Ilustrasi simbolis persahabatan Simone de Beauvoir dan Zaza.
Dalam lanskap pemikiran eksistensialis dan feminis abad ke-20, nama Simone de Beauvoir bergaung kuat sebagai filsuf, penulis, dan aktivis. Namun, di balik karyanya yang monumental dan pengaruhnya yang luas, terjalin sebuah kisah pribadi yang mendalam, sebuah persahabatan yang membentuk sebagian dari jiwanya: hubungannya dengan Elisabeth Marie Madeleine de Fontanges, yang lebih dikenal sebagai Zaza. Kisah Beauvoir dan Zaza bukan sekadar catatan persahabatan biasa, melainkan sebuah potret intim tentang bagaimana ikatan antarmanusia, terutama antara perempuan, dapat menjadi sumber inspirasi, sekaligus sumber kesedihan yang mendalam.
Simone de Beauvoir, yang kelak dikenal sebagai salah satu pelopor feminisme radikal, bertemu dengan Zaza saat mereka masih belia di Paris. Keduanya bersekolah di lembaga pendidikan Katolik yang sama, Collège Désirée-Verneuil. Dari awal, Zaza memikat Beauvoir dengan kecerdasan, semangat, dan kepribadiannya yang periang. Zaza digambarkan sebagai sosok yang cerdas, kritis, dan memiliki pandangan dunia yang tajam, sebuah cerminan yang kelak sangat beresonansi dengan Beauvoir muda yang juga memiliki rasa ingin tahu dan kecenderungan intelektual yang kuat. Persahabatan mereka berkembang pesat, diperkaya oleh percakapan-percakapan mendalam tentang agama, filsafat, dan makna kehidupan.
Bagi Beauvoir, Zaza adalah lebih dari sekadar teman. Ia adalah cermin yang memantulkan potensi dirinya, seorang pendamping intelektual yang mampu menantang dan menginspirasi. Di masa di mana peran perempuan seringkali terbatas, Beauvoir dan Zaza menemukan ruang bagi diri mereka sendiri untuk tumbuh, untuk mengeksplorasi ide-ide yang kompleks, dan untuk mendefinisikan identitas mereka di luar norma-norma sosial yang ada. Kebebasan intelektual yang mereka bagikan menjadi fondasi kuat bagi ikatan mereka, sebuah anomali yang patut dicatat di era tersebut.
Pengaruh Zaza terhadap pemikiran Beauvoir terbilang signifikan. Dalam otobiografinya, terutama di jilid "Memoirs of a Dutiful Daughter," Beauvoir secara gamblang menceritakan bagaimana Zaza mengilhaminya untuk mempertanyakan ajaran agama yang diterima begitu saja oleh keluarganya. Zaza, dengan keraguan dan analisis kritisnya, mendorong Beauvoir untuk mencari kebenaran yang lebih substansial di luar dogma. Pergulatan Zaza dengan iman dan keraguannya mencerminkan pergolakan batin yang juga dialami oleh Beauvoir.
"Zaza adalah seorang gadis yang cemerlang, bersemangat, dan yang terpenting, dia memiliki jiwa yang memberontak. Bersamanya, saya mulai melihat celah dalam dunia yang telah saya anggap begitu pasti."
Pertukaran ide yang intens antara keduanya menjadi arena latihan intelektual yang tak ternilai. Mereka membahas karya-karya sastra, teori-teori filosofis, dan bahkan isu-isu sosial yang kompleks. Pertemuan-pertemuan mereka seringkali berlangsung larut malam, didedikasikan untuk dialog yang merangsang, di mana keduanya saling mendorong untuk berpikir lebih dalam dan lebih keras. Zaza menjadi sosok yang mewakili kemerdekaan berpikir dan keberanian untuk menentang konvensi, nilai-nilai yang kelak menjadi inti dari filsafat Beauvoir.
Namun, kisah persahabatan mereka terputus secara tragis. Zaza jatuh sakit dan meninggal dunia di usia yang sangat muda, sebuah kehilangan yang mengguncang Beauvoir hingga ke intinya. Kematian Zaza bukan hanya kehilangan seorang sahabat terdekat, tetapi juga kehilangan sebuah kompas moral dan intelektual. Perjuangan Zaza melawan penyakitnya, dan ketidakberdayaan Beauvoir untuk mencegahnya, meninggalkan luka mendalam yang membekas seumur hidup.
Kehilangan Zaza menjadi salah satu titik balik terpenting dalam kehidupan dan pemikiran Beauvoir. Perasaan berduka yang mendalam, ditambah dengan rasa bersalah yang mungkin menyertainya (karena tidak dapat menyelamatkan sahabatnya), mendorong Beauvoir untuk lebih merenungkan eksistensi, kerapuhan kehidupan, dan pentingnya memanfaatkan setiap momen yang ada. Kematian Zaza memperkuat keyakinan Beauvoir bahwa hidup adalah sebuah pilihan, sebuah kebebasan yang harus dijalani dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, karena setiap detik adalah berharga.
Meskipun Zaza hanya hadir sebentar dalam kehidupan Beauvoir, jejaknya tertinggal kuat dalam karya-karyanya. Keberanian Zaza untuk mempertanyakan dan semangatnya untuk mencari makna seringkali direfleksikan dalam karakter-karakter atau tema-tema yang diangkat oleh Beauvoir dalam novel-novel dan esai-esainya. Zaza menjadi simbol pemberontakan intelektual dan pencarian jati diri yang tak kenal lelah, sebuah aspirasi yang sangat dihargai oleh Beauvoir.
Lebih dari sekadar inspirasi intelektual, hubungan Beauvoir dan Zaza juga menjadi pengingat akan pentingnya hubungan antarmanusia, terutama persahabatan yang tulus dan mendalam. Di dunia yang terkadang terasa dingin dan individualistik, kisah mereka menyoroti kekuatan dukungan emosional dan intelektual yang dapat diberikan oleh orang-orang terdekat. Simone de Beauvoir dan Zaza, sebuah nama yang terucap bersama, mewakili sebuah babak penting dalam narasi hidup seorang filsuf besar, sebuah persahabatan yang, meskipun singkat, memberikan kontribusi tak terukur pada pemikiran dan pengalaman kemanusiaan. Keberadaan Zaza, walau tak lagi fisik, terus hidup dalam memori Beauvoir dan dalam setiap kalimat yang ditulisnya yang menggenggam api pemberontakan dan pencarian kebenaran.