitian, tetapi bukan buku teks sains. Ketika terjadi benturan antara tafsiran literal dan fakta ilmiah yang kokoh, beliau cenderung menyarankan reinterpretasi terhadap tafsiran yang kaku, karena pemahaman manusia (tafsir) selalu bersifat nisbi, sementara fakta ilmiah dan firman Tuhan (Al-Quran) adalah absolut.
Contohnya, dalam membahas penciptaan alam semesta atau embriologi, Abi Quraish menggunakan bahasa Al-Quran sebagai metafora waktu atau proses yang sangat panjang, yang kompatibel dengan teori evolusi dan Big Bang, tanpa secara langsung mengkonfirmasi atau menolaknya. Fokusnya adalah pada hikmah di balik penciptaan, yaitu pengenalan terhadap kekuasaan Allah.
V. Kritik Terhadap Literalisme dan Pemahaman Tekstualis
Meskipun Abi Quraish dikenal dengan kehati-hatiannya dalam berijtihad, beliau juga seorang kritikus tajam terhadap pemahaman Islam yang kaku, tekstualis, dan literalis. Beliau melihat literalisme sebagai ancaman bagi moderasi karena gagal membedakan antara yang fundamental (tsawabit) dan yang partikular (mutaghayyirat).
Bahaya Pemahaman Parsial
Menurut beliau, literalisme seringkali melakukan kesalahan fatal, yaitu memotong ayat dari konteksnya yang lebih luas (baik konteks historis maupun munasabah dalam Al-Quran). Ketika sebuah ayat yang ditujukan untuk situasi perang atau konflik (misalnya, beberapa ayat pedang) diinterpretasikan secara universal dan diterapkan dalam konteks damai, hasilnya adalah ekstremisme. Abi Quraish selalu menekankan bahwa ayat-ayat yang berbicara tentang toleransi dan perdamaian jauh lebih banyak dan harus menjadi bingkai utama pemahaman Islam.
Beliau juga mengkritik kecenderungan untuk menghukum orang lain hanya berdasarkan pemahaman fiqih (hukum) yang sangat sempit, tanpa mempertimbangkan tujuan luhur (maqashid syari’ah). Maqashid, yaitu tujuan syariah, harus selalu diutamakan, seperti menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jika sebuah interpretasi literal justru merusak salah satu dari maqashid ini (misalnya, merusak akal melalui radikalisme), maka interpretasi tersebut harus ditinjau ulang.
Peran Hadits dan Sunnah
Dalam konteks Hadits, Abi Quraish menekankan pentingnya penggunaan ilmu Hadits (ilmu musthalah hadits) secara ketat, menolak penggunaan Hadits dha’if (lemah) atau maudhu’ (palsu) sebagai dasar hukum atau akidah. Selain itu, beliau membedakan antara Sunnah yang bersifat murni ibadah (yang harus diikuti tanpa perubahan) dan Sunnah yang bersifat adat (kebiasaan) Nabi Muhammad SAW yang dipengaruhi oleh budaya Arab saat itu (seperti cara berpakaian atau makan tertentu). Membedakan keduanya sangat penting agar umat Islam modern tidak terjebak dalam formalitas tanpa makna, dan dapat mengadaptasi ajaran Islam ke dalam budaya lokal yang baik (seperti dalam konteks Indonesia).
VI. Kontribusi Sosial dan Lembaga Keilmuan
Dampak pemikiran Abi Quraish tidak hanya terbatas pada dunia cetak. Beliau juga aktif dalam ranah pendidikan, pemerintahan, dan pengembangan lembaga keilmuan yang berkelanjutan.
Pusat Studi Al-Quran (PSQ)
Salah satu legasi terpenting beliau adalah pendirian Pusat Studi Al-Quran (PSQ) di Jakarta. PSQ berfungsi sebagai lembaga riset, pendidikan, dan diseminasi pemikiran Al-Quran yang modern dan moderat. PSQ menjadi kawah candradimuka bagi para sarjana muda untuk mendalami ilmu tafsir dengan metodologi yang kritis, kontekstual, dan inklusif, memastikan bahwa pendekatan wasathiyah tidak berhenti pada generasi beliau saja. Melalui PSQ, beliau secara aktif mencetak penerus yang memiliki visi sama dalam menghadapi tantangan kontemporer.
Peran dalam Pemerintahan dan Media
Abi Quraish pernah menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia, yang memberinya platform untuk mengintegrasikan nilai-nilai moderasi dalam kebijakan negara. Meskipun masa jabatannya singkat, pengaruhnya terhadap arah pendidikan agama dan kerukunan antarumat beragama sangat signifikan. Selain itu, beliau dikenal luas oleh masyarakat melalui program-program televisi dan media yang menyajikan kajian tafsir dengan bahasa yang ringan, komunikatif, dan menyentuh sisi spiritual. Kemampuannya menyampaikan pesan-pesan Al-Quran yang mendalam tanpa jargon akademis yang rumit telah membuatnya menjadi ulama yang dihormati di berbagai lapisan masyarakat.
Konsep Etika Berbahasa Qurani
Beliau juga banyak menulis tentang etika komunikasi dan berbahasa yang diajarkan oleh Al-Quran. Dalam konteks dakwah, Abi Quraish selalu menekankan penggunaan bahasa yang santun (qaulan layyinan) dan efektif. Baginya, dakwah harus bersifat persuasif, bukan konfrontatif. Seorang dai harus berbicara dengan hikmah dan pelajaran yang baik (bil-hikmah wal-mau’idhatil hasanah), menjauhi fitnah, dan menghormati perbedaan pendapat. Etika ini merupakan perwujudan praktis dari moderasi beragama, di mana perbedaan pandangan teologis tidak boleh merusak persatuan sosial.
VII. Kedalaman Spiritual dan Pendekatan Sufistik
Meskipun sangat analitis dan logis dalam metodologi tafsirnya, pemikiran Abi Quraish juga diwarnai oleh kedalaman spiritual yang kental. Beliau sering mengintegrasikan dimensi irfani (gnostik/spiritual) dalam penafsirannya, yang membedakannya dari mufasir modernis murni yang cenderung menolak sufisme.
Integrasi Tiga Dimensi Tafsir
Abi Quraish percaya bahwa pemahaman Al-Quran yang sempurna harus melibatkan tiga pendekatan utama secara simultan:
- Bayani (Linguistik): Memahami teks melalui tata bahasa, retorika, dan konteks linguistik Arab yang sempurna.
- Burhani (Rasional): Menggunakan akal dan logika untuk menganalisis dan menguji konsistensi internal pesan Al-Quran.
- Irfani (Spiritual/Ishari): Menangkap makna batin, isyarat, dan pelajaran spiritual yang melampaui makna literal, menghubungkan ayat dengan pengalaman spiritual pribadi dan hati nurani.
Pendekatan irfani ini memungkinkan beliau untuk memberikan tafsiran yang menyejukkan hati dan mendorong transformasi moral. Misalnya, dalam menafsirkan ayat-ayat tentang salat, beliau tidak hanya menjelaskan rukun dan syarat fiqihnya, tetapi juga menekankan esensi salat sebagai komunikasi intim antara hamba dan Pencipta, yang seharusnya berdampak pada pencegahan perbuatan keji dan munkar dalam kehidupan sehari-hari.
Konsep Iman dan Akhlak
Bagi Abi Quraish, Islam tidak hanya berbicara tentang ritual (ibadah) dan hukum (muamalah), tetapi yang terpenting adalah akhlak (moral). Akhlak adalah manifestasi dari keimanan yang sejati. Beliau berulang kali menegaskan bahwa keimanan yang tidak menghasilkan perilaku moral yang baik (seperti kejujuran, kasih sayang, dan keadilan) adalah keimanan yang kering dan tidak bermakna. Kesimpulan ini selalu membawa pembaca karyanya dari dimensi hukum (fiqih) menuju dimensi etika (akhlak), yang menjadi ciri khas interpretasi Islam yang humanis.
Cahaya Tafsir: Menerangi Hati dan Pikiran
VIII. Keberlanjutan Pemikiran dan Pengaruh Global
Pengaruh Abi Quraish Shihab meluas jauh melampaui batas Indonesia. Sebagai seorang akademisi yang diakui secara internasional, karyanya menjadi rujukan bagi studi-studi Islam di Asia Tenggara, dan pendekatannya terhadap moderasi memberikan model yang penting bagi negara-negara Muslim yang menghadapi isu-isu radikalisasi dan pluralisme.
Peran dalam Pluralisme dan Kebhinekaan
Di Indonesia, negara dengan pluralitas agama dan etnis yang sangat tinggi, pemikiran Abi Quraish tentang Wasathiyah menjadi alat penting untuk memelihara kebhinekaan. Beliau secara konsisten menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan non-Muslim (seperti Ahlul Kitab) dengan perspektif yang paling inklusif. Beliau berpendapat bahwa meskipun Islam memiliki kebenaran teologisnya sendiri, hal itu tidak boleh menjadi alasan untuk menolak atau memusuhi penganut agama lain. Prinsip keadilan, kasih sayang, dan kerja sama dalam kebaikan (ta'awun ala al-birr) harus menjadi panduan utama dalam hubungan antarumat beragama.
Beliau juga menolak keras konsep takfiri (mengkafirkan sesama Muslim) yang menjadi ciri khas kelompok ekstremis. Bagi beliau, selama seseorang masih mengucapkan syahadat, urusan keimanan sejati berada di tangan Tuhan. Tugas manusia adalah berinteraksi secara damai dan saling menghormati, bahkan jika ada perbedaan dalam praktik fiqih atau pandangan politik. Penekanan pada persatuan umat dan persatuan bangsa ini merupakan kontribusi politik-teologis yang sangat berharga.
Perbandingan dengan Mufasir Kontemporer Lain
Dalam khazanah tafsir modern, Abi Quraish sering disejajarkan dengan mufasir kontemporer lain dari Timur Tengah yang juga mengedepankan rasionalitas dan kontekstualisasi, seperti Muhammad Shahrur atau Nashr Hamid Abu Zayd. Namun, Abi Quraish menempatkan dirinya pada posisi yang lebih konservatif secara metodologis, menjaga jarak yang sangat ketat dengan interpretasi yang dianggap terlalu radikal atau spekulatif (seperti yang dilakukan oleh Shahrur). Beliau tetap teguh pada metodologi klasik (ushul al-tafsir) sambil menyuntikkan semangat kontekstualisasi modern. Kehati-hatian inilah yang membuat Tafsir Al-Misbah diterima luas oleh berbagai kalangan di Indonesia, dari akademisi hingga ulama tradisional.
Warisan Intelektual yang Abadi
Warisan Abi Quraish Shihab tidak hanya terletak pada volume Tafsir Al-Misbah, tetapi juga pada ratusan buku dan tulisan lainnya yang membahas berbagai tema, mulai dari masalah jilbab, puasa, hingga haji, selalu dengan pendekatan yang sama: komprehensif, moderat, dan humanis. Setiap karyanya berusaha menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang memudahkan (yusrun), bukan mempersulit, dan bahwa inti dari agama adalah kasih sayang, keadilan, dan hikmah.
Dedikasi Abi Quraish selama puluhan tahun untuk "membumikan wahyu" telah mengubah cara pandang umat Islam Indonesia terhadap Al-Quran. Beliau berhasil menunjukkan bahwa Kitab Suci adalah sumber abadi yang mampu berbicara kepada setiap generasi, asalkan ia didekati dengan hati yang terbuka, akal yang kritis, dan semangat moderasi yang tulus. Pengaruhnya akan terus terasa melalui para murid, pembaca, dan lembaga yang beliau dirikan, menjadikannya salah satu pilar utama Islam Nusantara yang damai dan inklusif. Pendekatan beliau yang menyatukan kedalaman linguistik Al-Azhar, kecerdasan rasional modern, dan kehangatan spiritual Indonesia, menawarkan sebuah model keislaman yang relevan dan mencerahkan di tengah pusaran tantangan global.
Melalui Tafsir Al-Misbah dan ribuan ceramahnya, Abi Quraish telah mengajarkan bahwa tugas seorang Muslim adalah menjadi agen perdamaian dan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), sebuah misi yang hanya dapat dicapai melalui pemahaman wahyu yang adil, seimbang, dan penuh kasih. Kontinuitas dalam penyampaian pesan ini menjadikan Abi Quraish Shihab bukan hanya seorang mufasir, tetapi juga guru bangsa yang tak pernah lelah mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang bersumber dari Al-Quran.
Penting untuk memahami bahwa pemikiran beliau selalu bergerak di antara poros kemudahan (ta’sir) dan ketelitian (tadqiq). Beliau tidak pernah mengorbankan ketelitian akademik demi popularitas, namun beliau juga memastikan bahwa hasil penafsiran yang rumit dapat dipahami oleh masyarakat umum, sebuah tugas yang sangat sulit dan membutuhkan keahlian retorika serta kedalaman ilmu yang luar biasa. Kemampuan inilah yang mengukuhkan posisi Abi Quraish sebagai jembatan antara ulama klasik dan intelektual modern, antara teks suci dan realitas profan.
Setiap kajian mendalam terhadap karya-karya Abi Quraish akan selalu kembali pada satu poin sentral: bahwa Al-Quran adalah petunjuk yang universal, tetapi pemahaman kita terhadapnya harus bersifat kontekstual dan adaptif, tanpa mengurangi sedikit pun keagungan dan keotentikannya. Kehati-hatian dalam memilih kata, keluasan dalam merujuk sumber, dan ketegasan dalam memegang prinsip moderasi adalah warisan metodologis yang harus dijaga oleh generasi penerus. Seluruh dedikasi keilmuannya merupakan manifestasi nyata dari upaya membumikan syariat Allah tanpa mencabutnya dari akarnya, memastikan Islam tetap relevan dan menyejukkan di tengah berbagai gejolak zaman.
Jejak intelektual beliau menjadi panduan bagi pengembangan ilmu tafsir di perguruan tinggi Islam di Indonesia. Metodologi yang dikembangkannya seringkali menjadi kurikulum standar, memaksa mahasiswa dan akademisi untuk tidak hanya terpaku pada tafsir klasik dari Timur Tengah, tetapi juga untuk mengembangkan interpretasi yang spesifik terhadap konteks Indonesia (sebagai negara Muslim terbesar dengan tradisi yang unik). Integrasi antara nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan, yang selalu ditekankan oleh beliau, merupakan kunci untuk memahami kontribusi beliau secara penuh.
Lebih dari sekadar penjelasan teks, Tafsir Al-Misbah seringkali terasa seperti sesi konseling spiritual. Abi Quraish menggunakan narasi yang mengalir dan penuh empati, mengundang pembaca untuk merenung dan mengaitkan ayat-ayat dengan kondisi hati mereka sendiri. Ini menunjukkan bahwa beliau memandang tafsir bukan hanya sebagai ilmu (‘ilm), tetapi juga sebagai seni (fann) dan spiritualitas (ruhaniyyah). Dimensi spiritual ini sangat penting dalam melawan narasi radikal yang kering dan penuh kebencian; Abi Quraish menawarkan Islam yang kaya, penuh makna, dan damai.
Pendekatan beliau terhadap perbedaan pendapat (ikhtilaf) juga patut dicatat. Beliau mengajarkan bahwa perbedaan adalah keniscayaan dalam Islam dan bahwa umat Islam harus menghormati berbagai mazhab fiqih yang ada. Beliau sering mengutip hadits yang menyatakan bahwa perbedaan pendapat di antara ulama bisa menjadi rahmat, asalkan didasarkan pada ilmu dan niat yang tulus. Sikap ini sangat kontras dengan kelompok-kelompok yang mengklaim hanya memiliki satu kebenaran mutlak dan menolak legitimasi pandangan lain.
Secara keseluruhan, Abi Quraish Shihab telah memposisikan dirinya sebagai Mujaddid (pembaharu) yang moderat, yang keberhasilannya terletak pada sintesis antara tradisi dan modernitas. Beliau menunjukkan bahwa menjadi Muslim yang modern tidak berarti meninggalkan teks suci, tetapi justru memahami teks suci dengan kedalaman yang lebih besar, membebaskannya dari belenggu interpretasi historis yang sudah usang, dan menawarkannya sebagai solusi abadi bagi masalah-masalah kemanusiaan yang terus berkembang. Melalui karyanya, warisan ilmu dan spiritualitasnya akan terus menjadi penerang bagi umat di Indonesia dan dunia.