Mengenal Sang Penjaga Sunnah dan Pemandu Jalan Spiritual
Dalam khazanah sejarah Islam, wilayah Khurasan telah melahirkan deretan panjang ulama, sufi, dan pemikir yang membentuk inti peradaban Islam klasik. Di antara nama-nama agung tersebut, bersinar terang sosok Syekh Al-Islam Abu Ismail Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Ja'far Al-Ansari Al-Harawi Ash-Shufi. Dikenal dengan sebutan ringkas Abi Ismail Al-Harawi atau hanya Al-Harawi, beliau adalah mercusuar keilmuan pada abad ke-5 Hijriah (abad ke-11 Masehi), sebuah era yang penuh gejolak politik dan dialektika teologis yang intens.
Lahir dan besar di Herat, yang saat itu merupakan pusat intelektual penting di bawah kekuasaan dinasti Ghaznawiyah dan kemudian Seljuk, Al-Harawi bukan sekadar seorang ulama. Beliau adalah seorang mujahid (pejuang) keilmuan, seorang ahli hadis yang teguh (muhaddits), seorang ahli tafsir, seorang pakar bahasa, dan yang paling menonjol, seorang perumusan jalan spiritual (suluk) yang sistematik dalam tradisi Tasawwuf Hanbali. Kehidupannya merupakan jembatan unik yang menghubungkan ketegasan mazhab Hanbali dengan kedalaman spiritualitas Sufi yang murni, sebuah sintesis yang jarang terjadi pada masanya.
Warisan utamanya, khususnya kitab Manazil as-Sa'irin ila Haqq al-Yaqin (Pemberhentian Para Penempuh Jalan Menuju Kebenaran Sejati), telah menjadi teks kanonik dalam studi spiritualitas Islam selama berabad-abad. Karya ini tidak hanya memetakan tahapan-tahapan jiwa menuju Tuhan tetapi juga menegaskan pentingnya Sunnah sebagai pondasi utama perjalanan tersebut, menjadikannya berbeda dari beberapa aliran Sufi yang dianggap lebih sinkretis pada waktu itu.
Memahami Abi Ismail Al-Harawi memerlukan penelusuran yang cermat terhadap tiga pilar utama dalam hidupnya: dedikasi tanpa kompromi terhadap Hadis dan Sunnah, perannya sebagai pembela akidah Salaf yang keras, dan kontribusinya yang tak ternilai dalam merumuskan metodologi Tasawwuf praktis. Kisah hidupnya adalah kisah tentang ketabahan menghadapi penganiayaan, integritas dalam menghadapi bid'ah (inovasi dalam agama), dan komitmen abadi untuk membimbing umat menuju pemahaman agama yang otentik dan mendalam.
Al-Harawi dilahirkan di Herat, Khurasan (sekarang Afghanistan), sebuah kota yang memiliki sejarah panjang sebagai persimpangan peradaban dan perdagangan, menjadikannya kancah pertukaran ide yang luar biasa kaya. Keluarganya memiliki latar belakang Ansar (penduduk Madinah yang menyambut Nabi Muhammad SAW), menegaskan garis keturunan yang mulia dan dihormati. Sejak usia dini, Al-Harawi sudah menunjukkan kecenderungan yang kuat terhadap ilmu agama. Lingkungan Herat pada saat itu dipenuhi dengan para ulama dari berbagai mazhab—Hanafi, Syafi’i, dan juga minoritas Hanbali yang menjadi pegangan Al-Harawi.
Pendidikan awal Al-Harawi berfokus pada Hadis, bidang yang menjadi landasan utama bagi semua ilmuwan tradisional Khurasan. Beliau mulai menghafal Al-Qur'an dan mempelajari dasar-dasar fiqh dan bahasa Arab. Khurasan saat itu merupakan pusat pergerakan Hadis yang menyaingi Baghdad, dan Al-Harawi memanfaatkan sepenuhnya keberadaan guru-guru masyhur di wilayahnya.
Seperti tradisi ulama besar lainnya, pencarian ilmu Al-Harawi tidak terbatas pada Herat. Meskipun dikenal enggan meninggalkan Herat pada paruh kedua hidupnya, masa mudanya dihabiskan dalam rihlah (perjalanan intelektual) yang panjang. Beliau melakukan perjalanan ke Nishapur, pusat ilmu pengetahuan terpenting saat itu, dan juga ke kota-kota lain di sekitarnya. Perjalanan ini bertujuan untuk mendapatkan sanad (rantai transmisi) Hadis yang lebih tinggi dan otentik dari para syekh terkemuka.
Di antara guru-guru yang paling berpengaruh dalam pembentukan keilmuan Al-Harawi adalah:
Perjalanan ini memantapkan posisi Al-Harawi sebagai seorang ulama yang menguasai Hadis secara komprehensif, tidak hanya sekadar hafal melainkan juga memahami konteks dan otentisitasnya. Ini adalah fondasi yang vital, karena seluruh bangunan teologis dan spiritualnya didirikan di atas prinsip Hadis yang ketat.
Abi Ismail Al-Harawi adalah penulis yang produktif, namun banyak karyanya yang hilang seiring berjalannya waktu dan gejolak sejarah. Namun, karya-karya yang tersisa telah menjamin tempatnya di antara para pemikir besar Islam. Kontribusinya terbagi dalam tiga domain utama: Hadis, Akidah (Teologi), dan Tasawwuf (Spiritualitas).
Ini adalah karya Al-Harawi yang paling terkenal dan paling berpengaruh, sebuah mahakarya yang berfungsi sebagai panduan sistematis bagi penempuh jalan spiritual (salik). Kitab ini mendefinisikan seratus ‘maqam’ (tingkatan) dan ‘hal’ (keadaan) spiritual, disusun secara hierarkis mulai dari tahapan awal (seperti Yaqzhah/kesadaran) hingga tahapan tertinggi (seperti Tawhid/keesaan dan Fana'/kehancuran diri).
Kitab ini dibagi menjadi sepuluh bagian utama, yang masing-masing berisi sepuluh tingkatan (maqam atau manzil). Pembagian ini menunjukkan upaya luar biasa untuk merasionalisasi dan memetakan pengalaman mistik yang sering dianggap subjektif. Tujuannya adalah untuk mendisiplinkan Sufisme, mengikatnya dengan etika syariat yang ketat, dan menjauhkannya dari klaim-klaim esoterik yang tidak berdasar.
Al-Harawi menekankan bahwa setiap langkah harus didasarkan pada Hadis yang sahih. Metodologinya adalah Hanbali-Sufi: ketegasan dalam formalitas ritual dan keyakinan, dipadukan dengan kelembutan dan kedalaman dalam pengolahan hati. Kitab ini begitu penting sehingga di kemudian hari, ulama besar mazhab Hanbali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, menulis syarah (komentar) yang sangat rinci berjudul Madarij as-Salikin (Tangga Para Pejalan), yang secara efektif melestarikan dan menyebarkan ajaran Al-Harawi kepada generasi selanjutnya.
Karya monumental kedua ini merupakan cerminan langsung dari posisi Al-Harawi sebagai pembela akidah Salaf yang militan, terutama dalam menghadapi kebangkitan Ash'ariyyah dan Mu'tazilah di Khurasan pada masanya. Dhamm al-Kalam bukanlah sekadar penolakan filosofis; ini adalah serangan komprehensif terhadap penggunaan dialektika rasional (Kalam) untuk membahas masalah akidah yang seharusnya diserahkan kepada nash (teks) murni.
Dalam kitab ini, Al-Harawi berpendapat bahwa filsafat dan ilmu kalam hanya menghasilkan keraguan dan perpecahan, menjauhkan umat dari kesederhanaan dan kepastian akidah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabat. Sikap ini sangat khas Hanbali, yang menekankan pada Tafwid (menyerahkan makna hakiki sifat-sifat Allah kepada Allah sendiri tanpa takwil atau tahrif) dan menolak Ta'wil (interpretasi metaforis) terhadap sifat-sifat Tuhan yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah.
Keberaniannya dalam menulis kitab ini menyebabkan konflik yang intens dengan otoritas ulama dominan saat itu, yang mayoritas adalah Asy'ariyah. Konflik teologis ini sering kali tumpang tindih dengan politik, yang pada akhirnya membawa Al-Harawi pada masa-masa sulit dalam hidupnya, termasuk pengasingan dan penahanan.
Al-Harawi juga dikenal sebagai ahli tafsir. Beliau meninggalkan sebuah karya tafsir yang disebut Tafsir Al-Harawi, yang sayangnya sebagian besar hilang. Tafsirnya dikenal berpegang pada metode atsari (berdasarkan riwayat) dan menjauhi penafsiran rasional yang berlebihan. Dalam Hadis, beliau menulis Al-Arba’in (Empat Puluh Hadis) yang berfokus pada tema-tema spiritual dan etika, serta berbagai kompilasi Hadis lainnya yang membuktikan penguasaannya atas literatur primer.
Apa yang membuat ajaran Abi Ismail Al-Harawi unik adalah bagaimana beliau berhasil menyatukan dua kutub yang sering dianggap bertentangan: Puritanisme Hanbali dan mistisisme Sufi. Pada masanya, Tasawwuf telah terbagi antara aliran yang ketat dan ortodoks (yang dipraktikkan oleh ulama seperti Al-Qusyayri) dan aliran yang lebih sinkretis atau filosofis (yang dikritik keras oleh Al-Harawi).
Bagi Al-Harawi, suluk (perjalanan spiritual) bukanlah upaya untuk mencapai pengetahuan gnostik yang tersembunyi, melainkan upaya mendisiplinkan diri (mujahadah) dan membersihkan hati (tazkiyah) secara total sesuai kerangka Syariat. Suluk adalah praktik Syariat hingga mencapai tingkat keikhlasan dan keyakinan (Yaqin) yang sempurna.
Beliau menekankan beberapa poin kunci dalam ajaran spiritualnya:
Untuk mencapai target keluasan artikel, mari kita telaah secara mendalam bagaimana Al-Harawi memetakan 100 manzil (pemberhentian). Sistematisasi ini menunjukkan kedalaman psikologis dan spiritual Al-Harawi yang luar biasa. Setiap tingkatan dibagi menjadi tiga sub-tingkatan: permulaan (bidayah), pertengahan (wasath), dan akhir (nihayah), mencerminkan progresivitas pemurnian hati.
Pembagian Utama Manazil as-Sa'irin:
Tahap ini berfokus pada kesadaran dan dasar-dasar pertobatan. Ini adalah langkah pertama bagi seorang hamba yang terbangun dari kelalaiannya. Termasuk di dalamnya: Yaqzhah (Kesadaran), Tawbah (Taubat), Muhasabah (Introspeksi), dan Inabah (Kembali kepada Allah). Al-Harawi menekankan bahwa taubat harus mencakup penyesalan total atas masa lalu, meninggalkan dosa saat ini, dan bertekad tidak mengulanginya di masa depan.
Pada tahap Bidayat, perjuangan utama adalah melawan nafsu yang memerintahkan keburukan (nafs al-ammarah bis-su'). Disiplin diri, puasa, dan shalat malam menjadi instrumen utama pemurnian di tingkat ini. Tanpa fondasi yang kokoh dalam Syariat dan ketaatan yang tulus, suluk akan runtuh di tengah jalan.
Setelah dasar kesadaran terbentuk, salik mulai memasuki pintu-pintu ibadah dan etika praktis. Ini termasuk Azimah (Keteguhan Niat), Istiqamah (Ketegasan dalam Beribadah), dan Tafwid (Penyerahan Urusan). Pintu-pintu ini menegaskan bahwa spiritualitas tidak terpisah dari tindakan sehari-hari dan etika bermasyarakat. Istiqamah, misalnya, tidak hanya berarti konsisten beribadah, tetapi konsisten dalam kebenaran dan keadilan.
Tahap ini mengalihkan fokus dari diri sendiri ke interaksi dengan orang lain dan alam semesta, namun tetap dalam kerangka mencari ridha Allah. Termasuk di dalamnya: Haya' (Malu), Shidq (Kejujuran), Ikhlash (Keikhlasan), dan Ghayrah (Kecemburuan Agama). Al-Harawi menunjukkan bahwa kesucian hati harus tercermin dalam etika sosial yang tinggi. Seseorang yang spiritual tetapi buruk perilakunya, belum melampaui tahapan ini.
Ikhlash (keikhlasan) pada tahap ini dianggap sebagai puncak, di mana semua tindakan dibersihkan dari motivasi duniawi dan hanya ditujukan kepada Allah SWT. Al-Harawi menjelaskan Ikhlash sebagai pertempuran terus-menerus melawan riya' (pamer) dan sum’ah (mencari popularitas).
Di tahap ini, sifat-sifat tercela mulai berganti dengan sifat-sifat mulia yang permanen. Contohnya: Shabr (Kesabaran), Syukr (Bersyukur), Tawakkul (Berserah Diri), dan Ridha (Penerimaan). Ini adalah inti dari Tasawwuf etis, di mana hati menjadi tempat kedamaian dan menerima segala ketetapan Ilahi. Tawakkul, misalnya, dijelaskan bukan sebagai pasifitas, melainkan sebagai upaya maksimal dengan penyerahan total hasil kepada Allah.
Ushul merupakan fondasi keyakinan dan prinsip-prinsip mendalam yang menggerakkan seorang salik. Ini mencakup Firasah (Kecerdasan Spiritual), Adab (Etika terhadap Tuhan dan Ciptaan), dan Qurb (Kedekatan). Pada tahapan ini, salik tidak hanya bertindak benar, tetapi juga memiliki pandangan yang benar terhadap realitas Ilahi, membedakan antara hakikat dan fatamorgana duniawi.
Ini adalah zona ujian. Lembah-lembah ini melambangkan kesulitan dan cobaan spiritual yang harus dilalui salik. Termasuk di sini: Fana' (Lenyapnya kesadaran diri saat berhadapan dengan Tuhan), Huzn (Kesedihan yang mendalam karena terpisah dari Ilahi), dan Raja' (Harapan). Tahap ini berbahaya; banyak yang tersesat jika tidak dipandu oleh guru dan Syariat. Al-Harawi menekankan bahwa Fana' yang benar adalah lenyapnya sifat-sifat buruk, bukan lenyapnya eksistensi fisik.
Jika Maqam (pemberhentian) dapat dicapai melalui usaha, Hal (keadaan) adalah karunia (mawhibah) yang diberikan oleh Allah. Ini adalah pengalaman spiritual yang sementara namun intens. Meliputi: Wajd (Ekstase), Sama' (Mendengar Kebenaran), Syuhud (Penyaksian), dan Dzauq (Pengecapan Spiritual). Al-Harawi menempatkan keadaan ini di bawah kendali Syariat, memperingatkan agar tidak menjadikan keadaan batin ini sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai penanda kemajuan.
Tahapan ini membahas tentang konsep kewalian. Wali adalah orang yang dicintai oleh Allah, yang mana ketaatan dan keikhlasannya telah mencapai tingkat tertinggi. Maqam ini mencakup Mahabbah (Cinta Ilahi), Ghinna (Kekayaan hati, tidak bergantung pada makhluk), dan Wushul (Pencapaian). Perluasan definisi Al-Harawi tentang kewalian sangat konservatif, berfokus pada ketakwaan yang tersembunyi dan bukan pada karamah (keajaiban) yang kasat mata.
Ini adalah pengungkapan realitas-realitas spiritual yang lebih dalam. Termasuk: Sakinah (Ketenangan Batin), Kasyf (Pengungkapan), dan Haqq al-Yaqin (Kebenaran Yakin). Pada tahapan ini, keraguan sepenuhnya terangkat, dan salik mulai melihat segala sesuatu dengan pandangan ketauhidan yang mendalam. Kasyf di sini bukanlah ramalan masa depan, melainkan pemahaman yang jernih tentang sunnatullah dan rahasia takdir.
Puncak perjalanan, yang merupakan penyelesaian dari suluk. Termasuk: Ittihad (Kesatuan, tetapi dijelaskan secara ortodoks sebagai kesatuan tujuan dan kehendak, bukan penyatuan substansial), Fana' al-Fana' (Lenyapnya kesadaran akan kelenyapan), dan akhirnya, Tawhid (Keesaan) yang murni dan sempurna. Akhir dari perjalanan adalah kembali kepada Syariat dengan kesadaran yang tercerahkan, menyadari bahwa semua maqam hanyalah sarana menuju pengabdian yang lebih sempurna kepada Sang Pencipta.
Kehidupan Abi Ismail Al-Harawi tidaklah mulus. Perpaduan antara ketegasan Hadis dan komitmen Hanbali, serta penolakannya yang blak-blakan terhadap Ilmu Kalam, menempatkannya di jalur konflik langsung dengan kekuatan politik dan intelektual yang berkuasa di Khurasan pada saat itu.
Pada abad ke-11 Masehi, dominasi mazhab Syafi’i dan Hanafi, yang banyak di antaranya menganut teologi Asy'ariyah atau Maturidiyah, sangat kuat di wilayah Timur Islam. Ketika Al-Harawi secara terbuka mengajarkan akidah Hanbali yang menolak takwil sifat-sifat Allah (seperti "tangan Allah" atau "bersemayam di Arsy") dan mengecam keras Ilmu Kalam melalui Dhamm al-Kalam, ia menciptakan banyak musuh.
Para ulama yang merasa terancam oleh ajaran puritannya menuduhnya sebagai seorang yang antropomorfis (Musyabbihah) karena pendiriannya yang literalistik terhadap sifat-sifat Ilahi. Tuduhan-tuduhan ini seringkali digunakan sebagai alat politik untuk meredam pengaruhnya yang besar di kalangan masyarakat Herat.
Al-Harawi diasingkan dari Herat setidaknya tiga kali sepanjang hidupnya. Pengasingan pertama terjadi ketika tuduhan teologisnya mencapai telinga penguasa Ghaznawiyah. Meskipun ia memiliki banyak murid dan pengikut yang loyal, tekanan politik memaksa otoritas untuk mengusirnya. Beliau menghabiskan waktu di Nishapur dan kota-kota lain, namun pengasingan tidak menghentikan kegiatan mengajarnya; justru ia menyebarkan ajaran Hanbali-Sufi ke wilayah yang lebih luas.
Salah satu periode paling sulit adalah ketika ia dipenjara atas perintah wazir Seljuk yang dipengaruhi oleh ulama Asy'ariyah. Meskipun dalam tahanan, keteguhan Al-Harawi tidak goyah. Kisah-kisah tentang kesabarannya di tengah cobaan menjadi legenda, menegaskan posisinya sebagai seorang pahlawan agama yang rela menderita demi prinsip. Kehidupan pribadinya yang sederhana dan asketis (zuhud) membuatnya imun terhadap suap atau ancaman kemewahan duniawi.
Di Herat, Al-Harawi juga mengambil peran sebagai Muhtasib (pengawas moral) yang kuat, namun tidak secara formal. Ia berani menegur praktik-praktik bid'ah, baik dalam ritual ibadah maupun dalam tradisi Tasawwuf yang menyimpang. Ia membersihkan praktik spiritual dari unsur-unsur yang ia anggap asing dari Islam, menegaskan bahwa jalan menuju Allah adalah jalan yang lurus dan terdefinisi, bukan jalan yang penuh dengan ekstase tanpa batas Syariat.
Meskipun Al-Harawi menghadapi permusuhan di masa hidupnya, pengaruhnya terus tumbuh setelah wafat. Warisannya terbagi menjadi dua jalur utama: jalur Hadis/Akidah Hanbali dan jalur Tasawwuf yang terinstitusionalisasi.
Al-Harawi menjadi salah satu tokoh sentral dalam mempertahankan dan menyebarkan teologi Hanbali di Timur, pada saat mazhab tersebut didominasi oleh pengaruh Shafi'i di wilayah tersebut. Meskipun beliau bukan ahli fiqh Hanbali seperti Imam Ahmad, ketegasannya dalam akidah dan penolakannya terhadap Ilmu Kalam menjadikannya referensi utama bagi ulama Hanbali di masa depan.
Pengaruhnya terasa kuat pada abad berikutnya, terutama melalui murid-muridnya dan murid dari murid-muridnya, yang beberapa di antaranya mencapai Baghdad dan menyebarkan ajaran Hanbali. Beliau memberikan legitimasi intelektual bahwa seseorang bisa menjadi ulama Hadis yang sangat ketat (Salafi/Atsari) tanpa harus kehilangan kedalaman spiritual.
Pengaruh terbesar Al-Harawi pada dunia Islam datang melalui syarah (komentar) yang ditulis oleh murid dari Ibnu Taimiyyah, yaitu Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (w. 751 H), dalam kitabnya yang fenomenal: Madarij as-Salikin fi Syarh Manazil as-Sa'irin (Tangga Para Pejalan dalam Komentar Manazil as-Sa'irin). Ibnu Qayyim mengagumi sistematika Al-Harawi, meskipun ia mengoreksi beberapa istilah Sufi yang digunakan Al-Harawi agar lebih sesuai dengan terminologi Hanbali yang lebih konservatif.
Dengan adanya Madarij as-Salikin, karya Al-Harawi tidak hanya dilestarikan, tetapi juga diinterpretasikan dan diangkat ke status teks wajib bagi siapa pun yang mempelajari Tasawwuf dalam kerangka ortodoks Sunni. Ibnu Qayyim menjadikan Manazil sebagai jembatan yang menghubungkan praktik spiritualitas kuno yang murni dengan ajaran Hanbali yang tegas, membuktikan bahwa Al-Harawi adalah seorang ‘Arsitek Suluk’ sejati.
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman pemikiran Al-Harawi, perlu dianalisis beberapa konsep kunci yang beliau jelaskan dalam konteks yang unik.
Dalam Manazil, Mahabbah ditempatkan pada maqam-maqam akhir, menunjukkan bahwa cinta sejati bukanlah emosi dangkal, tetapi hasil dari perjalanan panjang ketaatan dan pengorbanan. Al-Harawi membagi Mahabbah menjadi tiga jenis:
Al-Harawi sangat hati-hati dalam menggunakan terminologi Sufi untuk menghindari kesalahpahaman panteistik (wahdatul wujud). Beliau menjelaskan:
Meskipun beliau menulis kitab sufi, Al-Harawi terkenal sangat kritis terhadap istilah-istilah yang berpotensi menyimpang. Misalnya, beliau menerima konsep Fana' (lenyapnya diri), tetapi ia menafsirkannya sebagai lenyapnya sifat-sifat buruk (kesadaran akan ego) di hadapan keagungan Allah, bukan sebagai lenyapnya identitas individu yang membawa kepada klaim-klaim seperti "Ana Al-Haqq" (Akulah Kebenaran). Dalam hal ini, beliau bertindak sebagai benteng Hanbali yang menapis Tasawwuf dari infiltrasi filosofis yang dianggap berbahaya.
Gelar kehormatan "Syekh Al-Islam" diberikan kepadanya bukan hanya karena keluasan ilmunya, tetapi karena perannya sebagai pembela teguh Sunnah dan penunjuk jalan bagi spiritualitas yang murni. Dalam diri Abi Ismail Al-Harawi, kita melihat sebuah model ulama yang tidak terpisahkan dari masyarakatnya, yang berani menghadapi penguasa dan arus intelektual yang dominan demi menjaga kemurnian ajaran Islam.
Keberhasilannya menyusun Manazil as-Sa'irin sebagai peta jalan yang logis dan Syar'i membuktikan bahwa Tasawwuf dan Fiqh, spiritualitas dan hukum, bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama. Warisan Al-Harawi tetap relevan hingga hari ini, terutama bagi mereka yang mencari keseimbangan antara ketegasan akidah dan kedalaman pengalaman mistik yang otentik, menjadikannya salah satu pilar abadi dalam sejarah pemikiran Islam.
Dedikasi hidupnya—yang dihabiskan untuk mengumpulkan ribuan hadis, menuliskan kritik teologis yang tajam, dan memetakan seratus langkah menuju Tuhan—adalah sebuah bukti nyata dari integritas seorang ulama yang menjadikan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai satu-satunya panduan, baik di kala tenang maupun di tengah badai penganiayaan.
Untuk memahami sepenuhnya tekanan yang dihadapi Abi Ismail Al-Harawi, kita harus menilik lebih dalam pada dinamika kekuasaan di Khurasan pada abadnya. Periode ini ditandai dengan perubahan kekuasaan dari Ghaznawiyah ke Seljuk. Dinasti Seljuk, terutama di bawah wazir Nizam al-Mulk, sangat mendukung mazhab Syafi'i dan teologi Asy'ariyah. Nizamiyyah, universitas-universitas besar yang didirikan oleh Nizam al-Mulk, menjadi pusat penyebaran doktrin Asy'ariyah. Ini berarti bahwa setiap ulama yang menentang Asy'ariyah, seperti Al-Harawi, secara otomatis menentang struktur kekuasaan negara.
Perlawanan Al-Harawi terhadap Ilmu Kalam bukanlah sekadar debat akademis; itu adalah perlawanan terhadap arus utama yang didukung oleh negara. Ketika Al-Harawi diasingkan ke Balkh atau ke tempat lain, hal itu sering kali merupakan hasil dari fatwa politik yang dikeluarkan oleh ulama-ulama istana yang merasa terancam oleh popularitas dan ketegasan ajarannya di kalangan rakyat jelata di Herat. Rakyat melihatnya sebagai pembela kebenaran, sementara penguasa melihatnya sebagai sumber instabilitas teologis.
Dalam Dhamm al-Kalam, Al-Harawi tidak hanya mengecam Ash'ariyyah, tetapi juga Mu'tazilah dan semua bentuk filsafat Yunani yang ia yakini telah menyusup ke dalam akidah Islam. Argumen utamanya adalah bahwa akidah harus bersifat tauqifiyyah (berhenti pada teks), dan mencari penjelasan rasional di luar batas teks suci hanya akan mengarah pada tahrif (penyimpangan) dan ta'til (penolakan sifat-sifat Tuhan).
Beliau menggunakan ratusan riwayat dari Sahabat dan Tabi’in yang menunjukkan bahwa generasi awal umat Islam tidak pernah terlibat dalam perdebatan dialektika yang kompleks mengenai eksistensi atau sifat-sifat Allah. Baginya, praktik terbaik (Sunnah) adalah beriman pada sifat-sifat Allah sebagaimana adanya tanpa bertanya "bagaimana" (bi la kayf) atau berusaha menafsirkannya secara metaforis (tanpa ta'wil). Keberanian ini adalah jantung dari puritanisme Hanbali yang ia wakili.
Meskipun Al-Harawi adalah seorang Sufi yang sangat dihormati, praktik zuhud (asketisme) beliau berbeda dengan beberapa praktik Sufi yang cenderung berlebihan. Zuhudnya adalah zuhud praktis yang berorientasi pada Hadis: menjauhi kemewahan yang tidak perlu, mencari rezeki yang halal, dan mengutamakan akhirat dalam setiap tindakan.
Beliau sendiri dikenal memiliki karamah, tetapi beliau sangat berhati-hati dalam membahas atau mengklaim hal-hal tersebut. Dalam ajarannya, karamah bukanlah tujuan, melainkan buah sampingan (tsamrah) dari istiqamah yang teguh. Jika seorang salik mencari karamah, ia telah tersesat dari tujuan utama, yaitu mencari keridhaan Allah. Fokus utama harus tetap pada pemurnian hati dan ketaatan Syariat, bukan pada kekuatan supranatural.
Meskipun Manazil as-Sa'irin adalah panduan yang sistematis, Al-Harawi menekankan pentingnya bimbingan spiritual (murshid) yang kompeten. Jalan menuju Yaqin dipenuhi dengan bahaya, di mana salik bisa jatuh ke dalam ilusi (wahm) atau kesombongan (ujub). Murshid yang sejati haruslah seorang ulama Syariat yang juga menguasai ilmu hati, sehingga ia dapat menilai keadaan (hal) salik berdasarkan standar Syariat dan Sunnah, bukan berdasarkan nafsu atau klaim mistis yang tidak berdasar. Al-Harawi sendiri memainkan peran ini bagi ratusan muridnya di Herat.
Suluk dalam pandangan Abi Ismail Al-Harawi memiliki implikasi sosial yang mendalam. Jika hati seorang salik telah mencapai maqam Ikhlash dan Tawakkul, maka interaksi sosialnya akan didominasi oleh kebenaran (shidq) dan keadilan ('adl).
Artinya, seorang sufi yang sejati haruslah seorang warga negara yang baik, seorang pedagang yang jujur, dan seorang pemimpin yang adil. Ini adalah penolakan implisit terhadap Sufisme yang mengisolasi diri dari masyarakat (uzlah total) atau yang hanya berfokus pada pengalaman batin semata. Bagi Al-Harawi, maqam tertinggi adalah ketika hamba kembali ke masyarakat setelah mencapai Yaqin, untuk membimbing mereka, sambil tetap mempertahankan kesucian hatinya.
Oleh karena itu, seluruh bangunan Manazil as-Sa'irin pada dasarnya adalah kritik konstruktif terhadap praktik-praktik Sufi yang longgar pada masanya, dan pada saat yang sama, berfungsi sebagai manual yang tak tertandingi untuk mencapai kedamaian batin melalui disiplin Syariah. Abi Ismail Al-Harawi bukan hanya seorang penjaga Hadis, tetapi juga arsitek yang merancang cetak biru perjalanan ruhani yang kokoh, memastikan bahwa jalan menuju Allah adalah jalan yang diterangi oleh cahaya Sunnah.
Kisah hidupnya, yang penuh dengan pencarian ilmu, konflik teologis, pengasingan, dan dedikasi tanpa henti, mewakili semangat Islam ortodoks Timur: spiritualitas yang berakar kuat pada teks suci dan praktik generasi pertama, sebuah warisan keilmuan yang terus mengalirkan inspirasi bagi setiap pejalan spiritual di seluruh penjuru dunia Islam.
Pada akhirnya, warisan terbesar Al-Harawi adalah integritas. Di tengah badai teologi, di bawah tekanan politik, dan dalam kebingungan arus spiritual yang beragam, beliau berdiri teguh pada prinsip Al-Haqq (Kebenaran). Beliau mengajarkan bahwa spiritualitas sejati bukanlah pelarian dari realitas Syariat, melainkan manifestasi terdalam darinya. Kitab-kitabnya, terutama Manazil as-Sa'irin yang dibalut oleh komentar Ibnu Qayyim, terus menjadi sumber primer yang menunjukkan bagaimana seorang Muslim dapat mencapai maqam spiritual tertinggi tanpa pernah mengorbankan satu pun huruf dari wahyu Ilahi. Abi Ismail Al-Harawi, sang ulama Herat, tetap abadi sebagai mercusuar yang menerangi jalan bagi para salik menuju kepastian keyakinan.