Abi Mahasin: Arsitek Keilmuan Transenden

Menyelami Samudra Hikmah dan Warisan Epistemologi Seorang Mujahid Intelektual

Prolog: Panorama Intelektual Abi Mahasin

Sosok Abi Mahasin berdiri tegak sebagai salah satu pilar utama dalam sejarah intelektual Islam, khususnya pada masa-masa ketika terjadi persinggungan intensif antara sains rasionalistik (ilmu *aqli*) dan kearifan mistik (ilmu *naqli*). Namanya menggema bukan sekadar sebagai seorang ahli hukum (faqih) atau penafsir teks (mufassir), namun sebagai seorang *mujaddid*—pembaharu—yang mampu merangkai simfoni antara kedisiplinan syariat lahiriah dan kedalaman hakikat batiniah. Kontribusinya melampaui batas geografis dan temporal, meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam kurikulum madrasah, ajaran tarekat, dan bahkan dalam konstruksi filosofis peradaban pasca-klasik.

Zaman di mana Abi Mahasin hidup adalah zaman yang penuh gejolak; sebuah era ketika perdebatan metodologis mengenai sumber otoritas kebenaran mencapai puncaknya. Ada yang cenderung ekstrem pada formalisme tekstual, sementara yang lain terjerumus dalam spekulasi esoteris tanpa pijakan syariat yang kokoh. Abi Mahasin muncul dengan proyek intelektual yang ambisius: sintesis. Ia menawarkan sebuah kerangka epistemologi yang holistik, di mana akal, wahyu, dan intuisi spiritual (*kasyf*) ditempatkan pada posisi yang harmonis, saling menguatkan, bukan saling meniadakan.

Warisan utamanya terletak pada kemampuan luar biasa untuk menguraikan permasalahan teologis dan yurisprudensi yang paling rumit, lalu menyajikannya dalam bingkai tasawuf praktis yang dapat diakses oleh khalayak luas, baik ulama maupun awam. Eksplorasi ini akan berusaha membedah arkana pemikiran beliau, menelusuri akar pendidikan, metodologi pengajaran, dan signifikansi abadi dari karya-karya monumentalnya yang menjadi mercusuar bagi pencari kebenaran hingga hari ini.

Akar dan Lintasan Sang Arsitek Keilmuan

Meskipun detail biografis Abi Mahasin sering kali diselimuti kabut legenda yang sarat pujian, sumber-sumber primer mengindikasikan bahwa beliau berasal dari latar belakang keluarga ulama yang telah lama berkhidmat pada ilmu dan spiritualitas. Lingkungan keluarganya adalah madrasah pertama, tempat ia menghirup udara keilmuan yang dipenuhi nuansa adab dan zuhud. Sejak usia dini, kecerdasannya yang tajam dan hafalan yang kuat telah membedakannya dari rekan sebaya. Namun, bukan sekadar kecerdasan akademis, melainkan dahaga spiritual yang tak terpuaskan yang mendorongnya untuk melakukan perjalanan intelektual yang epik.

Perjalanan mencari ilmu (rihlah ilmiyyah) yang ditempuh Abi Mahasin adalah sebuah saga tersendiri. Ia melintasi pusat-pusat peradaban Islam terkemuka—dari poros Timur yang kaya akan tradisi hadis dan tafsir, hingga ke jantung perdebatan filosofis di Barat. Di setiap persinggahan, ia tidak hanya sekadar mengambil sanad (rantai transmisi ilmu), tetapi juga menginternalisasi keragaman metodologi dan perspektif. Guru-gurunya terdiri dari spektrum luas: ahli fikih konservatif, teolog rasionalis, hingga sufi yang tenggelam dalam lautan ma'rifat. Pengalaman eklektik inilah yang memberinya bekal untuk membangun sistem pemikiran yang inklusif.

Salah satu fase krusial dalam pembentukannya adalah masa pengasingan dirinya untuk bertafakur. Ini bukan pengasingan dari dunia dalam arti totalitas, melainkan pengasingan untuk pemurnian batin (*tazkiyatun nafs*). Di masa ini, ia menyusun fondasi filosofisnya yang kelak dikenal sebagai ‘Teori Integrasi Sumber Pengetahuan’. Ia menyadari bahwa ilmu yang sejati harus menghasilkan perubahan karakter dan kedekatan dengan Sang Pencipta, bukan sekadar peningkatan kognitif semata. Kedalaman spiritual ini menjadi penjamin otentisitas dari semua ijtihad fikih dan tafsir yang ia hasilkan kemudian.

"Ilmu tanpa suluk adalah pelita tanpa minyak, dan suluk tanpa ilmu adalah semangat tanpa arah. Keduanya harus menyatu dalam wadah jiwa yang suci, menghasilkan cahaya yang menerangi baik batin maupun lahiriah."
Ilustrasi Simbolis Abi Mahasin Representasi visual keilmuan dan spiritualitas Abi Mahasin, digambarkan sebagai buku terbuka dengan ukiran kaligrafi yang memancarkan cahaya di atas kubah masjid dan akar pohon kehidupan.

Figur 1: Simbolisasi integrasi ilmu lahiriah (buku) dan batiniah (cahaya) dalam pemikiran Abi Mahasin.

Pilar Keilmuan: Tafsir, Fiqh, dan Tasawwuf

Tafsir Al-Mizan: Keseimbangan Antara Literal dan Intuitif

Karya Abi Mahasin yang paling berpengaruh, dan menjadi fondasi utama bagi epistemologi Islam kontemporer, adalah tafsirnya yang megah, yang dikenal dengan nama *Tafsir Al-Mizan* (Tafsiran Neraca Keseimbangan). Tafsir ini merupakan jawaban atas kebutuhan umat pada saat itu untuk memiliki penafsiran yang tidak hanya fokus pada aspek linguistik dan hukum (seperti tafsir-tafsir klasik sebelumnya), tetapi juga mampu menggali kedalaman spiritual dan implikasi kosmologis ayat-ayat suci.

Dalam *Al-Mizan*, Abi Mahasin memperkenalkan metodologi yang disebutnya *al-Tawfiq bayna al-Zahir wa al-Batin* (Harmonisasi antara yang Eksoteris dan Esoteris). Ia berargumen bahwa Al-Qur'an memiliki lapisan-lapisan makna, dan menafsirkan hanya pada satu lapisan adalah pengkhianatan terhadap kekayaan teks itu sendiri. Ia tidak ragu menggunakan pendekatan *isyari* (simbolik/intuitif) yang biasa digunakan kaum sufi, namun selalu mengembalikannya pada kerangka dasar yang kuat dari bahasa Arab baku dan riwayat hadis yang sahih. Jika penafsiran isyari bertentangan dengan dalil syar'i yang qath'i (pasti), maka ia akan menolaknya dengan tegas, menegaskan supremasi syariat sebagai neraca (mizan) utama.

Contohnya, dalam menafsirkan ayat-ayat tentang Hari Kiamat, ia tidak hanya menjelaskan deskripsi fisik neraka dan surga, tetapi juga membahas neraka dan surga internal yang dialami manusia di dunia melalui perjuangan melawan nafsu (*mujahadah*). Pendekatan ini membuat *Al-Mizan* relevan secara abadi, karena ia menyentuh kebutuhan manusiawi akan makna dan tujuan hidup, di samping tuntutan hukum sehari-hari. Ia menunjukkan bahwa setiap ayat, bahkan yang paling tampak sepi dari nuansa spiritual, memiliki dimensi tasawwuf yang mengajarkan *adab* (etika) terhadap Allah dan sesama makhluk.

Integrasi Fiqh dengan Maqasid Syariah

Dalam bidang fikih, Abi Mahasin dikenal sebagai seorang *mujtahid* yang berani. Era beliau ditandai dengan kecenderungan *taqlid* (mengikuti buta) yang berlebihan, yang sering kali mengorbankan relevansi hukum Islam terhadap perubahan sosial. Abi Mahasin menentang keras formalisme hampa. Ia mendesak para muridnya untuk kembali pada sumber primer, namun melalui lensa yang diperkaya oleh pemahaman yang mendalam terhadap *Maqasid al-Syari’ah* (Tujuan-tujuan Syariah).

Bagi Abi Mahasin, tujuan utama dari setiap hukum Islam adalah mewujudkan rahmat dan keadilan, serta membangun karakter individu yang memiliki kesadaran spiritual (*ihsan*). Oleh karena itu, putusan fikihnya selalu mempertimbangkan dampak moral dan etika jangka panjang, bukan hanya legalitas formal. Jika sebuah putusan yang secara literal benar menghasilkan ketidakadilan atau kesulitan yang ekstrem bagi umat, ia akan mencari jalan keluar melalui prinsip *istislah* (kepentingan publik) atau *darurah* (keterpaksaan), tetapi selalu dengan kewaspadaan penuh agar tidak melanggar batas-batas nash yang eksplisit.

Karyanya dalam fikih, *Kitab Al-I’tibar* (Buku Pertimbangan), menjadi pedoman bagaimana mengaplikasikan fikih dengan 'hati' seorang sufi dan 'akal' seorang filosof. Ia menekankan bahwa fiqh adalah alat untuk mencapai keridaan Ilahi, bukan tujuan akhir. Melalui *Al-I’tibar*, beliau berhasil menjembatani jurang yang sering memisahkan fuqaha (ahli hukum) yang kaku dan mutasawwif (kaum sufi) yang terkadang terkesan mengabaikan detail hukum formal.

Metodologi Epistemologi: Sinergi Tiga Sumber Kebenaran

Kontribusi intelektual Abi Mahasin yang paling monumental adalah penyempurnaan sistem epistemologi yang dikenal sebagai *Usul al-Tawhid al-Ma’rifah* (Prinsip-prinsip Penyatuan Pengetahuan). Sistem ini secara eksplisit mengakui tiga jalur utama menuju kebenaran, dan menuntut bahwa ketiga jalur ini harus terverifikasi dan saling mendukung untuk mencapai *yaqin* (keyakinan absolut):

  1. **Sumber Nalar (*Al-Aql*):** Penggunaan logika dan akal sehat dalam menganalisis data, menarik kesimpulan deduktif dan induktif. Ini adalah landasan untuk memahami alam semesta (*ayat kauniyyah*).
  2. **Sumber Wahyu (*Al-Naql*):** Otoritas utama teks suci (Al-Qur'an dan Sunnah). Ini adalah sumber utama hukum dan kebenaran metafisik.
  3. **Sumber Intuisi (*Al-Kasyf*):** Pengetahuan yang diperoleh melalui pemurnian spiritual dan pengalaman langsung dengan realitas transenden, yang hanya valid jika tidak bertentangan dengan wahyu dan nalar yang sehat.

Abi Mahasin mengajarkan bahwa ketika akal dan wahyu tampak bertentangan (sebuah dilema yang lazim pada masanya), tugas seorang ulama adalah melakukan interpretasi ulang (ta’wil) wahyu yang bersifat zhan (spekulatif) agar selaras dengan tuntutan akal yang pasti (*qath’i*), atau sebaliknya. Namun, ia memperingatkan bahaya relativisme. Kontradiksi sejati, menurutnya, jarang terjadi; yang terjadi hanyalah keterbatasan manusia dalam memahami kesatuan sumber kebenaran Ilahi. Ia melihat alam dan wahyu sebagai dua buku yang ditulis oleh Pena yang sama.

Konsep Al-Fana’ Al-Ilmi

Dalam tasawwuf, ia mengembangkan konsep *Al-Fana’ Al-Ilmi* (Keleburan dalam Ilmu), yang berbeda dari konsep *fana’* (keleburan) tradisional yang sering disalahpahami sebagai nihilisme atau penyatuan fisik dengan Tuhan. *Fana’ Al-Ilmi* adalah keadaan mental di mana seorang ulama, setelah menguasai lautan ilmu lahiriah dan batiniah, mencapai titik kerendahan hati yang ekstrem, menyadari bahwa semua pengetahuannya hanyalah setetes air dibandingkan dengan Samudra Pengetahuan Ilahi. Keadaan ini membebaskan sang ulama dari kesombongan intelektual dan membuka pintu bagi pengetahuan yang lebih murni, langsung dari sumbernya, tanpa distorsi ego.

Pengalaman ini bukanlah akhir dari pencarian, melainkan permulaan dari fase *al-Baqa’ bi al-Haqq* (Kekekalan bersama Kebenikan), di mana ilmu yang didapat diwujudkan dalam aksi sosial dan pengabdian yang tulus, melayani umat sebagai manifestasi cinta Ilahi. Inti dari pemikiran Abi Mahasin adalah bahwa ilmu harus berfungsi; ia harus menghasilkan tindakan yang saleh (*amal shalih*) dan penyucian diri (*tazkiyah*). Ilmu yang disimpan tanpa diamalkan adalah beban di akhirat.

Warisan Abadi dan Diaspora Intelektual

Dampak Abi Mahasin jauh melampaui masa hidupnya. Sekolah pemikirannya, yang menekankan pada sintesis antara syariah, tasawwuf, dan logika, melahirkan generasi ulama yang dikenal memiliki kedalaman spiritual dan ketajaman hukum. Murid-muridnya menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, membawa serta metodologi *Al-Mizan* dan *Al-I’tibar*, memastikan bahwa pendekatan holistik ini tetap hidup dan relevan di berbagai mazhab dan tradisi keilmuan lokal.

Di wilayah Timur, ajarannya mempengaruhi pengembangan sekolah-sekolah fikih yang lebih fleksibel, yang mulai memasukkan unsur *kearifan lokal* (*urf*) tanpa mengorbankan prinsip-prinsip syariat universal. Di wilayah Barat, filosofinya menjadi antidot terhadap dogmatisme yang kaku, mendorong para teolog untuk kembali melibatkan akal dalam dialog yang konstruktif dengan teks suci.

Pengaruh pada Institusi Pendidikan

Kontribusi terbesar pada institusi pendidikan adalah penekanan pada kurikulum yang seimbang. Sebelum Abi Mahasin, madrasah sering terkotak-kotak (hanya mengajarkan fiqh atau hanya tasawwuf). Abi Mahasin menuntut agar setiap pelajar, terlepas dari spesialisasi akhirnya, harus memiliki pemahaman dasar yang kuat dalam tiga bidang:

  1. **Ilmu Syariat:** Fiqh, Usul Fiqh, dan Hadis.
  2. **Ilmu Hakikat:** Tasawwuf, Ma’rifah, dan Akhlak.
  3. **Ilmu Alat:** Logika (*Mantiq*), Bahasa Arab, dan Filsafat Dasar.

Prinsip ini, yang kemudian menjadi standar di banyak institusi pendidikan tinggi Islam, memastikan bahwa ulama yang dihasilkan tidak hanya fasih dalam hukum tetapi juga beretika tinggi dan memiliki pemahaman kosmik yang luas. Hal ini menghasilkan kebangkitan kembali pemikiran kritis yang dipandu oleh moralitas transenden.

Analisis Mendalam I: Dialektika Ijtihad dan Takwa

Salah satu bab terpenting yang diuraikan Abi Mahasin dalam *Al-Mizan* adalah mengenai prasyarat moral bagi seorang *mujtahid* (orang yang melakukan ijtihad). Bagi kebanyakan ahli usul fiqh, prasyaratnya bersifat kognitif—penguasaan bahasa, tafsir, hadis. Namun, Abi Mahasin berpendapat bahwa tanpa prasyarat moral dan spiritual yang mendalam, ijtihad hanyalah manipulasi legalistik yang dihiasi terminologi hukum. Ia memperkenalkan konsep **Takwa Al-Ijtihadiyyah**.

Takwa Al-Ijtihadiyyah adalah tingkat ketakwaan yang spesifik bagi seorang sarjana, di mana niat murni untuk mencari keadilan dan kebenaran Ilahi harus mendominasi proses penalaran. Jika seorang mujtahid dipengaruhi oleh kepentingan politik, fanatisme mazhab, atau ambisi pribadi, maka hasil ijtihadnya, seformal apa pun prosesnya, akan ternoda dan tidak menghasilkan *hidayah* (petunjuk Ilahi). Ini adalah kritik halus namun tajam terhadap ulama istana pada zamannya.

Abi Mahasin menjelaskan bahwa ketakwaan ini diukur melalui tiga indikator:

  • **Zuhud Intelektual:** Kemampuan untuk melepaskan diri dari keterikatan pada pandangan pribadi atau mazhab yang dianut jika terdapat bukti yang lebih kuat dari sisi syariat.
  • **Rasa Tanggung Jawab Kosmik:** Pemahaman bahwa putusan fikih tidak hanya mempengaruhi individu tetapi juga tatanan sosial dan spiritual masyarakat, yang menuntut kehati-hatian maksimal.
  • **Kesadaran Kasyf:** Meskipun kasyf (intuisi) bukan dalil hukum, kesucian hati seorang mujtahid akan membantunya 'merasakan' mana putusan yang paling mendekati semangat Syariah (maqasid), sebuah bentuk *firasah* (ketajaman batin) yang diizinkan dalam ranah pertimbangan kebijakan.

Penekanan pada Takwa Al-Ijtihadiyyah ini mengubah wajah usul fikih, menjadikannya bukan sekadar ilmu metodologi, tetapi juga disiplin spiritual. Ini menjelaskan mengapa pemikiran Abi Mahasin memiliki resonansi yang begitu kuat di kalangan ulama yang berorientasi pada reformasi dan pemurnian ajaran agama. Mereka melihat padanya contoh nyata bagaimana kecerdasan akademis dapat disandingkan dengan kesalehan autentik.

Analisis Mendalam II: Konstruksi Hakikat dalam Kitab Sirr al-Wujud

Selain karyanya yang berorientasi hukum dan tafsir, Abi Mahasin juga meninggalkan risalah tasawwuf yang sangat mendalam, *Sirr al-Wujud* (Rahasia Keberadaan). Risalah ini bukan hanya panduan praktis untuk suluk (perjalanan spiritual), tetapi juga sebuah traktat ontologis yang menjelaskan hubungan antara makhluk dan Khaliq (Pencipta).

Dalam *Sirr al-Wujud*, Abi Mahasin menyajikan konsep *Wihdat al-Shuhud al-A’mal* (Kesatuan Penampakan dalam Tindakan). Konsep ini bertujuan untuk mengoreksi kesalahpahaman tentang *Wihdat al-Wujud* (Kesatuan Wujud) yang sering disalahartikan sebagai panteisme. Bagi Abi Mahasin, kesatuan yang dapat dicapai manusia adalah kesatuan perspektif dan tindakan; melihat semua ciptaan sebagai manifestasi dari Kekuatan Tunggal (Allah) dan menjadikan semua tindakan (amal) sebagai ibadah yang terarah kepada-Nya.

Tiga Tingkat Ma'rifah

Ia menguraikan tiga tingkat *Ma’rifah* (pengetahuan Ilahi) yang harus dilalui oleh seorang salik:

  1. **Ma’rifah Ilmiyyah:** Pengetahuan tentang Tuhan melalui dalil dan teks (ilmu). Ini adalah fondasi wajib.
  2. **Ma’rifah ‘Ainiyyah:** Pengetahuan tentang Tuhan melalui pengamatan atas tanda-tanda-Nya di alam semesta dan dalam diri (pengalaman). Ini memerlukan *mujahadah* (perjuangan keras).
  3. **Ma’rifah Haqqaniyyah:** Pengetahuan tentang Tuhan melalui kontak spiritual murni (*dzawq*), yang dicapai setelah ego (*nafs*) telah sepenuhnya tunduk. Ini adalah puncak *ihsan*.

Abi Mahasin secara tegas menyatakan bahwa tingkat ketiga, *Ma’rifah Haqqaniyyah*, tidak boleh menjadi dalil hukum yang berdiri sendiri. Ia hanya berfungsi untuk memperkuat *yaqin* personal dan meningkatkan kualitas implementasi syariat. Ia menggunakan analogi arsitektur: Syariat adalah fondasi dan dinding bangunan, sementara Hakikat adalah interior dan dekorasi yang membuat bangunan tersebut indah dan layak huni.

Dialektika antara ilmu dan amal, antara hakikat dan syariat, membentuk benang merah yang kuat dalam seluruh korpus pemikirannya. Ia menolak keras para sufi yang mengklaim telah mencapai hakikat tetapi mengabaikan salat atau kewajiban sosial. Baginya, bukti otentik dari ma’rifah sejati adalah kepatuhan yang semakin mendalam terhadap semua bentuk kewajiban, yang dilakukan dengan cinta, bukan paksaan.

Dalam konteks pengembangan spiritualitas yang lebih terstruktur, Abi Mahasin juga mendalami mekanisme meditasi Islami (*tafakkur*). Ia menyediakan serangkaian latihan (*riyadhah*) yang spesifik, berfokus pada pembersihan hati dari sifat-sifat tercela (*makhlukat*) seperti dengki, riya, dan keserakahan, yang ia sebut sebagai ‘penghalang epistemologis’. Menurutnya, hati yang kotor bertindak seperti cermin berkarat yang tidak dapat memantulkan cahaya kebenaran, bahkan jika mata (akal) telah menerima informasi yang benar dari wahyu.

Oleh karena itu, setiap bab dalam *Sirr al-Wujud* selalu diakhiri dengan instruksi praktis mengenai *dzikr* dan *muhasabah* (introspeksi). Ia memastikan bahwa pembacanya tidak hanya mendapatkan teori mistik yang memabukkan, tetapi juga panduan konkret menuju disiplin diri. Ia meyakini, inti ajaran Nabi adalah *akhlaq* (moralitas), dan tiada cara mencapai moralitas paripurna selain melalui kombinasi ketat antara ilmu yang diamalkan dan penyucian hati yang berkelanjutan.

Lebih lanjut, dalam membahas konsep *mahabbah* (cinta Ilahi), Abi Mahasin menawarkan pandangan yang transformatif. Ia tidak hanya melihat cinta sebagai emosi, tetapi sebagai kekuatan kosmis yang menggerakkan alam semesta. Cinta adalah energi yang menyatukan dzahir (lahiriah) dan batin (internal). Ketika seorang mukmin mencapai tingkat cinta sejati, ia tidak lagi melihat ibadah sebagai beban, tetapi sebagai pertemuan mesra dengan Sang Kekasih. Konsekuensinya, tindakan-tindakan sosialnya, seperti memberi sedekah, berbuat adil, atau menjaga lingkungan, menjadi ekstensi alami dari keadaan spiritualnya, bukan sekadar kewajiban yang ditunaikan secara mekanis.

Pendekatan ini sangat kontras dengan beberapa sekolah pemikiran yang terlalu memisahkan ranah spiritual dan sosial. Bagi Abi Mahasin, *khalwat* (pengasingan diri) harus selalu diikuti oleh *khidmat* (pelayanan). Pengasingan berfungsi untuk mengisi baterai spiritual, sementara pelayanan adalah cara untuk mengeluarkan energi spiritual tersebut ke dalam dunia nyata. Inilah yang ia maksud dengan konsep "Sufi di pasar, tetapi hatinya di mihrab." Filosofi ini telah menjadi cetak biru bagi banyak gerakan sosial-keagamaan di berbagai belahan dunia Islam, menekankan bahwa spiritualitas yang benar haruslah berakar pada realitas sosial dan berjuang untuk kebaikan kolektif.

Relevansi Kontemporer: Solusi di Tengah Disintegrasi Ilmu

Pada zaman modern, di mana terjadi spesialisasi ilmu yang ekstrem, warisan Abi Mahasin menjadi semakin relevan. Dunia kontemporer sering melihat ilmu pengetahuan terpisah dari nilai, dan spiritualitas terpisah dari akal. Pemikiran beliau menawarkan solusi atas disintegrasi ini: sebuah model di mana ilmu pengetahuan alam dan sosial tidak terpisah dari etika teologis dan kesadaran spiritual.

Pendekatan *Al-Mizan* adalah alat yang ampuh untuk menghadapi tantangan etika kontemporer, seperti bioetika, kecerdasan buatan, dan krisis lingkungan. Dalam menghadapi inovasi teknologi, ulama yang mengikuti jejak Abi Mahasin tidak akan segera menolak inovasi berdasarkan formalisme, melainkan akan menggunakan prinsip *Maqasid Syariah* yang dijiwai oleh *Takwa Al-Ijtihadiyyah* untuk menentukan apakah inovasi tersebut melayani tujuan hakiki penciptaan manusia atau malah merusaknya. Keputusan harus didasarkan pada perpaduan data saintifik, pertimbangan hukum, dan hati nurani yang tercerahkan.

Abi Mahasin mengajarkan bahwa krisis terbesar manusia adalah krisis fragmentasi—fragmentasi antara akal dan hati, antara dunia dan akhirat. Solusi untuk mengatasi fragmentasi ini adalah melalui integrasi pengetahuan yang ia canangkan. Beliau adalah simbol dari ulama yang berjuang di medan ilmu dan medan batin secara simultan, menawarkan model kesalehan yang utuh dan menyeluruh.

Kita dapat melihat warisannya pada gerakan-gerakan pembaruan yang menekankan pada pendidikan karakter berbasis spiritualitas. Setiap upaya untuk menyatukan kurikulum umum dan kurikulum agama, setiap proyek untuk membuat fikih lebih relevan tanpa mengorbankan otentisitasnya, adalah gema dari seruan Abi Mahasin untuk mencari keseimbangan (mizan) dalam segala hal. Bahkan, dalam isu-isu globalisasi dan pluralisme, metodologi inklusifnya mengajarkan umat untuk berinteraksi dengan keragaman tanpa kehilangan identitas spiritual mereka, memperlakukan perbedaan sebagai kekayaan yang harus dikelola dengan adab dan hikmah.

Relevansi Abi Mahasin tidak terbatas pada dunia teologi; ia menjangkau disiplin ilmu sosial. Sosiolog dan antropolog dapat menemukan dalam karya-karyanya cetak biru untuk masyarakat yang adil dan beradab. Ia menekankan bahwa keadilan sosial adalah prasyarat spiritual. Seseorang tidak bisa mengklaim mencapai tingkat *ihsan* (kesempurnaan ibadah) jika ia masih berdiam diri di hadapan ketidakadilan struktural. Baginya, amar makruf dan nahi munkar (menyeru kebaikan dan mencegah keburukan) adalah manifestasi eksternal dari *mujahadah* internal.

Filosofi kerjanya sangat pragmatis, di tengah kedalaman mistiknya. Ia selalu mengingatkan bahwa *dzikrullah* (mengingat Allah) yang paling tinggi adalah ketika seseorang sedang berinteraksi dengan orang lain, berdagang, mengajar, atau memimpin, namun hati dan pikirannya tetap fokus pada keridaan Ilahi. Ini adalah perwujudan nyata dari konsep *tawfiq* (harmonisasi) yang ia agung-agungkan: bukan melarikan diri dari dunia, melainkan menaklukkan dunia melalui kehadiran Ilahi di setiap detik kehidupan.

Menjaga Spiritualitas dari Formalisme dan Nihilisme

Warisan Abi Mahasin berfungsi sebagai benteng ganda: melindungi agama dari formalisme kaku di satu sisi, dan melindungi spiritualitas dari nihilisme dan klaim esoteris yang tak berdasar di sisi lain. Ia selalu menekankan pentingnya *sanad* (rantai transmisi) yang autentik, baik dalam hadis, fikih, maupun tarekat. Autentisitas ini adalah jaminan bahwa ajaran yang disampaikan memiliki akar yang kokoh dan tidak hanya berdasarkan interpretasi subjektif yang liar.

Dalam menghadapi arus pemikiran modern yang serba cepat dan seringkali dangkal, Abi Mahasin mengajak kita kembali pada ritme kontemplatif. Ia mengajarkan bahwa penyelesaian masalah yang kompleks membutuhkan waktu yang dihabiskan dalam introspeksi dan doa, bukan hanya dalam debat intelektual yang bising. Keputusan yang dibuat dalam keadaan *hadhra* (kehadiran spiritual) jauh lebih bijaksana dan langgeng daripada keputusan yang didorong oleh reaksi emosional atau tekanan opini publik.

Kesimpulan: Cahaya Abadi Sang Mujaddid

Abi Mahasin bukanlah sekadar nama dalam daftar panjang ulama besar. Beliau adalah sebuah mercusuar metodologis, seorang *muhakkik* (peneliti kebenaran) yang sukses membangun jembatan di atas jurang pemisah antara rasionalitas dan spiritualitas. Melalui karyanya, khususnya *Tafsir Al-Mizan* dan *Sirr al-Wujud*, ia memberikan kepada umat Islam sebuah kerangka yang memungkinkan mereka untuk mengamalkan syariat dengan jiwa, dan mengejar hakikat dengan akal.

Warisan utamanya adalah ajakan abadi untuk mencapai keseimbangan: keseimbangan antara tuntutan dunia dan tuntutan akhirat, antara ilmu yang dipelajari dan amal yang dilakukan, serta antara kedisiplinan luar dan pemurnian batin. Dalam masa di mana masyarakat bergumul dengan krisis identitas dan makna, proyek integrasi Abi Mahasin menawarkan jalan kembali kepada otentisitas Islam yang kaya, beradab, dan berdaya transformatif.

Mempelajari Abi Mahasin adalah mempelajari seni hidup yang utuh. Ia mengajarkan bahwa puncak dari pencapaian intelektual adalah kesadaran akan kebodohan diri di hadapan Keagungan Ilahi, dan puncak dari pencapaian spiritual adalah kerendahan hati untuk melayani makhluk. Kehidupan dan pemikirannya tetap menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering, membimbing generasi demi generasi menuju *al-Haqq*—Kebenaran Sejati, yang tidak terbagi-bagi oleh sekat-sekat disiplin ilmu, melainkan terwujud dalam harmoni sempurna antara batin dan lahiriah.

Keseimbangan yang diajarkan Abi Mahasin memiliki implikasi yang mendalam bagi setiap individu. Ia menunjukkan bahwa jalan menuju pencerahan spiritual tidak harus menempuh jalan yang eksentrik, tetapi justru melalui ketekunan dalam menjalankan kewajiban sehari-hari, yang dihiasi dengan niat yang murni. Setiap tindakan, dari yang terkecil hingga yang terbesar, adalah peluang untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Filosofi ini memberikan martabat baru pada pekerjaan rutin dan kehidupan domestik, menjadikannya arena suci di mana *ihsan* diwujudkan.

Pada akhirnya, warisan Abi Mahasin bukanlah tumpukan buku yang dibaca, melainkan kualitas hati dan tindakan yang dihasilkan dari pembacaan tersebut. Ia adalah seorang ulama yang mendefinisikan kembali makna keulamaan: menjadi ahli dalam hukum, tetapi berhati lembut; menjadi filosof yang logis, tetapi tunduk dalam ibadah. Sosok Abi Mahasin akan terus dikenang sebagai model ideal dari seorang sarjana transenden, yang menolak perpecahan demi kesatuan epistemologis dan eksistensial.

Di masa depan, ketika umat manusia dihadapkan pada tantangan moral yang semakin kompleks akibat kemajuan teknologi yang pesat, prinsip-prinsip *al-Mizan* akan menjadi semakin krusial. Kemampuan untuk menimbang antara manfaat duniawi dan konsekuensi akhirat, antara kemajuan materi dan kesehatan spiritual, adalah kunci yang diwariskan oleh Abi Mahasin. Dengan memegang teguh pada metodologinya, umat Islam dapat berharap untuk terus menjadi kontributor peradaban yang beretika, adil, dan tercerahkan, melanjutkan estafet keilmuan yang dibangun di atas fondasi takwa dan hikmah.

Penyelaman mendalam terhadap pemikiran Abi Mahasin mengungkap bahwa pencarian ilmu adalah perjalanan tak berujung, tetapi perjalanan itu harus selalu berlabuh pada pengenalan diri dan pengabdian tulus. Inilah esensi dari seluruh ajaran yang ia sampaikan: Ilmu harus membebaskan, bukan membelenggu. Ilmu yang hakiki menghasilkan kebebasan batin dari ego dan keterikatan duniawi, sehingga memungkinkan manusia untuk menunaikan peran *khalifah fil ardh* (wakil Tuhan di bumi) dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

🏠 Homepage