I. Gerbang Barat Banyumas: Pengantar Tumiyang dan Pekuncen
Wilayah Banyumas, dikenal sebagai salah satu poros kebudayaan Jawa Ngapak, menyimpan segudang kisah yang tersembunyi di balik lanskap alamnya yang subur. Di antara sekian banyak kecamatan dan desa yang membentuk mosaik budaya ini, Kecamatan Pekuncen dan Desa Tumiyang berdiri sebagai titik vital, terutama dalam konteks geografis dan historis sebagai pintu gerbang barat. Tumiyang, sebagai bagian integral dari Pekuncen, tidak hanya sekadar nama administratif, melainkan sebuah penanda peradaban agraris yang telah berlangsung turun-temurun, diapit oleh topografi perbukitan yang menjulang dan sistem irigasi yang menghidupi lahan-lahan sawah yang luas.
Untuk memahami kedalaman Tumiyang, kita harus terlebih dahulu menyelami makna filosofis dari induknya, Pekuncen. Kata ‘Pekuncen’ berasal dari kata dasar ‘kunci’ (key), yang dalam konteks tradisional Jawa sering diartikan sebagai penjaga, pengaman, atau bahkan pusat rahasia spiritual. Wilayah-wilayah yang dinamai ‘Pekuncen’ di berbagai daerah umumnya memiliki kaitan erat dengan peran sentralitas, baik sebagai benteng pertahanan, lokasi makam tokoh penting, atau tempat di mana ilmu pengetahuan lokal (pepadi) disimpan dan dilindungi. Di Banyumas, Pekuncen memiliki nuansa keduanya—sebagai area transisi yang strategis dan sebagai simpul spiritual yang menjaga kearifan lokal.
Tumiyang sendiri, dengan hamparan sawah dan ladang yang menjadi ciri khas utamanya, merepresentasikan esensi kehidupan Banyumas: kesederhanaan, kemandirian, dan kedekatan yang tak terpisahkan dengan alam. Artikel ini akan membawa pembaca menyusuri setiap lapisan Tumiyang dan Pekuncen, dari struktur geografisnya yang unik, akar-akar sejarahnya yang bersinggungan dengan kerajaan kuno, hingga kekayaan tradisi lisan dan ritual yang masih lestari di tengah gempuran modernisasi.
II. Lingkungan Alam dan Topografi Tumiyang
Lokasi Tumiyang di Pekuncen menempatkannya pada transisi antara dataran rendah Banyumas dan lereng-lereng pegunungan di sebelah utara dan barat, menjadikannya daerah yang memiliki kontur tanah yang sangat bervariasi. Secara umum, Pekuncen terletak di bagian barat laut Kabupaten Banyumas, berbatasan langsung dengan Kabupaten Brebes di sisi utara. Ketinggian tempat ini memberikan curah hujan yang optimal untuk pertanian, namun juga menuntut adaptasi infrastruktur yang cermat, terutama terkait pencegahan erosi dan pengaturan tata air.
Peran Sungai dan Irigasi dalam Kehidupan Tumiyang
Air adalah denyut nadi kehidupan Tumiyang. Beberapa sungai kecil dan anak sungai mengalir melintasi wilayah ini, sebagian besar merupakan bagian dari sistem daerah aliran sungai (DAS) yang lebih besar yang bermuara ke selatan. Sistem irigasi di Tumiyang, sebagian besar merupakan warisan turun temurun yang dikelola secara komunal, mencerminkan kearifan lokal dalam membagi dan memanfaatkan sumber daya air secara adil. Filosofi pengelolaan air di sini tidak hanya didasarkan pada perhitungan teknis, tetapi juga spiritual, di mana air sering kali dianggap sebagai berkah dari Dewi Sri (Dewi Padi).
Pengelolaan irigasi, yang dikenal dengan istilah subak
(meskipun istilah ini lebih lekat di Bali, konsep pengelolaan air komunal juga kuat di Banyumas dan sering disebut sebagai paguyuban banyu
atau sebutan lokal lainnya), menjadi pusat pertemuan sosial dan ekonomi masyarakat. Pertemuan-pertemuan rutin untuk membahas pembagian air, perbaikan saluran, hingga ritual sebelum musim tanam, menunjukkan kuatnya kohesi sosial. Kegagalan panen jarang terjadi, bukan hanya karena kesuburan tanahnya yang berasal dari material vulkanik, tetapi juga karena disiplin yang ketat dalam siklus tanam dan pemeliharaan saluran air. Pembangunan dan pemeliharaan bendungan sederhana, yang seringkali dilakukan secara gotong royong, merupakan manifestasi nyata dari ketahanan masyarakat agraris ini.
Karakteristik Demografi dan Pola Permukiman
Meskipun berada di jalur utama yang menghubungkan antar-kabupaten, pola permukiman di Tumiyang cenderung linear, mengikuti jalur jalan utama dan aliran irigasi. Rumah-rumah tradisional yang masih tersisa, dibangun dengan konsep rumah limasan atau joglo sederhana khas Banyumasan, menunjukkan orientasi kehidupan yang menghadap ke lahan pertanian. Karakteristik masyarakat Tumiyang dikenal dengan etos kerja kerasnya, yang dipengaruhi oleh budaya Ngapak yang lugas dan terbuka. Sebagian besar penduduknya masih menggantungkan hidup pada sektor primer—pertanian, perkebunan, dan peternakan skala kecil.
Meskipun demikian, sektor pendidikan dan perantauan juga menjadi faktor penting. Banyak generasi muda Tumiyang yang merantau ke kota-kota besar, namun ikatan dengan tanah kelahiran tetap kuat. Fenomena ‘pulang kampung’ saat Hari Raya menjadi puncak mobilitas, di mana tradisi dan nilai-nilai lokal dihidupkan kembali secara massal. Keseimbangan antara kemajuan dan pelestarian tradisi inilah yang terus membentuk karakter demografi Tumiyang.
III. Menelusuri Akar Sejarah: Asal Usul Pekuncen dan Tumiyang
Kisah tentang Tumiyang dan Pekuncen tidak dapat dilepaskan dari narasi besar sejarah Jawa bagian barat, yang merupakan wilayah perbatasan antara pengaruh Kerajaan Sunda (Pajajaran) dan kerajaan-kerajaan Jawa Tengah (Mataram, Pajang). Banyumas, secara umum, adalah wilayah Manca Negara Kulon
(Negara pinggiran barat) yang sering menjadi zona penyangga politik dan militer.
Filosofi Nama Pekuncen: Penjaga Kunci
Istilah Pekuncen (Pa-kunci-an
) menunjukkan sebuah tempat yang memiliki fungsi khusus sebagai lokasi penyimpanan, pengamanan, atau lokasi di mana seorang kunci
(juru kunci/penjaga) bertempat tinggal atau bertugas. Dalam konteks Jawa, kunci bisa berarti:
- Kunci Makam Keramat: Tempat tinggal juru kunci makam tokoh penting penyebar agama atau pendiri desa.
- Kunci Wilayah Strategis: Pos pertahanan atau penjagaan di perbatasan.
- Kunci Pengetahuan: Tempat di mana naskah kuno atau ajaran spiritual dijaga.
Di Pekuncen Banyumas, interpretasi paling kuat merujuk pada poin kedua dan ketiga. Sebagai gerbang barat, Pekuncen mungkin berperan sebagai pos penjagaan kuno yang mengawasi lalu lintas dan potensi ancaman dari arah barat. Selain itu, ada dugaan kuat bahwa wilayah ini pernah menjadi pusat penyebaran awal Islam atau Kejawen di Banyumas bagian barat, di mana para kiai atau tokoh spiritual memegang ‘kunci’ pengetahuan agama dan tradisi, sehingga tempat tinggal mereka menjadi Pekuncen
yang dihormati.
Legenda Asal Nama Tumiyang
Asal-usul nama Tumiyang lebih banyak bersandar pada cerita rakyat (folklore) dan dikaitkan dengan aktivitas agraris atau tokoh pendiri desa. Salah satu versi menyebutkan bahwa Tumiyang berasal dari kata tumi
yang bisa dihubungkan dengan proses menanam atau aktivitas berkebun yang sangat intens. Versi lain, yang lebih mistis, menghubungkan nama Tumiyang dengan tokoh spiritual yang miyangi
(membersihkan atau menyucikan) wilayah tersebut dari unsur-unsur negatif, menjadikannya lahan yang subur dan aman untuk ditinggali.
Meskipun catatan sejarah tertulis mengenai pendirian Tumiyang mungkin langka atau tersebar, kesinambungan budaya menunjukkan bahwa permukiman di wilayah ini telah ada sejak lama, jauh sebelum era kolonial. Posisinya yang dekat dengan jalur perdagangan tua yang menghubungkan dataran tinggi Dieng dan pesisir selatan turut membentuk dinamika sosial dan ekonominya. Jejak-jejak purbakala, meskipun belum sepenuhnya terekskavasi secara masif, sering ditemukan dalam bentuk peninggalan perkakas batu atau pecahan gerabah, menguatkan indikasi penghunian prasejarah.
Sejarah Pekuncen dan Tumiyang adalah sejarah tentang ketahanan dan adaptasi. Mereka adalah saksi bisu perpaduan budaya Jawa dan Sunda yang membentuk karakter unik Ngapak—lugas, bersahaja, namun kaya akan kearifan spiritual yang mendalam.
Pada masa kolonial Belanda, Pekuncen menjadi salah satu onderdistrik
yang penting karena lokasinya yang strategis untuk pengawasan perkebunan dan jalur transportasi komoditas. Infrastruktur yang dibangun pada masa itu, seperti beberapa jembatan tua dan sisa-sisa jalur kereta api non-aktif, menjadi penanda interaksi antara tradisi lokal dan sistem administrasi modern yang mulai diterapkan di wilayah ini. Meskipun demikian, struktur sosial tradisional yang berpusat pada kepemimpinan kyai lokal dan sesepuh desa tetap dominan dalam mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat Tumiyang.
IV. Kekayaan Budaya Agraris Tumiyang: Ritual dan Kesenian Lokal
Kebudayaan di Tumiyang sangat dipengaruhi oleh siklus pertanian. Setiap tahapan tanam, dari pembukaan lahan hingga panen raya, diiringi oleh serangkaian ritual yang bertujuan untuk memohon berkah dan keselamatan, sekaligus menunjukkan rasa syukur kepada alam. Ritual-ritual ini merupakan perpaduan antara kepercayaan animisme lokal, tradisi Kejawen, dan ajaran Islam yang telah menyatu secara harmonis.
Ritual Nyadran dan Sedekah Bumi
Salah satu tradisi terpenting adalah Nyadran
atau Sedekah Bumi
. Acara ini biasanya dilaksanakan setelah masa panen besar atau pada waktu tertentu yang dianggap sakral oleh desa. Sedekah Bumi di Tumiyang bukan hanya sekadar acara makan bersama, tetapi sebuah upacara komunal yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Inti dari ritual ini adalah:
- Tumpengan: Penyajian nasi tumpeng dengan lauk pauk khas (seperti sayur
urap
, ayam ingkung, dan jajanan pasar) yang melambangkan kemakmuran dan keselarasan alam. - Doa Bersama: Pembacaan doa yang dipimpin oleh sesepuh atau rohaniwan desa, memohon agar musim tanam berikutnya dilindungi dari hama dan bencana.
- Bersih Desa: Kegiatan gotong royong membersihkan makam leluhur atau tempat-tempat keramat (
punden
) sebelum upacara puncak.
Tradisi Sedekah Bumi ini juga menjadi ajang untuk memperkuat ikatan kekeluargaan dan persaudaraan antar warga. Di sinilah nilai-nilai kolektivisme dan gotong royong dihidupkan kembali, memastikan bahwa setiap individu merasa terikat dan bertanggung jawab atas keselamatan dan kemakmuran desa secara keseluruhan.
Kesenian Khas Banyumasan
Meskipun kesenian Banyumasan memiliki ciri khas yang seragam, Tumiyang memiliki kekhasan dalam cara pelestariannya. Kesenian yang populer di sini meliputi:
Ebeg (Kuda Lumping Banyumas)
Ebeg, atau kuda lumping versi Banyumas, adalah tarian yang sangat energik dan mistis. Berbeda dengan kuda lumping dari daerah lain, Ebeg Banyumas menampilkan gerakan yang lebih lugas dan seringkali diiringi oleh alat musik calung atau gamelan sederhana yang bernada slendro
Banyumasan. Di Tumiyang, Ebeg sering ditampilkan saat hajatan besar atau bagian dari ritual Sedekah Bumi. Puncak pertunjukan adalah saat para penari mengalami ndadi
(trance) yang dipercaya sebagai manifestasi dari roh leluhur atau kekuatan gaib, yang kemudian memerlukan peran seorang pawang
atau juru sembuh untuk mengembalikannya ke kondisi normal. Kesenian ini tidak hanya menghibur, tetapi juga berfungsi sebagai media komunikasi spiritual dan pelestarian sejarah lisan.
Calung Banyumas
Calung, alat musik perkusi bambu, adalah identitas suara Banyumas. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, Calung dimainkan dengan cara dipukul. Irama Calung dari Pekuncen dan Tumiyang memiliki ciri khas yang riang dan terkadang kritis, seringkali diiringi oleh lagu-lagu yang berisi sindiran sosial atau pujian terhadap alam dan pertanian. Kelompok-kelompok Calung di Tumiyang memainkan peran penting dalam menjaga harmoni sosial, sering tampil dalam acara-acara desa dan menjadi pusat hiburan yang merakyat.
Kearifan Lokal dalam Bahasa
Masyarakat Tumiyang menggunakan dialek Banyumasan (Ngapak) yang sangat kental. Dialek ini dikenal karena kejujuran linguistiknya—apa yang diucapkan adalah apa yang dimaksud, minim basa-basi seperti pada Bahasa Jawa Baku (Krama Inggil). Karakter bahasa ini mencerminkan karakter sosial masyarakat Tumiyang: terbuka, terus terang, dan egaliter. Penggunaan bahasa Ngapak yang kuat juga menjadi benteng budaya terhadap homogenisasi bahasa dari Jawa Tengah bagian timur.
V. Jantung Agraris Banyumas Barat: Siklus Hidup dan Perekonomian Tumiyang
Tumiyang adalah cerminan sempurna dari masyarakat agraris pedalaman Jawa. Meskipun perkembangan industri mulai merambah Pekuncen secara umum, Tumiyang tetap memegang teguh identitasnya sebagai lumbung pangan lokal. Kehidupan ekonomi masyarakat di sini didominasi oleh pertanian padi sawah, disusul dengan perkebunan palawija, dan hasil hutan non-kayu.
Sistem Tanam dan Komoditas Unggulan
Sistem tanam di Tumiyang sangat bergantung pada irigasi teknis dan non-teknis. Mereka umumnya menerapkan sistem tumpangsari atau rotasi tanam untuk menjaga kesuburan tanah. Siklus utama meliputi:
- Musim Tanam Padi I (Rendheng): Dimulai setelah musim hujan tiba, menghasilkan panen utama.
- Musim Tanam Padi II (Gadu): Jika ketersediaan air mencukupi, panen kedua dapat dilakukan.
- Musim Palawija/Kacang-kacangan: Ditanam saat air mulai berkurang (kemarau), seperti jagung, kedelai, atau kacang tanah.
Selain padi, komoditas unggulan lainnya meliputi singkong (ketela pohon) yang menjadi makanan pokok alternatif, serta hasil perkebunan seperti kelapa (untuk diolah menjadi gula kelapa atau gula jawa
khas Banyumas), dan tanaman keras lainnya. Produksi gula kelapa dari nira (badeg) adalah industri rumahan yang signifikan di Pekuncen, termasuk di Tumiyang, memberikan pendapatan tambahan bagi keluarga petani saat jeda musim tanam.
Peran Pasar Tradisional dalam Ekonomi Lokal
Pasar tradisional di sekitar Pekuncen, yang menjadi pusat transaksi hasil bumi Tumiyang, memainkan peran vital. Di pasar ini, bukan hanya terjadi pertukaran barang, tetapi juga informasi, tradisi, dan pertemuan sosial. Petani Tumiyang membawa hasil panen segar, gula kelapa, dan hasil kerajinan bambu mereka. Sistem barter atau pertukaran barang dalam skala kecil, meskipun tidak lagi dominan, masih menjadi bagian dari memori kolektif dan terkadang dipraktikkan dalam interaksi antar-petani.
Pola ekonomi yang sangat berbasis pada alam ini menuntut masyarakat Tumiyang untuk memiliki pengetahuan yang mendalam tentang meteorologi lokal, yang sering diwariskan melalui sistem penanggalan Jawa (Pranata Mangsa). Pengetahuan ini sangat krusial untuk menentukan kapan waktu terbaik untuk membajak, menanam, dan memanen, meminimalkan risiko gagal panen akibat cuaca ekstrem.
Sub-Sektor Peternakan dan Perikanan
Peternakan, terutama sapi dan kambing, sering kali dijalankan sebagai usaha sampingan yang terintegrasi dengan pertanian (integrasi ternak dan tanaman). Kotoran ternak digunakan sebagai pupuk alami (organik) untuk sawah, sementara sisa hasil panen (jerami) digunakan sebagai pakan ternak. Selain itu, budidaya ikan air tawar di kolam-kolam sederhana atau di saluran irigasi (minapadi
—meskipun tidak seintensif daerah lain) turut menyumbang nutrisi dan pendapatan keluarga.
Tantangan Pembangunan Ekonomi Modern
Meskipun kaya akan potensi agraris, Tumiyang juga menghadapi tantangan modern. Urbanisasi, minimnya regenerasi petani muda, serta fluktuasi harga komoditas global seringkali mengancam keberlanjutan sektor pertanian tradisional. Oleh karena itu, inovasi, seperti pengembangan agrowisata berbasis kearifan lokal, mulai dipertimbangkan sebagai cara untuk mendiversifikasi ekonomi tanpa meninggalkan akar budaya agraris.
VI. Pekuncen: Kedalaman Filosofi 'Kunci' dan Spiritualisme Lokal
Jika Tumiyang adalah wujud fisik dari kesuburan, maka Pekuncen adalah dimensi spiritualnya. Makna kunci
di sini melampaui sekadar penjaga fisik; ia merujuk pada penjaga tradisi, moralitas, dan keseimbangan kosmik (mikrokosmos dan makrokosmos) di wilayah tersebut. Pemahaman ini sangat penting untuk memahami cara pandang hidup masyarakat setempat.
Kunci sebagai Penjaga Keseimbangan (Mijil)
Dalam kepercayaan Jawa, seorang Juru Kunci
atau Sesepuh
di Pekuncen memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan
alam. Mereka adalah mediator antara dunia manusia dan dunia spiritual. Tugas mereka adalah memastikan bahwa ritual-ritual desa (seperti Sedekah Bumi atau Nyadran) dilaksanakan dengan benar, sehingga alam tetap memberikan berkah dan bencana dapat dihindari.
Filosofi kunci ini mengajarkan pentingnya eling
(ingat) akan asal-usul, serta waspada
(berhati-hati) terhadap perubahan yang dapat merusak tatanan sosial dan alam. Kunci yang dipegang bukan berupa logam, melainkan berupa pengetahuan (ilmu) dan keteladanan (moralitas). Warga Tumiyang secara kolektif menghormati posisi ini, dan keputusan-keputusan penting desa seringkali melibatkan konsultasi dengan para penjaga tradisi.
Ajaran Kejawen dan Islam Sinkretis
Banyumas, sebagai wilayah transisi, memiliki corak keagamaan yang sinkretis, di mana ajaran Islam masuk dan berdialog dengan tradisi Kejawen yang telah mengakar. Di Pekuncen, spiritualisme ini terlihat jelas. Masjid dan musholla berdiri berdampingan dengan punden-punden keramat atau petilasan. Doa-doa yang dipanjatkan dalam ritual seringkali merupakan perpaduan antara doa dalam bahasa Arab dan mantra
dalam bahasa Jawa kuno.
Contoh nyata dari sinkretisme ini adalah praktik selamatan
(kenduri). Meskipun inti dari selamatan adalah memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa (sesuai ajaran Islam), tata cara penyajian makanan, penempatan sajen (sesaji simbolis), dan pemilihan waktu pelaksanaannya masih mengikuti tradisi Jawa kuno. Hal ini menunjukkan bahwa spiritualitas di Tumiyang adalah proses penerimaan dan penyesuaian yang telah berlangsung ratusan tahun.
Etika dan Moralitas Lokal
Filosofi kunci
juga menuntun etika sosial. Masyarakat Tumiyang menjunjung tinggi tatakrama
(sopan santun) dan unggah-ungguh
(tata krama) meskipun dalam dialek Ngapak yang lugas. Prinsip kejujuran, kerja keras, dan kepatuhan terhadap orang tua dan sesepuh adalah kunci utama harmoni sosial. Konflik diselesaikan melalui jalur musyawarah yang dipimpin oleh tokoh desa, menekankan pada upaya mencapai mufakat daripada memaksakan kehendak individu.
Pengajaran moral seringkali disampaikan melalui wayang kulit (meskipun tidak sepopuler di Purwokerto) atau melalui cerita-cerita rakyat yang diturunkan dalam keluarga. Nilai-nilai ini menjadi kunci pembentuk karakter generasi muda Tumiyang, menjaga mereka agar tetap berpegangan pada akar budaya meskipun terpapar arus informasi global.
VII. Bentuk dan Fungsi: Arsitektur Tradisional Tumiyang
Arsitektur tradisional di Tumiyang, Pekuncen, sebagian besar mengadopsi gaya rumah adat Banyumasan yang dipengaruhi oleh iklim tropis dan ketersediaan material lokal. Meskipun kini banyak rumah modern didominasi beton, sisa-sisa bangunan lama memberikan pelajaran berharga tentang kearifan lokal dalam membangun hunian yang selaras dengan alam.
Rumah Limasan dan Joglo Sederhana
Mayoritas rumah tradisional di Tumiyang berbentuk Limasan
atau Kampung
dengan atap yang sederhana. Berbeda dengan rumah bangsawan di Jawa Tengah bagian timur, rumah di Banyumas cenderung lebih fungsional dan minim ornamen ukiran yang berlebihan, mencerminkan sifat egaliter masyarakatnya.
Ciri khas arsitektur Tumiyang meliputi:
- Material Lokal: Penggunaan bambu (yang melimpah di wilayah Pekuncen) dan kayu jati atau nangka sebagai material utama. Dinding sering dibuat dari anyaman bambu (
gedhek
) yang memberikan sirkulasi udara optimal. - Tata Ruang Terbuka: Tata ruang yang fleksibel, di mana ruang depan (
pendopo
ataupanti
versi sederhana) berfungsi sebagai ruang tamu sekaligus tempat berkumpul untuk upacara adat atau musyawarah. - Orientasi ke Timur/Utara: Rumah seringkali diorientasikan untuk mendapatkan sinar matahari pagi dan menghindari panas sore, serta mengikuti tata letak sawah atau jalan desa.
Bagian belakang rumah biasanya difungsikan sebagai dapur dan lumbung padi (go-dong
atau pawon
), menandakan betapa pentingnya sektor pangan dalam kehidupan keluarga. Konsep rumah tradisional ini bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga representasi dari filosofi hidup: terbuka, terhubung dengan alam, dan berorientasi pada kemandirian pangan.
Perkembangan Permukiman Modern
Dalam beberapa dekade terakhir, Tumiyang mengalami modernisasi arsitektur yang cepat. Rumah-rumah beton mulai menggantikan struktur bambu dan kayu. Meskipun demikian, pemerintah desa dan beberapa pegiat budaya berupaya menjaga agar elemen-elemen tradisional, seperti penggunaan gebyok
(panel kayu berukir) atau penataan pekarangan yang rimbun (halaman yang ditanami buah-buahan dan apotek hidup), tetap dilestarikan sebagai identitas lokal.
Pola permukiman yang semula rapat dan linear kini mulai menyebar seiring dengan pembukaan lahan pertanian baru untuk permukiman, namun desa tetap mempertahankan pusat-pusat komunal seperti balai desa, masjid, dan sekolah sebagai inti dari interaksi sosial.
VIII. Narasi Lisan: Legenda dan Mitos yang Membentuk Tumiyang
Seperti wilayah Jawa pada umumnya, Tumiyang kaya akan cerita rakyat dan mitos yang berfungsi sebagai kontrol sosial, penjelas asal-usul alam, dan penguat identitas. Cerita-cerita ini diwariskan melalui tradisi lisan, seringkali diceritakan oleh kakek-nenek kepada cucu mereka atau dalam pertemuan malam hari.
Mitos Penunggu Air dan Hutan
Mengingat pentingnya air dan hutan di Tumiyang, banyak mitos berpusat pada entitas penjaga alam. Legenda tentang Dhanyang
(penunggu) sungai atau sumber mata air tertentu masih dipercaya. Dhanyang ini dianggap sebagai sosok yang bertanggung jawab atas ketersediaan air. Untuk menghormatinya, sering diadakan ritual sederhana di dekat mata air, terutama saat musim kemarau panjang, agar mereka mengizinkan
air terus mengalir.
Hutan di sekitar Pekuncen, yang merupakan bagian dari ekosistem lereng, juga diselimuti mitos. Ada kawasan hutan tertentu yang dianggap wingit
(angker) dan tidak boleh dimasuki sembarangan, terutama saat waktu-waktu tertentu. Larangan ini, secara ekologis, berfungsi sebagai mekanisme perlindungan hutan dari eksploitasi berlebihan, menjaga kelestarian flora dan fauna.
Kisah Pangeran yang ‘Lupa Diri’
Salah satu legenda yang paling umum di Banyumas adalah kisah tentang tokoh penting dari kerajaan masa lalu (sering dikaitkan dengan Galuh atau Mataram) yang terpaksa bersembunyi atau menetap di wilayah Pekuncen/Tumiyang. Tokoh ini, karena suatu sumpah atau kutukan, melupakan
identitas aslinya dan hidup sebagai rakyat biasa. Namun, ia meninggalkan petilasan atau benda pusaka yang menjadi keramat di Tumiyang.
Kisah ini memiliki fungsi simbolis: ia menghubungkan Tumiyang dengan garis keturunan ningrat atau spiritual yang kuat, memberikan legitimasi historis pada keberadaan desa tersebut, dan menanamkan rasa hormat terhadap situs-situs peninggalan yang mungkin tampak sederhana di mata orang luar.
Mitos dan legenda ini tidak hanya sekadar hiburan; mereka adalah konstitusi tidak tertulis yang mengatur perilaku masyarakat Tumiyang, mengajarkan pentingnya menjaga ucapan, menghormati lingkungan, dan tidak bersikap sombong.
IX. Tantangan dan Prospek Tumiyang di Era Modern
Tumiyang, yang kental dengan tradisi agrarisnya, menghadapi dilema modernisasi yang umum dialami desa-desa di Jawa. Meskipun infrastruktur dasar semakin membaik (akses jalan, listrik, dan telekomunikasi), ada kebutuhan mendesak untuk menyeimbangkan pelestarian budaya dengan tuntutan pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan ekonomi berbasis digital.
Peran Pendidikan Formal dan Non-Formal
Fasilitas pendidikan di Tumiyang dan Pekuncen secara umum cukup memadai, namun kualitas dan relevansi kurikulum seringkali menjadi tantangan. Banyak lulusan yang pada akhirnya merantau ke Purwokerto atau kota besar lainnya karena terbatasnya lapangan kerja lokal yang sesuai dengan kualifikasi mereka.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan penguatan pendidikan non-formal yang berorientasi pada kewirausahaan lokal. Misalnya, pelatihan pengolahan hasil pertanian (pasca-panen) seperti inovasi produk gula kelapa, kerajinan bambu, atau pengembangan potensi agrowisata. Pendidikan yang mengintegrasikan kearifan lokal (seperti sistem irigasi tradisional) dengan teknologi modern (seperti pertanian organik atau sistem informasi geografis) menjadi kunci untuk menciptakan petani modern
yang mampu bersaing.
Konservasi Lingkungan dan Bencana Alam
Posisi Tumiyang di lereng perbukitan membuatnya rentan terhadap bencana alam seperti longsor, terutama saat musim hujan ekstrem. Pembukaan lahan hutan secara ilegal di wilayah Pekuncen bagian atas telah meningkatkan risiko erosi. Oleh karena itu, konservasi lingkungan menjadi isu krusial.
Masyarakat Tumiyang, dengan kesadaran lingkungan yang didorong oleh tradisi, berupaya melakukan reboisasi dan pencegahan. Gotong royong dalam membangun terasering dan menjaga saluran air menjadi praktik rutin yang secara fundamental merupakan bentuk mitigasi bencana berbasis komunitas. Pelestarian sumber mata air, yang juga merupakan bagian dari ritual spiritual, kini semakin relevan sebagai upaya konservasi air.
X. Ketahanan Sosial dan Kebudayaan Tumiyang: Filosofi Mandiri
Ketahanan Tumiyang sebagai sebuah entitas sosial dan budaya tidak hanya terletak pada kesuburan tanahnya, tetapi juga pada filosofi hidup yang dipegang teguh. Filosofi ini, yang diwariskan secara lisan, menekankan pada kemandirian (mandiri
) dan kesederhanaan (nrima ing pandum
).
Kemandirian Pangan (Lumbung Desa)
Konsep lumbung desa (penyimpanan cadangan pangan) mungkin tidak lagi terwujud dalam bentuk fisik lumbung besar di pusat desa seperti dulu, tetapi semangatnya tetap hidup dalam skala rumah tangga. Setiap keluarga petani di Tumiyang berupaya menyimpan sebagian hasil panennya untuk kebutuhan sendiri, memastikan mereka memiliki cadangan pangan setidaknya hingga musim panam berikutnya tiba. Kebiasaan ini melindungi mereka dari gejolak harga pasar dan kegagalan panen sporadis, menjadikan Tumiyang salah satu desa yang memiliki tingkat ketahanan pangan individu yang tinggi.
Ketahanan pangan ini juga didukung oleh keberagaman tanaman yang ditanam. Selain padi, mereka menanam umbi-umbian (gembili, ubi jalar, singkong) yang dapat menjadi substitusi karbohidrat saat diperlukan. Diversifikasi pangan ini adalah kunci kelangsungan hidup komunitas agraris di tengah ketidakpastian iklim.
Etos Gotong Royong sebagai Jaring Pengaman Sosial
Gotong royong di Tumiyang, atau yang dikenal dengan istilah sambatan
atau sinoman
di beberapa wilayah Banyumas, berfungsi sebagai jaring pengaman sosial yang kuat. Kegiatan ini mencakup pembangunan rumah, penggarapan sawah, hingga persiapan hajatan. Ketika satu keluarga mengalami kesulitan, komunitas akan secara otomatis memberikan bantuan, baik berupa tenaga, bahan makanan, atau dukungan moral. Sistem ini memastikan bahwa tidak ada warga yang terpinggirkan atau terisolasi, mengukuhkan kohesi sosial di Pekuncen.
Filosofi gotong royong ini berakar pada ajaran seduluran
(persaudaraan). Meskipun masyarakat Tumiyang dikenal lugas, nilai persaudaraan ini dipraktikkan dengan ketulusan dan tanpa pamrih. Hal ini menjadi ciri khas yang membedakan komunitas pedesaan yang erat dibandingkan dengan kehidupan perkotaan yang cenderung individualistik.
Hubungan Manusia dengan Alam (Manunggaling Kawula Gusti)
Dalam konteks Tumiyang, filosofi Manunggaling Kawula Gusti
(menyatu hamba dengan Pencipta) diinterpretasikan melalui hubungan erat antara manusia dan alam. Petani melihat sawah bukan hanya sebagai sumber mata pencaharian, tetapi sebagai bagian integral dari diri mereka. Mereka memperlakukan tanah dan air dengan penuh hormat, melaksanakan ritual sebelum mengambil hasil bumi, dan meminta izin kepada alam sebelum melakukan perubahan besar.
Penghormatan terhadap alam ini termanifestasi dalam praktik pertanian yang berkelanjutan secara alami. Penggunaan pupuk organik, pembatasan penggunaan pestisida kimia, dan pemeliharaan habitat alami (seperti keberadaan pohon besar di pinggir sawah) adalah bukti bahwa masyarakat Tumiyang memegang teguh prinsip keseimbangan ekologis. Mereka percaya bahwa jika alam dijaga, alam akan menjaga manusia.
Inilah yang membuat Tumiyang tetap relevan sebagai studi kasus ketahanan masyarakat lokal. Kekuatan mereka terletak pada akar tradisi yang tidak lekang oleh waktu, sistem sosial yang kolaboratif, dan pengetahuan yang mendalam tentang lingkungan tempat mereka hidup. Mereka adalah para penjaga (kunci) yang sesungguhnya dari warisan agraris Banyumas.
XI. Potensi Pengembangan Wisata Budaya dan Agrowisata Tumiyang
Mengingat kekayaan alam, sejarah, dan budaya yang dimiliki, Tumiyang, Pekuncen, memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata berbasis kearifan lokal. Pengembangan pariwisata ini dapat menjadi solusi diversifikasi ekonomi dan sekaligus cara pelestarian budaya yang berkelanjutan.
Agrowisata Berbasis Edukasi
Lanskap sawah yang luas dan sistem irigasi tradisional di Tumiyang sangat ideal untuk dikembangkan menjadi agrowisata edukatif. Wisatawan dapat belajar langsung dari petani tentang:
- Siklus Padi: Mulai dari mengolah tanah, menanam bibit, hingga memanen dengan cara tradisional.
- Pengolahan Gula Kelapa: Mengamati proses penyadapan nira hingga pengubahan menjadi gula cetak.
- Filosofi Air: Mempelajari sistem pembagian air komunal dan maknanya dalam tradisi.
Pelestarian Kesenian melalui Atraksi
Kesenian tradisional seperti Ebeg dan Calung dapat dikemas menjadi atraksi wisata budaya yang terjadwal. Hal ini akan memotivasi generasi muda Tumiyang untuk terus mempelajari dan melestarikan seni warisan leluhur. Dengan adanya permintaan pasar dari sektor pariwisata, kelompok seni lokal akan mendapatkan sumber pendanaan dan dukungan yang stabil.
Pekuncen, dengan sejarah ‘kunci’ dan petilasan-petilasannya, juga dapat menarik wisatawan minat khusus yang tertarik pada sejarah spiritual dan Kejawen. Namun, pengembangan ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak kesakralan situs-situs tersebut, mempertahankan integritas spiritualnya sebagai kunci penjaga peradaban.
XII. Tumiyang Pekuncen: Simpul Tradisi yang Berkelanjutan
Tumiyang di Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas, adalah lebih dari sekadar sebuah desa di peta administratif. Ia adalah sebuah naskah hidup yang menceritakan perpaduan harmonis antara manusia, alam, dan spiritualitas. Dari topografinya yang menantang namun subur, hingga filosofi 'kunci' yang mengakar kuat, Tumiyang merepresentasikan ketahanan peradaban agraris di tengah Jawa Ngapak.
Kekuatan komunitas ini terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi sambil tetap memegang teguh tradisi. Ritual Sedekah Bumi, irama Calung yang riang, dan praktik gotong royong yang tak pernah padam adalah pilar-pilar yang memastikan bahwa identitas Tumiyang tetap utuh. Selama masyarakatnya terus menghormati air, tanah, dan warisan leluhur mereka, Tumiyang akan terus menjadi simpul kunci yang menyimpan kearifan dan kekayaan budaya Banyumas untuk generasi yang akan datang.
Mempelajari Tumiyang Pekuncen adalah mempelajari bagaimana sebuah komunitas dapat mencapai keseimbangan sejati, di mana kemakmuran bukan diukur dari materi semata, melainkan dari kedamaian batin dan keselarasan abadi dengan lingkungan sekitar.
XII.1. Detil Mendalam Sistem Irigasi Komunal Tumiyang: Kearifan Tata Air
Untuk memahami sepenuhnya bagaimana Tumiyang dapat mempertahankan labelnya sebagai lumbung pangan di Banyumas Barat, diperlukan analisis mendalam mengenai sistem tata airnya. Sistem irigasi di sini, yang sebagian besar memanfaatkan gravitasi alamiah dari perbukitan, bukan sekadar saluran air, tetapi sebuah entitas sosio-ekonomi yang kompleks. Pengelolaan air tidak dikendalikan oleh badan tunggal, melainkan oleh Paguyuban Tirta
(perkumpulan air) lokal, di mana setiap petani memiliki hak dan kewajiban yang diatur secara ketat.
Pembagian air dilakukan berdasarkan perhitungan musim, luas lahan, dan jenis tanaman yang diusahakan. Dalam periode puncak musim tanam, ketika air menjadi komoditas paling berharga, sistem pengawasan menjadi sangat intensif. Beberapa metode tradisional yang digunakan untuk membagi air meliputi penggunaan alat ukur sederhana berupa cagak
(tongkat ukur) yang dipasang di mulut saluran air. Penggunaan waktu (giliran
) juga menjadi kunci; air dialirkan ke kelompok lahan tertentu hanya pada jam-jam yang telah disepakati bersama, memastikan bahwa tidak ada satu pun kelompok petani yang mendominasi. Pelanggaran terhadap aturan ini dianggap sebagai pelanggaran komunal serius dan dapat dikenakan sanksi sosial.
Struktur saluran air di Tumiyang seringkali memerlukan pemeliharaan rutin, yang dilaksanakan melalui kerja bakti (gotong royong
) tahunan. Pembersihan lumpur, perbaikan tanggul yang rapuh, dan penanganan kebocoran adalah tugas yang wajib dilakukan oleh setiap kepala keluarga yang lahannya dialiri air. Kesadaran kolektif ini menghasilkan efisiensi irigasi yang luar biasa, meminimalkan terbuangnya air dan memaksimalkan setiap tetes yang mengalir dari pegunungan. Bahkan, terdapat ritual khusus yang dilaksanakan di hulu saluran air, sebagai bentuk permohonan agar air tetap mengalir jernih dan berlimpah. Ritual ini berfungsi ganda: sebagai ungkapan spiritual dan sebagai pengingat praktis akan pentingnya menjaga kebersihan hulu sungai.
Integrasi Kolam Ikan dan Persawahan (Mina Padi)
Meskipun bukan praktik paling dominan di semua wilayah Tumiyang, integrasi sawah dengan kolam ikan, atau mina padi, menunjukkan tingkat adaptasi ekologis yang tinggi. Kolam-kolam kecil atau parit sawah dimanfaatkan untuk memelihara ikan mas atau nila. Selain menghasilkan protein tambahan bagi keluarga petani, keberadaan ikan membantu mengendalikan hama dan menyuburkan air sawah. Praktik ini adalah contoh konkret dari pembangunan berkelanjutan yang telah dipraktikkan oleh masyarakat Tumiyang jauh sebelum konsep ini dikenal secara global. Ini menunjukkan pemahaman mendalam tentang interkoneksi ekosistem lokal.
Keseluruhan sistem irigasi Tumiyang, yang berakar pada kearifan lokal, adalah warisan budaya tak benda yang harus dilestarikan. Di era modernisasi, seringkali terjadi intervensi yang mencoba menggantikan sistem tradisional ini dengan teknologi yang tidak sesuai dengan kontur tanah dan sosial masyarakat. Namun, Paguyuban Tirta Tumiyang sering berhasil mempertahankan metode mereka, membuktikan bahwa solusi lokal seringkali yang paling efektif dan berkelanjutan.
XII.2. Elaborasi Kesenian Ebeg Tumiyang: Antara Magis dan Identitas
Kesenian Ebeg (Kuda Lumping) di Tumiyang adalah penanda identitas budaya yang kuat, sarat dengan makna simbolis dan praktik spiritual. Ebeg bukan hanya tarian, tetapi sebuah pertunjukan ritual yang menampilkan drama kehidupan, peperangan, dan hubungan antara manusia dan alam gaib. Ebeg Tumiyang memiliki ciri khas yang membedakannya dari Ebeg di Purwokerto atau Cilacap, terutama dalam kekentalan aspek ndadi
(trance) dan iringan musiknya.
Filosofi Kuda Kepang dan Penari
Kuda kepang yang digunakan penari melambangkan kendaraan perang atau perjalanan spiritual. Gerakan penari Ebeg di Tumiyang cenderung lebih kasar, spontan, dan kurang terikat pada pola koreografi baku dibandingkan tarian klasik Jawa. Gerakan ini mencerminkan karakter Ngapak yang jujur dan apa adanya. Para penari, yang disebut jathil
, umumnya adalah pemuda desa yang telah menjalani serangkaian ritual penyucian atau pelatihan fisik dan mental sebelum tampil.
Aspek magis dari Ebeg, yakni ndadi
, menjadi pusat perhatian. Dalam kondisi ndadi
, penari dipercaya kerasukan roh leluhur atau makhluk halus pelindung. Selama kondisi ini, mereka mungkin menunjukkan perilaku di luar batas nalar, seperti memakan pecahan kaca, mengupas kelapa dengan gigi, atau memakan arang. Peristiwa ini bukan sekadar tontonan, tetapi demonstrasi kekuatan spiritual yang dipercaya menjaga desa. Peran pawang
atau bomoh
sangat vital; mereka bertugas memimpin ritual pembukaan, menjaga keselamatan penari saat ndadi
, dan mengembalikan kesadaran penari setelah pertunjukan berakhir.
Iringan Gamelan dan Calung
Musik Ebeg Tumiyang sangat energetik. Iringan gamelan atau calung yang digunakan seringkali didominasi oleh instrumen bambu dan dilengkapi dengan kendang yang dipukul dengan tempo cepat. Laras yang digunakan umumnya adalah laras Pelog
atau Slendro
Banyumasan yang khas, dikenal memiliki nada yang lebih terbuka dan meriah dibandingkan laras Yogyakarta atau Surakarta. Lagu-lagu yang dibawakan sering menceritakan kisah epik pewayangan (seperti Bima atau Arjuna) atau kisah lokal para pendiri desa.
Pelestarian Ebeg di Tumiyang menghadapi tantangan, terutama dari masuknya hiburan modern. Namun, kesenian ini tetap bertahan karena keterikatannya dengan ritual desa dan fungsi sosialnya sebagai sarana untuk mempertemukan warga dan melestarikan sejarah lisan. Dengan adanya regenerasi penari dan pemain musik, Ebeg Tumiyang terus menjadi kunci identitas budaya yang dinamis di Pekuncen.
XII.3. Industri Gula Kelapa: Perekonomian Rumah Tangga yang Tak Lekang
Salah satu pilar utama perekonomian di Tumiyang, selain padi, adalah produksi gula kelapa (gula jawa
atau gula aren
—meski di Banyumas lebih sering menggunakan kelapa daripada aren). Industri ini sepenuhnya berbasis rumah tangga dan telah menjadi sumber pendapatan yang stabil selama berabad-abad, menjadikannya kunci kemandirian finansial keluarga petani.
Proses Penyadapan dan Pengolahan
Proses dimulai dari penyadapan nira oleh penderes
(penyadap) yang dilakukan dua kali sehari, pagi dan sore. Pekerjaan penderes memerlukan keahlian dan keberanian khusus karena harus memanjat pohon kelapa yang tinggi. Nira yang berhasil dikumpulkan kemudian dimasak dalam wajan besar menggunakan kayu bakar. Proses memasak ini berlangsung berjam-jam hingga nira mengental dan berubah warna menjadi cokelat keemasan. Penggunaan tungku tradisional, yang seringkali memanfaatkan sisa biomassa dari pertanian, menunjukkan efisiensi energi yang tinggi.
Setelah kental, cairan gula panas dicetak menggunakan cetakan batok kelapa atau bambu. Gula cetak inilah yang kemudian dijual di pasar Pekuncen atau didistribusikan ke pengepul. Kualitas gula kelapa Tumiyang diakui karena teksturnya yang lembut dan rasanya yang khas, yang dipengaruhi oleh teknik memasak tradisional dan jenis pohon kelapa lokal.
Aspek Sosial dan Ekonomi
Industri gula kelapa menciptakan rantai ekonomi yang terintegrasi. Selain penderes dan pembuat gula, ada juga pengumpul nira, pedagang pengumpul, dan pengrajin cetakan. Aktivitas ini sering melibatkan seluruh anggota keluarga, mulai dari orang tua yang menyadap hingga anak-anak yang membantu mengemas gula. Ini adalah contoh sempurna dari ekonomi kerakyatan yang resilien, di mana modal kecil dapat menghasilkan pendapatan yang signifikan dan stabil.
Namun, tantangan yang dihadapi industri ini adalah fluktuasi harga global, serangan hama pada pohon kelapa, dan kurangnya minat generasi muda untuk melanjutkan pekerjaan penderes yang dianggap berisiko dan melelahkan. Inovasi yang kini didorong adalah pengolahan lebih lanjut, seperti produksi gula semut (gula kristal) yang memiliki nilai jual lebih tinggi dan lebih mudah diekspor, serta diversifikasi produk turunan kelapa lainnya.
XII.4. Bahasa Ngapak: Kunci Komunikasi dan Kejujuran Sosial Tumiyang
Tumiyang, yang terletak di zona Banyumas yang kental dengan dialek Ngapak, memiliki karakteristik komunikasi yang sangat spesifik. Dialek ini, yang dikenal dengan fonologi yang berbeda dari Bahasa Jawa standar (misalnya, pengucapan huruf 'a' di akhir kata menjadi 'a' terbuka, bukan 'o'), adalah kunci penting untuk memahami karakter sosial Pekuncen.
Ngapak sering diasosiasikan dengan kejujuran dan keterusterangan. Dalam budaya Tumiyang, yang berbasis komunal dan agraris, komunikasi yang efisien dan tanpa basa-basi sangat diperlukan untuk koordinasi kerja lapangan dan pengambilan keputusan kolektif. Bahasa Ngapak memungkinkan ekspresi perasaan dan kebutuhan secara langsung, meminimalkan kesalahpahaman yang mungkin timbul dari penggunaan undha usuk basa
(tingkatan bahasa) yang kompleks seperti di Jawa Tengah bagian timur.
Meskipun sering menjadi subjek stereotip, masyarakat Tumiyang bangga dengan dialek mereka. Bahasa ini adalah simbol identitas budaya mereka yang berbeda, menunjukkan keberanian untuk menjadi diri sendiri dan menolak hierarki sosial yang kaku. Dalam interaksi sehari-hari, penggunaan Ngapak menciptakan lingkungan yang egaliter, di mana petani, guru, dan pemimpin desa dapat berkomunikasi dalam tingkatan yang hampir sama. Kekuatan bahasa ini adalah kunci yang membuka pintu pemahaman terhadap jiwa masyarakat Banyumas secara keseluruhan.