Kata-kata Ali bin Abi Thalib, Khalifah keempat dalam sejarah Islam dan sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW, merupakan salah satu warisan intelektual dan spiritual paling berharga yang diakui secara luas. Dikenal karena kefasihannya, kedalaman pemikirannya, dan keadilannya yang tak tertandingi, ucapannya tidak sekadar petunjuk moral, tetapi juga fondasi filosofis dalam memahami hakikat kehidupan, kepemimpinan, dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta.
Kumpulan hikmah yang sebagian besarnya termaktub dalam kitab Nahj al-Balagha (Jalan Kefasihan) ini menawarkan peta jalan yang komprehensif bagi jiwa yang mencari kedamaian, akal yang haus akan pengetahuan, dan pemimpin yang mendambakan keadilan. Artikel ini akan menyelami berbagai aspek dari kata-kata Ali bin Abi Thalib, menganalisis relevansinya dalam konteks modern, dan menggali makna filosofisnya yang abadi.
Inti dari ajaran Ali bin Abi Thalib seringkali berpusat pada pemurnian jiwa (nafs) dan penggunaan akal (aql) secara maksimal. Beliau menekankan bahwa pertarungan terbesar yang dihadapi manusia bukanlah di medan perang, melainkan dalam diri mereka sendiri—antara hawa nafsu dan kebijaksanaan.
Ungkapan ini adalah salah satu pernyataan epistemologis paling kuat. Ini menjelaskan akar dari banyak konflik sosial, prasangka, dan intoleransi. Kebencian dan ketakutan tidak lahir dari kebenaran, tetapi dari kegelapan ketidaktahuan. Ketika seseorang tidak memahami motif, budaya, atau keyakinan orang lain, mereka cenderung mengambil sikap permusuhan sebagai mekanisme pertahanan.
Dalam konteks modern, kata-kata Ali bin Abi Thalib ini berfungsi sebagai kritik tajam terhadap mentalitas 'gelembung' (bubble mentality) di mana individu hanya berinteraksi dengan apa yang sudah mereka yakini. Ketidaktahuan melanggengkan stereotip dan menghalangi dialog yang konstruktif. Solusi yang ditawarkan oleh Ali adalah pendidikan yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga humanistik—pendidikan yang mengajarkan empati dan pemahaman lintas batas.
Kebutuhan untuk mengetahui bukan hanya kewajiban intelektual, melainkan prasyarat etis untuk hidup berdampingan secara damai. Jika manusia terus melihat hal yang asing sebagai ancaman, peradaban tidak akan pernah mencapai potensi puncaknya. Oleh karena itu, kata-kata Ali ini menuntut kita untuk aktif mencari, belajar, dan melampaui zona nyaman pengetahuan kita saat ini. Pengetahuan, dalam pandangan Ali, adalah pelindung tertinggi dari kekejaman yang tidak disengaja.
Ali bin Abi Thalib sering membedakan antara akal yang murni (yang membawa pada kebenaran) dan akal yang dicemari oleh hawa nafsu. Menurut beliau, kekuatan akal bergantung pada kemampuannya untuk mengendalikan keinginan dan bukan sebaliknya.
Analogi mahkota dan penjerat sangatlah kuat. Mahkota melambangkan kehormatan, otoritas, dan kepemimpinan—seseorang yang dipimpin oleh akal adalah penguasa dirinya sendiri. Sebaliknya, penjerat melambangkan keterbatasan, hambatan, dan perbudakan—seseorang yang dipimpin oleh hawa nafsu adalah budak dari keinginannya sendiri. Kebijaksanaan sejati adalah kemampuan untuk memprioritaskan yang abadi (keputusan yang benar) di atas yang sementara (keinginan mendesak).
Ajaran ini merupakan fondasi bagi etika pengendalian diri (zuhud dan wara'). Ini bukan berarti menolak dunia, tetapi menolak diperbudak olehnya. Orang yang akalnya telah dikalahkan oleh nafsunya akan kehilangan kemampuan diskresi dan analisis. Mereka menjadi impulsif, reaktif, dan rentan terhadap manipulasi. Sebaliknya, orang yang menguasai nafsunya, membiarkan akal sehat memimpin, akan mencapai ketenangan batin (mutmainnah).
Ali bin Abi Thalib mengajarkan bahwa akal yang berfungsi penuh memerlukan disiplin rohani yang ketat. Korupsi moral, misalnya, selalu dimulai ketika seseorang membiarkan keinginan akan kekayaan atau kekuasaan mengaburkan penilaian rasionalnya tentang keadilan. Jika kita gagal mengendalikan nafsu kita pada tingkat pribadi, kita akan gagal dalam memimpin masyarakat atau bahkan keluarga kita sendiri.
Secara psikologis, ucapan ini menekankan pentingnya kesadaran diri (self-awareness). Seseorang harus senantiasa menguji motifnya: apakah tindakan ini didorong oleh prinsip atau oleh dorongan emosional? Hanya dengan introspeksi konstan, akal dapat tetap menjadi mahkota, dan bukan hanya alat untuk membenarkan keinginan yang sudah ada. Kebebasan sejati, kata Ali, bukan terletak pada kebebasan melakukan apa saja, melainkan pada kebebasan dari tirani hasrat diri sendiri.
Pengendalian diri ini memerlukan pelatihan yang panjang, sebuah proses yang melibatkan penolakan terhadap kesenangan instan demi pencapaian kebijaksanaan jangka panjang. Mahkota akal memerlukan pengorbanan; penjerat nafsu menawarkan kemudahan. Pilihan antara keduanya menentukan kualitas kehidupan seseorang, baik di dunia maupun di akhirat.
Sebagai seorang pemimpin yang berhadapan langsung dengan intrik politik dan perang saudara, kata-kata Ali bin Abi Thalib tentang keadilan (Al-Adl) dan kepemimpinan (Imamah) menawarkan cetak biru yang tegas dan tak kenal kompromi bagi tata kelola negara yang ideal. Baginya, keadilan adalah tiang penyangga peradaban.
Ucapan ini adalah prinsip fundamental dalam ilmu politik dan sosiologi. Ali bin Abi Thalib tidak hanya berbicara tentang keadilan teologis, tetapi juga keadilan pragmatis yang memastikan stabilitas sosial dan politik. Dalam pandangan ini, yang menentukan kelangsungan hidup suatu bangsa bukanlah ideologi awal, tetapi bagaimana kekuasaan itu dijalankan setiap hari. Kekejaman (kezaliman) memiliki efek erosi yang lambat namun pasti terhadap legitimasi kekuasaan.
Kezaliman menciptakan perpecahan yang mendalam antara penguasa dan rakyat. Kezaliman bisa berupa korupsi, diskriminasi, atau penindasan terhadap hak-hak dasar. Meskipun sebuah pemerintahan mungkin mengklaim landasan moral yang tinggi ("dibangun di atas kebenaran"), jika tindakannya sehari-hari didasarkan pada ketidakadilan, rakyat akan menarik dukungan moral dan akhirnya memberontak. Ali melihat ini sebagai hukum alam: ketidakadilan selalu mengandung benih kehancurannya sendiri.
Yang menarik, Ali juga menyatakan bahwa keadilan dapat memperkuat kerajaan yang awalnya "dibangun di atas kebatilan." Ini menunjukkan bahwa jika seorang pemimpin, meskipun berasal dari latar belakang yang meragukan atau ideologi yang lemah, memerintah dengan keadilan mutlak, rakyat akan menghargai ketertiban dan keamanan yang ditawarkan, sehingga memberikan stabilitas pada rezim tersebut. Keadilan adalah mata uang politik universal yang paling kuat.
Dalam suratnya kepada Malik al-Asytar (Gubernur Mesir), Ali memberikan panduan kepemimpinan yang paling mendetail dan etis dalam sejarah politik Islam. Beliau menekankan bahwa penguasa adalah pelayan rakyat, bukan tuan mereka.
Konsep kepemimpinan sebagai pelayanan (servant leadership) ini merupakan terobosan etis. Ali menentang pandangan otoritarianisme klasik yang melihat penguasa sebagai entitas superior. Sebaliknya, ia menempatkan hak rakyat di atas hak penguasa. Tanggung jawab tertinggi seorang pemimpin adalah memastikan bahwa tidak ada satu pun warga negara yang merasa tertindas atau diabaikan. Pemimpin harus turun ke tengah rakyat, mendengarkan keluhan, dan memastikan bahwa sistem hukum tidak memihak kaum elit.
Ali bin Abi Thalib sangat keras terhadap pejabat yang korup atau arogan. Beliau memperingatkan Malik al-Asytar untuk menjauhi para penyanjung dan mencari penasihat yang berani mengatakan kebenaran, bahkan jika itu menyakitkan. Seorang pemimpin yang dikelilingi oleh para penjilat akan kehilangan kontak dengan realitas penderitaan rakyatnya, dan ini adalah awal dari kejatuhan.
Dalam ajaran Ali, kekuasaan hanyalah amanah yang diberikan sementara. Amanah tersebut harus digunakan untuk menegakkan keadilan sosial dan ekonomi. Ketika seorang pemimpin melupakan hakikat amanah ini dan mulai mengeksploitasi kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, ia telah melakukan pengkhianatan spiritual dan politik. Pemimpin harus menjadi contoh dalam kesederhanaan, kejujuran, dan ketekunan. Inilah inti dari kata-kata Ali bin Abi Thalib tentang pemerintahan yang ideal.
Ali bin Abi Thalib sering menggunakan analogi yang puitis dan tajam untuk menggambarkan sifat dunia (Dunya) yang fana. Tujuannya bukan untuk mendorong kepasrahan total, melainkan untuk mengingatkan bahwa keterikatan yang berlebihan pada materi akan mengalihkan perhatian dari tujuan eksistensial yang lebih tinggi.
Pernyataan ini mengubah perspektif manusia tentang waktu dan investasi energi. Jika dunia hanya "tempat persinggahan" atau "jembatan," maka seseorang seharusnya tidak menghabiskan seluruh waktunya untuk membangun dan mendekorasi jembatan tersebut, melainkan harus berfokus pada perjalanan menuju tujuan akhir. Ini adalah panggilan untuk hidup dengan kesadaran akan kefanaan (memento mori).
Bagi Ali, zuhud (asketisme) bukanlah kemiskinan sukarela, melainkan kemerdekaan dari kebutuhan material. Seseorang boleh bekerja keras dan mencari rezeki, tetapi hati mereka tidak boleh terikat pada hasil atau akumulasi harta. Keterikatan ini berbahaya karena: (1) ia mengganggu penilaian moral (demi harta, seseorang rela berbuat curang), dan (2) ia menyebabkan penderitaan hebat ketika harta itu hilang atau ketika kematian tiba.
Ali bin Abi Thalib menjelaskan bahwa mereka yang menganggap dunia sebagai tempat tinggal abadi akan selalu hidup dalam kecemasan. Mereka cemas kehilangan apa yang sudah dimiliki, dan cemas tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Sebaliknya, orang yang memandang dunia sebagai persinggahan menerima perubahan, kehilangan, dan kesulitan sebagai bagian dari dinamika perjalanan. Mereka fokus pada ‘bekal’ spiritual dan moral yang akan mereka bawa ke destinasi abadi.
Penerapan kata-kata Ali bin Abi Thalib ini dalam kehidupan sehari-hari berarti menetapkan prioritas yang jelas. Jika seseorang menghabiskan 90% energinya untuk urusan duniawi dan 10% untuk urusan spiritual, mereka gagal memahami hakikat persinggahan. Keseimbangan bukan berarti menolak dunia, tetapi menundukkan dunia pada tujuan spiritual, menjadikannya alat (washilah), bukan tujuan utama (ghayah).
Kerakusan atau ambisi material yang tak terbatas adalah salah satu penyakit hati yang paling sering dikritik oleh Ali bin Abi Thalib.
Ali memberikan definisi yang revolusioner tentang kemiskinan dan kekayaan, memindahkannya dari domain ekonomi ke domain psikologis dan spiritual. Kemiskinan sejati adalah rasa tidak pernah puas. Orang yang rakus, meskipun hartanya menumpuk, selalu merasa kekurangan karena nafsu mereka terus menuntut lebih. Mereka adalah budak dari ketidakpuasan internal.
Sebaliknya, Ali mengajarkan bahwa kekayaan sejati adalah kekayaan jiwa (ghina an-nafs). Ini adalah kondisi di mana seseorang puas dengan apa yang sudah ada (qana'ah). Kepuasan ini membebaskan seseorang dari persaingan yang tidak perlu, iri hati, dan stres yang diakibatkan oleh kebutuhan untuk terus memamerkan kekayaan atau mengejar ambisi tanpa batas.
Kata-kata Ali bin Abi Thalib ini mendorong kita untuk mempertimbangkan siklus yang merusak dari konsumerisme modern. Kita didorong untuk menginginkan hal-hal yang tidak kita butuhkan, dan kerakusan ini mengarah pada eksploitasi lingkungan, ketidakadilan ekonomi global, dan akhirnya kekosongan batin. Kemakmuran fisik tanpa kepuasan spiritual hanyalah bentuk kemiskinan yang terselubung. Kunci untuk menjadi kaya, menurut Ali, adalah membatasi keinginan, bukan meningkatkan aset.
Dalam Islam, Ali bin Abi Thalib sering disebut sebagai 'Gerbang Ilmu' (Bab al-Ilm). Kecintaannya pada pengetahuan dan penekanannya pada pentingnya akal menempatkan ilmu sebagai prioritas tertinggi setelah keimanan.
Perbandingan antara ilmu dan harta adalah sebuah kritik tajam terhadap materialisme. Harta bersifat pasif dan rapuh; ia memerlukan perlindungan (penjagaan, asuransi, dan pengamanan). Sebaliknya, ilmu bersifat aktif dan dinamis; ia berfungsi sebagai pelindung dan panduan moral bagi pemiliknya.
Bagaimana ilmu melindungi seseorang? Ilmu memberi kebijaksanaan untuk menghindari bahaya, kekuatan untuk mengambil keputusan yang benar, dan ketenangan batin dalam menghadapi kesulitan. Seseorang yang memiliki ilmu tidak mudah dibodohi, baik secara politik maupun spiritual. Ilmu adalah cahaya yang mengusir kegelapan kebodohan dan kezaliman.
Ali bin Abi Thalib juga mengingatkan bahwa ilmu tanpa amal (aksi) adalah pohon tanpa buah, sementara amal tanpa ilmu adalah kesesatan. Keduanya harus berjalan beriringan. Oleh karena itu, mencari ilmu adalah ibadah, dan mengamalkannya adalah jihad (perjuangan).
Meskipun ucapan ini sering diterapkan pada peluang umum, ia memiliki relevansi mendalam dalam konteks pembelajaran. Ali mengajarkan bahwa momen dan kesempatan untuk mencari ilmu bersifat fana dan tidak akan terulang. Seseorang tidak boleh menunda pembelajaran dengan alasan ‘masih ada waktu’ atau ‘nanti saja.’ Kesempatan emas untuk berguru, membaca, atau merenung harus segera diraih.
Waktu adalah komoditas paling berharga yang diberikan kepada manusia. Mereka yang menghargai waktu dan memanfaatkannya untuk mengembangkan akal dan jiwa mereka adalah mereka yang paling beruntung. Penundaan (taswīf) adalah pencuri terbesar dari potensi manusia.
Filsafat Ali tentang ilmu menuntut kita untuk menjadi pelajar yang haus dan tak pernah puas, dari buaian hingga liang lahat. Ilmu pengetahuan tidak hanya membebaskan kita dari kebodohan, tetapi juga dari kemiskinan rohani. Seseorang yang memiliki ilmu adalah orang yang kaya, bahkan di tengah keterbatasan materi, karena ia memiliki alat untuk mengatasi masalah dan memahami tujuan hidupnya.
Ali bin Abi Thalib sangat menekankan pentingnya akhlak mulia dan bagaimana interaksi sosial yang sehat merupakan cerminan dari kekuatan iman seseorang. Beliau melihat masyarakat yang beretika adalah masyarakat yang kuat dan harmonis.
Ucapan ini menantang definisi konvensional tentang kemurahan hati. Kemurahan hati tidak diukur dari jumlah uang yang dikeluarkan, tetapi dari kualitas jiwa yang mendasarinya. Memberi saat seseorang memiliki kelebihan adalah hal yang mudah; memberi saat seseorang sendiri kekurangan menunjukkan kekuatan karakter yang luar biasa.
Ali bin Abi Thalib mengajarkan bahwa tindakan memberi, terutama saat kesulitan, adalah cara untuk memupuk kebebasan spiritual. Ia membebaskan pemberi dari belenggu kekikiran dan membuktikan bahwa individu tersebut mengendalikan harta, bukan sebaliknya. Bahkan jika yang diberikan hanyalah senyuman atau kata-kata yang baik, niat untuk berbagi adalah yang utama.
Kata-kata Ali bin Abi Thalib ini menuntut kita untuk meninjau kembali konsep ‘kekurangan’. Kekurangan terbesar bukanlah kekurangan uang, tetapi kekurangan keinginan untuk berbagi. Ketika jiwa kita kaya dengan kemurahan hati, kita akan menemukan cara untuk memberi, bahkan dalam keterbatasan finansial.
Pernyataan ini adalah pelajaran mendalam tentang realisme sosial dan pentingnya introspeksi. Pertama, Ali mengakui bahwa kesempurnaan dalam hubungan manusia adalah ilusi. Setiap orang memiliki kekurangan, dan mengharapkan kesempurnaan dari teman atau pasangan adalah resep menuju kekecewaan abadi. Kematangan emosional adalah menerima orang lain apa adanya, dengan segala kekurangan mereka.
Kedua, bagian tentang "kecacatan pada dirimu sendiri" menekankan betapa sulitnya manusia untuk melihat kesalahan dan kekurangan mereka sendiri. Kita cenderung memakai kacamata bias yang melembutkan kesalahan kita, sementara kita memperbesar kesalahan orang lain. Kata-kata Ali bin Abi Thalib ini adalah panggilan untuk introspeksi yang brutal dan jujur.
Pelajaran etika yang bisa diambil adalah toleransi dan kesabaran. Kita harus bersabar terhadap ketidaksempurnaan orang lain (karena kita sendiri tidak sempurna) dan rajin mencari cacat diri sendiri (karena itu adalah satu-satunya cara untuk berkembang). Memperbaiki diri sendiri jauh lebih produktif daripada mencoba memperbaiki dunia di sekitar kita. Fokus pada perbaikan diri adalah jalan menuju kedamaian batin, sementara fokus pada kekurangan orang lain hanya akan melahirkan kebencian dan kelelahan.
Waktu sering kali menjadi subjek renungan mendalam dalam kata-kata Ali bin Abi Thalib. Beliau melihat waktu bukan sebagai sekadar urutan kronologis, tetapi sebagai entitas yang hidup yang harus dimanfaatkan sebelum ia menghilang selamanya.
Metafora pedang ini sangat kuat. Pedang melambangkan kekuatan, bahaya, dan keputusan yang cepat. Waktu bukanlah entitas netral; ia terus bergerak dan memiliki dampak. Jika kita pasif dan membiarkan waktu berlalu tanpa aksi, waktu akan merenggut kesempatan kita, kesehatan kita, dan potensi kita.
Inti dari kata-kata Ali bin Abi Thalib ini adalah keharusan untuk menjadi proaktif. Manusia harus menjadi agen perubahan dalam hidup mereka sendiri, memanfaatkan setiap momen untuk mencapai tujuan mulia. Mereka yang menunda-nunda atau hidup dalam kemalasan akan menemukan bahwa waktu telah "memotong" mereka—yaitu, waktu telah menghilangkan kesempatan mereka untuk mencapai keunggulan, melakukan kebaikan, atau bertobat.
Waktu, dalam pandangan Ali, adalah modal terbesar. Tidak seperti harta yang dapat dicari kembali, waktu yang hilang tidak akan pernah kembali. Oleh karena itu, kebijaksanaan tertinggi adalah menginvestasikan setiap jam dalam hal yang memiliki nilai abadi.
Penyesalan atas harta yang hilang masih dapat diatasi, tetapi penyesalan atas waktu yang hilang adalah fatal karena waktu itu membawa serta kesempatan yang kini telah sirna. Ali menyoroti bahwa pada akhirnya, di hari penghisaban, manusia akan ditanya tentang bagaimana ia mengisi hidupnya—terutama waktu mudanya—bukan berapa banyak harta yang ia kumpulkan.
Kemalasan (kasal) dan menunda-nunda adalah penyakit spiritual yang dicela oleh Ali. Kemalasan adalah musuh dari kesempurnaan, karena ia mencegah penggunaan akal dan potensi yang telah diberikan Tuhan. Orang yang malas membiarkan pedang waktu memotongnya tanpa perlawanan.
Kata-kata Ali bin Abi Thalib ini menanamkan kesadaran bahwa hidup ini adalah rentang waktu yang pendek dan rapuh. Kita harus hidup dengan urgensi yang positif, menggunakan setiap hari untuk mencapai kemajuan spiritual dan intelektual, agar ketika akhir itu tiba, kita tidak dihantui oleh penyesalan yang paling berat—penyesalan atas potensi yang tidak terwujudkan.
Sebagai seorang orator ulung (Nahj al-Balagha adalah buktinya), Ali bin Abi Thalib memahami kekuatan kata-kata. Beliau memberikan nasihat yang mendalam tentang kapan harus berbicara, apa yang harus diucapkan, dan kapan keheningan adalah emas.
Pernyataan ini adalah inti dari filsafat komunikasi yang bijaksana. Orang yang berakal (alim) adalah orang yang berpikir secara matang, menganalisis konsekuensi dari kata-katanya (hati di depan), sebelum kemudian mengucapkannya (lidah di belakang). Kata-kata mereka adalah hasil dari pertimbangan yang mendalam.
Sebaliknya, orang bodoh (jahil) berbicara tanpa berpikir. Lidahnya bertindak sebagai pelatuk otomatis, dan hatinya (emosi atau niat) hanya berfungsi sebagai pembenaran atau reaksi terhadap apa yang sudah terlanjur diucapkan. Orang bodoh sering menyesali kata-kata mereka karena mereka gagal menerapkan filter kognitif sebelum berbicara.
Kata-kata Ali bin Abi Thalib ini mendorong kita untuk melatih ‘filter’ antara pikiran dan ucapan. Sebelum berbicara, seorang yang bijak akan bertanya: Apakah ini benar? Apakah ini perlu? Apakah ini baik? Jika jawabannya negatif, keheningan adalah respons yang paling tepat.
Dalam banyak ajarannya, Ali menempatkan lidah sebagai sumber kebaikan terbesar (ketika digunakan untuk menyebut kebenaran) dan sumber bahaya terbesar (ketika digunakan untuk menyebarkan kebohongan, ghibah, atau hasutan). Keselamatan, baik di dunia (menghindari permusuhan) maupun di akhirat (menghindari dosa), sangat bergantung pada disiplin lidah.
Ali bin Abi Thalib mengajarkan bahwa menjaga lidah adalah bentuk pencegahan yang lebih mudah daripada mengobati dampak dari kata-kata yang tidak terkontrol. Keheningan dalam momen marah, keheningan dalam menghadapi fitnah, dan keheningan saat godaan untuk bergosip muncul adalah tindakan pencegahan yang menyelamatkan jiwa.
Kekuatan keheningan juga terletak pada kemampuannya untuk mempromosikan pendengaran yang aktif. Hanya dengan diam, seseorang dapat benar-benar mendengar dan memahami orang lain, suatu keterampilan yang sangat penting bagi seorang pemimpin, hakim, atau bahkan seorang teman. Keheningan adalah ladang yang memungkinkan biji-biji kebijaksanaan untuk tumbuh. Kata-kata Ali bin Abi Thalib ini berfungsi sebagai pengingat bahwa kontrol atas lidah adalah indikator utama dari kontrol atas seluruh diri seseorang.
Kata-kata Ali bin Abi Thalib adalah harta karun yang melampaui batas waktu, geografi, dan sekte. Dikenal karena kekayaan bahasa dan kedalaman maknanya, hikmah beliau menawarkan solusi etis dan praktis untuk tantangan-tantangan eksistensial manusia. Dari penekanan pada keadilan absolut dalam pemerintahan hingga keharusan pengendalian diri dan pencarian ilmu pengetahuan, setiap ucapannya berfungsi sebagai mercusuar spiritual.
Filsafat Ali bin Abi Thalib mendorong kita untuk tidak hanya menjadi orang yang baik secara pasif, tetapi juga menjadi agen aktif dalam menegakkan kebenaran. Beliau menantang kita untuk selalu bersikap kritis terhadap diri sendiri, menempatkan akal di atas nafsu, dan menganggap dunia ini sebagai panggung persiapan untuk kehidupan yang kekal. Dengan merenungkan kata-kata Ali bin Abi Thalib, kita tidak hanya belajar tentang sejarah Islam, tetapi kita belajar tentang seni hidup yang bermakna, beretika, dan bertujuan.
Kekuatan abadi dari warisan ini terletak pada universalitas pesannya: tuntutan akan keadilan, kebijaksanaan, dan integritas moral adalah nilai-nilai yang dibutuhkan oleh setiap peradaban, kapan pun dan di mana pun.