Pendahuluan: Kompleksitas Terminologi dan Identitas
Diskusi mengenai gerakan reformasi dalam Islam, khususnya yang sering dilabeli dengan istilah kontroversial 'Wahabi' atau yang lebih dikenal secara akademis sebagai Salafiyah, selalu melibatkan lapisan sejarah, akidah, dan dinamika sosial yang rumit. Dalam konteks ini, muncul pula sosok-sosok yang dikaitkan dengan pusat-pusat keilmuan Islam, seperti individu yang dirujuk dengan ungkapan 'Abi Makki'—sebutan yang mengindikasikan koneksi kuat dengan Makkah Al-Mukarramah, kota yang merupakan jantung spiritual dan intelektual umat Islam.
Makkah, sepanjang sejarah, adalah melting pot bagi berbagai mazhab dan tradisi. Kehadiran seorang ulama yang berasosiasi dengan Makkah (Makki) namun menganut atau menyebarkan metodologi reformis (yang sering diidentifikasi sebagai Wahabi atau Salafi) menciptakan ketegangan sekaligus titik fokus perdebatan. Artikel ini bertujuan untuk membongkar dan menganalisis secara mendalam latar belakang historis, prinsip-prinsip akidah, serta implikasi sosial dari fenomena ini, menjauhi simplifikasi, dan mendekati pemahaman yang lebih kaya akan tradisi keilmuan di Haramain.
Istilah ‘Wahabi’ sendiri adalah label eksternal yang diciptakan oleh para penentang gerakan reformasi yang dipimpin oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab pada abad ke-18. Gerakan ini sejatinya bertujuan untuk memurnikan praktik keagamaan kembali kepada sumber utama, Al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana dipahami oleh generasi awal (As-Salaf Ash-Shalih). Oleh karena itu, bagi para pengikutnya, identitas yang lebih tepat adalah Salafi atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan penekanan pada akidah Atsariyah (mengikuti jejak). Memahami ‘Abi Makki’ dalam kerangka ini berarti menyelami bagaimana seorang ulama dari pusat tradisi menerima atau mengartikulasikan pandangan-pandangan yang di beberapa tempat dianggap revolusioner terhadap praktik keagamaan yang sudah mapan.
Latar Belakang Historis Gerakan Reformasi Najd
Untuk memahami posisi 'Abi Makki' dan pandangan yang diwakilinya, kita harus kembali ke abad ke-18, masa kebangkitan gerakan yang kelak dikenal sebagai ‘Wahabi’ di wilayah Najd (sekarang bagian dari Arab Saudi). Muhammad ibn Abd al-Wahhab (wafat ...) memulai dakwahnya dengan fokus utama pada pemurnian tauhid, sebuah konsep yang ia yakini telah tercemari oleh praktik-praktik yang ia sebut sebagai syirik atau bid’ah (inovasi tercela).
Fokus Utama Dakwah Ibnu Abd al-Wahhab
Inti dari dakwah ini adalah kritik tajam terhadap praktik-praktik populer di zamannya, seperti pemujaan kuburan orang saleh (wali), mencari perantara (tawassul) melalui mereka, dan merayakan hari-hari besar yang tidak memiliki dasar dalam tradisi awal. Ibnu Abd al-Wahhab berpendapat bahwa praktik-praktik ini secara fundamental melanggar prinsip Tawhid Uluhiyah (mengesakan Allah dalam peribadatan). Gerakan ini menegaskan bahwa ibadah dalam segala bentuknya, termasuk doa, permohonan pertolongan (istighatsah), dan nazar, harus ditujukan semata-mata kepada Allah, tanpa perantara sama sekali.
Penting untuk dicatat bahwa gerakan ini berkembang dalam aliansi politik dengan wangsa Saud. Aliansi ini tidak hanya memberikan kekuatan politik bagi dakwah tetapi juga memicu konflik bersenjata dengan entitas-entitas regional, termasuk Kekaisaran Ottoman, yang memandang gerakan ini sebagai ancaman terhadap otoritas politik dan keagamaan mereka yang telah lama berdiri. Konflik inilah yang memperkuat citra militan dan polemis yang dilekatkan pada istilah ‘Wahabi’.
Dampak Revolusi di Haramain
Ketika pasukan yang dipimpin oleh aliansi Saud-Wahhab berhasil menguasai Makkah dan Madinah pada periode ..., hal ini memicu gelombang kejutan di seluruh dunia Islam. Kota-kota suci ini, yang selama berabad-abad didominasi oleh mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanafi—seringkali dalam bentuk teologi Asy’ari dan Maturidi—tiba-tiba menyaksikan penerapan ajaran Hanbali-Salafi yang ketat. Praktik-praktik seperti ziarah berlebihan ke makam Nabi Muhammad dan para sahabat dikritik, bahkan beberapa situs bersejarah di Haramain mengalami restrukturisasi yang kontroversial, semua atas nama pemurnian tauhid dan pemberantasan syirik.
Makkah, tempat di mana 'Abi Makki' diasosiasikan, menjadi saksi bisu atas transformasi radikal ini. Dari pusat toleransi mazhab di bawah kekuasaan Ottoman, Makkah bertransisi menjadi pusat penyebaran ideologi Salafi. Para ulama Makkah yang ada pada saat itu harus menghadapi pilihan sulit: beradaptasi, beremigrasi, atau berkonfrontasi. Ini adalah latar belakang di mana seorang 'Abi Makki'—seorang ulama Makkah kontemporer—harus memposisikan dirinya di tengah warisan tradisi yang kaya versus gelombang reformasi yang dominan.
Akidah Inti: Penegasan Tauhid dan Penolakan Bid’ah
Pilar utama yang membentuk pemikiran Abi Makki, jika ia menganut metodologi Salafi, adalah penafsiran dan penegasan yang sangat ketat terhadap konsep tauhid. Fokus ini memerlukan penjelasan yang sangat rinci karena menjadi sumber utama perselisihan dengan tradisi Sunni yang lebih luas.
Tawhid Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma wa Sifat
Dalam kerangka pemikiran ini, Tauhid (mengesakan Allah) dibagi menjadi tiga kategori, sebuah sistematika yang sangat ditekankan oleh para ulama Salafi untuk memudahkan pemahaman terhadap apa yang dianggap sebagai pelanggaran tauhid:
- Tawhid Rububiyah (Ketuhanan): Mengesakan Allah dalam hal penciptaan, penguasaan, dan pengaturan alam semesta. Ini diakui oleh hampir semua kelompok Muslim, bahkan musyrikin Quraisy diakui mengakui aspek ini.
- Tawhid Uluhiyah (Peribadatan): Mengesakan Allah dalam segala bentuk ibadah (doa, nazar, puasa, salat). Inilah fokus utama dakwah reformis. Mereka berpendapat bahwa banyak praktik, seperti mencari pertolongan kepada selain Allah atau bertawasul dengan orang mati, secara implisit melanggar Uluhiyah, karena perbuatan tersebut adalah bentuk ibadah yang hanya layak bagi Sang Pencipta.
- Tawhid Asma wa Sifat (Nama dan Sifat): Mengesakan Allah dengan menetapkan sifat-sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam Al-Qur’an dan Sunnah tanpa melakukan Ta’wil (penafsiran metaforis), Ta’til (penolakan), Takyif (mempertanyakan bagaimana), atau Tamtsil (menyerupakan dengan makhluk).
Penekanan berlebihan pada Tawhid Uluhiyah seringkali memicu tuduhan bahwa ulama reformis seperti Abi Makki terlalu cepat mengkafirkan atau membid’ahkan praktik-praktik yang telah dilakukan oleh umat Islam selama berabad-abad. Perdebatan berkisar pada garis tipis antara penghormatan yang sah kepada Nabi atau Wali dan tindakan yang dianggap sebagai penyembahan yang dilarang.
Polemik Bid’ah dan Ijtihad
Konsep Bid’ah (inovasi dalam agama) adalah medan pertempuran teologis lainnya. Bagi ulama yang mengikuti metodologi ini, Bid’ah adalah jalan menuju kesesatan dan neraka, tanpa ada pemisahan antara Bid’ah Hasanah (baik) dan Bid’ah Sayyi’ah (buruk), sebuah pemisahan yang dianut oleh mayoritas ulama Syafi’i dan Maliki. Mereka bersikeras bahwa semua ibadah harus memiliki dasar (asal) yang jelas dari Sunnah Nabi atau para sahabat.
Sebagai contoh rinci: perayaan Maulid Nabi. Bagi ulama non-Salafi, Maulid adalah Bid’ah Hasanah, sebuah manifestasi cinta kepada Rasulullah. Bagi Abi Makki dan ulama Salafi, Maulid adalah Bid’ah mutlak karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi atau empat Khalifah Rasyidin, dan berpotensi menyerupai perayaan agama lain. Pandangan ini menempatkan Abi Makki dalam posisi yang berlawanan dengan banyak tradisi keilmuan yang secara historis berkembang di Makkah.
Lebih jauh lagi, pandangan terhadap Taqlid (mengikuti secara buta) juga menjadi ciri khas. Meskipun ulama Salafi/Wahabi seringkali mengikuti mazhab Hanbali dalam Fiqh, mereka menekankan pentingnya Ijtihad (penalaran independen) dan kembali langsung kepada dalil. Ulama seperti Abi Makki akan cenderung mendesak para pengikutnya untuk memahami dalil dan tidak terikat pada satu mazhab saja, suatu sikap yang sering dianggap meremehkan warisan intelektual empat mazhab Fiqh yang diakui.
Analisis Mendalam tentang Tawasul dan Istighatsah
Salah satu poin paling polemis adalah Tawasul (mencari perantara) dan Istighatsah (memohon pertolongan). Dalam tradisi Sunni yang lebih luas, tawasul dibagi menjadi tawasul yang disepakati (melalui nama dan sifat Allah atau melalui doa orang yang masih hidup) dan tawasul yang diperdebatkan (melalui kedudukan/martabat Nabi atau para wali, atau melalui orang mati).
Bagi Abi Makki, tawasul melalui orang yang telah meninggal, meskipun tujuannya adalah Allah, dianggap sebagai syirik asghar (syirik kecil) atau bahkan syirik akbar (syirik besar) karena melibatkan perantara dalam ibadah, sebuah ranah eksklusif bagi Allah (Tawhid Uluhiyah). Istighatsah (meminta pertolongan) kepada orang mati secara tegas disamakan dengan syirik, berdasarkan interpretasi ayat-ayat Al-Qur'an yang melarang memohon kepada selain Allah yang tidak dapat memberi manfaat atau bahaya. Elaborasi ini menjadi inti dari pemisahan yang terjadi antara ulama Salafi dan ulama tradisionalis di pusat-pusat keilmuan seperti Makkah.
Dinamika Keilmuan di Makkah (Haramain) dan Pengaruh ‘Makki’
Sebelum dominasi ideologi reformis, Makkah adalah pusat pluralisme keilmuan yang luar biasa. Di Masjidil Haram, para ulama dari empat mazhab Fiqh mengajarkan secara independen di lokasi-lokasi yang berbeda. Ulama-ulama seperti Sayyid Ahmad Zayni Dahlan (Syafi’i, Mufti Makkah) adalah representasi dari arus utama keilmuan yang cenderung Asy’ari/Maturidi dalam akidah, Sufi dalam praktik spiritual, dan Taqlidi (mengikuti mazhab) dalam Fiqh.
Transformasi Institusi Keilmuan
Ketika pengaruh politik gerakan reformasi menguat di Hijaz, terjadi perubahan institusional yang signifikan. Lembaga-lembaga pendidikan baru didirikan, dan kurikulum keagamaan mengalami perombakan besar-besaran. Kitab-kitab akidah yang menekankan pendekatan Salafi, seperti karya-karya Ibnu Taimiyyah, Ibnu al-Qayyim, dan Muhammad ibn Abd al-Wahhab, mulai mendominasi pengajaran. Ulama-ulama yang bertahan di Makkah, termasuk mereka yang dikenal sebagai 'Abi Makki', harus mengikuti arus baru ini, yang secara efektif menyeleksi dan memprioritaskan ajaran tertentu.
Jika 'Abi Makki' adalah seorang figur kontemporer, ia mewakili produk dari sistem pendidikan yang terpusat ini. Keunggulan lokasinya di Makkah memberinya legitimasi moral yang tinggi di mata umat Islam sedunia, tetapi pandangannya seringkali mencerminkan perspektif tunggal yang kini mendominasi Haramain, berbeda dengan pluralisme yang ada di masa lalu. Legitimasi 'Makki' (berasal dari Makkah) digunakan sebagai alat penyebaran dakwah global.
Peran Para Muhadditsin di Makkah
Makkah secara historis juga merupakan rumah bagi para ahli Hadits (Muhadditsin). Tidak semua Muhadditsin awal yang berada di Makkah langsung setuju dengan doktrin reformis. Beberapa, seperti para ulama yang berasal dari India dan Nusantara yang menetap di sana, tetap teguh pada tradisi akidah Asy’ariyah sambil menekuni Hadits. Namun, para reformis sering menggunakan Hadits sebagai senjata utama mereka, mengklaim bahwa mereka lebih setia pada teks otentik (nash) daripada interpretasi mazhab tradisional.
Ulama-ulama seperti Abi Makki seringkali menonjolkan diri sebagai ahli Hadits yang berpegang pada manhaj (metodologi) Salaf, mengkritik apa yang mereka lihat sebagai Taqlid buta terhadap Fiqh tanpa melihat kembali ke sumber primer. Mereka mempromosikan pemahaman "Hadits lebih utama daripada pendapat mazhab," yang pada gilirannya menantang struktur otoritas keilmuan yang selama ini bertumpu pada konsensus mazhab.
Implikasi Politik dan Keagamaan
Koneksi 'Abi Makki' dengan Makkah memberikan kekuatan luar biasa pada dakwahnya. Ketika ia berbicara, suaranya membawa bobot kota suci. Hal ini memungkinkan penyebaran ideologi Salafi/Wahabi ke seluruh penjuru dunia Islam melalui jamaah haji, para pelajar asing yang menuntut ilmu di universitas Makkah dan Madinah, serta distribusi literatur secara massal. Ini adalah strategi penyebaran yang sangat efektif, mengubah Makkah dari sekadar tujuan ibadah menjadi mesin pendorong reformasi teologis global.
Transformasi ini juga memengaruhi cara umat Islam memandang otoritas. Dahulu, otoritas keilmuan terdistribusi secara geografis (Al-Azhar di Mesir, Zaitunah di Tunisia, pusat-pusat di Yaman dan India). Kini, Makkah dan Madinah, di bawah kendali ideologi reformis, menjadi sumber otoritas tunggal yang paling berpengaruh, menyebabkan ulama-ulama tradisional di wilayah lain merasa terancam atau termarjinalkan oleh narasi ‘kemurnian’ yang datang dari Haramain.
Polemik dan Kritik Kontemporer Terhadap Metodologi Abi Makki
Meskipun berhasil menyebar luas, gerakan yang diwakili oleh ‘Abi Makki’ tidak lepas dari kritik tajam dari berbagai faksi dalam dunia Islam, terutama dari ulama-ulama Asy’ari, Maturidi, dan pengikut Sufi, serta para akademisi yang mempelajari Islam secara kritis.
Tuduhan Reduksionisme dan Eksklusivitas
Kritik utama adalah bahwa metodologi reformis bersifat reduksionis. Dengan fokus tunggal pada ‘pemurnian’ dan penolakan terhadap apa pun yang tidak memiliki dasar eksplisit dalam dua generasi pertama Islam, mereka dituduh mengabaikan atau menolak warisan intelektual Islam yang kaya selama lebih dari seribu tahun, termasuk filsafat, tasawuf, dan perkembangan Fiqh yang adaptif. Pendekatan ini diklaim menghasilkan Islam yang kering, eksklusif, dan kurang mampu berinteraksi dengan kompleksitas kehidupan modern.
Para kritikus berargumen bahwa penolakan terhadap Bid’ah Hasanah mengabaikan kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang memungkinkan umat Islam mengembangkan praktik yang mendukung tujuan Syariah (Maqashid asy-Syari’ah), seperti pembukuan Al-Qur’an atau pembangunan madrasah formal. Metodologi yang diwakili oleh Abi Makki sering dipandang sebagai penolakan terhadap akal dan konsensus ulama (Ijma’) yang telah terhimpun secara luas.
Isu Takfir dan Intoleransi
Sifat polemis dari dakwah reformis sering kali menimbulkan tuduhan Takfir (mengkafirkan Muslim lain) dan intoleransi. Meskipun banyak ulama Salafi kontemporer berusaha menjauhkan diri dari tuduhan Takfir secara eksplisit, penegasan mereka terhadap Tawhid Uluhiyah, yang secara otomatis mengkategorikan Tawasul kubur sebagai Syirik Akbar, secara implisit menempatkan mayoritas umat Islam tradisionalis dalam kategori pelaku dosa besar yang dapat mengeluarkan dari Islam. Kritik terhadap Abi Makki adalah bahwa metodologi yang ia gunakan menciptakan polarisasi yang mendalam di kalangan umat, melemahkan persatuan (Ukhuwah Islamiyah).
Lebih lanjut, kritik sering diarahkan pada penolakan terhadap tradisi Sufi. Dalam banyak budaya Muslim, Sufisme adalah jantung dari kehidupan spiritual. Bagi ulama reformis, praktik-praktik Sufi seperti dzikir jahr (dzikir dengan suara keras), perayaan tertentu, atau bahkan hirarki tarekat dipandang sebagai Bid’ah atau pintu gerbang menuju Syirik, yang menyebabkan konflik tajam di banyak wilayah.
Konflik Metodologi Akidah
Perdebatan paling teknis terletak pada akidah Asma wa Sifat. Ketika ulama ‘Abi Makki’ menegaskan pemahaman harfiah (literal) terhadap sifat-sifat Allah (misalnya, 'Tangan' Allah, 'Wajah' Allah) tanpa Ta’wil, mereka berhadapan dengan tradisi Asy’ariyah dan Maturidiyah yang selama berabad-abad menafsirkan sifat-sifat tersebut secara metaforis (Ta’wil) untuk menjauhkan Allah dari penyerupaan dengan makhluk (Tanzih).
Para kritikus mengkhawatirkan bahwa penafsiran literal yang ketat dapat mengarah pada antropomorfisme (menyerupakan Allah dengan manusia), sebuah tuduhan yang dibantah keras oleh para ulama Salafi, yang bersikeras bahwa mereka berpegang pada kaidah ‘penetapan tanpa menanyakan bagaimana’ (Itsbat bila kayf). Namun, perselisihan metodologis ini adalah salah satu pemisah terkuat antara gerakan reformasi dan arus utama Sunni tradisional.
Elaborasi Kritik: Hubungan Dengan Radikalisme
Dalam konteks modern, muncul kekhawatiran mengenai hubungan antara puritanisme teologis yang ditekankan oleh Abi Makki dan kemunculan kelompok-kelompok radikal. Meskipun mayoritas ulama Salafi menolak kekerasan dan ekstremisme, para kritikus berpendapat bahwa penekanan yang berlebihan pada Takfir terhadap praktik ‘Bid’ah’ dan penolakan terhadap otoritas ulama tradisional menciptakan kekosongan atau ruang bagi interpretasi yang lebih ekstrem, di mana para pemuda merasa memiliki otoritas untuk menafsirkan teks dan menghakimi masyarakat Muslim.
Pendekatan yang menekankan pemisahan yang jelas antara kelompok 'yang selamat' dan 'yang sesat' (sering disebut konsep Al-Wala' wal-Bara') dapat, dalam kasus yang ekstrem, diinterpretasikan sebagai pembenaran untuk memusuhi Muslim lain yang tidak sejalan. Meskipun ulama yang dihormati seperti ‘Abi Makki’ biasanya mengecam ekstremisme, akar teologis yang memisahkan mereka dari komunitas Muslim lain seringkali dianggap sebagai katalisator bagi konflik internal yang lebih luas.
Sehingga, tugas bagi para pelajar kontemporer adalah membedakan antara metodologi Salafi yang moderat, yang berfokus pada pemurnian ibadah dan etika, dengan manifestasi ekstremis yang telah menyalahgunakan kerangka teologis ini untuk tujuan politik dan kekerasan. Analisis atas pandangan seorang ‘Abi Makki’ harus dilakukan dengan kehati-hatian, menempatkannya dalam spektrum luas dari gerakan reformasi, dan memisahkan ajaran utamanya dari penyimpangan yang mungkin dilakukan oleh pengikutnya yang kurang berilmu.
Penyebaran Global dan Adaptasi (Da’wah)
Koneksi ‘Abi Makki’ dengan Makkah bukanlah sekadar geografis, tetapi juga logistik dalam hal penyebaran dakwah. Setelah Makkah menjadi pusat ideologi ini, mekanisme penyebaran global menjadi sangat efisien, jauh melampaui kemampuan dakwah kelompok lain di abad ... dan ....
Jalur Haji dan Umrah
Setiap tahun, jutaan Muslim dari seluruh dunia berinteraksi langsung dengan lingkungan keagamaan Makkah. Mereka mendengarkan khotbah, menghadiri majelis ilmu di Masjidil Haram, dan menerima literatur keagamaan yang didistribusikan secara gratis. Para ulama Makkah, termasuk figur seperti ‘Abi Makki’, memanfaatkan platform ini untuk menyampaikan pesan reformasi secara langsung kepada audiens global. Jamaah yang kembali ke negaranya seringkali membawa pulang tidak hanya pengalaman spiritual tetapi juga ideologi dan metodologi keilmuan baru, menantang tradisi lokal mereka.
Peran Universitas dan Lembaga Pendidikan
Universitas Islam di Makkah dan Madinah menjadi pusat magnet bagi mahasiswa internasional, khususnya dari Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa. Para mahasiswa ini, yang belajar di bawah bimbingan ulama-ulama seperti ‘Abi Makki’, dididik dalam kurikulum yang menekankan akidah Salafi, Fiqh Hanbali, dan kritik terhadap Bid’ah. Ketika mereka lulus dan kembali ke tanah air, mereka menjadi agen perubahan yang kuat, seringkali menempati posisi kepemimpinan di komunitas mereka dan mendirikan lembaga pendidikan yang mereplikasi kurikulum yang mereka pelajari di Haramain.
Penyebaran melalui institusi ini menjamin bahwa metodologi yang dibawa oleh ‘Abi Makki’ ditanamkan secara sistematis dan terstruktur, berbeda dengan penyebaran dakwah di masa lalu yang lebih organik. Ini adalah formalisasi dakwah yang mengubah lanskap keilmuan Islam di banyak negara.
Media dan Literatur
Di era modern, penggunaan media dan penerbitan telah mempercepat penyebaran. Penerbit-penerbit besar di Arab Saudi, didukung oleh pendanaan yang masif, menerbitkan jutaan eksemplar buku, pamflet, dan terjemahan ke berbagai bahasa, yang semuanya mempromosikan pandangan ulama yang terasosiasi dengan pusat-pusat tersebut. Konten yang disampaikan oleh ulama ‘Makki’ dengan mudah diakses melalui platform digital, ceramah daring, dan saluran satelit, memastikan bahwa pesan reformasi mencapai generasi muda Muslim di seluruh dunia, bahkan yang tidak memiliki akses ke pendidikan agama formal.
Adaptasi terhadap teknologi ini menunjukkan kesigapan gerakan dalam memanfaatkan sarana modern untuk tujuan dakwah puritanis. Hal ini seringkali menempatkan ulama-ulama tradisionalis dalam posisi yang kurang menguntungkan, karena mereka mungkin tidak memiliki infrastruktur atau sumber daya untuk menandingi jangkauan global yang dimiliki oleh ulama seperti yang diasosiasikan dengan Makkah.
Kesimpulan Mendalam: Warisan dan Tantangan
Figur ‘Abi Makki’, sebagai representasi dari ulama yang terikat pada pusat keilmuan Makkah namun menganut dan menyebarkan metodologi reformasi (Salafi/Wahabi), adalah cerminan dari pergolakan sejarah yang kompleks dalam dunia Islam. Gerakan yang ia wakili berhasil membawa fokus kembali kepada sumber-sumber utama—Al-Qur’an dan Sunnah—dan menekankan pentingnya pemurnian tauhid, sebuah seruan yang bergema kuat di tengah tantangan modernisasi dan globalisasi.
Namun, warisan ini juga disertai tantangan serius. Metodologi yang menolak tradisi yang telah lama mapan dan secara ketat mendefinisikan batas-batas Bid’ah dan Syirik, telah memicu polemik tak berkesudahan dan memecah belah komunitas Muslim. Para ulama tradisionalis melihatnya sebagai pengkhianatan terhadap warisan intelektual Islam dan penyebab friksi sosial, sementara para pengikutnya melihatnya sebagai satu-satunya jalan menuju kemurnian agama yang sejati.
Memahami ‘Abi Makki’ dan pengaruhnya menuntut pengakuan atas faktor-faktor berikut:
- Otoritas Geografis: Keterkaitan dengan Makkah memberikan legitimasi dan jangkauan dakwah yang tak tertandingi.
- Penekanan Akidah: Fokus yang tak tergoyahkan pada Tawhid Uluhiyah sebagai pembeda utama dari praktik populer.
- Dampak Global: Mekanisme penyebaran yang efektif melalui pendidikan formal dan media modern.
Di masa depan, perdebatan mengenai metodologi dan akidah yang diusung oleh ulama-ulama dari pusat keilmuan seperti Makkah akan terus menjadi isu sentral. Umat Islam ditantang untuk menemukan keseimbangan antara memelihara kemurnian ajaran fundamental dan menghargai keragaman serta kekayaan warisan intelektual yang telah dibangun selama berabad-abad. Analisis yang adil harus mengakui kontribusi gerakan ini dalam memerangi stagnasi intelektual, sambil tetap kritis terhadap potensi eksklusivitas dan intoleransi yang mungkin timbul dari penerapan metodologi puritanis yang terlalu kaku terhadap realitas sosial dan teologis yang beragam.
Pada akhirnya, sejarah Makkah menunjukkan bahwa kota suci ini selalu menjadi tempat interaksi, bahkan konflik, ideologi. Figur seperti ‘Abi Makki’ hanyalah manifestasi terbaru dari upaya berkelanjutan untuk mendefinisikan kembali identitas dan praktik keagamaan dalam menghadapi perubahan zaman yang terus-menerus. Kajian mendalam tentang tokoh dan gerakan ini adalah kunci untuk memahami dinamika teologis kontemporer umat Islam sedunia.
Elaborasi Teologis Lanjut: Isu Sifat Allah (Asma wa Sifat)
Perbedaan paling substansial antara metodologi keilmuan yang dianut oleh ‘Abi Makki’ dengan mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah dan Maturidiyah) terletak pada bab Akidah, khususnya mengenai Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah (Asma wa Sifat). Untuk memenuhi kedalaman analisis, pembahasan ini harus dielaborasi hingga ke akar filosofisnya.
Metode Atsariyah (Salafi) vs. Metode Khalaf (Asy’ari/Maturidi)
Metode yang dianut oleh Abi Makki (sering disebut Metode Salaf atau Atsariyah) menganut prinsip: ‘Menetapkan Sifat-Sifat Allah sebagaimana adanya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, tanpa tahrif (mengubah makna), ta’thil (meniadakan), takyif (menanyakan bentuknya), atau tamtsil (menyerupakannya).’ Mereka berpegang pada keyakinan bahwa lafaz Sifat (misalnya, yad/tangan, wajh/wajah, istiwa’/bersemayam) harus dipahami secara literal dalam arti bahasa Arab, namun keyakinannya tidak sama dengan sifat makhluk, karena firman Allah, “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Dia.”
Sebaliknya, metode Khalaf (yang dominan di Makkah sebelum reformasi, diwakili oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah) berpendapat bahwa lafaz-lafaz Sifat yang dapat menimbulkan persepsi antropomorfisme (menyerupakan Allah dengan manusia) harus ditafsirkan secara metaforis (Ta’wil) atau diserahkan maknanya kepada Allah (Tafwidh). Sebagai contoh, Sifat Yad (Tangan) di-Ta’wilkan sebagai qudrah (kekuasaan) atau ni’mah (kenikmatan), atau Istawa’ di-Ta’wilkan sebagai istawla’ (menguasai), untuk menjaga konsep mutlak tentang Tanzih (kesucian Allah dari sifat-sifat makhluk).
Filosofi di Balik Istiwa’
Perdebatan mengenai Sifat Istiwa’ (bersemayam di atas Arsy) adalah salah satu yang paling sensitif. Bagi ulama seperti Abi Makki, keyakinan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy, sebagaimana disebutkan dalam tujuh tempat di Al-Qur’an, adalah akidah yang wajib diyakini sesuai zahirnya (makna lahiriah), tanpa menanyakan ‘bagaimana’. Mereka mengkritik Ta’wil karena dianggap mengosongkan teks dari maknanya yang hakiki dan melibatkan akal manusia dalam hal ghaib.
Ulama Khalaf memandang bahwa menerima zahir Istiwa’ dapat membatasi Allah pada ruang dan tempat, suatu hal yang mustahil bagi Dzat Yang Maha Pencipta. Mereka berpendapat bahwa Allah ada tanpa tempat (la makan) dan bahwa teks harus ditafsirkan untuk memelihara keyakinan ini. Kedua pihak sama-sama bertujuan untuk memuliakan Allah, tetapi berbeda drastis dalam metodologi penafsiran teks wahyu, yang menjadi jurang pemisah antara dua mazhab akidah terbesar dalam Sunni.
Dalam konteks Makkah, transformasi dari tradisi Asy’ari ke tradisi Atsari (Salafi) bukan hanya perubahan buku ajar, tetapi juga perubahan cara pandang fundamental terhadap Ketuhanan, memicu konflik serius antara ulama lokal dan para reformis yang datang dengan dukungan politik. ‘Abi Makki’, sebagai ulama yang muncul dari transformasi ini, harus piawai dalam mempertahankan metodologi Atsariyah di hadapan kritik yang datang dari seluruh dunia Islam yang masih dominan Asy’ari/Maturidi.
Kontroversi Mengenai Ziarah Kubur dan Peninggalan Sejarah
Selain Tauhid dan Sifat Allah, isu praktik (Fiqh) yang paling membedakan metodologi ‘Abi Makki’ adalah sikap terhadap kuburan dan peninggalan sejarah Islam, khususnya di sekitar Makkah dan Madinah.
Batasan Ziarah Kubur
Gerakan reformasi menekankan bahwa ziarah kubur disyariatkan hanya untuk mengambil pelajaran, mengingat akhirat, dan mendoakan ahli kubur (termasuk Nabi Muhammad). Mereka secara tegas melarang segala bentuk praktik yang mereka anggap sebagai ghuluw (berlebihan) atau Syirik, seperti:
- Memohon kepada mayat, baik secara langsung (Istighatsah) maupun melalui perantara (Tawasul).
- Mendirikan bangunan (kubah, masjid, nisan tinggi) di atas kuburan.
- Mengusap kuburan, tawaf di sekitarnya, atau membawa tanah dari kuburan sebagai berkah.
Sikap ini berujung pada aksi nyata di Haramain, di mana makam-makam yang dulunya memiliki kubah atau bangunan di atasnya (termasuk makam para sahabat di Jannatul Baqi' di Madinah) diratakan. Tindakan ini memicu kemarahan global, karena dipandang sebagai penghinaan terhadap peninggalan sejarah dan tradisi menghormati ahlul bait (keluarga Nabi) dan para sahabat yang dianut oleh banyak Muslim di seluruh dunia, terutama Syiah dan Sunni tradisionalis.
Sikap Terhadap Peninggalan Nabi
Filosofi di balik penghancuran situs-situs bersejarah, seperti rumah kelahiran Nabi atau beberapa sumur kuno, adalah untuk menghilangkan segala potensi Syirik atau Bid’ah yang mungkin timbul dari pemujaan tempat-tempat tersebut. Ulama ‘Abi Makki’ berargumen bahwa mencintai Nabi harus diwujudkan melalui mengikuti Sunnahnya secara ketat, bukan melalui pemujaan peninggalan materi yang dapat mengalihkan ibadah dari Allah.
Kritik yang datang adalah bahwa tindakan ini menghapus memori kolektif umat Islam dan sejarah visual Islam. Para kritikus menuduh bahwa filosofi ini menciptakan kekosongan spiritual dan historis di Makkah dan Madinah, yang kini lebih fokus pada pembangunan infrastruktur modern ketimbang pelestarian warisan fisik Islam yang kaya. Sebagai seorang ‘Makki’, ulama tersebut berada di pusat kebijakan ini, dan pandangannya akan mencerminkan pembenaran teologis terhadap tindakan konservasi yang sangat minimalis terhadap artefak sejarah.
Kontribusi dan Tantangan Dakwah Salafi di Era Kontemporer
Terlepas dari polemik, metodologi yang diusung oleh ulama seperti ‘Abi Makki’ telah memberikan kontribusi signifikan terhadap lanskap keagamaan global, meskipun juga menghadapi tantangan besar dalam merespons isu-isu modern.
Penekanan pada Ilmu dan Pendidikan
Salah satu kontribusi terpenting gerakan reformasi adalah penekanan yang tak henti-hentinya pada ilmu (Al-’Ilm), khususnya ilmu Hadits dan Tafsir, serta keharusan untuk merujuk langsung pada dalil. Mereka mempromosikan literasi agama yang tinggi dan mendorong umat untuk menjauhi kebodohan ritualistik. Ulama-ulama dari Makkah telah memproduksi ribuan karya tulis yang berfokus pada kritik Hadits, penjelasan Tauhid, dan Ushul Fiqh yang bersifat kembali ke dasar (reformatif).
Hal ini menarik bagi generasi muda Muslim yang berada di Barat atau di lingkungan yang mengalami sekularisasi, yang mencari basis teologis yang jelas, logis, dan berdasarkan teks, sebagai respons terhadap kompleksitas spiritual modern. Metodologi yang jelas dan terstruktur ini menawarkan rasa kepastian teologis.
Tantangan Global: Fiqh Minoritas dan Politik
Tantangan terbesar bagi pandangan ‘Abi Makki’ adalah adaptasi terhadap Fiqh Minoritas (Fiqh Aqaliyyat) dan isu-isu politik kontemporer. Karena mayoritas fatwa yang dikeluarkan dari Makkah dan Madinah ditujukan pada masyarakat Muslim yang hidup dalam sistem pemerintahan Islam (seperti Arab Saudi), fatwa tersebut seringkali kurang relevan atau bahkan bermasalah ketika diterapkan pada Muslim yang hidup sebagai minoritas di negara sekuler.
Misalnya, pandangan kaku mengenai Bid’ah dapat menyulitkan Muslim minoritas untuk mengembangkan praktik komunitas yang inovatif (misalnya, organisasi nirlaba, pertemuan antar-agama) yang diperlukan untuk bertahan hidup di lingkungan non-Muslim. Selain itu, sikap apolitis (menjauhi aktivisme politik) yang sering diajarkan oleh ulama ‘Makki’ seringkali berbenturan dengan kebutuhan Muslim di negara-negara demokrasi yang harus terlibat dalam proses politik untuk melindungi hak-hak mereka.
Kritik dari Muslim progresif atau reformis non-Salafi adalah bahwa fokus berlebihan pada pemurnian ritual (Bid’ah ritual) seringkali mengalihkan perhatian dari isu-isu yang lebih besar, seperti keadilan sosial, korupsi politik, dan kesenjangan ekonomi. Pandangan ‘Abi Makki’, yang secara inheren berasal dari pusat konservatif, harus terus berjuang untuk membuktikan relevansinya terhadap tantangan global yang melampaui masalah Tawasul dan kuburan.
Upaya untuk Moderasi
Dalam beberapa dekade terakhir, terutama setelah serangan teror global yang disalahgunakan atas nama ideologi puritanis, terdapat upaya yang signifikan dari para ulama terkemuka di Makkah dan Madinah untuk memoderasi retorika mereka. Mereka semakin vokal dalam mengecam ekstremisme, membatasi tuduhan Takfir, dan menekankan pentingnya ketaatan kepada pemimpin (Ulil Amri) untuk menjaga stabilitas sosial.
‘Abi Makki’ yang kontemporer mungkin mewakili garis pemikiran yang mencoba menyeimbangkan ketegasan doktrinal reformis dengan kebutuhan untuk stabilitas dan menghindari perpecahan. Namun, bagi banyak pihak, upaya moderasi ini masih belum cukup untuk menjembatani perbedaan teologis fundamental dengan tradisi Sunni yang lebih tua dan lebih inklusif.
Dengan demikian, studi tentang pengaruh ‘Abi Makki’ dan metodologi yang ia wakili adalah studi tentang persimpangan antara otoritas agama, perubahan politik, dan penyebaran ideologi global, yang terus membentuk dan menantang pemahaman umat Islam tentang tradisi mereka sendiri.