Dalam lanskap studi komunikasi dan ilmu sosial, nama Teun A. van Dijk kerap diasosiasikan dengan pendekatan analitis yang mendalam terhadap wacana. Ia bukan sekadar menganalisis teks atau percakapan, melainkan membongkar bagaimana wacana membentuk, merefleksikan, dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Konsep "wacana kritis" yang dikembangkannya menawarkan lensa unik untuk memahami relasi kompleks antara bahasa, ideologi, dan struktur sosial.
Pada dasarnya, wacana kritis menurut Van Dijk melihat bahasa bukan sebagai entitas netral. Sebaliknya, bahasa adalah arena pertarungan ideologi, tempat di mana prasangka, stereotip, dan ketidaksetaraan dapat disebarluaskan, diperkuat, atau bahkan ditantang. Van Dijk berpendapat bahwa analisis wacana tradisional seringkali terfokus pada tingkat permukaan linguistik, mengabaikan konteks sosial, historis, dan kekuasaan yang mendasarinya. Wacana kritis berusaha melampaui itu dengan mengintegrasikan analisis linguistik dengan teori-teori sosial, politik, dan psikologi kognitif.
Fokus utama Van Dijk adalah bagaimana kekuasaan sosial itu terartikulasi melalui wacana. Ia mengamati bagaimana kelompok dominan menggunakan bahasa untuk melegitimasi posisi mereka, mendiskreditkan kelompok lain, atau membentuk pemahaman publik yang menguntungkan mereka. Sebaliknya, ia juga meneliti bagaimana kelompok marginal dapat menggunakan wacana untuk menantang kekuasaan dan menyuarakan kepentingan mereka.
Van Dijk mengembangkan kerangka kerja analisis yang multidimensional. Ia mengidentifikasi tiga dimensi utama dalam analisis wacana kritis:
Salah satu kontribusi paling signifikan dari Van Dijk adalah analisisnya terhadap wacana rasisme, seksisme, dan bentuk-bentuk ketidaksetaraan lainnya. Ia menunjukkan bagaimana prasangka dapat diekspresikan secara halus melalui bahasa, seringkali dalam bentuk yang sulit dibantah secara langsung. Misalnya, penggunaan kata-kata yang merendahkan, generalisasi yang berlebihan, atau penghilangan informasi penting tentang kelompok minoritas dapat memperkuat stereotip negatif.
Van Dijk memperkenalkan konsep "prasangka terselubung" atau "racism without racists," di mana prasangka tidak lagi diungkapkan secara terbuka dan kasar, melainkan disamarkan dalam bentuk klaim yang tampak rasional atau objektif. Analisisnya terhadap wacana politik dan media massa mengungkapkan bagaimana bahasa dapat digunakan untuk memanipulasi opini publik, menciptakan "musuh bersama," atau membenarkan kebijakan yang merugikan kelompok tertentu.
"Wacana tidak hanya mencerminkan realitas sosial, tetapi juga secara aktif membentuknya."
Pendekatan Van Dijk tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga preskriptif. Ia mendorong para analis untuk menjadi kritis terhadap wacana yang mereka temui, untuk mempertanyakan siapa yang diuntungkan oleh wacana tersebut, dan untuk membongkar mekanisme kekuasaan yang bekerja di baliknya. Tujuannya adalah untuk mempromosikan kesadaran kritis dan mendukung upaya menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.
Dalam era informasi digital yang pesat, di mana berita, opini, dan narasi menyebar dengan kecepatan kilat, wacana kritis Van Dijk menjadi semakin relevan. Analisis media sosial, kampanye politik online, dan penyebaran disinformasi dapat dipahami dengan lebih baik melalui lensa teorinya. Kemampuannya untuk mengaitkan pilihan linguistik dengan struktur kekuasaan sosial memberikan alat yang ampuh bagi siapa saja yang ingin memahami bagaimana narasi publik dibentuk dan bagaimana pengaruhnya terhadap masyarakat.
Memahami wacana kritis Van Dijk berarti kita tidak lagi hanya mendengarkan apa yang dikatakan, tetapi juga mempertanyakan mengapa itu dikatakan, oleh siapa, dan apa dampaknya. Ini adalah undangan untuk menjadi pembaca dan pendengar yang lebih cerdas, serta partisipan yang lebih sadar dalam percakapan publik.