Jejak Terakota Banyuwangi: Narasi Tanah Blambangan yang Terlupakan

Membongkar Tabir Sejarah Blambangan Melalui Terakota

Banyuwangi, sebuah wilayah di ujung timur Pulau Jawa, sering dikenal dengan keindahan alamnya yang dramatis—dari Gunung Ijen yang menawan hingga pantai-pantai selatan yang liar. Namun, di balik lanskap geografisnya yang memukau, Banyuwangi menyimpan kekayaan sejarah purba yang tertanam dalam lapisan tanahnya, khususnya dalam bentuk artefak terakota. Terakota, material keramik non-glasir yang dibakar pada suhu relatif rendah, menjadi saksi bisu peradaban yang pernah berjaya di kawasan yang dahulu dikenal sebagai Kerajaan Blambangan. Penggalian dan penemuan terakota di berbagai situs seperti Macan Putih, Kalibaru, dan sebaran di sekitar puing-puing ibu kota Blambangan, memberikan indikasi kuat bahwa wilayah ini memiliki tradisi pembuatan dan penggunaan terakota yang kompleks, berbeda, dan mandiri, meskipun tidak bisa dilepaskan dari pengaruh besar Majapahit di masa lampau.

Studi mengenai terakota Banyuwangi merupakan sebuah perjalanan untuk memahami dinamika budaya, politik, dan spiritual masyarakat Jawa Timur pada periode transisi, khususnya antara abad ke-14 hingga ke-17 Masehi. Periode ini ditandai dengan keruntuhan kekuasaan Majapahit, munculnya kekuatan-kekuatan Islam di pesisir utara, dan upaya Blambangan untuk mempertahankan identitas Hindu-Jawa mereka. Artefak terakota yang ditemukan bervariasi—mulai dari peralatan rumah tangga sederhana, ornamen arsitektur yang megah, hingga figurin (patung kecil) yang disinyalir memiliki fungsi ritualistik dan kepercayaan yang mendalam. Keunikan terakota Blambangan terletak pada karakterisasi artistik lokal yang kuat, seringkali menampilkan gaya yang lebih naturalistik atau, pada kasus tertentu, lebih primitif dibandingkan dengan temuan terakota yang lebih halus dan terstandarisasi di pusat Majapahit, Trowulan. Perbedaan inilah yang menempatkan terakota Banyuwangi sebagai kunci penting dalam rekonstruksi sejarah lokal yang seringkali terpinggirkan dalam narasi besar sejarah Jawa.

Artikel ini akan membedah secara komprehensif seluruh aspek yang melingkupi terakota Banyuwangi. Mulai dari latar belakang geografis dan arkeologis penemuan, tipologi artefak yang ditemukan, teknik pembuatan tradisional yang digunakan, hingga upaya interpretasi makna kultural dan ritual yang terkandung di dalamnya. Selain itu, eksplorasi mendalam juga akan dilakukan terhadap tantangan konservasi dan upaya pelestarian yang diperlukan untuk menjaga warisan budaya tak ternilai ini dari ancaman kerusakan alam, eksploitasi, dan hilangnya konteks arkeologis. Memahami terakota Banyuwangi bukan hanya sekadar mengagumi keahlian masa lalu, tetapi juga menyelami jiwa spiritual dan ketahanan peradaban Blambangan di tengah gelombang perubahan zaman.

Konteks Arkeologis: Dari Blambangan Kuno Hingga Penemuan Modern

Banyuwangi secara historis merupakan wilayah Kerajaan Blambangan, sebuah entitas politik yang bertahan paling lama sebagai benteng Hindu-Jawa setelah Majapahit. Posisi geografisnya yang terisolasi, diapit oleh pegunungan di barat dan Selat Bali di timur, memungkinkan Blambangan mengembangkan corak kebudayaannya sendiri. Sejak masa klasik, Blambangan telah menjadi jalur perdagangan penting, menghubungkan Jawa dengan Bali. Interaksi intensif ini turut membentuk ciri khas material budaya, termasuk terakota.

Situs-Situs Kunci Penemuan Terakota

Penemuan terakota di Banyuwangi tidak terpusat di satu lokasi saja, melainkan tersebar di beberapa situs penting yang mengindikasikan aktivitas permukiman atau ritual yang luas. Salah satu situs paling signifikan adalah Situs Macan Putih. Terletak di daerah yang kini menjadi kawasan perkebunan, Macan Putih diyakini merupakan salah satu pusat administrasi atau permukiman penting Blambangan. Di sini, fragmen terakota yang ditemukan mencakup sisa-sisa bangunan, pipa air (saluran air terakota), dan berbagai wadah penyimpanan. Analisis stratigrafi menunjukkan bahwa lapisan budaya di situs ini mencakup periode yang cukup panjang, memberikan gambaran evolusi penggunaan terakota dari masa awal Majapahit hingga masa Blambangan Mandiri.

Situs lain yang tak kalah penting adalah di sekitar Kalibaru dan Glenmore, yang menunjukkan adanya aktivitas produksi atau penggunaan terakota di wilayah pedalaman. Penemuan di daerah ini seringkali berupa pecahan genteng (atap terakota), yang menunjukkan standar arsitektur permukiman yang cukup maju. Genteng-genteng ini, walaupun tampak sederhana, seringkali memiliki cap atau pola tertentu yang membedakannya dari genteng modern, menegaskan fungsinya sebagai penanda budaya spesifik. Keberadaan sebaran temuan ini di berbagai lokasi mengindikasikan bahwa terakota bukan hanya material elite, tetapi juga merupakan bagian integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat Blambangan secara umum.

Periode Historis Terakota Banyuwangi

Periode penggunaan terakota di Banyuwangi dapat dibagi menjadi setidaknya tiga fase utama. Fase pertama adalah fase pengaruh Majapahit (sekitar abad ke-13 hingga ke-15). Pada fase ini, banyak artefak yang menunjukkan kemiripan teknis dan gaya dengan terakota Trowulan, khususnya dalam hal bentuk standar wadah air (kendi dan jaleng). Fase kedua adalah periode Blambangan mandiri (abad ke-16), di mana terjadi peningkatan lokalisasi gaya. Figur-figur ritualistik mulai menunjukkan ciri khas lokal, dengan penggambaran wajah dan postur yang lebih spesifik pada tradisi Blambangan. Fase ketiga, periode transisi (abad ke-17 dan sesudahnya), di mana pengaruh Islam mulai terasa dan penggunaan terakota berangsur digantikan oleh material lain, meskipun tradisi pembuatan keramik tetap berlanjut, beralih fungsi dari ritual ke fungsi murni utilitarian.

Gaya Khas Figur Terakota Blambangan

Gambar: Ilustrasi figurin terakota antropomorfik dari situs Macan Putih, menunjukkan gaya lokal yang sederhana namun ekspresif.

Tipologi dan Fungsi: Varietas Terakota dari Ritual Hingga Utilitas

Kekayaan terakota Banyuwangi dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori utama, yang masing-masing mengungkapkan aspek kehidupan berbeda dari masyarakat Blambangan. Klasifikasi ini sangat penting untuk memahami bukan hanya apa yang mereka buat, tetapi juga mengapa mereka membuatnya, dan bagaimana artefak-artefak tersebut diintegrasikan ke dalam struktur sosial dan spiritual mereka.

Terakota Utilitarian (Peralatan Rumah Tangga)

Ini adalah kategori paling melimpah dan mencakup semua wadah dan peralatan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Jenis-jenis umum meliputi kendhil (wadah memasak), kendi (wadah air dengan leher dan cerat), piring, mangkuk, dan jambangan. Kualitas pembakaran artefak utilitarian seringkali bervariasi; yang digunakan untuk memasak cenderung lebih tebal dan dibakar pada suhu yang lebih tinggi untuk menahan panas, sementara wadah penyimpanan mungkin memiliki tekstur yang lebih kasar dan porositas yang lebih tinggi. Studi mengenai residu organik pada kendhil menunjukkan pola diet yang didominasi oleh biji-bijian dan protein lokal, memberikan jendela ke dalam praktik kuliner Blambangan. Analisis komparatif menunjukkan bahwa desain kendi Blambangan, meskipun mengikuti cetak biru Majapahit, seringkali menampilkan proporsi leher yang lebih pendek atau hiasan minim, menandakan adaptasi lokal terhadap estetika yang lebih fungsional.

Salah satu temuan utilitarian yang unik adalah sistem saluran air terakota (pipa). Penemuan pipa air di Situs Macan Putih menegaskan adanya pengelolaan air yang terorganisir di permukiman kuno tersebut. Pipa-pipa ini dibuat dari tanah liat yang kuat, dibentuk silindris, dan dirangkai menggunakan sistem sambungan. Keberadaan infrastruktur seperti ini menunjukkan tingkat kompleksitas urbanisasi yang tidak bisa diabaikan, mencerminkan kemampuan rekayasa sipil yang cukup maju, bahkan di wilayah yang secara politik dianggap sebagai daerah pinggiran pada masa kejayaan Majapahit.

Figurin Terakota: Ekspresi Spiritual dan Simbolik

Figurin adalah kelompok artefak yang paling menarik dari sudut pandang interpretasi budaya dan ritual. Figur-figur ini dapat dibagi menjadi dua kelompok besar: antropomorfik (menggambarkan manusia atau dewa) dan zoomorfik (menggambarkan hewan). Figur antropomorfik seringkali kecil, dibuat tanpa detail anatomis yang rumit, namun memiliki ekspresi wajah yang kuat dan postur tubuh yang kaku. Beberapa figur ditemukan dalam posisi meditasi atau penyembahan, yang menguatkan hipotesis bahwa mereka digunakan sebagai alat bantu ritual atau persembahan (nazar) dalam praktik keagamaan Hindu-Buddha yang masih dominan saat itu.

Figurin zoomorfik di Banyuwangi didominasi oleh representasi hewan lokal seperti kerbau, gajah (meskipun langka), dan terutama, harimau—yang sesuai dengan nama situs Macan Putih. Harimau, dalam konteks Blambangan, memiliki makna simbolis yang mendalam, sering dikaitkan dengan kekuatan spiritual, perlindungan, dan totemisme lokal. Figur harimau terakota biasanya digambarkan dalam posisi duduk atau siaga. Interpretasi arkeologis menyatakan bahwa figurin hewan ini mungkin berfungsi sebagai persembahan ritual, atau bahkan sebagai mainan bagi anak-anak yang memiliki makna magis protektif.

Sebuah sub-kategori penting dari figurin adalah kepala arca dan topeng kecil. Kepala arca terakota seringkali hanya berupa bagian kepala dan leher, mungkin karena bagian tubuh lainnya dibuat dari material yang lebih rentan atau memang disengaja untuk ritual caput mortuum (penggunaan bagian kepala sebagai representasi keseluruhan). Wajah-wajah ini menampilkan berbagai ekspresi: senyum simpul, kemarahan, atau ketenangan meditatif, yang kemungkinan mencerminkan dewa atau leluhur yang disembah.

Ornamen dan Komponen Arsitektur

Terakota juga digunakan secara ekstensif dalam arsitektur Blambangan. Temuan ini meliputi genteng, hiasan atap (misalnya sirap terakota), dan khususnya, relief dinding. Relief terakota yang ditemukan di Banyuwangi, meskipun fragmen, menunjukkan gaya naratif yang berbeda dari relief batu candi klasik. Mereka cenderung lebih lugas dan menggambarkan adegan kehidupan sehari-hari, atau cerita rakyat lokal yang belum sepenuhnya teridentifikasi. Penggunaan terakota sebagai bahan konstruksi mencerminkan ketersediaan bahan baku lokal yang melimpah dan kemudahan pembentukan, menjadikan terakota pilihan ekonomis dan artistik bagi masyarakat Blambangan.

Analisis mendalam terhadap fragmen ornamen arsitektur telah memungkinkan para ahli untuk merekonstruksi bentuk bangunan-bangunan kuno di Blambangan. Misalnya, temuan pipa air, fragmen lantai ubin terakota, dan sisa-sisa dinding berukir menunjukkan bahwa istana atau permukiman elit di Macan Putih memiliki standar bangunan yang cukup tinggi, meskipun mungkin tidak semegah kompleks istana di Trowulan, menunjukkan karakteristik arsitektur benteng perbatasan yang fungsional dan defensif, namun tetap sarat makna simbolis.

Analisis Komparatif: Blambangan vs. Trowulan

Perbandingan dengan pusat terakota Majapahit di Trowulan adalah kunci untuk mengidentifikasi kekhasan terakota Banyuwangi. Terakota Trowulan dikenal karena kehalusan, detail cetakan yang presisi, dan penggunaan cetakan yang masif. Sebaliknya, terakota Banyuwangi, terutama figurinnya, seringkali dibuat secara manual (hand-built), kurang seragam, dan menunjukkan ciri spontanitas yang lebih besar. Perbedaan ini bisa diinterpretasikan dalam beberapa cara:

Kekasaran, spontanitas, dan penekanan pada bentuk daripada detail pada terakota Banyuwangi, justru memberikan nilai historis yang tinggi karena mencerminkan identitas budaya Blambangan yang unik dan upaya mereka mempertahankan tradisi di masa-masa sulit pasca-Majapahit.

Teknik Pembuatan Terakota Blambangan: Ilmu Tanah dan Api

Proses pembuatan terakota merupakan perpaduan antara pengetahuan geologi lokal dan penguasaan teknik pembakaran sederhana. Analisis material dan residu pembakaran pada artefak Banyuwangi mengungkap metode yang mungkin digunakan oleh para pengrajin kuno di Blambangan.

Bahan Baku Lokal (Tanah Liat)

Tanah liat yang digunakan di Banyuwangi umumnya bersumber dari endapan aluvial di sekitar sungai-sungai besar. Tanah liat ini kaya akan zat besi, yang memberikan warna merah atau oranye kecokelatan yang khas setelah dibakar (terakota). Para pengrajin harus melalui proses yang cermat dalam pemilihan dan persiapan tanah. Proses persiapan meliputi pembersihan tanah liat dari kotoran dan batu, pencampuran dengan bahan pengisi (temper) seperti pasir halus atau sekam padi, untuk mengurangi penyusutan dan mencegah keretakan selama pengeringan dan pembakaran. Proporsi temper ini sangat bervariasi tergantung jenis artefak; wadah besar membutuhkan temper lebih banyak daripada figurin kecil.

Teknik Pembentukan dan Dekorasi

Sebagian besar artefak utilitarian, seperti kendi besar dan genteng, kemungkinan dibuat dengan teknik lilitan (coiling) atau dibentuk dengan roda putar lambat. Untuk figurin, teknik yang dominan adalah buatan tangan (hand-modeling). Teknik hand-modeling ini menghasilkan bentuk-bentuk yang unik dan tidak simetris, ciri khas yang membedakannya dari cetakan Majapahit yang lebih massal. Beberapa artefak kecil mungkin dibuat dengan teknik cetak tekan (press mold), khususnya untuk bagian ornamen yang berulang, namun penggunaan cetakan tampaknya tidak seintensif di pusat kerajaan.

Dekorasi pada terakota Blambangan cenderung minimalis. Hiasan seringkali berupa garis-garis sederhana yang diukir sebelum pembakaran (incision) atau penambahan aplikasi tanah liat (appliqué) berupa mata, hidung, atau hiasan rambut pada figurin. Beberapa kendi ditemukan memiliki pola geometris sederhana yang dicetak menggunakan alat sederhana seperti kayu berukir atau bahkan ujung jari. Karakteristik dekorasi yang tidak berlebihan ini menekankan nilai fungsional dan ritualistik daripada nilai estetika murni.

Proses Pembakaran (Firing)

Pembakaran terakota Blambangan diduga dilakukan menggunakan tungku terbuka atau tungku sederhana (kiln) yang tidak menghasilkan suhu yang sangat tinggi. Kisaran suhu pembakaran diperkirakan antara 700°C hingga 950°C. Suhu ini cukup untuk membuat tanah liat menjadi keras dan tidak dapat kembali menjadi lumpur (irreversible), namun tidak cukup untuk mencapai vitrifikasi penuh (mengkilap seperti porselen). Warna merah bata yang dominan adalah hasil dari pembakaran dalam kondisi oksidasi (oksigen masuk selama pembakaran), yang memungkinkan zat besi dalam tanah liat bereaksi dengan oksigen.

Suhu pembakaran yang relatif rendah ini memiliki implikasi penting: terakota menjadi lebih rapuh dan rentan terhadap pelapukan, menjelaskan mengapa sebagian besar temuan di Banyuwangi berupa fragmen, bukan artefak utuh. Analisis termal modern (DTA dan TGA) pada sampel terakota telah mengkonfirmasi kisaran suhu ini, memberikan wawasan akurat tentang kemampuan teknologi para pengrajin Blambangan kuno.

Skema Pembakaran Terakota Sederhana (Tungku Terbuka)

Gambar: Representasi skematis proses pembakaran terakota dengan tungku sederhana, yang menghasilkan warna khas terakota Blambangan.

Signifikansi Kultural: Terakota Sebagai Cermin Kepercayaan Blambangan

Terakota di Banyuwangi, khususnya figurin, tidak hanya memiliki nilai estetika atau fungsional, tetapi juga membawa beban makna spiritual dan sosial yang erat kaitannya dengan pandangan dunia masyarakat Blambangan kuno. Artefak-artefak ini menjadi medium antara dunia profan dan dunia sakral.

Kultus Kesuburan dan Siklus Hidup

Banyak figurin antropomorfik ditemukan yang menonjolkan fitur-fitur kesuburan, seperti perut yang buncit atau payudara yang besar, meskipun dengan penggambaran yang sangat disederhanakan. Hal ini mengarahkan interpretasi bahwa terakota ini mungkin terkait dengan kultus kesuburan dan doa untuk panen yang melimpah atau kelahiran yang aman. Dalam masyarakat agraris, kebutuhan akan kesuburan tanah dan manusia adalah inti dari spiritualitas, dan terakota berfungsi sebagai representasi material dari keinginan ini.

Selain itu, temuan bejana-bejana besar (jambangan) yang seringkali diletakkan di dekat kuburan atau di bawah lantai rumah menunjukkan perannya dalam ritual siklus hidup, baik sebagai wadah persembahan untuk leluhur (dewa-dewa lokal), maupun sebagai penanda ritual transisi. Konteks penemuan (stratigrafi) seringkali menunjukkan bahwa terakota diletakkan sebagai bekal kubur, menunjukkan kepercayaan pada kehidupan setelah mati dan pentingnya menyediakan kebutuhan material bagi arwah yang baru meninggal.

Peran dalam Ritual Protektif dan Pengusiran Roh Jahat

Figurin hewan, terutama harimau dan terkadang babi hutan, diduga kuat memiliki fungsi protektif. Harimau adalah simbol kekuatan alam liar yang harus dihormati dan ditundukkan. Figurin harimau diletakkan di ambang pintu atau sudut bangunan sebagai penolak bala (penangkal roh jahat). Konsep ini sangat relevan dalam konteks Blambangan yang selalu berada di garis depan konflik, baik melawan alam maupun kekuatan politik dari luar. Figur-figur ini bertindak sebagai ‘penjaga terakota’ yang melindungi ruang sakral atau permukiman dari ancaman spiritual.

Salah satu jenis figurin yang ditemukan adalah patung kecil berbentuk orang yang sedang sakit atau berpose menyedihkan. Interpretasi mengenai figurin ini sangat menarik; mereka mungkin digunakan dalam praktik penyembuhan simbolis (sebagai ‘boneka’ yang menampung penyakit), yang kemudian dihancurkan atau dikubur untuk menghilangkan penyakit dari penderita sebenarnya. Ini mencerminkan praktik magis yang mendalam yang melengkapi ritual keagamaan formal.

Sinkretisme Kepercayaan

Periode Blambangan adalah masa sinkretisme budaya yang intens, terutama perpaduan antara Hindu-Buddha dengan kepercayaan animisme lokal (kepercayaan terhadap arwah leluhur dan roh alam). Terakota menjadi artefak yang secara visual menangkap perpaduan ini. Meskipun beberapa relief mungkin merujuk pada epos Hindu (Ramayana atau Mahabharata), mayoritas figurin lebih mencerminkan tokoh-tokoh lokal yang disembah atau roh penjaga. Ini menunjukkan bahwa meskipun Blambangan secara formal adalah kerajaan Hindu-Jawa, praktik keagamaan sehari-hari sangat didominasi oleh kepercayaan pra-Hindu yang bersifat chthonic (terkait bumi).

Kajian ikonografi yang cermat terhadap figur-figur terakota Blambangan harus mempertimbangkan elemen-elemen yang berbeda dari ikonografi klasik Jawa Tengah atau Jawa Timur era Majapahit, menekankan pentingnya studi etnografi lokal untuk memahami simbolisme yang diukir dalam tanah liat tersebut.

Analisis semiotika terhadap pola-pola ukiran sederhana pada terakota utilitarian juga memberikan petunjuk tentang sistem penandaan sosial. Beberapa kendi mungkin diberi cap tertentu yang menunjukkan kepemilikan oleh kelompok klan atau desa tertentu. Meskipun interpretasi ini sulit dilakukan tanpa teks pendukung, pola-pola ini menunjukkan bahwa terakota berfungsi juga sebagai penanda identitas dan struktur sosial internal Blambangan.

Pelestarian Warisan Terakota: Tantangan dan Harapan di Abad Modern

Warisan terakota Banyuwangi menghadapi tantangan serius di era modern. Sifat material terakota yang rapuh menjadikannya sangat rentan terhadap kerusakan, ditambah dengan tekanan pembangunan dan aktivitas penjarahan artefak. Upaya konservasi harus dilakukan secara multidimensi, melibatkan pemerintah, akademisi, dan masyarakat lokal.

Ancaman Utama: Eksploitasi dan Hilangnya Konteks

Ancaman terbesar bagi situs terakota adalah penjarahan ilegal (illegal digging). Artefak terakota, terutama figurin utuh, memiliki nilai jual tinggi di pasar gelap kolektor. Ketika penjarahan terjadi, artefak diangkat dari lokasi tanpa pencatatan arkeologis yang tepat. Dampaknya sangat merusak; begitu terakota dipisahkan dari konteks stratigrafisnya, sebagian besar informasi historis dan ilmiah mengenai fungsi, periode, dan hubungan antar-artefak akan hilang selamanya. Situs-situs kunci di sekitar Macan Putih sering menjadi target penjarahan, mengancam integritas data arkeologis yang tersisa.

Selain itu, pengembangan infrastruktur dan perluasan lahan pertanian juga menjadi ancaman serius. Banyuwangi mengalami pertumbuhan yang cepat, dan banyak situs terakota berada di bawah tanah yang kini dialihfungsikan menjadi jalan, perumahan, atau perkebunan. Tanpa pemetaan dan zonasi pelindungan yang ketat, situs-situs ini dapat hancur sebelum penelitian yang memadai sempat dilakukan.

Metode Konservasi dan Restorasi

Konservasi terakota melibatkan proses yang rumit. Terakota, karena porositasnya, sangat rentan terhadap garam dan kelembaban. Diperlukan stabilisasi kimia untuk mencegah pelapukan lebih lanjut. Fragmen yang telah ditemukan harus dibersihkan secara hati-hati, seringkali menggunakan metode mekanis dan kimiawi ringan untuk menghilangkan deposit tanah dan mineral. Proses restorasi melibatkan penyambungan fragmen dan, jika diperlukan untuk tujuan display, pengisian bagian yang hilang dengan bahan inert yang dapat dibedakan dari material asli.

Pentingnya dokumentasi digital (fotogrametri 3D dan pemindaian laser) terhadap situs dan artefak utuh adalah mutlak. Teknologi ini memungkinkan para peneliti untuk menyimpan catatan akurat tentang posisi dan kondisi artefak sebelum diangkat, serta menciptakan model virtual yang dapat digunakan untuk studi jangka panjang tanpa merusak benda aslinya. Sayangnya, upaya ini memerlukan investasi teknologi dan sumber daya manusia yang besar.

Peran Museum dan Edukasi Publik

Museum lokal di Banyuwangi, meskipun terbatas, memainkan peran krusial dalam menyimpan dan memamerkan terakota. Dengan memamerkan artefak, museum tidak hanya berfungsi sebagai gudang, tetapi juga sebagai alat edukasi, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya warisan ini. Program edukasi publik, termasuk lokakarya dan kunjungan situs terkontrol, dapat menumbuhkan rasa kepemilikan pada masyarakat lokal, yang pada akhirnya menjadi garis pertahanan pertama melawan penjarahan.

Strategi pelestarian masa depan harus fokus pada pemberdayaan komunitas. Ketika masyarakat lokal menyadari bahwa terakota adalah bagian dari identitas mereka dan dapat membawa manfaat melalui pariwisata budaya (ecocultural tourism), mereka akan lebih termotivasi untuk melindungi situs-situs tersebut dari ancaman eksploitasi pihak luar. Kemitraan antara arkeolog, pemerintah daerah, dan komunitas adat (seperti masyarakat Using) adalah kunci untuk memastikan keberlanjutan perlindungan situs terakota Banyuwangi.

Eksplorasi Detail: Analisis Petrokimia Terakota dan Jaringan Perdagangan

Untuk mencapai pemahaman yang lebih utuh tentang terakota Banyuwangi, diperlukan metode analisis ilmiah yang jauh melampaui deskripsi visual. Analisis petrografi dan kimia material memberikan informasi tentang asal-usul tanah liat dan jaringan interaksi Blambangan dengan wilayah lain, termasuk Majapahit dan Bali.

Petrografi dan Asal Usul Tanah Liat

Petrografi melibatkan pemeriksaan sampel tipis terakota di bawah mikroskop polarisasi untuk mengidentifikasi komposisi mineral dari tanah liat dan bahan pengisi (temper). Studi petrografi terakota Blambangan menunjukkan adanya mineral-mineral vulkanik spesifik yang berasal dari kompleks pegunungan Ijen, yang mengkonfirmasi produksi lokal sebagian besar artefak. Namun, analisis juga mengidentifikasi adanya segelintir artefak dengan komposisi temper yang berbeda, yang memiliki kemiripan dengan komposisi tanah liat di Trowulan atau bahkan Bali Utara. Temuan ini menguatkan hipotesis bahwa meskipun produksi dominan bersifat lokal, Blambangan tetap berpartisipasi dalam jaringan pertukaran atau perdagangan yang memungkinkan masuknya barang-barang keramik impor.

Perbedaan komposisi ini sangat vital untuk memisahkan artefak "asli Blambangan" dari artefak "pengaruh Majapahit" atau "impor". Figurin lokal seringkali menunjukkan inklusi mineral yang lebih kasar dan tidak terolah, sesuai dengan teknik pembuatan manual yang lebih primitif. Sementara itu, genteng yang sangat standar atau pecahan wadah air tertentu menunjukkan karakteristik pembakaran dan material yang lebih halus, mengindikasikan kemungkinan diimpor dari pusat produksi keramik Majapahit yang lebih terorganisir.

Terakota dan Bukti Jaringan Perdagangan

Kajian mendalam terhadap terakota telah membantu merekonstruksi jalur perdagangan yang dilalui Blambangan. Sebagai wilayah pesisir yang menghadap Selat Bali, Blambangan berperan sebagai pelabuhan penting. Wadah-wadah terakota berukuran besar, yang ditemukan di dekat situs pelabuhan kuno, digunakan untuk menyimpan atau mengangkut komoditas seperti garam, beras, atau rempah-rempah. Sisa-sisa residu makanan atau mineral yang terperangkap dalam pori-pori terakota memberikan petunjuk langsung tentang apa yang diperdagangkan di wilayah tersebut.

Perbandingan desain kendi antara Banyuwangi dan Bali juga memperlihatkan adanya difusi budaya yang intens. Meskipun kendi Blambangan memiliki gaya lokal yang khas, beberapa kendi menunjukkan fitur desain Hindu-Bali, seperti motif hiasan berbentuk bunga lotus atau dewa kecil yang disematkan di leher kendi. Interaksi ini menegaskan status Blambangan sebagai zona transisi budaya yang dinamis.

Analisis Ikonografi Lanjutan: Studi Kasus Figurin Harimau

Figurin harimau di Banyuwangi layak mendapat perhatian khusus. Mereka bukan sekadar representasi hewan, tetapi simbol yang dipegang teguh oleh masyarakat Using. Harimau dalam mitologi Jawa Timur sering dihubungkan dengan Prabu Tawangalun, tokoh pendiri legendaris Blambangan, dan kekuatan gaib yang melindungi hutan dan pegunungan. Bentuk harimau terakota seringkali tidak proporsional; kepala besar, mata melotot, dan pose menyerang yang kaku. Detail ini sengaja dibuat untuk menonjolkan kekuatan magis, bukan keakuratan biologis.

Dalam konteks ritual, figurin harimau ini diduga kuat digunakan dalam upacara penobatan, ritual perang, atau ritual penyembuhan yang melibatkan dukun lokal. Kehadiran figurin harimau yang melimpah di situs-situs Blambangan adalah bukti material dari resistensi kultural mereka terhadap pengaruh luar, mempertahankan ikonografi lokal yang kuat bahkan ketika wilayah lain di Jawa sudah beralih ke ikonografi Islam.

Analisis spasial (pola sebaran) di situs-situs Blambangan juga menunjukkan bahwa figurin harimau sering ditemukan di perimeter permukiman, memperkuat hipotesis fungsinya sebagai penjaga pelindung. Sebaliknya, figurin manusia ditemukan lebih banyak di area pusat, di mana ritual domestik dan pemujaan leluhur diduga berlangsung.

Terakota dan Identitas Komunal

Salah satu hipotesis yang diajukan para peneliti adalah bahwa terakota, terutama yang diproduksi secara lokal, berfungsi sebagai alat untuk memperkuat identitas komunal di tengah tekanan politik dan militer. Ketika Majapahit runtuh dan Blambangan menjadi sasaran serangan dari Mataram di barat dan Bali di timur, artefak yang dibuat dari tanah lokal dan menampilkan gaya lokal menjadi simbol perlawanan dan kesinambungan budaya Hindu-Jawa di ujung timur. Setiap pecahan terakota adalah narasi tentang ketahanan Blambangan. Pengrajin terakota, oleh karena itu, mungkin memiliki peran penting sebagai penjaga tradisi material, memastikan bahwa identitas visual Blambangan terus terukir dalam tanah liat yang mereka olah.

Kerajinan terakota bukan hanya tentang membuat benda, tetapi tentang melestarikan memori kolektif. Pembentukan figur leluhur atau dewa lokal dari tanah liat adalah cara fisik untuk memanggil kembali kekuatan masa lalu dan menjadikannya hadir dalam kehidupan sehari-hari yang penuh ketidakpastian.

Warisan Hidup: Inspirasi Terakota dalam Budaya Banyuwangi Masa Kini

Meskipun periode kejayaan penggunaan terakota sebagai material ritual telah berakhir, warisan visual dan teknisnya tidak hilang. Terakota Banyuwangi terus menginspirasi seniman dan pengrajin lokal, memastikan bahwa teknik dan filosofi kuno tetap relevan dalam seni kontemporer.

Revitalisasi Kerajinan Gerabah

Di beberapa desa di Banyuwangi, khususnya yang dekat dengan lokasi penemuan purbakala, tradisi pembuatan gerabah (keramik sederhana) masih berlanjut, meskipun fungsinya kini murni utilitarian atau dekoratif. Para pengrajin modern menggunakan teknik pembakaran yang sama dengan tungku sederhana, menghasilkan produk dengan warna dan tekstur yang sangat mirip dengan terakota kuno. Perbedaan utama terletak pada modernisasi cetakan dan bentuk agar sesuai dengan permintaan pasar.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul inisiatif untuk merevitalisasi bentuk-bentuk kuno. Seniman lokal mulai membuat replika kendi Blambangan atau figurin harimau berdasarkan temuan arkeologis, menjadikannya suvenir budaya. Upaya ini tidak hanya melestarikan bentuk, tetapi juga mentransfer pengetahuan teknis kuno dari generasi ke generasi. Replika-replika ini, bila dibuat secara etis dan jelas dibedakan dari artefak asli, menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini.

Terakota dalam Seni Rupa Modern

Estetika terakota—keutuhan, kesederhanaan, dan warna tanah yang hangat—telah meresap ke dalam seni rupa Banyuwangi kontemporer. Pelukis dan pematung sering mengambil inspirasi dari figurin zoomorfik Blambangan, menafsirkan ulang kekuatan simbolis harimau dan elemen-elemen kesuburan dalam karya mereka. Kekasaran dan ekspresivitas yang menjadi ciri khas terakota Blambangan kini dianggap sebagai gaya artistik yang unik, sebuah penolakan terhadap kehalusan modern yang berlebihan.

Festival seni dan budaya lokal sering menampilkan pameran yang secara eksplisit menghubungkan karya modern dengan warisan terakota. Hal ini membantu menanamkan kesadaran kolektif bahwa sejarah material Banyuwangi jauh lebih kaya daripada sekadar narasi Majapahit—bahwa Blambangan memiliki suara artistik independen yang terdokumentasi dalam ribuan fragmen tanah liat yang tersebar di wilayahnya.

Pemanfaatan Arkeologi untuk Ekowisata Budaya

Pengembangan situs-situs terakota menjadi tujuan ekowisata budaya adalah langkah penting dalam menjamin kelestarian jangka panjang. Dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai pemandu dan pengelola, situs arkeologi (misalnya Macan Putih) dapat diubah menjadi sumber pendapatan yang berkelanjutan. Wisatawan tidak hanya melihat sisa-sisa reruntuhan, tetapi juga menyaksikan demonstrasi pembuatan keramik dengan teknik tradisional, menghubungkan langsung penemuan kuno dengan praktik kerajinan yang masih hidup.

Narasi yang disampaikan kepada publik harus menekankan bahwa terakota adalah artefak yang memiliki nilai informatif yang tak tergantikan. Dengan demikian, nilai historis terakota dipromosikan, dan insentif ekonomi untuk menjualnya secara ilegal dapat berkurang. Ini adalah siklus positif di mana pelestarian mendorong ekonomi, dan keuntungan ekonomi mendukung pelestarian yang lebih baik.

Penutup: Tanah yang Bicara

Terakota Banyuwangi adalah lebih dari sekadar pecahan keramik. Ia adalah ensiklopedia visual dan material yang merekam dinamika peradaban Blambangan selama berabad-abad. Dari kendi air yang sederhana hingga figurin ritualistik harimau yang kuat, setiap artefak mencerminkan adaptasi, spiritualitas, dan ketahanan masyarakat yang hidup di batas timur Jawa. Melalui analisis stratigrafi yang cermat, petrografi material, dan interpretasi ikonografi yang mendalam, kita dapat menyusun kembali kepingan-kepingan sejarah yang hilang, memberikan Blambangan tempat yang layak dalam studi sejarah maritim dan budaya Jawa.

Keunikan terakota yang bersifat lokal, spontan, dan sarat makna ritual, menjadikannya warisan yang tak ternilai. Tantangan untuk melindunginya dari kehancuran modern memang besar, namun upaya pelestarian yang berkelanjutan—didukung oleh teknologi, edukasi, dan partisipasi komunitas—akan memastikan bahwa narasi yang diukir dalam tanah liat ini akan terus "berbicara" kepada generasi mendatang, menceritakan kisah tentang peradaban yang berakar kuat di tanah ujung timur Pulau Jawa.

Eksplorasi ini menegaskan bahwa Banyuwangi, sebagai pewaris Blambangan, memiliki jejak material budaya yang mendalam. Terakota bukanlah akhir dari sebuah cerita, melainkan permulaan untuk memahami identitas dan jiwa spiritual masyarakat Using yang masih menjaga tradisi leluhur mereka hingga saat ini. Penelitian dan penggalian lebih lanjut mutlak diperlukan untuk mengungkap seluruh potensi arkeologis yang masih tersembunyi di bawah lapisan tanah subur Banyuwangi.

Kesinambungan perhatian terhadap terakota adalah investasi pada identitas bangsa. Ketika kita menghargai sepotong kecil tanah liat yang dibakar ribuan silam, kita menghargai perjuangan dan kearifan para pendahulu kita. Terakota Banyuwangi berdiri sebagai monumen kebisuan yang paling elok, menunggu untuk terus diinterpretasikan dan dijaga oleh kita semua.

Analisis Lanjutan Volume I: Figur Antropomorfik dan Konteks Demografi

Figurin antropomorfik terakota dari Banyuwangi, meskipun sering dianggap ‘kasar’ jika dibandingkan dengan patung logam atau batu, menyimpan informasi demografi dan sosial yang kompleks. Mayoritas figurin ini tidak dibuat dengan fitur wajah yang individual, tetapi cenderung menampilkan ekspresi generik yang universal, menunjukkan bahwa mereka mungkin mewakili arketipe, seperti 'Sang Ibu' (fertilitas) atau 'Sang Prajurit' (proteksi). Sebuah studi mendalam pada lebih dari dua ratus fragmen figurin yang ditemukan di sekitar situs Macan Putih menunjukkan pola tertentu dalam penggambaran gender dan usia.

Figurin perempuan seringkali digambarkan dengan pose berdiri atau duduk bersila, dengan penekanan pada pinggul dan perut. Analisis kimia isotop pada tanah liat menunjukkan bahwa banyak dari figurin ini dibakar pada suhu yang sedikit lebih tinggi daripada wadah utilitarian, menyiratkan bahwa mereka mungkin dianggap lebih penting atau sakral. Kehadiran figurin anak-anak, meskipun lebih jarang, memberikan petunjuk tentang tingkat mortalitas anak dan pentingnya ritual perlindungan anak dalam masyarakat Blambangan. Figur-figur ini mungkin dikubur bersama bayi yang meninggal, atau digunakan dalam ritual untuk mendoakan kesehatan anak-anak yang masih hidup. Proporsi figurin anak yang ditemukan menunjukkan adanya fokus yang signifikan terhadap kultus kelangsungan garis keturunan, sebuah hal yang wajar mengingat Blambangan selalu berjuang mempertahankan populasi dan wilayahnya di tengah tekanan geopolitik.

Peran Pakaian dan Perhiasan

Detail pakaian pada figurin terakota sangat minim, tetapi beberapa fragmen menunjukkan adanya ukiran detail pada bagian pinggang atau kepala, yang mengindikasikan jenis perhiasan atau ikat kepala yang digunakan. Ini memberikan wawasan langka tentang mode dan status sosial pada masa itu. Beberapa figurin 'prajurit' memiliki hiasan kepala menyerupai topi atau mahkota sederhana, yang mungkin mewakili pemimpin lokal atau pahlawan mitologis. Perbandingan dengan relief di Candi Sukuh atau Candi Cetho menunjukkan kemiripan dalam gaya penggambaran sosok sederhana ini, memperkuat hubungan Blambangan dengan tradisi Hindu-Jawa Pasca-Majapahit.

Hipotesis yang paling kuat adalah bahwa figurin-figurin ini berfungsi sebagai media komunikasi dengan alam roh leluhur. Mereka bukan potret spesifik, melainkan wadah (sarana) untuk menampung energi spiritual. Dalam praktik animisme-Hindu yang sinkretis, membuat figurin terakota adalah tindakan sakral yang mengundang kehadiran yang tak terlihat ke dalam benda yang terlihat dan dapat disentuh.

Analisis Lanjutan Volume II: Rekonstruksi Lingkungan dan Ekonomi Berdasarkan Wadah Terakota

Terakota utilitarian adalah penanda ekonomi dan lingkungan yang paling jujur. Jumlah dan jenis wadah yang ditemukan di suatu situs memberikan gambaran langsung mengenai skala ekonomi permukiman tersebut. Di situs Macan Putih, kelimpahan wadah penyimpanan biji-bijian (tempayan besar) dan wadah fermentasi menunjukkan bahwa Blambangan memiliki basis ekonomi agraris yang kuat, terutama padi dan komoditas fermentasi seperti tuak atau cuka. Kapasitas rata-rata tempayan terakota di Macan Putih, yang diukur secara volumetrik, mengindikasikan kemampuan penyimpanan kolektif yang cukup untuk menopang populasi besar selama musim paceklik.

Inovasi Sistem Penyimpanan Air

Penemuan pipa air terakota di Macan Putih tidak hanya menunjukkan rekayasa sipil, tetapi juga respons adaptif terhadap lingkungan. Banyuwangi, meskipun memiliki curah hujan tinggi, memiliki musim kemarau yang cukup panjang. Sistem perpipaan terakota yang terhubung ke sumber mata air atau tangkapan air hujan menunjukkan pengelolaan sumber daya yang cerdas, yang sangat penting untuk kelangsungan hidup permukiman. Desain pipa yang ditemukan di Banyuwangi, yang seringkali menggunakan sambungan mortise-and-tenon (lidah dan alur), menunjukkan pengetahuan teknis yang cukup maju untuk menghindari kebocoran, sebuah adaptasi yang berbeda dari sistem saluran air batu di Jawa Tengah.

Kendi air, sebagai artefak yang paling personal, juga mencerminkan ekonomi rumah tangga. Kebanyakan kendi ditemukan dalam kondisi pecah di dalam permukiman, menunjukkan bahwa mereka adalah barang konsumsi yang sering diganti. Variasi ukuran kendi mungkin mencerminkan perbedaan status; kendi yang lebih halus dan berornamen mungkin milik keluarga elit, sementara kendi yang kasar dan besar digunakan oleh masyarakat umum. Fragmentasi ini justru memberikan data arkeologis berharga, karena menunjukkan pola penggunaan intensif dan siklus penggantian material.

Terakota sebagai Alat Pertukaran

Ada bukti bahwa terakota, terutama genteng standar dan wadah masak tertentu, mungkin telah digunakan sebagai semacam alat pertukaran atau komoditas dagang lokal. Karena bahan baku dan proses pembuatannya relatif mudah diakses, terakota berfungsi sebagai produk manufaktur dasar yang diperdagangkan antara desa-desa pegunungan dan pesisir di Blambangan. Analisis distribusi menunjukkan bahwa genteng terakota dari sumber produksi tertentu tersebar luas, mendukung teori adanya spesialisasi produksi gerabah di wilayah tertentu Blambangan. Spesialisasi ini adalah penanda penting dari kompleksitas ekonomi pra-industri.

Oleh karena itu, terakota dari Blambangan berfungsi ganda: sebagai cermin ritual spiritual yang dalam, sekaligus sebagai bukti nyata dari struktur ekonomi agraris yang terorganisir, adaptif, dan mampu menghasilkan barang-barang material yang menopang kehidupan sehari-hari ratusan ribu individu di ujung timur Jawa.

Analisis Lanjutan Volume III: Hubungan Struktural antara Terakota dan Arsitektur Blambangan

Memahami terakota Banyuwangi juga berarti memahami arsitektur di mana ia digunakan. Tidak seperti candi di Jawa Tengah yang didominasi batu andesit, arsitektur Blambangan kuno, berdasarkan temuan terakota, sebagian besar menggunakan material organik (kayu, bambu) dengan elemen permanen terbuat dari terakota. Kombinasi ini sangat pragmatis, mengingat gempa bumi sering terjadi di wilayah tersebut, dan terakota lebih ringan serta lebih mudah diganti daripada batu berat.

Genteng dan Identitas Atap

Genteng adalah artefak terakota yang paling masif ditemukan. Genteng Blambangan seringkali tebal, kuat, dan memiliki lubang untuk pemasangan paku kayu. Yang menarik adalah penemuan genteng-genteng yang dicap atau dihiasi dengan simbol-simbol tertentu, seperti swastika sederhana (simbol kesejahteraan Hindu) atau pola kotak-kotak. Simbol-simbol ini berfungsi sebagai penanda religius atau perlindungan magis di atap rumah. Atap, dalam kosmologi Jawa, adalah batas antara dunia luar (kosmos) dan dunia domestik (mikrokosmos), dan terakota memainkan peran penting dalam sakralisasi batas tersebut.

Selain genteng, ditemukan pula fragmen antefix (hiasan ujung atap) dan kala (kepala monster penjaga) kecil yang terbuat dari terakota. Ini menunjukkan bahwa meskipun bahan utama bangunan bersifat organik, elemen hiasan yang sarat makna spiritual dibuat dari material permanen. Kala terakota di Banyuwangi menunjukkan gaya yang lebih sederhana dan ekspresif dibandingkan dengan ukiran batu di Jawa Barat, mencerminkan gaya seni rakyat (folk art) yang kuat.

Lantai dan Fondasi

Beberapa situs menunjukkan adanya penggunaan ubin terakota untuk lantai bangunan elit. Ubin-ubin ini dibakar dengan sangat keras dan dipasang dalam pola geometris. Penggunaan lantai terakota bukan hanya fungsional (menjaga kebersihan), tetapi juga penanda status sosial; hanya bangunan penting, seperti istana, kuil, atau rumah pemimpin, yang menggunakan lantai terakota yang mahal dan rumit. Di bawah lantai, sering ditemukan bekal persembahan yang juga terbuat dari terakota (misalnya, bejana kecil berisi biji-bijian), menegaskan hubungan sakral antara fondasi bangunan dengan kesuburan tanah.

Studi mengenai terakota arsitektural memberikan gambaran tentang bagaimana Blambangan mengintegrasikan keyakinan spiritual mereka ke dalam ruang hidup mereka. Terakota, yang berasal dari bumi (tanah liat) dan diubah oleh api, dianggap memiliki kekuatan transformatif. Ketika ditempatkan sebagai bagian dari rumah, ia membawa kekuatan pelindung bumi dan api ke dalam struktur yang fana.

Analisis Lanjutan Volume IV: Terakota Zoomorfik dan Kosmologi Fauna Blambangan

Kajian terhadap terakota zoomorfik memerlukan pemahaman terhadap kosmologi Blambangan kuno. Selain harimau, temuan figurin babi hutan, kura-kura, dan unggas memberikan petunjuk tentang hubungan manusia dengan alam. Figur babi hutan, yang sering digambarkan dengan taring besar, mungkin terkait dengan ritual perburuan atau sebagai representasi Dewa Wisnu dalam wujud Varaha, meskipun penafsirannya lebih cenderung ke konteks lokal daripada mitologi Hindu klasik yang ketat.

Kura-kura dan Simbolisme Kosmik

Figurin kura-kura, meskipun jarang, sangat signifikan. Dalam banyak tradisi Asia, kura-kura adalah simbol kosmologis yang mendukung dunia. Kehadiran figurin kura-kura terakota di Blambangan mungkin mengindikasikan adopsi pandangan kosmik yang serupa, di mana kura-kura diletakkan sebagai fondasi spiritual untuk bangunan atau permukiman, memastikan stabilitas dunia kecil mereka. Kura-kura sering ditemukan di kedalaman lapisan tanah situs, mendukung interpretasi fungsi sebagai fondasi ritual.

Burung dan Koneksi Langit

Beberapa fragmen figurin unggas (burung) ditemukan. Burung dalam mitologi Jawa adalah penghubung antara bumi dan langit. Figurin burung, kemungkinan besar, digunakan dalam ritual yang memohon komunikasi dengan dewa-dewa langit atau roh-roh leluhur yang telah naik. Salah satu jenis burung yang sering digambarkan secara abstrak adalah Garuda, meskipun dalam bentuk yang sangat disederhanakan dan lokal, menunjukkan hubungan yang tidak terputus dengan simbol-simbol kerajaan Majapahit, namun disesuaikan dengan kemampuan teknis terakota.

Secara keseluruhan, terakota zoomorfik di Banyuwangi adalah katalog fauna simbolis yang penting. Mereka tidak hanya mencerminkan lingkungan alam di sekitar Blambangan (hutan dan sungai), tetapi juga bagaimana masyarakat menafsirkan dan memanipulasi kekuatan alam melalui representasi material. Perhatian yang diberikan pada Harimau menegaskan kembali peran Blambangan sebagai "Tanah Macan," sebuah wilayah perbatasan yang keras, yang membutuhkan perlindungan spiritual dari makhluk paling kuat di alam liar.

Setiap figurin hewan, baik yang utuh maupun fragmen, adalah data penting yang membantu arkeolog menyusun ulang peta kepercayaan lokal Blambangan, sebuah sistem kepercayaan yang tangguh yang mampu bertahan di tengah perubahan agama dan politik besar-besaran di Nusantara.

Analisis Lanjutan Volume V: Terakota Sebagai Penanda Krisis Sosial dan Ketahanan

Periode akhir Blambangan (abad ke-17 dan ke-18) adalah masa konflik, invasi Mataram, dan tekanan Belanda. Perubahan ini tercermin secara dramatis dalam kualitas dan kuantitas terakota. Dalam periode krisis, produksi terakota utilitarian cenderung menurun drastis atau menjadi sangat sederhana. Bahan baku menjadi kurang disiapkan, dan pembakaran menjadi kurang efisien, menghasilkan produk yang sangat rapuh. Hal ini menunjukkan gangguan pada rantai pasok dan organisasi sosial yang diperlukan untuk produksi keramik skala besar.

Perubahan Fokus Produksi

Menariknya, meskipun kualitas utilitarian menurun, produksi figurin ritualistik tidak sepenuhnya berhenti. Figurin yang dibuat pada periode akhir justru menunjukkan peningkatan ekspresifitas emosional, seolah-olah pengrajin menuangkan keputusasaan dan harapan mereka ke dalam tanah liat. Figurin periode ini seringkali lebih kecil dan mudah disembunyikan, cocok untuk praktik ritual di masa penganiayaan atau konflik. Perubahan fokus dari produksi massal ke ritual pribadi adalah penanda ketahanan budaya di bawah tekanan ekstrem.

Bukti Penghancuran yang Disengaja

Di beberapa lapisan arkeologis situs Macan Putih, ditemukan konsentrasi pecahan terakota yang sangat padat dan seragam, yang mungkin mengindikasikan penghancuran yang disengaja. Penghancuran ini bisa jadi merupakan bagian dari ritual pengakhiran suatu zaman (seperti saat pusat pemerintahan dipindahkan atau diserang), atau bisa juga merupakan hasil dari invasi militer yang menghancurkan simbol-simbol keagamaan Blambangan. Analisis ini sangat sensitif, karena membutuhkan pembedaan antara kerusakan akibat alam dan kerusakan akibat tindakan manusia. Jika penghancuran tersebut disengaja, ini menunjukkan bahwa terakota memiliki nilai simbolis yang begitu tinggi sehingga menjadikannya target utama dalam peperangan budaya.

Dengan demikian, terakota Banyuwangi bukan hanya artefak dari masa damai, tetapi juga catatan tebal tentang perjuangan, krisis, dan upaya gigih Blambangan untuk mempertahankan eksistensinya di tengah gelombang sejarah yang bergejolak. Setiap fragmen yang ditemukan adalah suara dari masa lalu yang mengingatkan kita akan ketahanan spiritual yang luar biasa di ujung timur Pulau Jawa.

🏠 Homepage