Pencarian ilmu dan pengajaran yang konsisten.
Syaikh Abi Daud bin Hasbi merupakan salah satu figur sentral dalam perkembangan gerakan dakwah yang menekankan kemurnian ajaran Islam berdasarkan pemahaman generasi awal (Salafus Shalih) di Indonesia. Perjalanan hidup beliau, yang dihabiskan dalam kancah pendidikan dan pengajaran, memberikan sumbangan signifikan terhadap pemahaman umat, khususnya dalam konteks menghadapi tantangan modernisasi dan pluralitas pemikiran keagamaan di Nusantara. Memahami kontribusi beliau tidak bisa dipisahkan dari latar belakang pendidikan dan fokus keilmuan yang telah ditempuhnya.
Lingkungan awal dan pendidikan fundamental merupakan batu pijakan yang membentuk metodologi dan konsistensi Syaikh Abi Daud. Sebagaimana banyak ulama yang muncul di era reformasi dakwah di Indonesia, beliau melalui tahapan pendidikan tradisional hingga pendidikan formal yang mendalam. Penekanan pada penguasaan bahasa Arab, ilmu alat, dan hafalan matan-matan primer menjadi ciri khas yang membedakan pendekatan beliau dalam menyampaikan ilmu. Kesadaran akan pentingnya sumber rujukan otentik (Al-Qur'an dan Sunnah) yang dipahami secara metodologis sudah tertanam sejak dini. Masa-masa awal pencarian ilmu ini melibatkan interaksi dengan berbagai guru dan Syaikh yang memiliki sanad keilmuan yang kuat, baik di dalam negeri maupun ketika beliau melanjutkan studi di pusat-pusat ilmu di luar negeri, yang mana pengalaman ini memberikan perspektif global mengenai tantangan dan strategi dakwah.
Fase transisi dari penuntut ilmu aktif menjadi seorang pendidik dan da'i memiliki peran krusial. Setelah menyelesaikan berbagai jenjang studi, Syaikh Abi Daud tidak lantas puas dengan pencapaian pribadi, melainkan segera mendedikasikan dirinya untuk transfer pengetahuan. Beliau melihat adanya kebutuhan mendesak di tengah masyarakat Indonesia untuk mendapatkan bimbingan yang terstruktur dan terhindar dari pemahaman yang keliru atau tercampur dengan tradisi yang tidak memiliki dasar syar'i yang kuat. Dedikasi ini tidak hanya terbatas pada ceramah publik, tetapi juga pembangunan institusi pendidikan formal, yang menjadi bukti nyata komitmen jangka panjang beliau terhadap kaderisasi umat.
Komitmen ini berlandaskan pada prinsip bahwa ilmu bukanlah sekadar teori yang disimpan, melainkan amanah yang wajib disampaikan dan diamalkan. Oleh karena itu, dakwah beliau selalu diiringi dengan upaya sistematis untuk membentuk kurikulum dan materi ajar yang dapat dipelajari secara bertahap oleh masyarakat dari berbagai latar belakang, mulai dari dasar-dasar tauhid hingga pembahasan fiqih muamalat yang kompleks.
Periode di mana Syaikh Abi Daud aktif berdakwah adalah periode yang dinamis. Indonesia mengalami lonjakan kebangkitan keagamaan, diiringi oleh masuknya berbagai pemikiran dan madzhab. Di tengah pusaran ini, peran beliau menjadi sangat vital sebagai penyeimbang yang mengajak kembali kepada kemurnian. Dakwah beliau seringkali menyentuh isu-isu sensitif yang berkaitan dengan sinkretisme, bid'ah, dan praktik-praktik keagamaan yang tidak berlandaskan dalil shahih. Pendekatan beliau yang tegas namun disampaikan dengan hujah ilmiah yang kuat, berhasil menarik perhatian banyak kalangan yang haus akan ilmu yang jelas dan terarah.
Pengaruh global, terutama dari pusat-pusat keilmuan Islam di Timur Tengah, turut mewarnai pola dakwah beliau. Namun, Syaikh Abi Daud memiliki kemampuan unik untuk mengadaptasi materi keilmuan yang luas tersebut ke dalam konteks budaya dan sosiologis masyarakat Indonesia tanpa mengorbankan integritas metodologi Salaf. Ini membutuhkan kebijaksanaan dalam memilih prioritas dakwah (fiqh awlawiyat) dan kesabaran dalam menghadapi resistensi yang muncul dari kelompok-kelompok yang merasa terganggu oleh seruan untuk kembali kepada Sunnah murni.
Secara mendalam, konteks ini memaksa para da'i kontemporer untuk tidak hanya menjadi penyampai hadits atau ayat, tetapi juga ahli strategi sosial dan komunikasi. Syaikh Abi Daud menunjukkan kemampuan ini melalui penggunaan media dakwah yang relevan dan pembangunan jaringan komunitas yang solid, memastikan bahwa pesan yang disampaikan dapat menjangkau audiens yang luas, dari kalangan akademisi, pelajar, hingga masyarakat awam. Keberhasilan dalam menjangkau segmen masyarakat yang beragam ini merupakan indikator penting dari keefektifan metodologi dakwah beliau.
Fokus pada tahap pembelajaran dini Syaikh Abi Daud mencerminkan pentingnya pembentukan pondasi yang kokoh dalam ilmu-ilmu keislaman. Beliau sering menekankan bahwa penguasaan ilmu alat, seperti Nahwu (tata bahasa Arab), Sharaf (morfologi), dan Balaghah (retorika), adalah prasyarat mutlak untuk memahami teks-teks syar'i secara benar. Tanpa penguasaan ini, seseorang rentan terhadap kesalahan interpretasi yang dapat mengarah pada penyimpangan akidah atau fiqih. Oleh karena itu, dalam institusi yang beliau bina, kurikulum awal selalu difokuskan pada penguasaan matan-matan dasar dalam ilmu bahasa dan ilmu hadits. Pendekatan ini memastikan bahwa setiap siswa atau jamaah yang mengambil ilmu darinya memiliki bekal metodologis yang memadai untuk menimbang kebenaran suatu dalil.
Pengalaman berinteraksi dengan ulama-ulama senior memberikan beliau pemahaman yang lebih luas tentang pentingnya *adab* (etika) dalam menuntut ilmu. Beliau tidak hanya mencontohkan ketekunan intelektual, tetapi juga kerendahan hati dan penghormatan terhadap para guru. Aspek ini seringkali diangkat dalam ceramah beliau, mengingatkan para penuntut ilmu bahwa ilmu tanpa adab adalah ilmu yang tidak berkah dan rentan menimbulkan kesombongan. Kesatuan antara kualitas intelektual dan spiritualitas inilah yang menjadi ciri khas dakwah yang beliau sebarkan.
Dalam bingkai sejarah dakwah di Indonesia modern, kehadiran figur-figur seperti Syaikh Abi Daud berperan sebagai katalisator dalam mempercepat proses purifikasi pemahaman keagamaan. Beliau mengisi kekosongan yang mungkin ditinggalkan oleh generasi ulama sebelumnya, dengan menawarkan format pengajaran yang lebih terstruktur, berbasis bukti (dalil), dan mudah diakses. Kontribusinya dalam mengkritisi praktik-praktik yang tidak sesuai dengan Sunnah tidak dilakukan secara destruktif, melainkan melalui penyajian alternatif yang lebih otentik dan bersandar pada rujukan klasik yang diakui oleh mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Inilah yang membuat pengaruh beliau meluas, melampaui batas-batas madzhab fiqih yang ada, dan menyentuh inti dari kebutuhan umat akan panduan hidup yang Islami secara menyeluruh.
Pilar-pilar utama dalam metodologi dakwah beliau.
Inti dari seluruh aktivitas keilmuan dan dakwah Syaikh Abi Daud adalah komitmen total terhadap Manhaj Salaf (Metodologi Generasi Salafus Shalih). Manhaj ini bukan sekadar label, melainkan kerangka kerja komprehensif yang mengatur cara memahami teks agama, cara berinteraksi dengan masyarakat, dan cara menyelesaikan perselisihan. Bagi beliau, kemurnian ajaran Islam hanya dapat dipertahankan jika umat kembali kepada sumber otentik sebagaimana dipahami dan dipraktikkan oleh para Sahabat, Tabi'in, dan Tabi'ut Tabi'in.
Dalam ajaran Syaikh Abi Daud, Tauhid (pengesaan Allah) selalu menempati posisi sentral, mendahului semua pembahasan fiqih, muamalat, bahkan isu-isu sosial. Beliau memandang bahwa penyimpangan terbesar yang dapat menimpa umat adalah kerusakan dalam akidah, khususnya dalam tiga kategori Tauhid: Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma wa Sifat. Penjelasan beliau mengenai Tauhid sangat detail dan seringkali bersifat preventif, menyoroti praktik-praktik syirik kontemporer yang mungkin tidak disadari oleh masyarakat awam, seperti bergantung kepada selain Allah dalam urusan rezeki atau penyembuhan, serta pengkultusan terhadap individu atau tempat tertentu.
Pembahasan mengenai Asma wa Sifat (Nama dan Sifat Allah) juga menjadi fokus utama. Beliau menekankan pentingnya menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang ditetapkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah tanpa melakukan tahrif (mengubah makna), ta'thil (meniadakan), takyiif (menggambarkan bentuk), atau tamtsil (menyerupakan dengan makhluk). Konsistensi dalam memahami Tauhid ini membentuk benteng pertahanan umat dari berbagai bentuk filosofi dan pemikiran teologis yang menyimpang dari jalan kenabian.
Salah satu ciri khas dakwah yang diemban Syaikh Abi Daud adalah keberanian dan ketegasan dalam mengkritisi Bid'ah (inovasi dalam agama). Beliau berpendapat bahwa Bid'ah adalah penyakit yang secara perlahan merusak Sunnah dan mengaburkan kemurnian ibadah. Kritik beliau didasarkan pada prinsip fiqih yang mapan: segala bentuk ibadah adalah *tauqifiy* (harus berdasarkan dalil), dan Bid'ah, sekecil apapun, harus ditinggalkan. Beliau tidak hanya mengkritik Bid'ah yang bersifat jelas, tetapi juga menjelaskan kategori-kategori Bid'ah yang seringkali dianggap remeh atau bahkan dianggap sebagai kebaikan (Bid'ah Hasanah), dengan memberikan pemahaman yang komprehensif bahwa konsep Bid'ah Hasanah adalah konsep yang bertentangan dengan definisi syar'i tentang Bid'ah.
Pendekatan ini seringkali menuntut kesabaran dan kejelasan argumentasi, karena penolakan terhadap Bid'ah seringkali berbenturan dengan tradisi yang telah mengakar di masyarakat. Syaikh Abi Daud selalu menggunakan rujukan dari ulama-ulama Ahlus Sunnah terdahulu dan kontemporer untuk memperkuat hujah beliau, memastikan bahwa seruan beliau bukanlah pendapat pribadi, melainkan kesepakatan metodologis para ulama salaf.
Dalam bidang Fiqih, Syaikh Abi Daud mengajarkan pentingnya kembali kepada dalil yang paling kuat, tanpa fanatisme buta terhadap madzhab tertentu (ta’assub madzhabi). Meskipun beliau sangat menghormati empat madzhab fiqih yang masyhur, beliau senantiasa mendorong para penuntut ilmu untuk mempelajari dalil di balik setiap pendapat. Metodologi ini menuntut penuntut ilmu untuk: (1) Memastikan keotentikan dalil (shahih atau dha’if), (2) Memahami konteks ayat atau hadits, (3) Membandingkan dalil-dalil yang tampak bertentangan (tarjih), dan (4) Mengambil kesimpulan yang paling mendekati kebenaran, sebagaimana dituntun oleh para ulama ahli hadits dan fiqih yang mumpuni.
Pendekatan ini menghasilkan fleksibilitas dalam menghadapi isu-isu fiqih kontemporer, namun tetap dalam koridor syar'i. Beliau membimbing umat untuk meninggalkan perdebatan yang tidak perlu (khilaf) dan fokus pada hal-hal yang disepakati (ijma'), serta bersikap toleran terhadap perbedaan pendapat yang memang memiliki dasar dalil yang kuat di kalangan ulama mu'tabar, asalkan tidak menyentuh masalah pokok akidah.
Meskipun dikenal karena ketegasannya dalam Tauhid dan Sunnah, dakwah Syaikh Abi Daud sangat menekankan pentingnya perbaikan akhlak dan hubungan antar sesama (Muamalah). Beliau berulang kali mengingatkan bahwa kebenaran akidah harus tercermin dalam perilaku sehari-hari, termasuk kejujuran dalam berdagang, keadilan dalam memimpin, dan keramahan dalam berinteraksi sosial. Pendidikan *Tazkiyatun Nufus* (pembersihan jiwa) diintegrasikan ke dalam kurikulum pembelajaran, memastikan bahwa pengetahuan yang diperoleh tidak hanya mendarat di akal, tetapi juga menghujam di hati, menghasilkan perubahan positif dalam karakter individu dan komunitas.
Dalam konteks muamalah finansial, beliau seringkali membahas secara mendalam larangan riba dan pentingnya transaksi yang syar'i, mengingat kompleksitas sistem ekonomi modern. Kajian-kajian beliau memberikan panduan praktis bagi para pengusaha dan masyarakat umum agar dapat menjalani kehidupan ekonomi yang halal dan berkah, menekankan bahwa integritas moral adalah bagian tak terpisahkan dari Manhaj Salaf.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman Manhaj yang beliau sampaikan, diperlukan waktu yang lama dan pengulangan materi yang sistematis. Syaikh Abi Daud menekankan bahwa Manhaj bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari dalam semalam. Ini adalah proses pendidikan yang berkelanjutan, dimulai dari pemahaman terhadap Ushul Tsalatsah (Tiga Landasan Utama) dan Qawa'idul Arba' (Empat Kaidah Utama), hingga ke matan-matan yang lebih tinggi dalam akidah seperti Kitab At-Tauhid. Beliau memastikan bahwa para penuntut ilmu memahami urutan prioritas ini, yaitu mendahulukan akidah sebelum fiqih, dan mendahulukan ilmu sebelum amal.
Dalam menghadapi perbedaan pandangan di kalangan internal ahlus sunnah, Syaikh Abi Daud menyerukan persatuan di atas kebenaran, bukan persatuan di atas kepentingan. Prinsip *al-wala' wal-bara'* (loyalitas dan penolakan) juga diajarkan dengan bijaksana, yakni loyalitas penuh hanya kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin, serta berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan, kekufuran, dan bid'ah, tanpa harus jatuh ke dalam ekstremisme atau kekerasan. Beliau mengajarkan bahwa dakwah harus dilakukan dengan hikmah (kebijaksanaan) dan mau'izah hasanah (nasihat yang baik), sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Aspek penting lainnya dalam Manhaj yang beliau tegaskan adalah sikap terhadap pemerintah (ulil amri). Beliau secara konsisten mengajarkan prinsip-prinsip ketaatan dalam kebaikan dan menasihati penguasa secara rahasia (sirr) sesuai tuntunan syariat. Pandangan beliau ini sangat penting dalam menjaga stabilitas sosial dan mencegah umat dari terjerumus ke dalam pemikiran-pemikiran khawarij atau takfiri yang dapat merusak persatuan bangsa dan agama.
Fondasi keilmuan yang luas dan terstruktur.
Kontribusi keilmuan Syaikh Abi Daud tidak hanya terbatas pada ceramah dan nasihat, tetapi juga melalui pengajaran kitab-kitab induk (mutun) dan penjelasan (syarh) yang mendalam, terutama dalam dua disiplin ilmu yang paling fundamental: Akidah dan Fiqih. Pendekatan beliau selalu menekankan pentingnya penguasaan teks asli (Al-Qur'an dan Sunnah) dan pemahaman yang sahih berdasarkan penjelasan para ulama terkemuka.
Dalam ranah Akidah, Syaikh Abi Daud dikenal sangat detail dan sistematis. Beliau sering mengajarkan matan-matan Akidah yang menjadi rujukan utama Ahlus Sunnah, seperti *Aqidah Thahawiyah*, *Lum'atul I'tiqad*, *Kitab At-Tauhid* karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan karya-karya sejenis lainnya. Metode pengajaran beliau melibatkan analisis teks per kalimat, menyoroti implikasi praktis dari setiap poin akidah, dan membandingkannya dengan penyimpangan-penyimpangan yang ada dalam sejarah maupun kontemporer.
Salah satu kontribusi pentingnya adalah upaya beliau dalam menterjemahkan dan menjelaskan konsep-konsep Akidah yang terkadang abstrak menjadi sesuatu yang relevan bagi masyarakat Indonesia. Misalnya, ketika membahas tentang Qadha dan Qadar (ketetapan dan takdir), beliau tidak hanya menjelaskan dari sisi teologis, tetapi juga dari sisi psikologis dan motivasi, mengajarkan bagaimana keimanan yang benar terhadap takdir dapat menumbuhkan kesabaran, tawakkal, dan menjauhkan dari fatalisme pasif. Kedalaman penjelasan ini menunjukkan kematangan beliau dalam menguasai disiplin ilmu ini.
Di bidang Fiqih, kajian Syaikh Abi Daud mencakup spektrum yang luas, mulai dari ibadah dasar (Thaharah, Shalat, Zakat, Puasa, Haji) hingga fiqih muamalat (transaksi) dan munakahat (pernikahan). Beliau sering merujuk pada karya-karya fiqih muqaran (perbandingan madzhab), memastikan bahwa pendengar mendapatkan gambaran menyeluruh tentang berbagai pendapat ulama, dan kemudian diarahkan untuk memilih pendapat yang paling kuat dalilnya (rajih).
Kajian fiqih kontemporer menjadi area di mana beliau menunjukkan keahliannya dalam ijtihad yang terikat pada dalil. Dalam menghadapi masalah-masalah baru yang muncul di era digital, sistem perbankan modern, dan isu-isu kedokteran, beliau memberikan fatwa dan penjelasan yang berpegang teguh pada Ushul Fiqih. Fatwa-fatwa beliau seringkali menjadi rujukan bagi komunitas muslim yang mencari kejelasan hukum dalam menghadapi kompleksitas kehidupan modern, menunjukkan bahwa ajaran Salaf relevan di setiap zaman.
Penguasaan ilmu Hadits adalah fondasi metodologi Manhaj Salaf, dan Syaikh Abi Daud sangat menekankan hal ini. Beliau mengajarkan pentingnya membedakan antara hadits yang shahih (valid) dan yang dha'if (lemah), serta mengkritisi tradisi yang didasarkan pada hadits-hadits yang tidak memiliki dasar kuat. Kajian beliau sering melibatkan penjelasan rinci tentang ilmu Musthalahul Hadits (terminologi hadits), memastikan bahwa para penuntut ilmu tidak mudah menerima begitu saja setiap riwayat yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Melalui pengajaran kitab-kitab hadits primer, seperti Shahih Bukhari dan Muslim, serta koleksi Sunan lainnya, beliau membantu umat memahami bagaimana menerapkan Sunnah dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sebagai pengetahuan teoretis, tetapi sebagai panduan praktis. Dedikasinya terhadap Hadits menunjukkan upayanya untuk memelihara otentisitas sumber hukum Islam kedua.
Dalam lingkungan dakwah yang seringkali dihadapkan pada ekstremitas, baik ekstrem liberalisasi agama maupun ekstrem radikalisme, Syaikh Abi Daud memainkan peran penting dalam membina pemahaman Islam yang moderat (wasathiyah) namun tetap konsisten pada prinsip Salaf. Moderasi yang beliau ajarkan bukanlah kompromi terhadap akidah, melainkan penerapan akhlak Islam dan menghindari sikap berlebihan (ghuluw) dalam beragama. Beliau mengajarkan para murid untuk berinteraksi dengan masyarakat yang berbeda pandangan tanpa meninggalkan kebenaran, meneladani sikap Nabi yang tegas dalam masalah Tauhid namun lembut dalam bermuamalah.
Hal ini terlihat jelas dalam cara beliau menjawab keraguan (syubhat) yang sering disebarkan oleh kelompok-kelompok yang menentang Manhaj Salaf. Jawaban beliau selalu bersifat ilmiah, tenang, dan didukung oleh dalil yang kuat, menjauhkan diri dari polemik emosional yang tidak produktif. Kemampuan ini menjadikan beliau sebagai benteng intelektual yang melindungi umat dari serangan pemikiran sesat dan faham-faham takfiri yang merugikan. Beliau mendemonstrasikan bahwa ketegasan dalam prinsip harus dibarengi dengan kelembutan dalam penyampaian.
Warisan keilmuan beliau juga terwujud dalam rekaman-rekaman ceramah yang sangat terstruktur, yang kini tersebar luas melalui media digital. Rangkaian kajian beliau tentang Tafsir Al-Qur'an, Syarh Hadits Arba'in Nawawiyah, dan seri Fiqih Ibadah telah menjadi rujukan wajib bagi ribuan penuntut ilmu di Indonesia dan Asia Tenggara. Format penyampaian yang metodologis—dimulai dari definisi, dalil, pandangan ulama, dan kesimpulan—membuat materi yang beliau sampaikan mudah dicerna oleh berbagai tingkatan audiens, dari pemula hingga yang sudah bergelar akademis.
Secara khusus, pembahasan beliau mengenai Fiqih Dakwah (prinsip-prinsip berdakwah) memberikan kerangka kerja yang solid bagi para da'i muda. Beliau mengajarkan bahwa prioritas utama dakwah adalah pendidikan (tarbiyah), dan bahwa perubahan dalam masyarakat dimulai dari perbaikan individu. Pendekatan bertahap (tadarruj) dalam dakwah ini memastikan bahwa umat tidak terbebani oleh hukum-hukum yang belum mereka kuasai akidahnya, mencerminkan pemahaman mendalam beliau terhadap Sirah Nabawiyah dan metodologi para Nabi.
Pentingnya membangun institusi pendidikan berbasis Sunnah.
Kesadaran bahwa ilmu harus diwariskan melalui jalur pendidikan formal dan non-formal mendorong Syaikh Abi Daud untuk fokus pada pendirian dan pengembangan institusi pendidikan. Beliau memahami bahwa ceramah mingguan saja tidak cukup untuk membentuk pemahaman yang mendalam dan karakter yang kuat; diperlukan proses Tarbiyah (pendidikan dan pembinaan) yang intensif dan berkelanjutan.
Filosofi pendidikan yang diterapkan di lembaga-lembaga yang beliau naungi atau pengaruhi selalu berakar pada empat pilar: Akidah Shahihah, Ibadah Shahihah, Akhlak Karimah, dan Muamalah yang benar. Kurikulum disusun secara spiral, di mana materi dasar (seperti menghafal Juz Amma dan matan-matan kecil) diulang dan diperdalam pada jenjang yang lebih tinggi. Ini memastikan bahwa siswa tidak hanya menghafal, tetapi juga memahami dan menginternalisasi ajaran-ajaran tersebut.
Berbeda dengan sistem pendidikan konvensional yang mungkin memisahkan ilmu agama dan ilmu dunia, model tarbiyah yang beliau usung menekankan integrasi. Ilmu-ilmu umum dipelajari dengan kesadaran bahwa semua adalah ciptaan Allah, sementara ilmu agama menjadi ruh yang mengarahkan penggunaan ilmu duniawi. Tujuannya adalah mencetak kader umat yang kompeten di bidang dunia, tetapi memiliki komitmen keagamaan yang teguh dan tidak mudah terombang-ambing oleh arus pemikiran sekuler.
Salah satu hasil terpenting dari upaya pendidikan beliau adalah kaderisasi da'i dan guru yang kini tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Beliau tidak hanya fokus mengajar masyarakat awam, tetapi secara khusus memberikan perhatian pada pembinaan calon-calon pendakwah. Kaderisasi ini melibatkan penekanan pada metodologi penyampaian, etika berdakwah, dan kemampuan menghadapi perdebatan (munazharah) secara ilmiah.
Para lulusan dari institusi yang beliau kelola diajarkan untuk menjadi agen perubahan yang sabar dan bijaksana, memulai dakwah dari keluarga dan lingkungan terdekat sebelum menjangkau ranah publik yang lebih luas. Hal ini menciptakan efek berantai di mana ilmu yang beliau ajarkan terus beregenerasi dan menyebar ke berbagai penjuru, memastikan keberlangsungan Manhaj Salaf di Nusantara.
Menyadari jangkauan teknologi di era modern, Syaikh Abi Daud dan timnya memanfaatkan media digital secara efektif. Rekaman kajian, ceramah, dan bahkan tanya jawab keagamaan diunggah dan diakses oleh jutaan umat. Penggunaan media sosial dan platform streaming tidak hanya memperluas jangkauan dakwah, tetapi juga mendemokratisasikan akses terhadap ilmu syar'i yang otentik, memecah sekat geografis dan sosial. Ini adalah bukti bahwa beliau adalah seorang ulama yang adaptif terhadap sarana dakwah kontemporer, asalkan substansi ajaran tetap terjaga.
Sistem pendidikan yang dibangun berdasarkan arahan beliau memiliki kekhasan dalam hal penekanan pada *Talaqqi* (pembelajaran tatap muka dan langsung dari guru). Meskipun memanfaatkan teknologi, interaksi langsung antara guru dan murid dianggap tidak tergantikan, karena di sanalah terjadi transfer *adab* dan *ruhaniyyah* (nilai spiritual) yang esensial dalam menuntut ilmu. Para siswa diajarkan untuk menghormati ilmu dan waktu, serta memiliki kedisiplinan yang tinggi dalam menghafal dan muraja'ah (mengulang pelajaran).
Struktur kurikulum formal yang beliau cetuskan tidak hanya meliputi mata pelajaran Akidah dan Fiqih, tetapi juga fokus pada Tafsir Al-Qur'an dan Sirah Nabawiyah (sejarah Nabi). Pembelajaran Sirah tidak hanya dilakukan secara naratif, tetapi dianalisis untuk mengambil pelajaran strategis dan taktis dalam berdakwah dan berinteraksi sosial. Pemahaman terhadap sejarah awal Islam ini dianggap vital agar para siswa memiliki kerangka referensi yang kuat mengenai bagaimana Islam seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Lebih jauh lagi, peran Syaikh Abi Daud dalam pendidikan juga mencakup pembinaan keluarga muslim. Beliau sering menyampaikan kajian yang ditujukan khusus untuk pasangan suami istri, orang tua, dan anak-anak, menekankan bahwa keluarga adalah madrasah (sekolah) pertama dan utama. Dengan fokus pada perbaikan unit keluarga, beliau bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang Islami dari level terkecil, menyadari bahwa kerusakan sosial seringkali berakar pada kerapuhan pondasi rumah tangga. Materi-materi tentang fiqih munakahat, tarbiyatul aulad (pendidikan anak), dan hak-hak pasangan disajikan dengan detail dan praktis.
Dukungan beliau terhadap lembaga-lembaga Tahfizh Al-Qur'an juga sangat signifikan. Beliau percaya bahwa hafalan Al-Qur'an yang diikuti dengan pemahaman adalah fondasi intelektual dan spiritual terbaik bagi seorang muslim. Upaya ini memastikan bahwa Al-Qur'an tidak hanya dibaca dan dihafal, tetapi juga dijadikan pedoman hidup, menghubungkan generasi muda secara langsung dengan kalamullah dan Sunnah Nabi-Nya ﷺ.
Transmisi ilmu melalui sanad dan kaderisasi.
Pengaruh seorang ulama tidak diukur dari ketenaran sesaat, melainkan dari keberlangsungan warisan keilmuan dan metodologi yang ditinggalkan. Warisan Syaikh Abi Daud Hasbi adalah warisan yang bersifat institusional dan personal, mencakup ribuan jam ceramah yang terekam, alumni yang loyal terhadap manhaj, serta perubahan fundamental dalam cara pandang masyarakat terhadap ajaran Islam yang murni.
Di era informasi, kontribusi terbesar beliau terletak pada pendokumentasian ilmu. Hampir seluruh kajian beliau tersedia secara luas di platform daring. Hal ini memungkinkan siapa pun, dari kota besar hingga pelosok, untuk mengakses pelajaran berkualitas tinggi mengenai Akidah dan Fiqih. Aksesibilitas ini telah menciptakan fenomena 'belajar jarak jauh' di kalangan komunitas Salaf, menjadikan beliau sebagai salah satu ulama yang paling banyak didengarkan rekamannya di Indonesia.
Dampak digital ini juga mencakup materi tertulis. Berbagai transkrip dan ringkasan kajian beliau diolah menjadi buku saku atau e-book, memudahkan proses *muraja'ah* (pengulangan) bagi para penuntut ilmu. Integrasi antara metode pengajaran klasik (Talaqqi Kitab) dan sarana modern (YouTube, podcast) adalah formula sukses yang memastikan dakwah beliau relevan dan berkelanjutan.
Apresiasi terhadap Syaikh Abi Daud datang dari berbagai lapisan masyarakat, baik dari kalangan ulama sezaman maupun dari masyarakat awam yang merasa tercerahkan oleh dakwahnya. Konsistensi beliau dalam menyampaikan kebenaran tanpa takut celaan (laumah la'im) dan kehati-hatian beliau dalam mengeluarkan fatwa, mendapatkan penghormatan luas. Pengakuan dari ulama-ulama besar di luar negeri juga memperkuat posisi beliau sebagai rujukan yang kredibel dalam Manhaj Salaf di Asia Tenggara.
Umat menghargai keteladanan beliau dalam menerapkan ilmu, di mana kesahajaan hidup, jauh dari gemerlap duniawi, menjadi cerminan dari Tauhid yang beliau ajarkan. Kehidupan beliau menjadi bukti nyata bahwa seorang da'i sejati adalah orang yang paling pertama mengamalkan apa yang ia sampaikan.
Warisan paling berharga dari seorang ulama adalah murid-muridnya. Alumni yang dididik langsung oleh Syaikh Abi Daud kini menduduki posisi penting sebagai da'i, asatidz, dan pemimpin komunitas di berbagai daerah. Mereka meneruskan metodologi pengajaran yang sama: mengutamakan Tauhid, berpegang pada Sunnah, dan berdakwah dengan hikmah. Keberadaan jaringan alumni ini memastikan bahwa upaya dakwah yang telah beliau rintis tidak akan terhenti, melainkan terus berkembang dan beradaptasi sesuai kebutuhan zaman.
Pengaruh Syaikh Abi Daud meluas hingga ke ranah pemikiran Islam secara umum, memberikan kontribusi signifikan dalam upaya membentengi umat dari faham-faham ekstrem yang muncul dari luar atau dari dalam tubuh umat Islam sendiri. Beliau secara konsisten menasihati untuk berhati-hati terhadap *fitnah* (ujian dan kekacauan) yang bersifat pemikiran maupun politik. Dalam ceramah-ceramah yang menyentuh isu-isu kontroversial, beliau selalu mengembalikan penyelesaian masalah kepada kaidah-kaidah ilmu syar'i, menyerukan ketenangan dan menjauhkan umat dari reaksi-reaksi emosional yang tidak diatur oleh syariat. Sikap moderat dalam bermuamalah, tetapi tegas dalam akidah, ini adalah ciri khas yang berhasil beliau tanamkan pada para pengikutnya.
Salah satu kekhawatiran terbesar beliau yang sering diungkapkan adalah risiko pendangkalan ilmu, di mana umat cenderung mencari fatwa instan tanpa dasar yang kuat. Oleh karena itu, melalui institusi yang ada, beliau memperjuangkan sistem pendidikan yang membutuhkan komitmen jangka panjang. Tujuannya adalah agar generasi penerus memiliki kemampuan kritis dalam memilah informasi keagamaan dan tidak bergantung sepenuhnya pada fatwa-fatwa di media sosial. Beliau mengajarkan bagaimana cara menimbang dalil, membedakan antara pendapat ulama, dan memahami bahwa mencari kebenaran memerlukan usaha dan pengorbanan yang tidak sedikit. Warisan ini adalah penekanan pada kualitas, bukan hanya kuantitas, dalam penuntut ilmu.
Secara kolektif, warisan Syaikh Abi Daud Hasbi adalah sebuah gerakan keilmuan yang terstruktur dan terlembaga. Beliau telah meletakkan fondasi yang kuat bagi kelangsungan dakwah Manhaj Salaf di Indonesia, yang tidak hanya berbasis pada karisma individu, tetapi pada kekuatan metodologi. Dengan fokus yang tak tergoyahkan pada Tauhid, Sunnah, dan Tarbiyah, beliau telah mendedikasikan hidupnya untuk memastikan bahwa ajaran Islam yang otentik dapat dipelajari, dipahami, dan diamalkan oleh generasi demi generasi umat Muslim di Nusantara. Kontribusi beliau adalah mercusuar ilmu yang sinarnya akan terus membimbing umat jauh ke masa depan.
Dedikasi beliau dalam membangun kurikulum yang komprehensif, mulai dari tingkat dasar hingga jenjang kajian ulama, menunjukkan visi jangka panjangnya. Kurikulum ini dirancang sedemikian rupa agar setiap alumni tidak hanya menjadi penghafal dalil, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menganalisis dan mengaplikasikan dalil tersebut dalam kehidupan nyata. Ini adalah esensi dari Fiqih: pemahaman yang mendalam. Warisan ini menjadi sangat penting mengingat dinamika sosial dan politik yang menuntut umat Islam untuk memiliki pemahaman agama yang kokoh dan tidak mudah digoyahkan oleh propaganda atau ideologi asing. Pembekalan akidah dan fiqih yang beliau berikan berfungsi sebagai imunisasi intelektual bagi umat.
Terakhir, dapat disimpulkan bahwa Syaikh Abi Daud Hasbi adalah seorang ulama yang berhasil mengombinasikan ketegasan metodologis ulama klasik dengan kebutuhan dakwah kontemporer di Indonesia. Beliau meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam bentuk ilmu yang diajarkan, institusi yang didirikan, dan ribuan murid yang meneruskan perjuangan menegakkan Tauhid dan Sunnah. Warisan ini akan terus menjadi sumber inspirasi dan rujukan bagi umat Islam di Indonesia dalam meniti jalan lurus keagamaan.