Keprajan: Pilar Etika dan Jiwa Pelayanan Kerajaan Jawa

I. Pengantar: Mendefinisikan Keprajan

Keprajan adalah sebuah terminologi yang merangkum keseluruhan sistem, etika, dan filosofi tata kelola pemerintahan serta pelayanan di lingkungan kerajaan-kerajaan Nusantara, khususnya yang berakar kuat pada tradisi Jawa. Lebih dari sekadar tata krama istana, Keprajan merupakan manifestasi dari jiwa pelayanan yang dijiwai oleh ajaran moral, spiritual, dan konsep kosmos Jawa. Istilah ini secara harfiah merujuk pada segala hal yang berkaitan dengan *Praja* atau negara, namun esensinya terletak pada cara individu atau aparat menjalankan tugasnya demi keutuhan dan kemakmuran keraton serta rakyatnya.

Keprajan bukan merupakan ilmu yang diajarkan di kelas formal, melainkan sebuah laku batin, disiplin moral, dan praktik sehari-hari yang diturunkan melalui tradisi lisan, pengamatan, dan peniruan. Ia membentuk mentalitas para *Abdi Dalem* (abdi raja) dan *Pamong Praja* (aparat pemerintahan) agar selalu menempatkan kepentingan Raja, Keraton, dan rakyat di atas kepentingan pribadi. Dalam konteks budaya Jawa, Keprajan adalah perwujudan dari konsep manunggaling kawula lan Gusti (persatuan antara abdi dan pemimpin/Tuhan) dalam dimensi sosial-politik.

Sistem ini berfungsi sebagai benteng integritas. Ketika etika Keprajan dipegang teguh, maka birokrasi kerajaan akan berjalan harmonis, mencerminkan ketertiban kosmik (mikrokosmos) dalam tatanan sosial (makrokosmos). Gagalnya seseorang mempraktikkan Keprajan dianggap sebagai kegagalan moral yang dapat mengancam stabilitas kerajaan. Oleh karena itu, memahami Keprajan memerlukan pendekatan yang multidimensi, mencakup sejarah, spiritualitas, dan administrasi.

Keris Pusaka: Simbol Otoritas dan Spiritual Keprajan WILAH GANJA

Representasi Keris sebagai simbol pusaka dan otoritas yang tak terpisahkan dari pelaksanaan Keprajan.

Keprajan mencakup spektrum luas, mulai dari cara berpakaian, berbahasa (penggunaan tingkat tutur Jawa, Undha Usuk Basa), hingga manajemen konflik dan penentuan kebijakan strategis. Individu yang telah ditempa dalam Keprajan diharapkan memiliki ketenangan batin, kepekaan sosial, dan dedikasi yang tak tergoyahkan. Mereka adalah representasi fisik dari martabat dan otoritas Raja di hadapan rakyat.

II. Akar Historis dan Filosofis Keprajan

A. Sinkretisme Budaya dan Kosmologi

Akar Keprajan dapat ditelusuri jauh ke belakang, melewati era Mataram Islam, Majapahit, hingga kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha sebelumnya. Filosofi yang mendasarinya adalah sinkretisme antara nilai-nilai adat Jawa kuno (seperti konsep Dewaraja), ajaran Hindu-Buddha (Dharma dan Karma), dan kemudian diperkuat oleh etos tasawuf Islam (sufisme). Transformasi ini menghasilkan sebuah sistem yang unik, di mana Raja dipandang bukan hanya sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai Khalifatullah (Wakil Tuhan) atau inkarnasi dewa yang memegang mandat langit, dikenal sebagai Wahyu Cakraningrat.

Mandat langit ini membawa konsekuensi bahwa seluruh aparatur negara, atau Abdi Dalem, harus mencerminkan kesucian dan ketertiban. Tugas mereka bukan hanya melayani Raja, tetapi juga menjaga keseimbangan kosmos. Konsep ini menuntut disiplin spiritual yang tinggi. Dalam Keprajan, pelayanan duniawi (pekerjaan administratif) harus sejalan dengan pelayanan spiritual (ngelmu dan laku).

B. Konsep Pamong dan Pamomong

Salah satu pilar filosofis Keprajan adalah peran Pamong. Pamong adalah aparat yang memiliki tugas ganda: sebagai pelayan teknis (*Praja*) dan sebagai pengasuh atau pembimbing moral (*Pamomong*). Keprajan mengajarkan bahwa seorang aparat tidak boleh hanya melaksanakan perintah tanpa memahami dampaknya terhadap rakyat. Mereka harus memiliki sifat kebapaan, yang tercermin dalam semboyan: Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani (Di depan memberi teladan, di tengah membangun kemauan, di belakang memberi dorongan).

Keprajan menekankan bahwa kekuasaan atau jabatan (*kedudukan*) bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk menjalankan dharma (kewajiban suci). Rasa syukur dan ketulusan dalam pelayanan adalah prasyarat mutlak. Pelayan yang sejati adalah mereka yang mampu melayani tanpa mengharapkan pamrih yang berlebihan, mencerminkan ajaran Narima ing Pandum (menerima bagian yang telah ditentukan dengan ikhlas), namun tetap berusaha semaksimal mungkin.

C. Etika Bahasa dan Tubuh: Simbol Status

Dalam praktik Keprajan, etika bahasa (unggah-ungguh) dan bahasa tubuh adalah cerminan dari hierarki dan rasa hormat. Penggunaan bahasa Jawa bertingkat (Krama Inggil, Krama, Ngoko) menjadi alat komunikasi sekaligus penegasan status sosial dan relasi kuasa. Seorang Abdi Dalem harus menguasai tata bahasa ini dengan sempurna, karena kesalahan kecil dalam pemilihan kata dapat dianggap sebagai penghinaan serius terhadap otoritas. Ekspresi Keprajan juga terlihat dalam cara duduk, berjalan (seringkali membungkuk atau mlaku ndhingkluk sebagai tanda kerendahan hati), dan cara menyampaikan laporan. Semua gerakan diatur untuk memancarkan ketenangan dan kepatuhan absolut.

III. Elemen Inti dan Nilai Luhur Keprajan

Keprajan dapat diurai menjadi beberapa nilai luhur yang menjadi pedoman utama bagi setiap pelayan kerajaan. Nilai-nilai ini berfungsi sebagai panduan moral dan etika kerja, memastikan bahwa pelayanan dilakukan dengan integritas dan kesucian hati.

A. Kawicaksanan (Kebijaksanaan)

Kawicaksanan adalah kemampuan untuk melihat persoalan secara mendalam, melampaui kepentingan sesaat. Dalam Keprajan, kebijaksanaan tidak hanya berarti cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara spiritual. Seorang Pamong harus mampu mengambil keputusan yang adil, mengacu pada hukum negara (*Angger-Angger*) dan hukum moral (*Dharma*). Keputusan yang bijaksana selalu mengutamakan kemaslahatan umum di atas keuntungan pribadi atau kelompok.

Kawicaksanan menuntut introspeksi yang berkelanjutan (*mulat sarira hangrasa wani*). Aparat diajarkan untuk selalu mengukur diri, mengakui kekurangan, dan belajar dari kesalahan. Hal ini penting karena posisi kekuasaan cenderung mengaburkan pandangan. Keprajan hadir sebagai pengingat bahwa kekuasaan hanyalah titipan yang harus digunakan dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian. Ini juga mencakup kemampuan untuk empan papan—menempatkan diri dan bersikap sesuai dengan konteks dan situasi yang sedang dihadapi.

Penguasaan kawicaksanan juga terkait erat dengan pemahaman sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan kehidupan), yang memberikan perspektif luas dalam menghadapi persoalan duniawi. Dengan perspektif kosmis, masalah administrasi yang rumit dapat diselesaikan dengan kepala dingin, bebas dari emosi sesaat atau tekanan politik yang bersifat sementara.

B. Kawibawan (Otoritas dan Kharisma)

Kawibawan adalah aura atau karisma yang terpancar dari seorang aparat karena integritas dan ketaatannya pada etika Keprajan. Ini bukan otoritas yang dipaksakan melalui kekerasan, melainkan otoritas moral yang dihormati. Kawibawan diperoleh melalui laku prihatin (disiplin diri dan puasa) dan konsistensi dalam bersikap jujur dan adil.

Kawibawan sangat penting dalam menjaga tatanan kerajaan. Seorang Abdi Dalem yang berwibawa akan mampu menegakkan aturan dan menjaga ketertiban hanya dengan kehadirannya. Kehilangan Kawibawan berarti kehilangan kepercayaan, yang secara langsung melemahkan struktur kerajaan. Oleh karena itu, skandal moral, korupsi, atau ketidakjujuran adalah pelanggaran fatal terhadap prinsip Kawibawan.

Untuk mempertahankan Kawibawan, seorang Keprajan harus menjaga penampilan luar yang rapi (melalui busana adat yang ditentukan) dan ketenangan batin. Kecepatan dan kegagapan dalam bertindak dianggap mengurangi wibawa. Segala sesuatu harus dilakukan dengan penuh perhitungan, ketenangan, dan kepastian, menunjukkan penguasaan diri yang sempurna.

C. Kesatriaan (Semangat Pengabdian dan Keberanian)

Nilai Kesatriaan dalam Keprajan merujuk pada keberanian moral untuk membela kebenaran, ketaatan tanpa batas kepada Raja (sebagai simbol keutuhan negara), dan kesiapan untuk berkorban. Kesatriaan menuntut Abdi Dalem untuk berani mengambil risiko demi kepentingan yang lebih besar, bahkan jika itu berarti mengorbankan kenyamanan atau nyawa pribadi.

Namun, Kesatriaan dalam konteks Keprajan tidak hanya dimaknai sebagai keberanian fisik. Ia juga merupakan keberanian intelektual untuk menyampaikan kebenaran kepada Raja (meskipun dengan tata cara yang halus dan sopan) jika kebijakan yang diambil dinilai merugikan rakyat. Sikap ini dikenal sebagai tanggung jawab moral seorang pelayan sejati.

Kesatriaan juga meliputi etika dalam menghadapi musuh atau tantangan. Aparat Keprajan dididik untuk menyelesaikan masalah dengan musyawarah dan kebijaksanaan terlebih dahulu. Perang fisik adalah opsi terakhir, setelah semua upaya diplomasi dan etika gagal. Seorang Keprajan yang sejati berjuang dengan hati yang bersih, bukan didorong oleh nafsu atau dendam pribadi.

D. Laku dan Prihatin (Disiplin Spiritual)

Inti terdalam Keprajan terletak pada Laku, yaitu disiplin spiritual dan praktik tapa brata (asketisme) yang bertujuan membersihkan hati dan menajamkan intuisi. Laku ini bisa berupa puasa (mutih, ngrowot), meditasi (semedi), atau tirakat lainnya. Tujuan Laku adalah mencapai Kewaskitaan (kepekaan batin atau intuisi tajam).

Seorang pelayan yang tidak pernah menjalankan Laku dianggap kurang mampu menjalankan tugasnya secara maksimal, karena ia hanya mengandalkan logika duniawi. Laku membantu Keprajan untuk memahami kehendak Raja dan kebutuhan rakyat yang mungkin tidak terucap. Kewaskitaan adalah aset tak ternilai bagi seorang birokrat kerajaan, memungkinkannya mengantisipasi masalah sebelum masalah itu muncul.

Konsep Prihatin juga mengajarkan kesederhanaan. Meskipun melayani di lingkungan yang mewah, seorang Keprajan harus menjauhkan diri dari hedonisme. Kesederhanaan adalah kunci untuk menjaga integritas, sebab kebutuhan yang berlebihan sering kali menjadi pintu masuk bagi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

IV. Keprajan dalam Administrasi dan Kehidupan Keraton

Keprajan adalah kerangka operasional yang mengikat seluruh struktur Abdi Dalem dan sistem birokrasi kerajaan. Ia mengatur interaksi, alur kerja, dan mekanisme pengambilan keputusan dari tingkat tertinggi hingga terendah.

A. Struktur Administratif dan Hierarki Pelayanan

Keraton memiliki hierarki yang sangat ketat, yang semuanya diatur oleh norma Keprajan. Di puncak adalah Raja/Sultan, diikuti oleh kerabat inti, lalu para Pangeran dan Patih. Di bawah Patih terdapat berbagai departemen atau Kawedanan yang dipimpin oleh Wedana, dibantu oleh ratusan Abdi Dalem.

Dalam setiap interaksi, Keprajan menuntut Abdi Dalem untuk memahami batas dan posisi mereka. Misalnya, cara Abdi Dalem menyampaikan laporan kepada Patih berbeda dengan cara Patih melaporkan kepada Raja. Seluruh proses komunikasi diatur untuk meminimalkan potensi konflik dan memaksimalkan efisiensi, yang ditopang oleh rasa hormat yang mendalam.

Struktur Kosmis Keprajan: Manunggaling Kawula Gusti Gusti Kawula (Rakyat) Pamong Praja

Skema hierarki pelayanan yang berpusat pada Gusti (Raja/Tuhan), menunjukkan konsep pelayanan yang berorientasi pada pusat kosmik.

B. Etika Pengambilan Keputusan (Mufakat dan Srawung)

Meskipun kerajaan bersifat monarki absolut, Keprajan mendorong pengambilan keputusan melalui musyawarah. Proses ini dikenal sebagai Mufakat atau Rembugan. Abdi Dalem tidak sekadar menyampaikan data, tetapi juga harus menyampaikan analisis berbasis kearifan lokal. Keprajan menghargai Srawung, yaitu kemampuan untuk berinteraksi dan mendengarkan berbagai pihak, termasuk rakyat jelata.

Dalam Keprajan, keputusan yang baik adalah keputusan yang terasa 'adem' atau menenangkan semua pihak, bukan keputusan yang memaksa. Ini memerlukan kesabaran dan keahlian mediasi yang tinggi. Aparat Keprajan yang efektif adalah mediator yang ulung, mampu meredakan ketegangan tanpa kehilangan ketegasan.

C. Manajemen Waktu dan Ketepatan (Titis lan Titi)

Keprajan sangat menekankan pada konsep Titis (ketepatan sasaran) dan Titi (ketelitian). Semua ritual, upacara, dan jadwal kerajaan harus dilaksanakan dengan ketepatan waktu yang absolut. Disiplin waktu ini mencerminkan komitmen terhadap ketertiban dan keharmonisan kosmik. Keterlambatan atau kecerobohan dianggap mengganggu keseimbangan dan merupakan indikasi kurangnya penguasaan diri.

Seorang Abdi Dalem diajarkan untuk merencanakan tugas dengan matang (digarap sak durunge digarap) dan menyelesaikan pekerjaan tanpa menunda-nunda. Filosofi ini mengajarkan bahwa pekerjaan adalah kehormatan, bukan beban. Oleh karena itu, pekerjaan harus dilakukan dengan dedikasi penuh, bahkan detail terkecil sekalipun harus diperhatikan dengan saksama, mulai dari kebersihan lingkungan keraton hingga ketepatan laporan keuangan.

D. Integritas dan Kepatuhan (Sembah, Bekti, lan Setia)

Tiga kata kunci yang seringkali menjadi inti praktik Keprajan adalah Sembah, Bekti, lan Setia.

  1. Sembah (Penyembahan/Penghormatan): Mengacu pada sikap batin dan raga yang tunduk kepada otoritas tertinggi (Raja dan Tuhan). Ini adalah pengakuan akan hierarki kosmik.
  2. Bekti (Pengabdian/Jasa): Mengacu pada wujud nyata pelayanan yang dilakukan dengan tulus, tanpa pamrih. Pelayanan terbaik adalah bukti bakti yang tak terhingga.
  3. Setia (Loyalitas): Kesetiaan absolut kepada Raja dan Keraton, bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun. Setia adalah fondasi dari rasa aman dan stabilitas kerajaan.

Kepatuhan dalam Keprajan bersifat total dan didasari oleh pemahaman filosofis, bukan ketakutan. Abdi Dalem patuh karena mereka yakin bahwa Raja, yang memegang Wahyu Cakraningrat, adalah pusat keseimbangan bagi dunia mereka. Pengkhianatan, dalam konteks ini, adalah pelanggaran spiritual dan sosial yang paling berat.

V. Keprajan sebagai Metode Pendidikan Karakter

Keprajan dapat dilihat sebagai kurikulum informal yang dirancang untuk membentuk karakter pemimpin dan pelayan yang berintegritas. Pendidikan ini tidak diperoleh melalui buku teks, melainkan melalui penugasan praktis, teladan dari senior, dan disiplin diri yang ketat.

A. Konsep Sifat Utama Manusia Ideal (Hasta Brata)

Meskipun Hasta Brata sering dikaitkan dengan kepemimpinan Raja, nilai-nilai dasarnya juga diterapkan pada Abdi Dalem. Delapan sifat utama yang diambil dari delapan unsur alam (matahari, bulan, bintang, angin, mendung, api, air, bumi) menjadi pedoman dalam menjalankan tugas:

Pendidikan Keprajan memastikan bahwa Abdi Dalem mampu menginternalisasi sifat-sifat ini, sehingga pelayanan yang mereka berikan bersifat menyeluruh, adaptif, dan berkelanjutan. Kesalahan fatal seorang Keprajan adalah mempraktikkan sifat yang berlawanan, misalnya sifat Api yang membakar tanpa terkendali atau sifat Angin yang tidak konsisten.

B. Disiplin Rasa dan Pengendalian Diri

Salah satu pelajaran tersulit dalam Keprajan adalah pengendalian Hawa Nafsu dan Rasa. Dalam lingkungan kerajaan, di mana godaan kekuasaan dan harta sangat besar, kemampuan untuk menahan diri (Eling lan Waspada) adalah keterampilan bertahan hidup yang esensial. Disiplin ini diajarkan melalui praktik hening (*semedi*) dan latihan fisik (*olahraga kanuragan*).

Keprajan menekankan bahwa kejujuran harus berakar dari hati yang bersih. Seorang pelayan yang mudah tergoda oleh kekayaan akan merusak nama baiknya sendiri dan nama baik Keraton. Oleh karena itu, prinsip *Narima ing Pandum* kembali ditekankan; kepuasan datang dari ketulusan pelayanan, bukan dari imbalan materi.

Pengendalian diri juga berarti kemampuan untuk tetap tenang dan netral di tengah intrik politik. Abdi Dalem tidak boleh menunjukkan emosi yang berlebihan, baik kesenangan maupun kemarahan, karena hal itu dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin merusak stabilitas.

C. Pentingnya Keteladanan (Tuladha)

Pendidikan Keprajan bersifat hierarkis. Abdi Dalem junior belajar dari seniornya, dan senior belajar dari Patih, yang semuanya mencontoh Raja. Etika Tuladha (keteladanan) adalah metode utama penyebaran nilai. Jika seorang pemimpin menunjukkan integritas, bawahan akan secara alami menirunya. Sebaliknya, jika pemimpin menunjukkan korupsi atau kemalasan, seluruh sistem akan rusak.

Oleh karena itu, setiap Keprajan yang memegang jabatan tinggi mengemban beban moral yang lebih berat. Mereka harus memastikan bahwa setiap tindakan, perkataan, dan bahkan niat mereka, dapat dipertanggungjawabkan dan menjadi cerminan sempurna dari nilai-nilai luhur kerajaan.

D. Sikap Narima dan Rasa Cukup

Dalam filosofi Jawa, kepuasan hidup tidak diukur dari akumulasi kekayaan, melainkan dari rasa cukup dan ikhlas menerima takdir. Keprajan mengajarkan Abdi Dalem untuk melakukan tugas mereka dengan sebaik-baiknya, sementara hasil akhirnya diserahkan kepada kehendak Yang Maha Kuasa (Gusti).

Sikap Narima (menerima) bukan berarti pasif, melainkan sebuah sikap aktif dalam bekerja keras sambil melepaskan keterikatan pada hasil. Hal ini sangat membedakannya dari sistem birokrasi modern yang seringkali didorong oleh kompetisi dan ambisi pribadi. Dalam Keprajan, ambisi diarahkan pada peningkatan kualitas pelayanan dan spiritual, bukan pada peningkatan pangkat semata.

VI. Relevansi Keprajan dalam Birokrasi Kontemporer

Meskipun sistem kerajaan absolut telah lama berakhir dan digantikan oleh negara republik, filosofi Keprajan tetap relevan dan memiliki nilai yang tak lekang oleh waktu, terutama dalam konteks tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik modern.

A. Etos Pelayanan Publik dan Integritas

Inti dari Keprajan adalah etos pelayanan tanpa batas. Dalam birokrasi modern, prinsip ini diterjemahkan menjadi aparatur sipil negara (ASN) yang berorientasi pada masyarakat, bukan pada diri sendiri atau kelompok politik. Nilai Bekti (pengabdian) Keprajan dapat menjadi fondasi bagi pembentukan ASN yang jujur, cepat, dan transparan.

Konsep Kawibawan, yang diperoleh melalui integritas, adalah antidot paling efektif terhadap praktik korupsi. Seorang pejabat yang berpegang pada Keprajan tidak akan mengambil harta negara, karena ia menyadari bahwa tindakan tersebut tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak martabat spiritualnya sendiri (kehilangan Wahyu/Wibawa).

B. Kepemimpinan Berbasis Kearifan (Kawicaksanan)

Kepemimpinan dalam Keprajan selalu berbasis kearifan lokal dan pemahaman mendalam tentang karakter rakyat yang dipimpinnya. Dalam konteks modern, hal ini berarti pemimpin harus mampu menggabungkan pengetahuan teknokratik dengan kebijaksanaan sosial dan budaya. Keputusan harus diambil setelah mempertimbangkan dampak jangka panjangnya terhadap komunitas, bukan hanya perhitungan ekonomi semata.

Prinsip Empan Papan (menyesuaikan diri dengan tempat dan waktu) mengajarkan fleksibilitas birokrasi. Aparatur modern harus mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi dan sosial tanpa kehilangan nilai-nilai inti seperti kejujuran dan rasa hormat.

C. Menjaga Harmoni Sosial (Srawung)

Keprajan menekankan pentingnya Srawung, yaitu membangun jejaring komunikasi dan interaksi yang luas. Dalam era modern yang dipenuhi polarisasi, kemampuan pejabat untuk berkomunikasi secara efektif dengan semua lapisan masyarakat dan mencari mufakat (konsensus) adalah vital untuk menjaga stabilitas sosial. Pejabat publik tidak boleh berada di menara gading; mereka harus menjadi Pamong yang memahami denyut nadi rakyat.

Secara keseluruhan, Keprajan menawarkan warisan kebijaksanaan yang mendalam tentang bagaimana kekuasaan harus dijalankan. Ia mengingatkan bahwa pelayanan kepada negara dan rakyat adalah tugas suci yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan, bukan hanya di hadapan atasan. Ketika nilai-nilai Keprajan diterapkan, sistem birokrasi akan bertransformasi dari sekadar mesin administratif menjadi instrumen pengabdian yang tulus dan bermartabat.

VII. Penutup: Warisan Abadi Keprajan

Keprajan adalah cerminan dari puncak peradaban tata kelola di Nusantara, sebuah sistem yang tidak hanya mengatur kehidupan politik, tetapi juga membentuk jiwa dan spiritualitas individu. Ia mengajarkan bahwa pelayanan sejati menuntut pengorbanan, disiplin batin, dan komitmen abadi terhadap kebaikan bersama. Dari tata krama berbahasa yang paling halus hingga pengambilan keputusan strategis yang paling rumit, setiap aspek kehidupan Abdi Dalem terikat pada janji untuk menjaga Kawibawan Raja dan kemakmuran Praja.

Warisan Keprajan terus hidup, tidak hanya dalam tradisi Keraton yang masih tegak berdiri, tetapi juga dalam etos kerja dan moralitas masyarakat Jawa secara umum. Mempelajari Keprajan adalah memahami kunci untuk mengurai struktur budaya dan sosial yang telah menopang kerajaan-kerajaan besar selama berabad-abad, serta menemukan nilai-nilai universal tentang etika kekuasaan dan pengabdian yang relevan bagi setiap individu yang mengemban tugas kepemimpinan dan pelayanan publik di masa kini.

Kesetiaan pada prinsip Keprajan adalah bentuk penghormatan tertinggi terhadap leluhur, sekaligus jaminan bagi terciptanya tatanan masyarakat yang adil, harmonis, dan sejahtera, sesuai dengan cita-cita luhur Gemah Ripah Loh Jinawi.

šŸ  Homepage