Slamet Soedarsono dan Arsitektur Pembangunan Jangka Panjang di Bappenas

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) selalu menjadi jantung dari setiap denyut nadi kebijakan pembangunan di Indonesia. Lembaga ini bukan sekadar kantor birokrasi, melainkan sebuah laboratorium strategis tempat visi kolektif bangsa diuraikan menjadi cetak biru operasional. Dalam sejarah panjang institusi ini, banyak figur kunci yang mendedikasikan pemikiran, keahlian teknis, dan integritas moralnya untuk membentuk wajah perekonomian nasional. Salah satu nama yang memainkan peran fundamental dalam peletakan fondasi perencanaan pembangunan modern, terutama dalam konteks integrasi sektoral dan regional yang kompleks, adalah Slamet Soedarsono.

Kontribusi Slamet Soedarsono di Bappenas melampaui tugas administratif harian. Perannya terkonsentrasi pada pengembangan metodologi perencanaan yang resilien, mampu beradaptasi terhadap gejolak global, namun tetap berakar pada kebutuhan spesifik masyarakat Indonesia. Fokus utamanya adalah transformasi perencanaan dari sekadar daftar proyek (list of projects) menjadi sebuah sistem terpadu yang mampu mengukur dampak jangka panjang, keadilan distribusi, dan kesinambungan ekologis. Warisan pemikirannya tetap relevan, terutama saat Indonesia terus berupaya mencapai status negara berpendapatan tinggi yang inklusif.

I. Fondasi Pemikiran: Bappenas sebagai Katalis Transformasi

1.1. Peran Sentral Bappenas dalam Sejarah Kebijakan

Bappenas, sejak pembentukannya, memegang mandat unik: menjembatani ambisi politik dengan realitas teknokratis. Ini adalah institusi yang bertugas merumuskan Pembangunan Jangka Panjang (PJP), yang kemudian diterjemahkan ke dalam Rencana Lima Tahunan yang detail. Dalam konteks ini, Slamet Soedarsono melihat Bappenas bukan hanya sebagai regulator dana, tetapi sebagai pusat inkubasi ide-ide pembangunan. Beliau memahami bahwa perencanaan yang efektif harus memiliki dimensi multi-temporal—jangka pendek untuk stabilitas, jangka menengah untuk pertumbuhan, dan jangka panjang untuk transformasi struktural yang mendasar.

Masa di mana Slamet Soedarsono aktif memberikan kontribusi merupakan periode krusial di mana negara mulai menyadari keterbatasan model pembangunan yang terlalu tersentralisasi. Ada kebutuhan mendesak untuk memasukkan parameter baru, seperti indikator kualitas hidup, pemerataan spasial, dan mitigasi risiko lingkungan, ke dalam kerangka perencanaan makroekonomi yang dominan. Pendekatan beliau mengedepankan sinkronisasi antara perencanaan fiskal yang didorong oleh Kementerian Keuangan dan perencanaan sektoral yang didorong oleh kementerian teknis, memastikan tidak adanya disonansi dalam alokasi sumber daya nasional.

Fokus utama dalam filosofi perencanaan ini adalah konsep 'Keseimbangan Dinamis.' Artinya, rencana tidak boleh statis, melainkan harus memiliki mekanisme umpan balik (feedback loop) yang memungkinkan penyesuaian cepat berdasarkan kinerja indikator sosial dan ekonomi di lapangan, bukan hanya berdasarkan asumsi model awal. Hal ini membutuhkan kemampuan analitis yang sangat tinggi dari tim perencana di Bappenas.

1.2. Tantangan Metodologis dan Integrasi Model Ekonomi

Salah satu kontribusi paling signifikan dari era Slamet Soedarsono adalah upaya formalisasi dan standarisasi alat-alat analisis pembangunan. Sebelumnya, perencanaan sering kali bersifat ad-hoc atau terlalu bergantung pada asumsi makroekonomi yang simplistis. Slamet Soedarsono mendorong penggunaan model ekonometri yang lebih canggih, terutama yang melibatkan Matriks Akuntansi Sosial (MAS) dan model Input-Output (I-O) yang disesuaikan untuk konteks Indonesia. Model-model ini vital untuk memahami bagaimana investasi di satu sektor (misalnya, infrastruktur) dapat menghasilkan efek pengganda (multiplier effect) pada sektor lain (misalnya, pertanian atau industri pengolahan).

Pekerjaan mendalam ini melibatkan ratusan teknokrat dan akademisi untuk menyusun basis data yang koheren, yang pada masa itu merupakan tantangan besar mengingat keterbatasan teknologi informasi dan komunikasi. Model I-O yang diadvokasi oleh Slamet Soedarsono tidak hanya mengukur hubungan antar industri, tetapi juga memasukkan dimensi regional—sebuah inovasi besar. Perencanaan tidak lagi dilihat dari kacamata Jakarta sentris, melainkan sebagai jaringan ketergantungan antar-wilayah. Jika investasi di Jawa menghasilkan output, bagaimana dampaknya terhadap kebutuhan bahan baku dari Sumatera atau Kalimantan? Pertanyaan-pertanyaan detail inilah yang menjadi inti dari revolusi metodologis yang didorong oleh beliau.

Diagram Perencanaan Pembangunan Terpadu BAPPENAS Sektor I Regional Sosial Infrastruktur
Gambar 1: Model Keseimbangan Sektoral dan Regional dalam Kerangka Perencanaan Bappenas.

II. Integrasi Vertikal dan Horizontal: Menghindari Silo Kebijakan

Pada banyak negara berkembang, tantangan utama perencanaan adalah fenomena 'silo kebijakan,' di mana setiap kementerian bekerja secara independen tanpa koordinasi strategis yang memadai. Slamet Soedarsono, melalui posisinya di Bappenas, berjuang keras untuk mengatasi fragmentasi ini dengan mengembangkan kerangka integrasi vertikal (pusat ke daerah) dan horizontal (antar-kementerian) yang ketat. Ini adalah upaya monumental yang memerlukan negosiasi politik dan pemahaman mendalam tentang prioritas nasional.

2.1. Membangun Visi Pembangunan Jangka Panjang Terstruktur

Periode perencanaan yang didominasi oleh pemikiran Slamet Soedarsono menekankan pada penentuan sasaran jangka panjang yang terukur, atau yang dikenal dengan PJP. Visi ini tidak hanya berisi target angka pertumbuhan PDB, tetapi mencakup indikator non-ekonomi yang penting, seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM), rasio gini (kesenjangan), dan kapabilitas teknologi nasional. Perumusan PJP memerlukan konsensus multi-stakeholder yang kompleks, melibatkan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil, sebuah praktik yang pada saat itu masih tergolong baru dan revolusioner dalam birokrasi perencanaan Indonesia.

Pekerjaan di belakang layar melibatkan penyusunan skenario masa depan—optimis, moderat, dan pesimis—untuk menguji ketahanan strategi pembangunan terhadap berbagai guncangan potensial, baik internal maupun eksternal. Skenario-skenario ini kemudian digunakan untuk menentukan prioritas investasi nasional. Misalnya, jika risiko harga komoditas global menurun drastis, sektor mana yang harus diperkuat melalui subsidi atau insentif fiskal agar perekonomian tetap stabil? Pendekatan antisipatif ini menunjukkan kedalaman pemikiran strategis yang diterapkan di Bappenas pada masa itu, jauh melampaui perencanaan reaktif biasa.

2.2. Sinkronisasi Program Sektoral dan Alokasi Sumber Daya

Untuk memastikan integrasi horizontal, Slamet Soedarsono memimpin reformasi dalam proses pengajuan anggaran program. Beliau mendorong sistem di mana kementerian teknis harus menunjukkan secara eksplisit bagaimana program mereka berkontribusi pada sasaran PJP yang lebih besar. Ini berbeda dengan sistem sebelumnya di mana alokasi dana sering kali didasarkan pada besaran anggaran historis atau kekuatan lobi politik.

Inovasi kuncinya adalah pengenalan 'peta keterkaitan output-outcome.' Setiap program harus jelas outputnya (apa yang dihasilkan, misalnya, jumlah kilometer jalan baru) dan outcome-nya (dampak jangka panjang, misalnya, penurunan biaya logistik atau peningkatan akses pasar bagi petani). Mekanisme ini memaksa kementerian untuk berpikir secara holistik tentang dampak kebijakan mereka dan memfasilitasi koordinasi di tingkat Bappenas, karena kini Bappenas memiliki alat standar untuk membandingkan efisiensi investasi antar-sektor, misalnya membandingkan efisiensi investasi di sektor kesehatan dengan sektor energi.

Lebih dari itu, sistem evaluasi program yang dikembangkan Bappenas mulai bergeser dari sekadar penyerapan anggaran (serapan dana) menjadi pengukuran kinerja riil (real performance measurement). Ini merupakan langkah maju yang signifikan dalam upaya meningkatkan akuntabilitas publik dan efektivitas belanja negara, memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan pemerintah benar-benar menghasilkan manfaat sosial dan ekonomi yang direncanakan.

2.2.1. Elaborasi Model Keseimbangan Ekonomi Jaringan

Model yang diperkenalkan oleh Slamet Soedarsono, meskipun berbasis teori ekonomi klasik, diadaptasi untuk mencerminkan kompleksitas pasar Indonesia yang terfragmentasi secara geografis. Beliau sangat menekankan pada peran infrastruktur sebagai 'urat nadi' perencanaan. Namun, pemahamannya terhadap infrastruktur melampaui pembangunan fisik semata. Ia melihatnya sebagai jaringan ekonomi yang harus optimal secara biaya dan waktu. Analisis Biaya Manfaat Sosial (ABMS) diterapkan secara rigor pada proyek-proyek infrastruktur besar, sebuah langkah yang menuntut Bappenas memiliki staf ahli yang kompeten dalam valuasi non-pasar, seperti nilai waktu yang dihemat atau dampak lingkungan yang dihindari.

Contohnya, dalam perencanaan sektor transportasi, Bappenas tidak hanya menghitung biaya pembangunan jalan tol. Mereka juga harus memodelkan bagaimana jalan tol tersebut mengubah struktur biaya produksi di wilayah yang dilalui, bagaimana migrasi tenaga kerja produktif berubah, dan sejauh mana peningkatan konektivitas mempengaruhi harga komoditas pangan di pasar konsumen akhir. Keterlibatan Bappenas di bawah kepemimpinannya dalam detail teknis ini menunjukkan komitmen untuk perencanaan berbasis bukti yang kuat, mengurangi intervensi politik yang tidak didukung data empiris.

2.2.2. Pengendalian Risiko dan Ketidakpastian

Dalam konteks global yang semakin volatil, perencanaan pembangunan harus mampu menahan guncangan eksternal. Slamet Soedarsono mengadvokasi pembentukan kerangka kerja manajemen risiko makroekonomi dalam tubuh perencanaan Bappenas. Ini mencakup pengembangan indikator peringatan dini (early warning indicators) untuk fluktuasi harga minyak, nilai tukar mata uang, dan permintaan global untuk komoditas ekspor utama Indonesia. Ketika indikator-indikator ini mencapai ambang batas tertentu, rencana kontingensi yang telah disiapkan harus secara otomatis diaktifkan, memandu pemerintah untuk melakukan penyesuaian fiskal dan moneter yang terkoordinasi.

Pengelolaan risiko ini juga mencakup aspek demografi. Dengan populasi yang terus bertambah, perencanaan harus mengantisipasi tekanan pada sektor pendidikan dan kesehatan, serta kebutuhan untuk menciptakan lapangan kerja yang sesuai dengan lonjakan angkatan kerja muda. Perencanaan pembangunan manusia, yang seringkali dianggap 'lunak' dibandingkan dengan perencanaan infrastruktur 'keras,' justru diletakkan sebagai prioritas utama karena perannya sebagai penentu daya saing jangka panjang bangsa. Model proyeksi demografi digunakan untuk mengarahkan alokasi dana pendidikan, memastikan ketersediaan guru berkualitas dan fasilitas yang memadai 10 hingga 15 tahun ke depan.

III. Merangkai Nusantara: Visi Pembangunan Spasial dan Otonomi Daerah

Isu yang paling menantang bagi perencana pusat adalah bagaimana memastikan pembangunan merata di kepulauan yang luas, yang memiliki keragaman geografis dan kapasitas fiskal daerah yang sangat berbeda. Pada masa Slamet Soedarsono, isu Otonomi Daerah (Otda) mulai menjadi wacana dominan, menuntut perubahan radikal dalam cara Bappenas berinteraksi dengan pemerintah daerah. Beliau menyadari bahwa perencanaan top-down tidak lagi berkelanjutan, namun perencanaan bottom-up murni berisiko menciptakan disparitas yang tak terkendali.

3.1. Dari Sentralisasi ke Koordinasi Strategis

Transisi menuju Otda menuntut Bappenas untuk mengubah perannya dari pengontrol dana menjadi fasilitator dan koordinator strategis. Slamet Soedarsono memimpin upaya untuk merumuskan kerangka yang memastikan bahwa meskipun daerah memiliki kewenangan luas untuk merencanakan kebutuhannya sendiri, rencana tersebut tetap selaras dengan prioritas nasional, terutama dalam hal proyek-proyek yang memiliki dampak lintas provinsi atau kepentingan strategis nasional (PSN). Hal ini melahirkan konsep 'perencanaan hibrida,' di mana kerangka makroekonomi ditetapkan oleh pusat, tetapi detail implementasi dan alokasi diserahkan kepada daerah, sesuai dengan kapasitas lokal mereka.

Pendekatan ini membutuhkan pembentukan mekanisme konsultasi regional yang kuat. Bappenas harus secara aktif turun ke daerah, berdialog dengan Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah), dan memahami keterbatasan serta potensi unik setiap wilayah. Keberhasilan perencanaan regional, menurut beliau, sangat tergantung pada kualitas data dan kemampuan analitis Bappeda. Oleh karena itu, Bappenas juga berperan besar dalam program peningkatan kapasitas staf perencanaan daerah, memastikan standar metodologis yang seragam di seluruh negeri.

Tantangan terbesar dalam fase Otda adalah bagaimana menjaga alokasi Transfer ke Daerah (TKD) agar mendorong efisiensi dan bukan sekadar ketergantungan. Perencanaan yang didorong oleh Slamet Soedarsono mulai memasukkan variabel kinerja fiskal dan tata kelola daerah sebagai komponen penentu dalam formula TKD, memberikan insentif bagi daerah yang mampu mengelola anggarannya secara akuntabel dan inovatif.

3.2. Pengembangan Pusat-pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru

Untuk mengatasi masalah disparitas spasial, Bappenas fokus pada identifikasi dan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Pulau Jawa. Strategi ini bukan sekadar pemindahan industri, melainkan pembangunan ekosistem ekonomi yang mandiri. Ini melibatkan penilaian mendalam terhadap keunggulan komparatif masing-masing pulau—misalnya, keunggulan maritim di wilayah timur, potensi energi terbarukan di wilayah tertentu, atau spesialisasi pertanian di wilayah lain.

Strategi Pembangunan Spasial ini memerlukan investasi yang sangat terarah, terutama pada infrastruktur konektivitas logistik, seperti pelabuhan, bandar udara, dan jaringan jalan primer yang menghubungkan pusat-pusat produksi dengan pasar. Bappenas memegang peran vital dalam memprioritaskan proyek-proyek ini, memastikan bahwa investasi yang dilakukan bersifat katalitik, yaitu mampu memicu investasi swasta yang lebih besar, bukan sekadar menggantikan peran sektor swasta.

Jaringan Konektivitas Regional dan Pemerataan Pembangunan Konektivitas Penguatan Regional
Gambar 2: Konsep Jaringan Ekonomi Regional, memprioritaskan konektivitas antar-pusat pertumbuhan.

3.2.1. Manajemen Data dan Statistik Pembangunan Regional

Dalam era Otda, informasi adalah kekuatan. Slamet Soedarsono menyadari bahwa tanpa data yang kredibel dan terstandardisasi dari daerah, Bappenas akan buta dalam merumuskan kebijakan nasional yang adil. Oleh karena itu, salah satu proyek terbesarnya adalah standarisasi sistem informasi pembangunan daerah (SIPD). Ini bukan sekadar pengumpulan data, tetapi penetapan definisi operasional yang baku untuk setiap indikator, mulai dari angka kemiskinan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) regional, hingga data kapasitas produksi sektor unggulan daerah.

Upaya ini melibatkan koordinasi yang intensif dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bappeda. Tujuannya adalah menciptakan 'dashboard pembangunan nasional' yang dapat diakses dan diverifikasi oleh publik, memberikan transparansi sekaligus akuntabilitas. Dengan data yang kuat, perencanaan regional dapat berpindah dari basis 'proyek keinginan' menjadi basis 'keunggulan komparatif' yang rasional, memastikan investasi di daerah menghasilkan pengembalian sosial dan ekonomi yang maksimal.

3.2.2. Mengatasi Disparitas Kapasitas Daerah

Perbedaan kapasitas antara daerah kaya sumber daya (resource-rich) dan daerah yang minim sumber daya (resource-poor) menjadi masalah akut dalam kerangka Otda. Slamet Soedarsono memimpin pemikiran tentang perlunya 'dana afirmasi' atau alokasi khusus yang didesain untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan di daerah tertinggal, bukan sekadar alokasi untuk proyek fisik. Dana ini digunakan untuk pelatihan aparatur, pengembangan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang terintegrasi, dan implementasi sistem e-Government di tingkat lokal.

Pendekatan ini berprinsip bahwa pemerataan tidak dicapai dengan memberikan jumlah uang yang sama, melainkan dengan memberikan intervensi yang berbeda sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kapasitas awal. Bappenas berfungsi sebagai konsultan pembangunan daerah, membantu Bappeda merancang portofolio investasi yang paling optimal, bukan hanya menyetujui anggaran yang sudah diajukan. Upaya ini menunjukkan pergeseran paradigma dari kontrol ketat menjadi kemitraan strategis.

IV. Perencanaan di Tengah Gejolak: Adaptasi dan Ketahanan Ekonomi

Sejarah kontribusi Slamet Soedarsono di Bappenas tidak dapat dipisahkan dari periode-periode turbulensi ekonomi dan transisi politik. Perencana pembangunan harus memiliki kemampuan yang luar biasa untuk mengadaptasi rencana jangka panjang dalam menghadapi krisis yang tak terduga. Peran Bappenas menjadi sangat krusial sebagai jangkar stabilitas kebijakan di saat institusi lain mungkin mengalami fragmentasi atau kebingungan arah.

4.1. Merumuskan Rencana Darurat dan Pemulihan Struktural

Ketika negara menghadapi krisis moneter dan ekonomi yang melumpuhkan, Bappenas berada di garis depan dalam merumuskan rencana pemulihan struktural. Ini membutuhkan keberanian teknokratis untuk mengambil langkah-langkah yang mungkin tidak populer tetapi esensial untuk kesehatan ekonomi jangka panjang. Slamet Soedarsono dan timnya terlibat dalam perumusan kebijakan yang fokus pada tiga pilar utama pemulihan: stabilisasi moneter, restrukturisasi perbankan, dan penguatan jaring pengaman sosial (JPS).

Dalam kondisi darurat, perencanaan konvensional lima tahunan harus digantikan oleh perencanaan taktis 12-18 bulan yang sangat fokus. Bappenas harus mampu mengidentifikasi secara cepat sektor-sektor yang paling rentan (terutama yang memiliki ketergantungan utang luar negeri tinggi) dan mengarahkan sumber daya untuk menopang sektor-sektor yang memiliki potensi pemulihan tercepat (biasanya industri berorientasi ekspor non-migas atau sektor padat karya). Analisis dampak sosial dari krisis juga menjadi prioritas, memastikan bahwa program JPS tepat sasaran untuk melindungi kelompok masyarakat termiskin dari dampak terburuk inflasi dan pengangguran yang melonjak.

4.2. Institusionalisasi Transparansi dan Akuntabilitas

Transisi politik yang terjadi membuka pintu bagi tuntutan publik yang lebih besar terhadap transparansi penggunaan dana pembangunan. Slamet Soedarsono mendorong reformasi internal di Bappenas untuk memastikan proses perencanaan menjadi lebih terbuka dan akuntabel. Ini termasuk standardisasi prosedur pengadaan proyek, integrasi sistem informasi anggaran, dan penguatan fungsi evaluasi independen.

Langkah-langkah ini bertujuan untuk menghilangkan potensi korupsi dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses perencanaan. Bappenas mulai menyelenggarakan konsultasi publik yang lebih luas mengenai rancangan rencana pembangunan, memungkinkan masukan dari akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan perwakilan daerah untuk menyempurnakan dokumen perencanaan sebelum disahkan. Proses inklusif ini mengubah citra Bappenas dari menara gading teknokrasi menjadi lembaga yang responsif terhadap kebutuhan riil masyarakat.

4.2.1. Membangun Resiliensi Fiskal dalam Perencanaan

Pengalaman krisis mengajarkan pentingnya resiliensi fiskal. Dalam konteks perencanaan Bappenas, ini berarti memastikan bahwa proyek-proyek strategis tidak terhenti total meskipun terjadi guncangan pendapatan negara. Slamet Soedarsono mempromosikan pendekatan 'multi-year phasing' yang lebih fleksibel, di mana proyek besar dibagi ke dalam fase-fase yang dapat disesuaikan intensitasnya tanpa mengurangi kualitas keseluruhan. Selain itu, beliau menekankan pentingnya diversifikasi sumber pendanaan pembangunan, mengurangi ketergantungan pada pinjaman luar negeri yang rentan terhadap volatilitas nilai tukar.

Inovasi dalam pembiayaan, seperti skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau Public-Private Partnership (PPP), mulai dipetakan secara sistematis dalam rencana Bappenas. Tugas Bappenas di sini adalah menyiapkan kerangka regulasi dan studi kelayakan yang memadai (Feasibility Study), mengurangi risiko investasi bagi sektor swasta, dan memastikan bahwa proyek-proyek tersebut masih selaras dengan tujuan pembangunan sosial dan lingkungan, bukan sekadar maksimalisasi keuntungan finansial semata. Ini memerlukan kemampuan Bappenas untuk berbicara dalam bahasa ekonomi pasar, sekaligus memegang teguh mandat keadilan sosial.

4.2.2. Reformasi Peraturan Perencanaan

Untuk memastikan bahwa perubahan filosofis dan metodologis ini bertahan, Slamet Soedarsono berperan aktif dalam mereformasi landasan hukum perencanaan pembangunan nasional. Beliau menyadari bahwa kualitas rencana ditentukan oleh kerangka peraturan yang mendasarinya. Reformasi ini bertujuan untuk: (a) mengikat rencana pembangunan dengan sistem penganggaran tahunan, menghilangkan diskoneksi antara dokumen perencanaan (Rencana) dan dokumen penganggaran (Anggaran); (b) memperjelas peran dan batas tanggung jawab antara Bappenas (perumus strategi) dan kementerian teknis (pelaksana program); dan (c) memberikan landasan hukum yang kuat bagi sistem evaluasi kinerja yang transparan.

Tindakan ini memastikan bahwa perencanaan pembangunan menjadi siklus yang berkelanjutan dan terstruktur: dari perumusan visi (PJP), penetapan strategi (Rencana Lima Tahunan), implementasi program (Anggaran Tahunan), hingga evaluasi dan umpan balik (Monitoring Kinerja). Institusionalisasi siklus ini adalah warisan abadi yang memastikan Bappenas tetap relevan dan efektif melintasi perubahan rezim politik.

V. Dimensi Manusia dalam Perencanaan Pembangunan

Walaupun sering berurusan dengan angka makro dan model rumit, Slamet Soedarsono tidak pernah kehilangan fokus pada tujuan akhir pembangunan: peningkatan kualitas hidup manusia. Perencanaan yang didorongnya secara eksplisit mengintegrasikan indikator pembangunan manusia, yang mencakup kesehatan, pendidikan, dan inklusi sosial, sebagai penentu keberhasilan, setara dengan indikator pertumbuhan ekonomi tradisional.

5.1. Prioritas Pendidikan dan Kesehatan

Dalam konteks Bappenas, Slamet Soedarsono mendorong peningkatan alokasi anggaran yang signifikan dan terarah untuk sektor pendidikan dan kesehatan. Namun, fokusnya bukan hanya pada jumlah dana, tetapi pada efektivitas belanja (spending effectiveness). Beliau menantang kementerian terkait untuk menyusun program yang secara langsung mengatasi kesenjangan kualitas antar-daerah dan antar-kelompok sosial.

Di sektor pendidikan, perencanaan Bappenas menargetkan peningkatan akses dan mutu guru di daerah terpencil, serta penyelarasan kurikulum dengan kebutuhan industri masa depan. Di sektor kesehatan, perhatian dialihkan dari sekadar pembangunan fasilitas fisik menjadi penguatan sistem kesehatan primer (puskesmas) dan peningkatan gizi masyarakat, terutama pada kelompok usia rentan, sebagai investasi jangka panjang dalam modal manusia. Peran Bappenas adalah memastikan bahwa target sektoral ini tidak berjalan sendiri, melainkan terintegrasi dengan perencanaan infrastruktur dasar (seperti air bersih dan sanitasi) yang vital bagi kesehatan publik.

5.2. Pengembangan Kapasitas Internal Teknokrat Bappenas

Slamet Soedarsono sangat menyadari bahwa kualitas perencanaan sangat bergantung pada kualitas para perencananya. Ia memandang Bappenas sebagai institusi pembelajaran, bukan sekadar lembaga birokrasi. Beliau memprioritaskan program pelatihan dan pendidikan lanjutan bagi staf Bappenas, mendorong mereka untuk menguasai tidak hanya teori ekonomi pembangunan, tetapi juga metodologi analisis kebijakan yang paling mutakhir, termasuk pemodelan iklim dan analisis sistem kompleks.

Upaya ini termasuk menjalin kemitraan strategis dengan universitas terkemuka di dalam dan luar negeri, serta membangun sistem mentoring internal yang kuat. Filosofinya adalah bahwa teknokrat Bappenas harus menjadi yang terdepan dalam pengetahuan, mampu menantang asumsi lama, dan berani mengajukan solusi yang inovatif dan berbasis data. Pengembangan kapasitas ini merupakan investasi fundamental yang memastikan kelangsungan peran Bappenas sebagai lembaga pemikir strategis nasional.

Pembangunan Kapasitas dan Visi Masa Depan Basis Pengetahuan Kemajuan Pembangunan Kapasitas SDM
Gambar 3: Pilar Pembangunan Manusia: Pengetahuan, Kemajuan Terukur, dan Kapasitas SDM.

5.2.1. Inklusi Sosial dan Pertimbangan Gender

Dalam perencanaan makro yang didominasi oleh variabel ekonomi, dimensi inklusi seringkali terabaikan. Slamet Soedarsono mendorong integrasi Analisis Dampak Gender (ADG) ke dalam proses perencanaan program, memastikan bahwa proyek-proyek pembangunan tidak memperlebar kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, melainkan secara aktif memberdayakan perempuan dalam ekonomi dan pengambilan keputusan. Bappenas mulai menuntut kementerian teknis untuk menyajikan data yang terpilah berdasarkan gender (gender-disaggregated data) dalam laporan evaluasi mereka.

Selain gender, perencanaan juga diperluas untuk mencakup kelompok rentan lainnya, seperti penyandang disabilitas dan masyarakat adat. Ini diterjemahkan ke dalam program yang sensitif terhadap lokasi dan budaya (culturally appropriate programs), terutama di wilayah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T). Peran Bappenas di sini adalah memastikan bahwa 'bottom-up planning' benar-benar mengakomodasi suara kelompok minoritas yang seringkali tereduksi dalam proses musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) formal.

5.2.2. Menghadirkan Dimensi Lingkungan dan Keberlanjutan

Di penghujung kontribusinya, isu keberlanjutan dan lingkungan hidup semakin mendapatkan porsi penting dalam perencanaan pembangunan. Slamet Soedarsono memimpin upaya untuk mengintegrasikan perhitungan ‘biaya eksternalitas’ ke dalam analisis proyek, sebuah langkah yang secara fundamental mengubah cara proyek-proyek industri dan infrastruktur dinilai. Biaya eksternalitas, seperti polusi air atau hilangnya keanekaragaman hayati, kini harus dihitung dan dimasukkan sebagai komponen biaya sosial dari proyek.

Pengenalan konsep 'Pembangunan Berkelanjutan' dalam dokumen perencanaan Bappenas pada masa itu merupakan langkah progresif. Hal ini memposisikan Indonesia untuk menghadapi tantangan lingkungan global, seperti perubahan iklim, jauh sebelum isu tersebut menjadi arus utama. Peran Bappenas adalah memastikan bahwa pembangunan ekonomi hari ini tidak mengorbankan kapasitas generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, menekankan pada konservasi sumber daya alam dan transisi bertahap menuju energi yang lebih bersih.

VI. Warisan Perencanaan: Dampak pada Kebijakan Pembangunan Kontemporer

Kontribusi Slamet Soedarsono di Bappenas meninggalkan jejak yang mendalam pada arsitektur kebijakan Indonesia. Warisan utamanya bukanlah pada proyek fisik spesifik, melainkan pada pembentukan sistem dan filosofi perencanaan yang adaptif, terintegrasi, dan berorientasi pada manusia. Pemikiran dan kerangka kerja yang ia bantu bangun telah menjadi DNA operasional Bappenas, memastikan bahwa perencanaan tetap menjadi fungsi ilmiah dan teknokratis, terlepas dari dinamika politik yang terjadi.

6.1. Institusionalisasi Pendekatan Berbasis Bukti (Evidence-Based Planning)

Yang paling berharga dari era kepemimpinan teknokratis seperti Slamet Soedarsono adalah penekanan tak tergoyahkan pada pendekatan berbasis bukti. Ini berarti bahwa keputusan alokasi sumber daya tidak boleh didasarkan pada spekulasi atau tekanan politik semata, tetapi harus ditopang oleh data, analisis, dan model yang teruji. Institusionalisasi proses ini telah menciptakan budaya di Bappenas di mana kompetensi teknis dan integritas data adalah mata uang utama.

Hingga kini, metodologi yang dikembangkan untuk menyusun model I-O regional dan kerangka evaluasi kinerja program masih menjadi tulang punggung dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Kemampuan Bappenas untuk melakukan proyeksi jangka panjang yang kredibel, serta mengintegrasikan risiko global ke dalam perencanaan domestik, adalah bukti nyata keberhasilan penanaman budaya analisis yang kuat di masa lampau.

6.2. Pilar Keberlanjutan Bappenas dalam Transisi

Bappenas, sebagai lembaga yang harus beradaptasi dengan berbagai perubahan pemerintahan dan krisis, tetap mampu mempertahankan perannya sebagai koordinator pembangunan nasional. Resiliensi institusional ini sebagian besar berkat kerangka kerja dan sistem internal yang dibangun oleh para teknokrat perintis. Mereka berhasil menciptakan pemisahan fungsional yang jelas antara perencanaan strategis (jangka panjang) yang relatif stabil, dan perencanaan taktis (tahunan) yang harus fleksibel, memastikan kontinuitas visi nasional.

Slamet Soedarsono dan rekan-rekannya di Bappenas pada masa itu berperan sebagai penjaga gawang dari tujuan pembangunan nasional, memastikan bahwa setiap transisi politik atau perubahan fokus kebijakan baru tetap berpegangan pada prinsip dasar pemerataan, pertumbuhan yang inklusif, dan keberlanjutan ekologis. Kesinambungan visi ini sangat penting untuk mencapai tujuan Pembangunan Jangka Panjang, yang memerlukan dedikasi melintasi batas waktu kepemimpinan politik individu.

6.2.1. Memperkuat Peran Koordinator Antar-Lembaga

Salah satu pelajaran terbesar yang diwariskan adalah pentingnya peran Bappenas sebagai 'Supra-Kementerian.' Dalam sistem yang terfragmentasi, Bappenas adalah satu-satunya lembaga yang memiliki mandat dan kapasitas untuk melihat gambaran besar (the big picture). Slamet Soedarsono memperkuat mekanisme di mana Bappenas menjadi penengah dan integrator antara kepentingan sektoral (misalnya, kementerian pertanian vs. kementerian industri), memastikan bahwa kebijakan yang ditetapkan adalah kebijakan 'optimal secara nasional,' bukan 'optimal secara sektoral.'

Untuk masa depan, warisan ini menuntut Bappenas untuk terus meningkatkan kemampuan negosiasi dan diplomasi internal, menggunakan data dan analisis sebagai alat persuasif utama. Tanpa kemampuan ini, Bappenas berisiko hanya menjadi 'tukang stempel' anggaran, kehilangan peran strategisnya sebagai otak perencanaan pembangunan bangsa. Konsistensi dalam menjaga independensi profesional teknokrat menjadi kunci keberlanjutan peran ini, sebuah prinsip yang sangat dijunjung tinggi dalam etos kerja yang diwariskan.

6.2.2. Relevansi Abadi Prinsip Keadilan Spasial

Di era modern, ketika disparitas kekayaan antar-daerah semakin menajam akibat globalisasi yang terkonsentrasi, prinsip keadilan spasial yang dicanangkan Slamet Soedarsono tetap sangat relevan. Upaya untuk mengembangkan Wilayah Pembangunan Strategis dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan manifestasi kontemporer dari filosofi lama: bahwa pertumbuhan harus didorong di luar pusat-pusat tradisional, dan bahwa investasi infrastruktur harus dilihat sebagai alat pemerataan, bukan sekadar pelayan sentra ekonomi yang sudah maju.

Tantangan yang dihadapi perencana pembangunan saat ini adalah bagaimana mengaplikasikan prinsip-prinsip solid yang diwariskan, namun dengan mempertimbangkan variabel baru seperti ekonomi digital, ancaman pandemi global, dan percepatan perubahan iklim. Fondasi perencanaan yang kokoh, yang dibangun atas dasar analisis mendalam, integrasi sektoral yang ketat, dan fokus yang tidak goyah pada kualitas hidup rakyat, adalah sumbangan Slamet Soedarsono yang tak ternilai bagi upaya berkelanjutan Indonesia menuju kemakmuran yang adil dan merata.

Dedikasi Slamet Soedarsono di Bappenas mencerminkan bagaimana teknokrasi yang kompeten, etos kerja yang tinggi, dan komitmen pada visi nasional dapat secara fundamental membentuk jalur pembangunan suatu negara. Kisah beliau adalah pengingat bahwa di balik megaprojek dan kebijakan makro, selalu ada pemikiran strategis dan upaya sungguh-sungguh untuk merencanakan masa depan yang lebih baik bagi seluruh warga negara.

🏠 Homepage