Kitab Amsal adalah gudang kebijaksanaan praktis yang memberikan panduan hidup bagi kita. Di antara sekian banyak permata hikmatnya, dua ayat spesifik, Amsal 12:1 dan Amsal 28:28, menawarkan perspektif yang mendalam tentang kebahagiaan sejati dan tanggung jawab moral. Mari kita menyelami makna kedua ayat ini dan bagaimana keduanya saling melengkapi dalam membentuk karakter yang saleh dan kehidupan yang memuaskan.
"Siapa mencintai didikan, mencintai pengetahuan, tetapi siapa membenci teguran, adalah dungu." (Amsal 12:1)
Amsal 12:1 secara gamblang mengaitkan cinta pada didikan dan pengetahuan dengan kebahagiaan, serta menyamakan kebencian terhadap teguran dengan kebodohan. Ayat ini mengajarkan kita bahwa pertumbuhan pribadi dan pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan tidak datang secara pasif. Sebaliknya, ia membutuhkan sikap proaktif untuk belajar, untuk menerima instruksi, dan yang paling penting, untuk bersedia dikoreksi. Seseorang yang mencintai didikan adalah pribadi yang haus akan kebijaksanaan. Ia melihat setiap kesempatan belajar—baik dari buku, pengalaman, atau nasihat orang lain—sebagai anugerah. Pengetahuan yang diperolehnya bukan sekadar tumpukan fakta, melainkan alat untuk memahami dunia dan diri sendiri dengan lebih baik.
Namun, hikmat sejati seringkali teruji ketika kita dihadapkan pada teguran. Teguran, entah itu kritik konstruktif atau koreksi langsung, bisa terasa menyakitkan, terutama jika kita memiliki ego yang rapuh. Orang yang dungu, dalam konteks ayat ini, adalah mereka yang menutup diri terhadap teguran. Mereka menolak untuk mengakui kesalahan, mencari alasan untuk membenarkan diri, atau bahkan menyerang pemberi teguran. Konsekuensi dari sikap ini adalah stagnasi spiritual dan intelektual. Mereka terjebak dalam lingkaran kebodohan, tidak mampu memperbaiki kesalahannya dan terus menerus jatuh ke dalam perangkap yang sama. Sebaliknya, orang yang bijaksana justru merangkul teguran. Ia melihatnya bukan sebagai serangan pribadi, melainkan sebagai kesempatan berharga untuk mengidentifikasi kelemahan, belajar dari kesalahan, dan menjadi pribadi yang lebih baik. Kebahagiaan sejati, menurut Amsal 12:1, berakar pada kerendahan hati untuk terus belajar dan berkembang.
"Apabila orang fasik bangkit, orang menyembunyikan diri, dan apabila ia berkuasa, orang bersembunyi." (Amsal 28:28)
Berpindah ke Amsal 28:28, kita mendapatkan gambaran tentang dampak negatif dari pemerintahan atau pengaruh orang fasik. Ayat ini menggambarkan sebuah masyarakat yang tertekan dan takut ketika orang jahat memegang kendali. "Apabila orang fasik bangkit, orang menyembunyikan diri" menunjukkan bahwa ketika kekuatan kejahatan mulai berkuasa, orang-orang yang bijak dan saleh cenderung menarik diri, menjaga diri agar tidak menjadi sasaran atau terlibat dalam arus keburukan. Mereka mungkin merasa tidak berdaya atau memilih untuk tidak mengekspos diri mereka pada bahaya yang mengintai.
Frasa "dan apabila ia berkuasa, orang bersembunyi" memperkuat gambaran ini. Ketika kekuasaan absolut berada di tangan orang fasik, ketakutan semakin merajalela. Kebebasan berbicara terenggut, kebenaran seringkali dibungkam, dan rasa aman menjadi kemewahan yang langka. Dalam kondisi seperti ini, banyak orang memilih untuk diam, tidak bersuara, dan hanya mencoba bertahan hidup dalam bayang-bayang kekuasaan yang menindas. Pengaruh orang fasik tidak hanya merusak tatanan sosial, tetapi juga menciptakan suasana ketakutan yang melumpuhkan.
Ayat ini juga dapat diartikan sebagai peringatan bagi kita untuk tidak mencari kekuasaan atau posisi yang menempatkan kita dalam posisi untuk melakukan atau mendukung kejahatan. Sebaliknya, ini menekankan pentingnya integritas moral dan keberanian untuk bertindak benar, bahkan ketika itu sulit atau tidak populer.
Bagaimana kedua ayat ini saling terkait? Amsal 12:1 berbicara tentang bagaimana kita harus berinteraksi dengan pengetahuan dan koreksi untuk pertumbuhan pribadi, sementara Amsal 28:28 berbicara tentang dampak sosial ketika kejahatan berkuasa. Keduanya secara implisit menunjuk pada pentingnya *tanggung jawab*.
Pertama, Amsal 12:1 mengingatkan kita akan tanggung jawab pribadi kita untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Dengan merangkul didikan dan teguran, kita membangun fondasi karakter yang kuat. Karakter inilah yang akan membentengi kita dari godaan untuk ikut arus kejahatan yang digambarkan dalam Amsal 28:28. Orang yang bijaksana dan rendah hati, yang selalu mau belajar, cenderung tidak akan menjadi orang fasik yang ditakuti itu. Ia juga lebih mungkin untuk bertindak dengan keberanian dan prinsip ketika menghadapi situasi yang tidak benar.
Kedua, Amsal 28:28 secara tersirat menyoroti tanggung jawab kolektif kita untuk tidak membiarkan orang fasik berkuasa. Meskipun ayat ini menggambarkan orang yang "menyembunyikan diri" dan "bersembunyi", ini tidak selalu berarti kepasifan yang mutlak. Bagi orang yang berpegang pada kebenaran, mungkin ada bentuk tanggung jawab yang berbeda, seperti menjaga komunitas yang saleh, menjadi "garam dan terang" di tengah kegelapan, atau menggunakan pengaruh yang ada untuk kebaikan, meskipun dalam skala kecil. Kebahagiaan yang sejati bukan hanya tentang pertumbuhan pribadi, tetapi juga tentang hidup dalam komunitas yang adil dan benar, di mana orang tidak perlu takut karena kejahatan.
Pada akhirnya, renungan Amsal 12:1 dan Amsal 28:28 mendorong kita untuk mengejar kebahagiaan melalui pertumbuhan intelektual dan moral yang berkelanjutan, sambil juga menyadari dampak sosial dari pilihan kita. Dengan mencintai didikan dan bersikap terbuka terhadap teguran, kita membangun diri kita sendiri. Dan dengan menolak dan tidak membiarkan kejahatan berkuasa, kita berkontribusi pada masyarakat di mana keadilan dan keamanan dapat bertumbuh. Inilah keseimbangan antara tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab sosial yang membentuk kehidupan yang tidak hanya bahagia, tetapi juga bermakna.