Mengungkap Jati Diri, Filosofi, dan Kontribusi Abadi
Pesantren Abas, sebuah nama yang menggema dalam sejarah panjang pendidikan Islam di Nusantara, bukanlah sekadar institusi pendidikan tradisional. Ia adalah manifestasi nyata dari perpaduan harmonis antara tradisi keilmuan klasik (salaf) dengan kebutuhan zaman modern (khalaf). Kehadirannya telah membentuk ribuan ulama, cendekiawan, dan pemimpin masyarakat yang tersebar luas, menjadikannya mercusuar ilmu pengetahuan dan moralitas.
Secara harfiah, ‘Abas’ seringkali dikaitkan dengan makna kepahlawanan atau keberanian, namun dalam konteks pesantren ini, ia merujuk pada rangkaian nama pendiri dan filosofi yang dianutnya, menekankan pada etos kerja keras, kejujuran, dan kesederhanaan. Pesantren Abas berdiri di atas fondasi yang kokoh, bukan hanya dari segi fisik bangunan, melainkan juga fondasi spiritual yang ditanamkan melalui praktik riyadhah (latihan spiritual) yang intensif bagi seluruh komunitasnya, baik santri maupun pengajar.
Lokasi geografis Pesantren Abas yang strategis, seringkali berada jauh dari hiruk pikuk kota metropolitan, sengaja dipilih untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses tafakkur, tadabbur, dan pembelajaran mendalam. Jauhnya dari distraksi duniawi memungkinkan fokus penuh pada pemurnian jiwa (tazkiyatun nafs) dan penguasaan ilmu agama.
Visi utama Pesantren Abas adalah melahirkan generasi yang memiliki kedalaman ilmu tafaqquh fiddin (memahami agama secara mendalam), sekaligus memiliki kemampuan adaptasi terhadap kemajuan teknologi dan tantangan global. Misi ini diwujudkan melalui tiga pilar utama: pendidikan integralistik, pembinaan karakter (akhlak karimah), dan pengabdian sosial.
Pendidikan integralistik berarti penggabungan kurikulum pondok pesantren klasik (kitab kuning) dengan ilmu pengetahuan umum, bahasa asing, dan keterampilan hidup. Tujuannya adalah memastikan bahwa lulusan Pesantren Abas tidak hanya mampu menjadi imam masjid atau pengajar agama, tetapi juga profesional yang berintegritas tinggi di berbagai bidang kehidupan.
Pilar ini merupakan jantung dari seluruh kegiatan di Pesantren Abas. Segala bentuk pengajaran dan kegiatan harian diarahkan untuk menumbuhkan akhlak mulia. Kedisiplinan, kerendahan hati, rasa hormat terhadap guru (kyai), serta semangat gotong royong menjadi nilai-nilai fundamental yang wajib diinternalisasi oleh setiap santri. Proses pembentukan karakter ini diawasi langsung oleh Kyai dan Nyai dengan penuh keteladanan.
Menelusuri sejarah Pesantren Abas adalah memahami metamorfosis pendidikan Islam dari masa pra-kemerdekaan hingga era digital. Kisah pendiriannya berawal dari semangat seorang ulama kharismatik yang ingin mendirikan benteng keilmuan di tengah dinamika sosial politik yang penuh tantangan.
Pesantren Abas didirikan oleh Kyai Hasyim Abas pada awal abad ke-20. Beliau adalah sosok yang mumpuni dalam ilmu syariat dan tasawuf, yang sebelumnya telah menempuh pendidikan di berbagai pesantren besar di Nusantara dan juga menuntut ilmu di Makkah dan Madinah. Kepulangan beliau bukan hanya membawa ijazah keilmuan, tetapi juga visi pembaharuan pendidikan.
Pada mulanya, Pesantren Abas hanyalah sebuah surau kecil dan beberapa bilik sederhana yang dihuni oleh beberapa santri ngalap berkah (mencari keberkahan) dari masyarakat sekitar. Metode pembelajaran yang diterapkan sangat tradisional, yaitu sistem bandongan (kyai membaca dan menerjemahkan kitab, santri menyimak) dan sorogan (santri membaca kitab di hadapan kyai).
Inilah masa-masa paling krusial di mana nilai kesederhanaan dan kemandirian ditekankan secara maksimal. Santri tidak hanya belajar kitab, tetapi juga bertani, beternak, dan ikut serta dalam pembangunan infrastruktur pesantren, menanamkan etos kerja yang kuat sebagai bagian dari ibadah.
Selama masa perjuangan kemerdekaan, Pesantren Abas tidak hanya berfungsi sebagai pusat pendidikan agama, tetapi juga sebagai basis perlawanan dan pendidikan nasionalisme. Kyai Hasyim Abas dan para santrinya aktif terlibat dalam gerakan sosial dan politik, menunjukkan bahwa keilmuan agama harus berdampingan dengan tanggung jawab kebangsaan.
Setelah kemerdekaan, tantangan yang dihadapi adalah modernisasi tanpa kehilangan identitas. Pada periode ini, Kyai Hasyim Abas mulai memasukkan pelajaran umum, seperti matematika, sejarah, dan geografi, ke dalam kurikulum wajib, sebuah langkah progresif yang seringkali ditentang oleh kelompok tradisionalis murni pada saat itu, namun terbukti relevan untuk masa depan.
Ilustrasi 1: Simbolisasi Pendidikan di Pesantren Abas – Keseimbangan antara Spiritualitas, Tradisi Keilmuan, dan Intelektualitas Modern.
Estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh putra dan cucu Kyai Hasyim Abas. Setiap generasi kepemimpinan membawa inovasi yang sesuai tanpa menghilangkan roh pesantren. Salah satu lompatan terbesar terjadi pada periode ini adalah pendirian lembaga pendidikan formal yang terintegrasi (Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah), serta perguruan tinggi berbasis keislaman.
Penguatan bahasa Arab dan Inggris menjadi program unggulan. Santri diwajibkan menggunakan kedua bahasa ini dalam komunikasi harian di lingkungan asrama (muhadharah yaumiyah), sebuah langkah antisipatif untuk menyiapkan alumni yang mampu berdakwah dan berinteraksi di kancah internasional.
Pesantren Abas menyadari pentingnya teknologi. Laboratorium komputer dan pembelajaran digital diintegrasikan ke dalam kurikulum, memastikan bahwa santri dapat memanfaatkan teknologi sebagai alat dakwah dan sarana mencari ilmu, bukan sebagai penghalang dari nilai-nilai spiritual.
Filosofi pendidikan di Pesantren Abas berakar pada tiga prinsip utama: Tarbiyah, Ta’lim, dan Tafhim. Tiga serangkai ini memastikan bahwa pendidikan tidak hanya berhenti pada transfer pengetahuan (Ta’lim), tetapi juga pembentukan karakter (Tarbiyah), dan pemahaman mendalam yang mampu diterapkan dalam kehidupan (Tafhim).
Tarbiyah Ruhaniyah (Pembinaan Spiritual) adalah esensi dari kehidupan pesantren. Ini dilakukan melalui serangkaian praktik ibadah yang ketat dan berkelanjutan. Santri didorong untuk melakukan shalat malam (qiyamul lail), puasa sunnah, dan zikir rutin. Tujuan utamanya adalah mencapai derajat ihsan—merasa diawasi oleh Allah SWT dalam setiap tindakan.
Istilah riyadhah (latihan spiritual) dan mujahadah (perjuangan melawan hawa nafsu) adalah konsep harian. Dalam konteks Pesantren Abas, ini diterjemahkan melalui kedisiplinan ekstrim, misalnya, bangun sebelum subuh, menjaga kebersihan, dan melayani sesama santri dan Kyai. Kesulitan dan tantangan dianggap sebagai bagian dari proses pensucian diri.
Pendekatan ini menjamin bahwa pengetahuan yang didapat (ilmu) akan berbanding lurus dengan ketakwaan (amal). Ilmu tanpa amal adalah sia-sia, dan amal tanpa ilmu adalah sesat. Keseimbangan inilah yang dijunjung tinggi.
Tidak ada satu pun mata pelajaran di Pesantren Abas yang berdiri sendiri tanpa dikaitkan dengan pelajaran akhlak. Ilmu fiqh (hukum Islam) diajarkan bukan hanya untuk mengetahui halal dan haram, melainkan untuk membentuk etika bermasyarakat. Ilmu tauhid diajarkan untuk memperkuat tawakal dan kerendahan hati.
Salah satu tradisi yang paling khas adalah Khidmah (pengabdian). Santri tingkat akhir diwajibkan untuk mengabdi dalam berbagai tugas, mulai dari mengajar santri junior, membersihkan lingkungan pesantren, hingga membantu urusan Kyai dan Nyai. Khidmah ini adalah praktik nyata dari kerendahan hati dan tanggung jawab sosial.
Meskipun mengadopsi kurikulum modern, Kitab Kuning tetap menjadi tulang punggung keilmuan Pesantren Abas. Pembelajaran kitab dilakukan secara bertahap, mulai dari kitab dasar (Mabadi') hingga kitab-kitab induk (Ummul Kitab).
Pemahaman mendalam terhadap Bahasa Arab klasik, khususnya Ilmu Nahwu (sintaksis) dan Shorof (morfologi), adalah prasyarat mutlak. Kitab-kitab seperti Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyah Ibnu Malik, hingga Jauhar Maknun dipelajari dengan intensitas tinggi. Tanpa penguasaan alat ini, mustahil bagi santri untuk memahami teks-teks klasik secara orisinal dan kontekstual.
Ilmu Fiqh (hukum Islam) diajarkan dengan pendekatan komparatif (muqaranah al-madzahib), meskipun madzhab Syafi'i tetap menjadi rujukan utama. Santri didorong untuk tidak hanya menghafal hukum, tetapi memahami dalil dan metode penetapan hukum (istinbath al-hukm) melalui kitab-kitab seperti Fathul Qarib, Fathul Mu'in, hingga Ihya' Ulumiddin yang menggabungkan Fiqh dan Tasawuf.
Kurikulum Pesantren Abas adalah cerminan dari filosofi integralistiknya. Secara garis besar, kurikulum dibagi menjadi tiga fokus utama: Studi Keislaman Intensif, Studi Umum Formal, dan Pengembangan Keterampilan (Ma’hadiyah).
Kurikulum ini didesain untuk menciptakan ulama yang memiliki spesialisasi di salah satu bidang ilmu agama, namun tetap memiliki wawasan luas terhadap disiplin ilmu lainnya.
Dalam bidang Tafsir, Pesantren Abas menekankan pada metode tafsir bi al-ma'tsur (berdasarkan riwayat) dan tafsir bi al-ra'yi (berdasarkan rasio yang didukung dalil). Kitab-kitab primer seperti Tafsir Jalalain dan Tafsir Ibnu Katsir menjadi pegangan utama. Untuk Hadits, penekanan diberikan pada pemahaman matan (teks), sanad (rantai periwayatan), dan ilmu rijal al-hadits (biografi perawi) untuk menentukan kualitas hadits.
Studi Tasawuf dilakukan untuk menyeimbangkan rasionalitas fiqh dengan spiritualitas. Kitab-kitab Imam Ghazali, khususnya Bidayatul Hidayah dan Minhajul Abidin, menjadi rujukan wajib. Aqidah diajarkan berdasarkan Ahlussunnah wal Jama'ah melalui kitab-kitab Asy'ariyah dan Maturidiyah, seperti Aqidatul Awam hingga Jauharatut Tauhid.
Pesantren Abas menganggap bahwa ilmu umum (sains, matematika, ekonomi, sosial) adalah fardhu kifayah (kewajiban komunal) yang harus dikuasai oleh umat Islam untuk memimpin peradaban dunia. Oleh karena itu, kurikulum formal sekolah dijalankan dengan standar nasional, namun dengan intensitas tambahan.
Pelajaran sains tidak diajarkan secara sekuler, melainkan selalu dikaitkan dengan kebesaran Allah (Ayatullah al-Kauniyyah). Misalnya, biologi dikaitkan dengan penciptaan manusia, dan fisika dikaitkan dengan keteraturan alam semesta. Pendekatan ini memastikan bahwa ilmu pengetahuan material tidak menghilangkan iman, melainkan memperkuatnya.
Santri diajarkan tentang ekonomi modern, namun dengan penekanan pada prinsip-prinsip syariah. Mereka belajar tentang bank syariah, asuransi syariah, dan sistem muamalah Islam. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan ekonom dan pemimpin bisnis yang menjunjung tinggi keadilan dan menghindari riba.
Ilustrasi 2: Model Kurikulum Integral – Semua disiplin ilmu berpusat pada pembentukan karakter.
Bagian ini memastikan bahwa santri memiliki bekal praktis setelah lulus. Program Ma’hadiyah (Program Keahlian) berfokus pada pelatihan keterampilan yang relevan dengan pasar kerja dan kebutuhan dakwah kontemporer.
Pesantren Abas memiliki unit khusus yang melatih santri dalam menulis, membuat konten dakwah digital, dan mengelola media sosial. Ini adalah respons terhadap tantangan penyebaran informasi di era digital, memastikan bahwa alumni dapat menyebarkan ajaran Islam yang moderat dan rahmatan lil alamin.
Mengingat lokasi pesantren yang seringkali berada di daerah pedesaan, kemandirian ekonomi menjadi penting. Santri dilatih dalam praktik pertanian organik, pengolahan hasil bumi, dan kewirausahaan berbasis syariah. Ini adalah wujud nyata dari konsep ‘al-Qowiyyul Amin’ (kuat dan terpercaya) dalam konteks ekonomi.
Kehidupan di Pesantren Abas sangat terstruktur dan intensif. Setiap menit diatur sedemikian rupa untuk memaksimalkan ibadah, pembelajaran, dan interaksi sosial. Kedisiplinan adalah nafas komunitas, dijalankan bukan karena paksaan, melainkan karena kesadaran spiritual.
Hari dimulai sebelum fajar dengan shalat malam dan shalat Subuh berjamaah, diikuti dengan pengajian subuh (biasanya Kitab Tafsir atau Hadits). Setelah sarapan ringan, santri menjalani sesi sekolah formal dan pengajian kitab kuning hingga sore hari.
Malam hari didedikasikan untuk kegiatan mandiri dan kelompok. Setelah shalat Isya, santri kembali ke asrama untuk mudzakarah (diskusi kelompok) dan muhadharah (latihan pidato/bahasa). Kegiatan ini menekankan pada pengulangan pelajaran yang diterima sepanjang hari, sebuah metode kuno yang sangat efektif dalam menguatkan hafalan.
Setiap santri memiliki tanggung jawab dalam menjaga kebersihan lingkungan. Konsep ‘An Nadzofatu Minal Iman’ (kebersihan adalah sebagian dari iman) diimplementasikan secara harfiah. Keberhasilan seorang santri tidak hanya diukur dari nilai akademis, tetapi juga dari tingkat kedisiplinan dan kebersihan pribadinya.
Meskipun sistemnya militeristik dalam hal disiplin, hubungan antara santri, senior (ustadz), dan Kyai sangat erat, mencerminkan ikatan kekeluargaan (ukhuwah).
Ustadz senior di Pesantren Abas tidak hanya bertindak sebagai pengajar formal, tetapi juga sebagai mentor dan pengasuh yang tinggal bersama santri 24 jam sehari. Mereka bertanggung jawab langsung atas pembinaan spiritual dan moral santri junior, menerapkan sistem kaderisasi kepemimpinan yang berkesinambungan.
Kyai dan Nyai (istri Kyai) adalah pusat dari seluruh komunitas. Mereka memberikan teladan langsung dalam hal ibadah, kesederhanaan, dan pengabdian. Sesi tatap muka dengan Kyai (biasanya dalam bentuk pengajian mingguan) adalah momen paling berharga, di mana santri mendapatkan nasihat spiritual dan motivasi hidup.
"Ilmu tanpa adab adalah kesombongan. Adab adalah fondasi, ilmu adalah isinya. Di Pesantren Abas, kita mencari keduanya, bukan salah satunya." - Sebuah kutipan filosofis yang sering disampaikan kepada santri.
Dampak Pesantren Abas tidak terbatas pada dinding madrasah. Alumni (Ikatan Keluarga Alumni Abas - IKAA) menjadi agen perubahan yang menyebarkan nilai-nilai pesantren di berbagai sektor, baik domestik maupun global.
Sebelum lulus, santri diwajibkan menjalani program pengabdian masyarakat (PKL/Praktek Kerja Lapangan). Mereka ditempatkan di desa-desa terpencil untuk mengajar agama, mendirikan TPA, atau membantu proyek pembangunan lokal. Ini adalah proses transisi dari kehidupan yang terlindungi di pesantren menuju realitas sosial yang kompleks.
Pesantren Abas dikenal sebagai pelopor moderasi beragama (wasathiyatul Islam). Kurikulumnya secara eksplisit mengajarkan toleransi, penerimaan keragaman, dan penolakan terhadap ekstremisme. Alumni kemudian membawa prinsip ini ke dalam lembaga pemerintah, pendidikan, dan media, melawan narasi radikal yang dapat memecah belah bangsa.
Jaringan IKAA sangat kuat, mencakup berbagai profesi: birokrat, anggota parlemen, akademisi, pengusaha, hingga aktivis sosial. Keberadaan mereka memastikan bahwa nilai-nilai spiritual dan etika pesantren tetap relevan dalam kebijakan publik dan sektor swasta.
Alumni dari Pesantren Abas seringkali menempati posisi kunci karena mereka memiliki dua keunggulan: kedalaman spiritual yang tinggi dan kemampuan manajerial modern yang mumpuni. Mereka mampu membaca kitab klasik dan mengelola perusahaan multinasional secara bersamaan.
Pesantren Abas memiliki hubungan erat dengan berbagai institusi pendidikan Islam terkemuka di Timur Tengah, Eropa, dan Asia. Banyak santri terbaik yang melanjutkan studi ke Al-Azhar, Kairo; Universitas Islam Madinah; atau bahkan ke universitas-universitas di Barat untuk mengambil studi komparatif agama dan sains.
Jaringan ini tidak hanya memfasilitasi pertukaran pelajar, tetapi juga kolaborasi riset, memastikan bahwa kajian keislaman di Pesantren Abas selalu mutakhir dan relevan dengan isu-isu global kontemporer, seperti isu lingkungan dan hak asasi manusia.
Arsitektur Pesantren Abas adalah perpaduan unik antara gaya tradisional Jawa (Nusantara) yang mengutamakan keterbukaan dan sirkulasi udara alami, dengan sentuhan arsitektur Timur Tengah, khususnya pada desain masjid dan madrasah utama. Setiap bangunan memiliki makna dan fungsi yang mendalam.
Masjid Jami’ adalah jantung fisik dan spiritual pesantren. Desainnya besar, megah, namun sederhana. Tidak banyak ornamen mencolok, menekankan bahwa fokus harus selalu pada ibadah, bukan kemewahan. Kubah dan menara menjadi simbol ketinggian spiritual dan jangkauan dakwah yang luas.
Asrama santri dibangun secara komunal, menekankan hidup bersama dalam keterbatasan (kesederhanaan). Kamar yang padat melatih santri untuk berbagi, bertoleransi, dan menghilangkan ego pribadi. Prinsip ini melatih mereka untuk siap hidup dalam kondisi apapun setelah lulus.
Pesantren Abas dikelilingi oleh area hijau, kebun, dan sawah yang dikelola sendiri. Kebun ini tidak hanya berfungsi sebagai sumber pangan (kemandirian), tetapi juga sebagai laboratorium alam di mana santri dapat belajar tentang biologi, ekologi, dan pertanian. Ruang terbuka hijau ini juga berfungsi sebagai tempat refleksi dan istirahat mental dari rutinitas belajar yang padat.
Sebagai institusi yang telah berdiri puluhan tahun, Pesantren Abas terus menghadapi tantangan zaman. Kemajuan teknologi, pergeseran nilai sosial, dan tuntutan standarisasi pendidikan memaksa pesantren untuk terus berinovasi tanpa mengorbankan nilai-nilai dasarnya.
Tantangan terbesar saat ini adalah arus informasi digital yang tak terbendung. Pesantren Abas merespons ini dengan tidak melarang total teknologi, tetapi mengedukasi santri agar menjadi ‘produsen’ konten dakwah yang positif, bukan sekadar ‘konsumen’ pasif. Mereka diajarkan literasi media yang kritis dan bertanggung jawab.
Dalam menghadapi modernitas, Pesantren Abas berjuang keras untuk melindungi nilai-nilai tradisional seperti ta’dzim (menghormati guru) dan kesederhanaan. Ini dilakukan melalui penguatan kurikulum akhlak dan praktik keteladanan harian, memastikan bahwa fasilitas modern tidak merusak pondasi spiritual.
Visi jangka panjang Pesantren Abas adalah menjadi pusat kajian Islam regional yang diakui secara internasional. Ini mencakup peningkatan spesialisasi ilmu (misalnya, spesialisasi dalam Fiqh Muamalah Kontemporer, atau Hadits Digital), serta mengirimkan lebih banyak lulusan untuk studi ke luar negeri dan bekerjasama dengan lembaga riset global.
Kisah-kisah nyata dari alumni dan dinamika internal Pesantren Abas memberikan gambaran yang lebih konkret tentang bagaimana filosofi pesantren diterjemahkan menjadi keberhasilan individu dan sosial.
Ambil contoh Ahmad, alumni Pesantren Abas yang kini menjadi peneliti di bidang energi terbarukan di luar negeri. Selama di pesantren, Ahmad dikenal sangat disiplin dalam hafalan Al-Qur'an dan juga mahir dalam mata pelajaran fisika. Keberhasilannya menunjukkan bahwa ilmu agama dan ilmu umum dapat berjalan seiring, bahkan saling menguatkan.
Ahmad sering menyatakan bahwa kedisiplinan yang ia dapatkan saat menghafal ribuan baris matan (teks) Kitab Kuning adalah kunci utama keberhasilannya dalam melakukan riset ilmiah yang memerlukan fokus dan ketekunan tinggi. Etos kerja inilah yang dihasilkan dari Tarbiyah Ruhaniyah Pesantren Abas.
Peran Nyai (istri Kyai dan pemimpin pesantren putri) di Pesantren Abas sangatlah sentral. Pesantren ini sangat fokus pada pendidikan perempuan, melahirkan ulama perempuan (Ulama'ah) yang memiliki peran penting dalam mendidik keluarga dan masyarakat luas. Kurikulum putri menekankan pada ilmu parenting Islami, kesehatan reproduksi, dan manajemen rumah tangga yang didasarkan pada syariat, tanpa mengabaikan penguasaan ilmu-ilmu akademik dan kitab kuning.
Acara tahunan Haul (peringatan wafatnya pendiri) dan Reuni Akbar menjadi momen penting bagi jaringan IKAA untuk berkumpul, bertukar informasi, dan melakukan kontribusi balik kepada pesantren. Acara ini bukan hanya ritual keagamaan, tetapi juga forum strategis untuk menyelaraskan visi alumni dengan perkembangan terbaru pesantren, menegaskan kembali ikatan batin yang tak terputus antara Kyai, alumni, dan santri aktif.
Pesantren Abas berdiri sebagai monumen hidup yang membuktikan bahwa lembaga pendidikan tradisional mampu berevolusi tanpa kehilangan ruhnya. Ia mengajarkan bahwa kemajuan peradaban tidak harus mengorbankan moralitas, dan bahwa ilmu pengetahuan sejati adalah jembatan menuju ketakwaan.
Warisan terbesar Pesantren Abas bukanlah bangunan fisiknya, melainkan metode pendidikan yang telah teruji lintas generasi. Ia mewariskan semangat Tafaqquh Fiddin yang kritis, serta etos kerja keras yang ditopang oleh kerendahan hati. Prinsip inilah yang menjamin kontinuitas peran pesantren dalam mencetak pemimpin masa depan yang berpegang teguh pada nilai-nilai agama dan bangsa.
Menciptakan keseimbangan antara keilmuan diniyyah (agama) dan kauniyyah (alamiah/umum) adalah pekerjaan yang tiada henti. Pesantren Abas berhasil merangkai kedua kutub ini menjadi satu kesatuan yang utuh, menjadikan setiap santri sebagai pribadi yang utuh: shaleh secara ritual, cerdas secara intelektual, dan mandiri secara ekonomi.
Seiring waktu berjalan, Pesantren Abas terus beradaptasi dengan tuntutan masyarakat, namun janji utama kepada pendiri tetap sama: menjaga kemurnian ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama'ah, mencintai tanah air, dan berjuang demi kemaslahatan umat. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan keberkahan kepada Kyai, Nyai, para ustadz, dan seluruh santri di Pesantren Abas, menjadikan mereka pilar kebaikan yang tak pernah lekang oleh zaman. Harapan terbesar adalah Pesantren Abas terus menjadi sumber cahaya ilmu pengetahuan bagi seluruh Nusantara dan dunia.
Kehadiran pesantren ini adalah penegasan bahwa pendidikan berbasis spiritualitas adalah investasi jangka panjang yang paling berharga bagi peradaban. Ia bukan hanya mengajarkan bagaimana cara hidup, tetapi mengapa harus hidup, dan untuk tujuan apa kehidupan ini dijalani.