Di antara para sahabat agung Rasulullah ﷺ, terdapat sosok yang namanya terukir emas bukan hanya karena keberaniannya di medan laga, melainkan karena keistimewaan doa yang dimilikinya. Beliau adalah Saad bin Abi Waqqash, seorang pahlawan yang termasuk dalam sepuluh sahabat yang dijanjikan surga (Al-Asharah Al-Mubashsharah bi Al-Jannah).
Saad adalah figur sentral yang menghubungkan era awal Islam yang penuh cobaan di Makkah dengan era ekspansi besar-besaran di masa Khulafa'ur Rasyidin. Kisah hidupnya adalah sebuah kronik lengkap tentang dedikasi, keimanan yang teguh, dan peran militer yang tak tertandingi, terutama dalam menaklukkan kekaisaran terbesar di timur: Persia.
Nama lengkap beliau adalah Saad bin Malik bin Wuhaib bin Abdi Manaf bin Zuhrah. Keterikatan darahnya dengan Nabi Muhammad ﷺ sangatlah dekat. Ibunda Rasulullah, Aminah binti Wahb, berasal dari Bani Zuhrah, sehingga Saad adalah paman Nabi dari pihak ibu (seorang kerabat maternal). Kedudukan ini memberikannya kehormatan tersendiri di mata Nabi.
Saad bin Abi Waqqash dikenal sebagai salah satu dari tujuh orang pertama yang memeluk Islam. Saat itu, usianya masih sangat muda, sekitar tujuh belas tahun. Keputusan vital ini diambil di tengah masyarakat Makkah yang masih sangat kental dengan tradisi jahiliyah, menunjukkan kematangan spiritual dan keberanian luar biasa yang dimilikinya sejak dini.
Beliau memeluk Islam melalui ajakan Abu Bakar Ash-Shiddiq, jauh sebelum Rasulullah ﷺ mulai berdakwah secara terang-terangan. Keislamannya terjadi di masa-masa paling rahasia dan sulit dalam sejarah Islam, menjadikannya salah satu fondasi utama umat.
Keputusan Saad memeluk Islam menimbulkan konflik batin dan keluarga yang sangat mendalam, sebuah kisah yang diabadikan dalam Al-Qur'an. Ibunda Saad, Hamnah binti Sufyan, mencintai putranya dengan kasih sayang yang besar. Ketika mengetahui Saad telah mengikuti ajaran baru, ia merasa sangat kecewa. Untuk memaksanya kembali ke agama nenek moyang, sang ibu melakukan mogok makan dan minum.
Ibunya mengancam: "Demi Allah, aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati, sehingga engkau dihina orang karena membunuh ibumu!"
Melihat ibunya semakin lemah, hati Saad tentu saja hancur. Namun, keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya jauh lebih kuat daripada ikatan darah. Saad menghampiri ibunya dan berkata dengan tegas: "Wahai Ibuku, demi Allah, seandainya engkau memiliki seratus nyawa, lalu nyawa itu keluar satu per satu, aku tidak akan meninggalkan agama ini sedikit pun. Makanlah jika engkau mau, atau janganlah makan!"
Kejadian luar biasa ini menjadi latar belakang turunnya firman Allah dalam Surat Al-Ankabut (29:8) dan Luqman (31:15), yang menegaskan bahwa berbakti kepada orang tua adalah wajib, namun ketaatan kepada Allah adalah prioritas mutlak, bahkan jika orang tua memaksa untuk syirik. Sikap tegas namun penuh adab dari Saad ini menunjukkan kedalaman imannya yang tak tergoyahkan.
Saad bin Abi Waqqash dikenang abadi sebagai pemanah pertama dalam sejarah Islam yang melepaskan anak panah di jalan Allah. Keterampilan memanahnya memang legendaris, bahkan Rasulullah ﷺ secara khusus mengakui keahliannya ini.
Peristiwa bersejarah ini terjadi dalam Sariyyah (ekspedisi militer tanpa kehadiran Nabi) yang dipimpin oleh Ubaidah bin Al-Harits. Misi tersebut bertujuan mencegat kafilah Quraisy di lembah Rabigh. Meskipun tidak terjadi pertempuran besar, Saad melepaskan anak panahnya ke arah musuh, menjadi simbol dimulainya jihad fisik dalam Islam.
Dalam Perang Badar, pertempuran besar pertama antara kaum Muslimin dan Quraisy, Saad menunjukkan keberanian yang luar biasa. Ia adalah salah satu yang paling siap menghadapi tantangan fisik dan tempur, membuktikan bahwa imannya tidak hanya di hati tetapi juga termanifestasi dalam tindakan nyata di medan perang.
Puncak dari peran militer Saad di masa Nabi terjadi saat Perang Uhud. Ketika banyak sahabat panik dan melarikan diri, Saad tetap berdiri teguh di sisi Rasulullah ﷺ, melindunginya dari serangan musuh.
Pada saat-saat kritis itulah, Rasulullah ﷺ memberikan pujian tertinggi kepada Saad, sebuah pengakuan yang tidak pernah diberikan kepada sahabat lain. Nabi bersabda: "Panahlah, wahai Saad! Tebuslah dirimu dengan ayah dan ibuku!"
Ungkapan "Tebuslah dirimu dengan ayah dan ibuku" (Fidaaka Abi wa Ummi) adalah kehormatan tertinggi yang bisa diberikan oleh Nabi kepada seseorang, mengindikasikan betapa pentingnya peran Saad dalam melindungi nyawa Rasulullah saat itu. Saad terus memanah dengan akurasi mematikan hingga musuh berhasil dipukul mundur, menyelamatkan situasi yang nyaris fatal.
Salah satu ciri paling unik dari Saad bin Abi Waqqash adalah doanya yang selalu dikabulkan Allah SWT. Ini adalah karunia khusus yang diberikan Nabi Muhammad ﷺ kepadanya. Suatu ketika, Saad meminta Rasulullah mendoakannya.
Rasulullah ﷺ pun berdoa: "Ya Allah, kabulkanlah doa Saad dan tepatkanlah bidikannya."
Sejak saat itu, sejarah mencatat bahwa setiap kali Saad berdoa, doa tersebut mustahil ditolak. Kekuatan spiritual ini tidak hanya memberinya kekuasaan atas alam, tetapi juga memberinya tanggung jawab moral yang besar untuk menggunakan anugerah tersebut dengan bijak dan adil.
Dikisahkan bahwa suatu kali ia dituduh oleh sebagian orang Kufah sebagai pemimpin yang tidak adil. Saad pun mengangkat kedua tangannya dan berdoa: "Ya Allah, jika hamba-Mu ini dusta dan bangkit karena riya dan sombong, maka panjangkanlah umurnya, perbanyaklah kefakirannya, dan timpakanlah padanya fitnah!" Dan sungguh, orang tersebut menjalani sisa hidupnya dalam kemiskinan dan fitnah, menjadi pelajaran bagi siapa pun yang berani berbuat zalim atau memfitnah seorang hamba yang saleh.
Meskipun Saad memiliki peran penting di masa Nabi, puncak sejarahnya terletak pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab ra. Umar, yang dikenal sangat hati-hati dalam memilih komandan, menunjuk Saad sebagai pemimpin tertinggi pasukan Muslim yang akan menghadapi Kekaisaran Sassaniyah (Persia), sebuah kekuatan dunia yang telah mendominasi Timur selama berabad-abad.
Keputusan Umar menunjuk Saad adalah strategis. Saad dikenal tidak hanya sebagai prajurit pemberani, tetapi juga sebagai pemimpin yang saleh, jujur, dan memiliki karunia doa. Tentara Muslim yang bergerak ke Persia adalah gabungan dari berbagai suku, dan mereka membutuhkan komandan yang memiliki otoritas spiritual dan militer yang tak terbantahkan.
Saad memimpin pasukan dari Madinah menuju Irak. Di tengah jalan, beliau ditimpa penyakit yang membuatnya menderita bisul parah di pinggulnya, memaksanya memimpin dari kejauhan, meskipun semangatnya tetap membara. Situasi ini, meskipun sulit secara fisik, justru menjadi ujian kesetiaan pasukannya dan bukti bahwa kepemimpinan Islam tidak selalu bergantung pada kehadiran fisik di garis depan, melainkan pada strategi dan moral.
Sebelum pertempuran pecah, sesuai tradisi Islam, Saad mengirim utusan kepada Raja Persia, Yazdegerd III, menawarkan tiga pilihan: masuk Islam, membayar jizyah (pajak perlindungan), atau perang. Utusan Muslim, yang dipimpin oleh An-Nu'man bin Muqarrin, disambut dengan penghinaan dan arogansi di istana Ctesiphon (Madain).
Yazdegerd III, yang masih menganggap Arab sebagai suku Badui yang miskin, mengancam dan merendahkan. Respons sombong ini memantapkan tekad Saad dan pasukannya bahwa tidak ada jalan lain selain pertempuran. Surat balasan dari Yazdegerd III dipenuhi cemoohan, yang hanya meningkatkan semangat jihad para prajurit Muslim.
Pertempuran Qadisiyyah (636 M) adalah titik balik fundamental dalam sejarah dunia. Kemenangan di sini tidak hanya menghancurkan kekuatan militer Persia tetapi juga membuka seluruh wilayah Iran menuju Timur Tengah bagi penyebaran Islam. Pertempuran ini berlangsung selama empat hari yang sangat sengit, di bawah komando Rustam Farrukhzad di pihak Persia.
Hari pertama adalah pengujian mental bagi kaum Muslimin. Pasukan Persia menggunakan gajah perang dalam jumlah besar, yang belum pernah dilihat oleh tentara Arab sebelumnya. Gajah-gajah ini menyebabkan kekacauan total di barisan Muslim, menakut-nakuti kuda dan merobek formasi. Saad, meskipun mengamati dari markasnya (karena penyakitnya), segera memerintahkan para pemanah dan prajurit khusus untuk fokus menyerang mata dan belalai gajah.
Peran kabilah Tamim sangat vital hari itu, karena mereka memiliki pengalaman menghadapi gajah. Meskipun hari pertama berakhir tanpa kemenangan yang menentukan, kaum Muslimin berhasil menahan serangan gajah dan menemukan cara untuk menghadapinya.
Pada hari kedua, bala bantuan yang dinanti-nantikan tiba dari Syam. Bala bantuan ini dipimpin oleh Qa'qa bin Amr At-Tamimi. Qa'qa menggunakan taktik cemerlang yang dikenal sebagai 'strategi pergantian'. Ia membagi pasukannya menjadi kelompok-kelompok kecil dan memerintahkan mereka masuk ke medan perang secara bergelombang, memberikan kesan bahwa bala bantuan tak ada habisnya. Taktik ini sangat efektif dalam menghancurkan moral Persia.
Selain itu, strategi untuk melumpuhkan gajah disempurnakan. Prajurit berani mendekati gajah, memotong tali pengikatnya, dan melukai mereka hingga gajah-gajah itu berbalik dan menginjak-injak barisan pasukan mereka sendiri, menciptakan kekacauan masif di kubu Persia.
Hari ketiga adalah hari paling brutal dan paling banyak menelan korban dari kedua belah pihak. Pertempuran berlangsung sepanjang hari hingga malam, dikenal sebagai Lailatul Harir (Malam Gemuruh atau Malam Pengejaran), di mana teriakan para pejuang dan denting pedang tidak pernah berhenti. Selama malam itu, pasukan tidak mundur untuk beristirahat. Para komandan Muslim terus memompa semangat pasukan, menekankan bahwa kunci kemenangan hanya satu langkah lagi.
Dalam kepemimpinan spiritualnya, Saad selalu memastikan bahwa pasukannya terus menerus mendapatkan suplai makanan, air, dan yang paling penting, motivasi spiritual. Doa-doa dan takbir bergema di seluruh medan perang, memberikan energi ilahi kepada pasukan yang lelah.
Di hari keempat, terjadi titik balik yang menentukan. Angin kencang dan badai pasir tiba-tiba bertiup kencang, sebuah intervensi alam yang sering dianggap sebagai pertolongan ilahi (junudullah). Badai ini bertiup tepat ke wajah pasukan Persia, membutakan mereka dan mengganggu formasi mereka. Dalam kekacauan ini, Qa'qa bin Amr memimpin serangan gencar.
Momen paling krusial adalah kematian komandan Persia, Rustam Farrukhzad. Ketika Rustam mencoba melarikan diri, ia ditemukan dan dibunuh. Bendera kemenangan segera dikibarkan di atas mayat Rustam, dan pengumuman kematiannya menyebar cepat. Kabar ini menghancurkan semangat juang pasukan Persia yang tersisa. Pasukan Sassaniyah bubar dan melarikan diri, meninggalkan harta rampasan dan medan perang.
Kemenangan di Qadisiyyah adalah kemenangan yang monumental, bukan hanya kemenangan militer, tetapi juga simbol runtuhnya mitos kekuasaan Persia yang tak terkalahkan. Kerugian Persia sangat besar, dan jalan menuju ibu kota mereka, Ctesiphon (Al-Madain), kini terbuka lebar.
Saad memimpin pasukannya maju. Perjalanan menuju Madain dipenuhi tantangan alam, terutama saat harus menyeberangi Sungai Tigris yang sedang meluap. Atas perintah Saad, pasukannya melakukan penyeberangan sungai secara kolektif, sebuah tindakan yang terlihat mustahil, tetapi berhasil berkat keyakinan yang kuat. Para tentara menyeberang sambil berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Dia sebaik-baik pelindung."
Saat tiba di Madain, kota itu telah ditinggalkan oleh Yazdegerd III. Pasukan Saad memasuki istana putih (Istana Kasra) yang megah, simbol kemewahan dan kekuasaan Persia. Di sana, mereka menemukan kekayaan yang tak terbayangkan, termasuk permata, emas, dan permadani musim semi Persia yang terkenal. Diriwayatkan bahwa para prajurit yang telah berbulan-bulan berjuang di gurun, menangis haru melihat kekayaan yang kini menjadi milik umat Islam, namun tidak ada satu pun yang mengambil lebih dari bagiannya yang sah, menunjukkan tingkat kezuhudan dan disiplin yang tinggi di bawah kepemimpinan Saad.
Saad menjadikan Istana Kasra sebagai markasnya, dan sebagian besar harta rampasan dikirim kepada Khalifah Umar di Madinah. Kemenangan ini secara efektif mengakhiri Kekaisaran Sassaniyah sebagai entitas politik besar, meskipun perlawanan terus berlanjut di wilayah-wilayah yang lebih timur.
Setelah penaklukan Madain, Umar bin Khattab memerintahkan Saad untuk mendirikan kota baru yang berfungsi sebagai pangkalan militer dan pusat administrasi di wilayah Irak. Lokasi Madain dianggap tidak sehat dan terlalu dekat dengan Persia yang masih bergolak. Saad memilih lokasi yang sekarang dikenal sebagai Kufah (dekat dengan Najaf modern).
Saad bin Abi Waqqash memimpin pembangunan Kufah, menjadikannya kota garnizun pertama yang didirikan oleh Muslimin di wilayah taklukan. Beliau merancang tata kota, membangun masjid agung sebagai pusat sosial dan spiritual, serta barak-barak militer. Kufah segera menjadi pusat intelektual, politik, dan militer Islam di Timur.
Kepemimpinan Saad di Kufah berlangsung selama beberapa tahun, ditandai dengan keadilan dan pengelolaan yang efektif. Kufah di bawah Saad menjadi sumber utama kekuatan yang terus menekan perbatasan timur Persia, memastikan kekalahan terakhir Persia di Pertempuran Nahawand (meskipun Saad tidak memimpin langsung pertempuran ini, ia adalah arsitek logistik dari kemenangan tersebut).
Meskipun sukses di medan perang dan administrasi, Saad tidak luput dari intrik politik dan fitnah. Kufah adalah kota baru yang dihuni oleh berbagai suku Arab yang memiliki kepentingan dan ambisi yang berbeda-beda. Pada masa kekhalifahan Umar, muncul keluhan dari beberapa penduduk Kufah mengenai cara Saad memimpin. Tuduhan yang paling terkenal adalah bahwa Saad "tidak shalat dengan baik" atau "tidak membagi hasil rampasan dengan adil."
Mendengar keluhan ini, Umar bin Khattab, yang dikenal sangat menjunjung tinggi keadilan, segera mengirim utusan untuk menyelidiki. Meskipun Umar tahu betul kesalehan dan integritas Saad, ia harus bertindak berdasarkan prinsip keadilan. Utusan tersebut mendapati bahwa tuduhan-tuduhan itu palsu, didorong oleh kebencian dan ambisi pribadi beberapa individu.
Namun, untuk meredakan ketegangan politik dan menjaga stabilitas Kufah, Umar memutuskan untuk menarik Saad dari jabatannya sebagai gubernur. Keputusan ini menunjukkan sifat bijak Umar; ia lebih memilih mengorbankan panglima terbaiknya demi kedamaian sosial, meskipun ia tetap memegang kepercayaan penuh pada Saad.
Umar bin Khattab berkata kepada Saad ketika memecatnya: "Aku tidak memecatmu karena kelemahan atau pengkhianatan, tetapi untuk memberikan ketenangan bagi kaum Muslimin."
Pengangkatan dan pencopotan Saad menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana kekuasaan dipegang. Saad menerima keputusan Khalifah tanpa protes sedikit pun, menunjukkan ketaatan totalnya kepada pimpinan dan kezuhudannya terhadap jabatan duniawi.
Setelah Umar wafat akibat pembunuhan, Saad bin Abi Waqqash memainkan peran penting dalam proses suksesi. Ia dipilih oleh Umar sebagai salah satu dari enam anggota Majelis Syura, yang bertugas memilih khalifah berikutnya. Anggota Majelis ini adalah tokoh-tokoh paling mulia di kalangan sahabat, menunjukkan betapa tinggi kedudukan Saad di mata Umar.
Saad menyerahkan suaranya kepada Abdurrahman bin Auf dan bersama anggota syura lainnya berhasil menunjuk Utsman bin Affan sebagai Khalifah ketiga. Keputusannya di sini mencerminkan prinsip bahwa ia selalu mengutamakan persatuan umat di atas ambisi pribadi.
Di masa Utsman bin Affan, Saad sempat diangkat kembali sebagai Gubernur Kufah, menandakan bahwa fitnah sebelumnya telah sirna. Namun, konflik internal di Kufah kembali pecah, dan Utsman akhirnya mengganti Saad dengan Walid bin Uqbah untuk kedua kalinya. Sekali lagi, Saad menerima keputusan itu dengan lapang dada. Beliau mundur ke wilayah pedesaan di luar Madinah, memilih menjauh dari hiruk pikuk politik yang semakin memanas.
Mundurnya Saad dari panggung politik aktif di masa Utsman menunjukkan kecenderungan alaminya untuk menghindari konflik dan fokus pada ibadah serta kehidupan yang lebih sederhana, jauh dari godaan kekuasaan yang berpotensi memecah belah umat.
Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, umat Islam memasuki masa paling kelam, dikenal sebagai era Al-Fitnah Al-Kubra (Perang Saudara Besar), yang melibatkan pertempuran antara Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, dan pihak-pihak lain.
Pada masa ini, banyak sahabat besar terpecah. Namun, Saad bin Abi Waqqash mengambil sikap yang sangat tegas dan berprinsip: Netralitas. Beliau menolak untuk berpartisipasi dalam pertumpahan darah sesama Muslim, bahkan ketika ia didesak oleh banyak pihak untuk bergabung.
Saad bin Abi Waqqash, bersama beberapa sahabat senior lainnya seperti Abdullah bin Umar, memilih untuk mengisolasi diri. Sikap ini didasarkan pada pemahaman mendalam tentang ajaran Nabi ﷺ mengenai larangan memerangi sesama Muslim. Ia yakin bahwa darah seorang Muslim adalah haram, dan ia tidak ingin ambil bagian dalam perang di mana kedua pihak mengucapkan syahadat yang sama.
Ketika putra-putranya mendesaknya untuk bergabung dengan Ali bin Abi Thalib, dengan alasan Ali adalah Khalifah yang sah, Saad menjawab dengan kebijaksanaan: "Aku tidak akan memerangi seorang Muslim sampai kalian membawakanku pedang yang memiliki mata, lidah, dan bibir. Pedang itu akan mengatakan kepadaku: 'Ini adalah orang mukmin, dan ini adalah orang kafir'."
Pernyataan ini adalah metafora yang kuat. Saad ingin menekankan bahwa dalam pertempuran antar-Muslim, sulit sekali membedakan mana yang benar-benar kafir atau musuh Allah. Karena kedua pihak adalah Muslim, beliau memilih untuk menjaga tangannya tetap bersih dari darah.
Saad menggunakan perumpamaan yang diambil dari ajaran Nabi ﷺ untuk membenarkan sikapnya. Beliau sering mengutip hadis tentang saat-saat fitnah, di mana Nabi menasihati umat untuk menjadi seperti hamba yang terbunuh daripada pembunuh, atau yang duduk daripada berdiri.
Ada riwayat terkenal yang mengisahkan Saad menggembala untanya di padang pasir selama masa fitnah. Ia ditanya mengapa ia tidak bergabung dengan pertempuran. Saad menjawab sambil mengarahkan jarinya ke untanya: "Jika aku harus mengangkat pedang untuk memerangi seorang Muslim, aku akan memukulkan pedangku ke batu ini hingga pecah, dan aku akan duduk diam sampai Allah memberikan keputusannya."
Sikapnya ini menunjukkan tingkat ketakwaan yang luar biasa dan pemahaman yang mendalam tentang prioritas syariat: menjaga persatuan dan menghindari kekerasan internal adalah lebih utama daripada perebutan kekuasaan politik.
Saad hidup melampaui konflik Jamal dan Siffin. Beliau menyaksikan perpecahan umat, namun tetap konsisten pada prinsipnya. Sikap netralnya memberikan pelajaran penting bagi generasi berikutnya tentang bagaimana seorang Muslim yang bijak harus bertindak di tengah badai politik yang memecah belah. Ia adalah salah satu pilar spiritual yang tidak bisa digoyahkan oleh gejolak duniawi, memastikan warisan keimanannya tetap murni dan tidak tercemar oleh kepentingan faksi.
Kisah hidupnya pada periode ini membuktikan bahwa keberanian sejati tidak hanya terletak pada kemampuan mengangkat pedang di medan perang, tetapi juga pada keberanian untuk menolak mengangkat pedang melawan saudara sendiri, demi memelihara janji dan ajaran Nabi.
Saad bin Abi Waqqash menjalani sisa hidupnya dalam kezuhudan dan ibadah. Setelah pensiun total dari urusan pemerintahan, ia fokus pada pengajaran, mengingat janji-janji Allah, dan mendidik keluarganya. Kehidupan damai yang dipilihnya menjadi kontras yang menenangkan dibandingkan dengan kekacauan politik di luar rumahnya.
Meskipun pernah memegang kekuasaan atas wilayah yang luas dan mengelola harta rampasan perang yang luar biasa dari Persia, Saad bin Abi Waqqash wafat sebagai orang yang sederhana. Beliau tidak terikat pada harta dunia. Kekayaan Qadisiyyah dan Madain tidak pernah merubah gaya hidupnya yang sederhana. Keimanannya adalah kekayaan terbesarnya.
Saad dikenal sangat berhati-hati dalam hal makanan dan pendapatan. Setelah karunia doanya yang mustajab diketahui banyak orang, ia menjadi semakin takut kepada Allah. Beliau menyadari bahwa anugerah tersebut menuntut tingkat kesucian hati dan kejujuran yang lebih tinggi. Ia selalu berusaha memastikan bahwa apa yang ia makan dan gunakan berasal dari sumber yang murni halal.
Kewaspadaan ini berakar pada sabda Nabi ﷺ yang menekankan bahwa makanan haram dapat menghalangi terkabulnya doa. Karena doanya adalah karunia terbesar, Saad menjauhkan diri dari segala bentuk syubhat (perkara samar) dan haram.
Hubungan Saad dengan Rasulullah ﷺ sangatlah erat. Beliau adalah salah satu teman terdekat Nabi. Diriwayatkan bahwa suatu malam, ketika Nabi ﷺ berada di Madinah dan khawatir akan keselamatannya, Nabi berdoa: "Ya Allah, kirimkanlah seseorang yang saleh untuk menjagaku malam ini." Tiba-tiba terdengar suara senjata. Ternyata itu adalah Saad bin Abi Waqqash yang datang dengan pedang. Nabi ﷺ pun merasa tenang dan mendoakannya.
Kisah ini menunjukkan bukan hanya keberanian Saad, tetapi juga kedudukannya yang istimewa di mata Nabi, yang percaya sepenuhnya pada perlindungan yang diberikan Saad.
Saad bin Abi Waqqash wafat pada tahun 55 Hijriah (sekitar 675 M) di Al-Aqiq, sekitar 10 mil di luar Madinah. Beliau adalah sahabat terakhir dari sepuluh sahabat yang dijanjikan surga yang meninggal dunia.
Pada saat-saat terakhirnya, ia meminta keluarganya untuk mengenakan pakaian wol yang kasar kepadanya, pakaian yang ia kenakan saat Perang Badar. Beliau berkata: "Aku ingin bertemu Allah dengan pakaian ini. Aku ingin dia menjadi saksi atas perjuanganku di jalan-Nya."
Permintaan ini adalah pesan terakhirnya tentang kezuhudan dan keinginannya untuk mengingat momen-momen paling murni dalam kehidupannya sebagai seorang Muslim: masa-masa awal perjuangan yang penuh kesederhanaan dan keikhlasan. Kepergian Saad bin Abi Waqqash menjadi duka mendalam bagi seluruh umat Islam.
Jenazahnya dibawa ke Madinah, dan dishalatkan oleh para sahabat yang masih hidup, termasuk Abdullah bin Umar. Beliau dimakamkan di pemakaman Baqi' di Madinah. Kematiannya menandai berakhirnya era para panglima agung yang telah menyaksikan wahyu secara langsung dan berjuang di bawah panji Rasulullah ﷺ.
Warisan Saad bin Abi Waqqash melampaui gelar panglima perang. Beliau meninggalkan teladan yang kaya akan pelajaran bagi umat Muslim di sepanjang zaman.
Dari kisah cobaan ibunya hingga sikap netralnya di masa fitnah, Saad menunjukkan keteguhan yang mutlak. Ia mengajarkan bahwa keimanan kepada Allah harus diutamakan di atas segala ikatan duniawi, baik itu keluarga, kekuasaan, atau bahkan ambisi pribadi. Kesetiaannya yang tak tergoyahkan kepada risalah Nabi adalah fondasi dari seluruh kesuksesannya.
Sebagai seorang pemanah ulung, Saad adalah simbol disiplin dan akurasi. Kualitas ini ia terapkan tidak hanya dalam peperangan tetapi juga dalam kehidupan spiritualnya. Doanya yang mustajab adalah buah dari disiplin batin dan spiritual yang ketat.
Dalam Qadisiyyah, Saad menunjukkan bahwa kepemimpinan yang efektif tidak selalu berarti berada di garis depan secara fisik. Strategi, perencanaan matang, komunikasi yang efektif dengan Khalifah, dan yang terpenting, moral spiritual yang tinggi, adalah kunci untuk memimpin pasukan menuju kemenangan, bahkan ketika terhalang oleh kondisi fisik.
Setelah pensiun dari militer dan politik, Saad mendedikasikan dirinya untuk meriwayatkan hadis. Beliau adalah salah satu sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis, memastikan bahwa ajaran-ajaran Nabi ﷺ terus hidup dan tersebar luas ke generasi berikutnya. Para Tabi'in mengambil banyak pelajaran darinya tentang fiqih dan sunnah.
Kehidupan Saad bin Abi Waqqash adalah sebuah epik. Ia adalah pemanah pertama Islam, salah satu dari sepuluh yang dijamin surga, penakluk kekaisaran Persia, dan seorang zahid (asketis) yang bijaksana. Namanya akan selalu dikenang sebagai lambang keberanian di medan perang dan keteguhan di hadapan godaan dunia.
Fenomena "mustajab ad-da'wah" yang melekat pada Saad bin Abi Waqqash bukanlah sekadar keberuntungan spiritual, melainkan hasil dari ketaatan yang sangat tinggi dan ketulusan dalam setiap tindakannya. Analisis terhadap karunia ini memberikan wawasan tentang kualitas spiritual yang harus dimiliki seorang Muslim.
Keistimewaan doa Saad berakar pada kesediaannya untuk mendahulukan perintah Allah di atas segalanya, terutama dalam konflik dengan ibunya. Tindakan heroik ini, di mana ia memilih ketaatan Ilahi di tengah tekanan emosional, menandai dimulainya kehidupan yang penuh berkah. Ketaatan totalnya sejak usia muda seolah-olah membuka saluran langsung antara dirinya dan rahmat Allah.
Para ulama, ketika membahas karunia Saad, sering menyoroti usahanya yang keras untuk menjaga kehalalan rezekinya. Rasulullah ﷺ pernah bersabda bahwa seseorang yang makan dari sumber haram, doanya akan terhalang. Saad menjadikan kehati-hatian dalam mencari nafkah sebagai prioritas utama, memahami bahwa kesucian batin harus didukung oleh kesucian lahiriah. Inilah rahasia terbesar mengapa permohonannya selalu diangkat tanpa penghalang.
Saad menyadari bahwa kekuatan doanya adalah amanah yang besar. Beliau sangat jarang menggunakannya untuk kepentingan pribadi atau untuk menghancurkan musuh. Contoh penggunaan doanya yang paling terkenal adalah ketika ia mengutuk orang yang memfitnahnya di Kufah, dan itu dilakukan demi menegakkan keadilan dan membela kehormatan agama, bukan atas dasar dendam pribadi. Ini menunjukkan tanggung jawab moral yang melekat pada karunia tersebut.
Meskipun Qadisiyyah adalah kemenangan militer terbesar Saad, dampak kepemimpinannya meluas jauh melampaui medan perang. Sebagai pendiri Kufah, ia telah mendirikan pusat yang kemudian menjadi sumber utama penyebaran Islam ke timur, melintasi Iran, Afghanistan, dan masuk ke wilayah Asia Tengah dan India.
Di Kufah, ilmu tata bahasa Arab (Nahwu) berkembang pesat untuk membantu orang-orang non-Arab memahami Al-Qur'an. Saad, melalui administrasinya, secara tidak langsung mendukung lingkungan intelektual yang melahirkan para ulama dan ahli bahasa besar, memastikan bahwa warisan Arab dan Islam dapat diserap oleh bangsa Persia dan bangsa-bangsa lain yang baru memeluk Islam.
Para ahli fiqih (hukum Islam) sangat menghargai riwayat-riwayat dari Saad bin Abi Waqqash karena ia adalah salah satu sahabat yang paling sering mendampingi Nabi ﷺ. Pandangan-pandangannya mengenai ibadah, terutama shalat, dan masalah-masalah peperangan menjadi rujukan utama bagi generasi Tabi'in. Keahliannya sebagai pemanah juga memberikan landasan praktis bagi hukum-hukum terkait jihad dan perlengkapan perang.
Ketika ia dicopot dari jabatannya, baik oleh Umar maupun Utsman, beliau tidak pernah menunjukkan rasa marah atau pengkhianatan. Kesabarannya dalam menghadapi ketidakadilan politik adalah teladan bagi setiap pemimpin Muslim. Ia membuktikan bahwa jabatan hanyalah alat, dan tujuan sejati adalah ridha Allah. Pengunduran dirinya yang penuh kedamaian pada masa fitnah mengajarkan umat bahwa terkadang, menjauh dari kekuasaan adalah bentuk ibadah tertinggi.
Saad bin Abi Waqqash, sang pahlawan yang tangannya telah menghancurkan sebuah kekaisaran raksasa, memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan pakaian sederhana yang mengingatkannya pada masa-masa awal yang suci. Kehidupannya adalah mercusuar yang menerangi jalan bagi mereka yang mencari keberanian, keikhlasan, dan keberkahan dalam setiap doa.