Selain karyanya yang berorientasi hukum dan tafsir, Abi Mahasin juga meninggalkan risalah tasawwuf yang sangat mendalam, *Sirr al-Wujud* (Rahasia Keberadaan). Risalah ini bukan hanya panduan praktis untuk suluk (perjalanan spiritual), tetapi juga sebuah traktat ontologis yang menjelaskan hubungan antara makhluk dan Khaliq (Pencipta).
Dalam *Sirr al-Wujud*, Abi Mahasin menyajikan konsep *Wihdat al-Shuhud al-A’mal* (Kesatuan Penampakan dalam Tindakan). Konsep ini bertujuan untuk mengoreksi kesalahpahaman tentang *Wihdat al-Wujud* (Kesatuan Wujud) yang sering disalahartikan sebagai panteisme. Bagi Abi Mahasin, kesatuan yang dapat dicapai manusia adalah kesatuan perspektif dan tindakan; melihat semua ciptaan sebagai manifestasi dari Kekuatan Tunggal (Allah) dan menjadikan semua tindakan (amal) sebagai ibadah yang terarah kepada-Nya.
Tiga Tingkat Ma'rifah
Ia menguraikan tiga tingkat *Ma’rifah* (pengetahuan Ilahi) yang harus dilalui oleh seorang salik:
- **Ma’rifah Ilmiyyah:** Pengetahuan tentang Tuhan melalui dalil dan teks (ilmu). Ini adalah fondasi wajib.
- **Ma’rifah ‘Ainiyyah:** Pengetahuan tentang Tuhan melalui pengamatan atas tanda-tanda-Nya di alam semesta dan dalam diri (pengalaman). Ini memerlukan *mujahadah* (perjuangan keras).
- **Ma’rifah Haqqaniyyah:** Pengetahuan tentang Tuhan melalui kontak spiritual murni (*dzawq*), yang dicapai setelah ego (*nafs*) telah sepenuhnya tunduk. Ini adalah puncak *ihsan*.
Abi Mahasin secara tegas menyatakan bahwa tingkat ketiga, *Ma’rifah Haqqaniyyah*, tidak boleh menjadi dalil hukum yang berdiri sendiri. Ia hanya berfungsi untuk memperkuat *yaqin* personal dan meningkatkan kualitas implementasi syariat. Ia menggunakan analogi arsitektur: Syariat adalah fondasi dan dinding bangunan, sementara Hakikat adalah interior dan dekorasi yang membuat bangunan tersebut indah dan layak huni.
Dialektika antara ilmu dan amal, antara hakikat dan syariat, membentuk benang merah yang kuat dalam seluruh korpus pemikirannya. Ia menolak keras para sufi yang mengklaim telah mencapai hakikat tetapi mengabaikan salat atau kewajiban sosial. Baginya, bukti otentik dari ma’rifah sejati adalah kepatuhan yang semakin mendalam terhadap semua bentuk kewajiban, yang dilakukan dengan cinta, bukan paksaan.
Dalam konteks pengembangan spiritualitas yang lebih terstruktur, Abi Mahasin juga mendalami mekanisme meditasi Islami (*tafakkur*). Ia menyediakan serangkaian latihan (*riyadhah*) yang spesifik, berfokus pada pembersihan hati dari sifat-sifat tercela (*makhlukat*) seperti dengki, riya, dan keserakahan, yang ia sebut sebagai ‘penghalang epistemologis’. Menurutnya, hati yang kotor bertindak seperti cermin berkarat yang tidak dapat memantulkan cahaya kebenaran, bahkan jika mata (akal) telah menerima informasi yang benar dari wahyu.
Oleh karena itu, setiap bab dalam *Sirr al-Wujud* selalu diakhiri dengan instruksi praktis mengenai *dzikr* dan *muhasabah* (introspeksi). Ia memastikan bahwa pembacanya tidak hanya mendapatkan teori mistik yang memabukkan, tetapi juga panduan konkret menuju disiplin diri. Ia meyakini, inti ajaran Nabi adalah *akhlaq* (moralitas), dan tiada cara mencapai moralitas paripurna selain melalui kombinasi ketat antara ilmu yang diamalkan dan penyucian hati yang berkelanjutan.
Lebih lanjut, dalam membahas konsep *mahabbah* (cinta Ilahi), Abi Mahasin menawarkan pandangan yang transformatif. Ia tidak hanya melihat cinta sebagai emosi, tetapi sebagai kekuatan kosmis yang menggerakkan alam semesta. Cinta adalah energi yang menyatukan dzahir (lahiriah) dan batin (internal). Ketika seorang mukmin mencapai tingkat cinta sejati, ia tidak lagi melihat ibadah sebagai beban, tetapi sebagai pertemuan mesra dengan Sang Kekasih. Konsekuensinya, tindakan-tindakan sosialnya, seperti memberi sedekah, berbuat adil, atau menjaga lingkungan, menjadi ekstensi alami dari keadaan spiritualnya, bukan sekadar kewajiban yang ditunaikan secara mekanis.
Pendekatan ini sangat kontras dengan beberapa sekolah pemikiran yang terlalu memisahkan ranah spiritual dan sosial. Bagi Abi Mahasin, *khalwat* (pengasingan diri) harus selalu diikuti oleh *khidmat* (pelayanan). Pengasingan berfungsi untuk mengisi baterai spiritual, sementara pelayanan adalah cara untuk mengeluarkan energi spiritual tersebut ke dalam dunia nyata. Inilah yang ia maksud dengan konsep "Sufi di pasar, tetapi hatinya di mihrab." Filosofi ini telah menjadi cetak biru bagi banyak gerakan sosial-keagamaan di berbagai belahan dunia Islam, menekankan bahwa spiritualitas yang benar haruslah berakar pada realitas sosial dan berjuang untuk kebaikan kolektif.