Atha bin Abi Rabah adalah salah satu pilar keilmuan Islam yang tegak berdiri di Makkah pada masa Tabi'in. Kisahnya bukan sekadar catatan biografi biasa, melainkan cerminan sempurna dari bagaimana ketekunan, kezuhudan, dan pengabdian total kepada ilmu mampu mengangkat martabat seseorang hingga menjadi rujukan tertinggi umat. Di tengah hiruk pikuk Makkah yang selalu dipenuhi jamaah haji dan umrah dari seluruh penjuru dunia, suara Atha bin Abi Rabah menjadi otoritas mutlak dalam urusan fikih dan fatwa.
Nama lengkap beliau adalah Atha’ bin Abi Rabah Aslam al-Qurasyi, seorang maula (bekas budak) dari suku Quraisy, yang secara fisik digambarkan sebagai seorang pria berkulit hitam, bermata satu, dan memiliki keterbatasan fisik lain. Namun, segala keterbatasan jasmani itu tidak sedikit pun menghalangi keagungan akal dan kedalaman hatinya. Beliau tumbuh dari status sosial yang sangat rendah menjadi Mufti Makkah yang paling dihormati, bahkan para khalifah pun mencari nasihat dan fatwanya. Kehidupan Atha bin Abi Rabah adalah bukti nyata bahwa keutamaan di sisi Allah dan manusia hanya diukur oleh takwa dan keilmuan, bukan oleh garis keturunan atau kekayaan material.
Atha bin Abi Rabah dilahirkan di Yaman, atau menurut riwayat lain di Makkah, sekitar tahun 27 Hijriah, pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Meskipun beliau adalah seorang maula yang dibebaskan, ia memilih jalan yang paling mulia: mengabdikan seluruh hidupnya untuk menuntut ilmu. Pilihan ini dilakukan di tempat yang paling strategis, yaitu Makkah Al-Mukarramah. Makkah pada era Tabi'in adalah universitas terbuka, pusat pertemuan para Sahabat Nabi yang masih hidup dan para ulama besar yang berdatangan dari berbagai wilayah Islam.
Sejak masa mudanya, Atha bin Abi Rabah menunjukkan ketekunan yang luar biasa. Disebutkan bahwa beliau menghabiskan hampir seluruh waktunya di Masjidil Haram. Masjidil Haram bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga majelis ilmu para Sahabat Nabi. Di sanalah beliau duduk dan menyerap ilmu dari sumber-sumber otentik, membangun fondasi keilmuan yang kokoh yang kelak menjadikannya rujukan tak tertandingi dalam fikih haji dan muamalah.
Pendidikan Atha bin Abi Rabah bersifat komprehensif. Ia tidak hanya fokus pada satu cabang ilmu saja, melainkan menguasai Hadis, Tafsir, dan Fikih secara bersamaan. Namun, keistimewaannya yang paling menonjol adalah kemampuannya dalam memadukan ketiga disiplin ilmu ini untuk menghasilkan fatwa yang tepat dan berimbang. Inilah yang membedakannya dari banyak ulama sezamannya.
Kekuatan keilmuan Atha bin Abi Rabah terletak pada mata rantai sanadnya yang langsung terhubung kepada generasi Sahabat (Murid-murid langsung Nabi Muhammad SAW). Beliau berguru kepada banyak Sahabat terkemuka yang tinggal atau sering berkunjung ke Makkah. Guru-guru utamanya meliputi:
Rantai keilmuan yang kuat ini, yang menjangkau hingga ke sumber utama syariat, memberi otoritas yang tak terbantahkan pada fatwa-fatwa Atha bin Abi Rabah. Beliau tidak hanya sekadar mengumpulkan riwayat, tetapi juga memahami konteks, sebab-sebab turunnya hukum, dan implikasi praktis dari setiap dalil.
Kualitas keilmuan Atha bin Abi Rabah diakui secara universal pada masanya. Ketika Makkah menjadi pusat ziarah dan haji, dibutuhkan seorang Mufti yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan kompleks dari berbagai mazhab dan latar belakang budaya. Tidak ada seorang pun yang dianggap lebih mumpuni selain Atha. Para ulama besar sezamannya, termasuk Mujahid bin Jabr dan Thawus bin Kisan, yang merupakan ulama besar Tabi'in lainnya, sering merujuk pertanyaan fikih kepada Atha.
Khalifah Abdul Malik bin Marwan pernah bertanya kepada ulama tentang siapa ulama paling alim di Makkah. Jawaban yang ia terima menunjukkan bahwa Atha, sang bekas budak, telah melampaui ulama-ulama dari kalangan Quraisy yang berdarah mulia. Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, ketika melakukan haji, pernah duduk dan bertanya langsung kepada Atha bin Abi Rabah, menunjukkan betapa besar penghormatan yang diberikan oleh penguasa tertinggi negara Islam kepadanya.
Karena tinggal dan berkhidmah di Masjidil Haram, Atha bin Abi Rabah menjadi ahli fikih haji yang paling otoritatif. Beliau menyaksikan ratusan, bahkan ribuan, pelaksanaan haji dan umrah, melihat secara langsung masalah-masalah yang timbul, dan memberikan solusi syar'i di tempat. Fatwa-fatwanya mengenai manasik haji, mulai dari ihram, tawaf, sa'i, hingga tahallul, sangat detail dan praktis. Beliau memahami perbedaan pendapat di antara para Sahabat dan mampu memberikan panduan yang paling mudah dan sesuai dengan tuntutan syariat.
Keunggulannya dalam fikih haji disebabkan oleh tiga faktor utama:
Fatwa-fatwa Atha bin Abi Rabah dalam fikih haji menjadi rujukan utama bagi generasi setelahnya, termasuk para ulama mazhab. Bahkan hingga hari ini, banyak panduan manasik haji yang akarnya dapat ditelusuri kembali kepada ijtihad dan riwayat yang disampaikan oleh Atha.
Metodologi fikih Atha bin Abi Rabah dicirikan oleh kehati-hatian yang ekstrem dan penghormatan yang tinggi terhadap nas (Al-Qur'an dan Sunnah). Beliau dianggap sebagai salah satu ulama yang paling konservatif dalam arti menjaga kemurnian sumber hukum. Namun, konservatisme ini tidak berarti kaku; beliau tetap menggunakan akal (ijtihad) ketika nas tidak secara eksplisit memberikan jawaban, tetapi Ijtihadnya selalu berlandaskan pada ruh syariat.
Prinsip-prinsip utama metodologinya meliputi:
1. Mengutamakan Al-Qur'an dan Sunnah: Jika terdapat nas yang jelas, Atha tidak akan menyimpang darinya, meskipun ada pendapat sahabat yang berbeda. Beliau berpegang teguh pada riwayat yang paling kuat dan sanad yang paling shahih.
2. Mempertimbangkan Tradisi Makkah: Karena Makkah adalah pusat dari ibadah haji dan tempat Nabi berdakwah di awal risalah, tradisi (amal) penduduk Makkah memiliki bobot tertentu dalam fikihnya, terutama jika tradisi tersebut didukung oleh riwayat para Sahabat yang tinggal di sana (seperti Ibnu Abbas).
3. Penggunaan Istihsan (Prinsip Kebaikan): Meskipun tidak seagresif ulama Kufah dalam menggunakan ra’yu (opini/rasio), Atha menggunakan pertimbangan kemaslahatan (kebaikan umum) dalam batasan yang sempit, memastikan bahwa fatwa yang diberikan membawa kemudahan dan menghilangkan kesulitan (masyaqqah) bagi umat, selaras dengan tujuan syariat (Maqasid Syariah).
4. Menghindari Fatwa Berlebihan: Atha bin Abi Rabah dikenal sangat berhati-hati dalam berfatwa. Beliau sering kali menjawab pertanyaan dengan "Saya tidak tahu" jika dirasa jawabannya tidak memiliki sandaran kuat dari nas. Sifat ini menunjukkan integritas keilmuannya; ilmu yang paling tinggi adalah mengakui keterbatasan diri di hadapan ilmu Allah SWT.
Kontribusi Atha bin Abi Rabah pada fikih tidak hanya terbatas pada haji. Beliau juga memberikan fatwa mendalam dalam bidang muamalah (transaksi), nikah (pernikahan), talak (perceraian), dan jinayat (pidana). Kejeliannya dalam membedakan antara dalil yang kuat dan yang lemah, serta antara hukum yang bersifat umum dan yang bersifat khusus, menjadikannya rujukan yang tak tergantikan.
Banyak permasalahan kompleks yang dihadapi masyarakat Makkah yang kemudian diselesaikan melalui ijtihadnya. Sebagai contoh, dalam masalah sewa-menyewa atau jual-beli yang melibatkan orang asing (yang datang haji), Atha memberikan solusi fikih yang menjamin keadilan bagi kedua belah pihak, dengan mempertimbangkan realitas pasar Makkah yang kosmopolitan. Detail-detail ini, yang tersebar dalam kitab-kitab fikih klasik, menegaskan peran Atha sebagai seorang mujtahid sejati.
Kehebatan Atha bin Abi Rabah adalah kemampuannya untuk berinteraksi dengan berbagai pandangan fikih tanpa kehilangan identitasnya. Beliau mengetahui fikih Madinah (yang diwakili oleh Ibnu Umar), fikih Kufah (yang mulai berkembang), dan fikih Syam. Namun, beliau tetap memegang teguh fikih Hijaz (Makkah) yang bercirikan ketaatan maksimal kepada riwayat Ibnu Abbas dan riwayat-riwayat langsung dari para Sahabat yang berdiam di Makkah.
Hal yang paling mengagumkan dari Atha bin Abi Rabah, melebihi keilmuannya, adalah kezuhudan (asketisme) dan integritas pribadinya. Meskipun beliau adalah Mufti utama Makkah dan memiliki akses langsung ke khalifah Umayyah, beliau menjalani hidup yang sangat sederhana, jauh dari kemewahan duniawi. Kekuatan dan kekayaan para penguasa tidak pernah mampu membelokkan fatwanya.
Kezuhudan beliau terlihat jelas dalam penampilan fisiknya. Beliau tidak berpakaian mewah, dan kehidupannya sehari-hari mencerminkan kerendahan hati. Beliau dikenal sangat teguh dalam pendirian jika menyangkut kebenaran. Ada kisah terkenal ketika Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik datang berhaji dan memanggil Atha untuk bertanya tentang manasik. Atha, alih-alih bergegas menyambut penguasa, justru mendatangi Khalifah dengan tenang dan menjawab pertanyaan-pertanyaan Sulaiman tanpa rasa takut atau berlebihan dalam menghormati kekuasaan.
Sikap Atha bin Abi Rabah ini mengajarkan pentingnya independensi ulama dari kekuasaan politik. Bagi beliau, otoritas yang sesungguhnya adalah kebenaran yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah, bukan dari titah seorang raja atau khalifah. Ketegasan ini menjadikannya sangat dihormati, bahkan oleh mereka yang berkuasa, karena mereka tahu bahwa fatwa Atha adalah fatwa yang murni demi Allah dan demi tegaknya syariat.
Selain keilmuan, Atha bin Abi Rabah dikenal karena ibadahnya yang tekun. Beliau menghabiskan waktu malamnya untuk salat dan siangnya untuk mengajar dan berfatwa. Diriwayatkan bahwa beliau tidak pernah meninggalkan salat berjamaah di Masjidil Haram sejak masa mudanya hingga akhir hayatnya, kecuali jika benar-benar sakit parah.
Ketekunannya dalam ibadah mencerminkan kesadaran spiritual yang mendalam. Ilmu baginya bukanlah sekadar teori atau hafalan, tetapi amalan yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan erat antara ilmu dan amal adalah ciri khas para ulama Tabi'in, dan Atha adalah contoh terbaik dari perpaduan sempurna ini.
Atha bin Abi Rabah juga dikenal karena kesabarannya yang luar biasa dalam menuntut ilmu. Meskipun memiliki keterbatasan fisik—berkulit hitam, bermata satu, dan pincang—beliau tetap duduk di majelis ilmu selama berjam-jam setiap hari. Kesabarannya dalam menanggung kesulitan dan keterbatasan fisik menjadi inspirasi bagi banyak orang bahwa kekurangan jasmani bukanlah penghalang untuk mencapai puncak spiritual dan intelektual.
Dalam disiplin Hadis, Atha bin Abi Rabah memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Beliau adalah salah satu perawi yang paling tepercaya (tsiqah) dan diakui oleh para kritikus Hadis, seperti Yahya bin Ma’in dan Ahmad bin Hanbal. Kualitas sanadnya sangat kuat karena ia meriwayatkan langsung dari sumber-sumber Sahabat terkemuka.
Murid-murid Hadis beliau sangat banyak, dan riwayatnya ditemukan dalam koleksi Hadis paling otentik, termasuk *Shahih Bukhari* dan *Shahih Muslim*. Murid-murid Hadis Atha yang paling terkenal antara lain:
Kehadiran riwayat Atha dalam kitab-kitab induk Hadis membuktikan bahwa metodologinya dalam penerimaan dan penyampaian Hadis sangat ketat. Beliau hanya menerima Hadis yang ia yakini benar-benar berasal dari Nabi atau Sahabat, sehingga ia menjadi jembatan kredibel yang menghubungkan generasi Sahabat dengan generasi Tabi’ut Tabi’in.
Karena berguru langsung kepada Ibnu Abbas, Atha bin Abi Rabah mewarisi metodologi tafsir yang murni. Tafsirnya cenderung mengikuti jalur riwayat (Tafsir bi al-Ma'tsur), di mana penjelasan Al-Qur'an didasarkan pada Al-Qur'an itu sendiri, Sunnah Nabi, atau ucapan para Sahabat, terutama Ibnu Abbas. Beliau jarang menyimpang ke tafsir yang terlalu filosofis atau rasionalistik.
Kontribusi Atha dalam tafsir sangat penting dalam menetapkan makna-makna hukum dari ayat-ayat Al-Qur'an (Ayat al-Ahkam). Kemampuan ini lahir dari perpaduan unik antara keahliannya dalam Hadis, Fikih, dan Bahasa Arab. Tafsirnya mengenai ayat-ayat yang berhubungan dengan haji, zakat, dan ibadah lainnya menjadi standar bagi ulama setelahnya.
Atha bin Abi Rabah memahami bahwa penafsiran harus berhati-hati, mengingat konteks sosial dan historis turunnya ayat (asbabun nuzul). Pengetahuan mendalam ini memungkinkannya memberikan pemahaman yang komprehensif terhadap Al-Qur'an, menjauhkannya dari penafsiran yang dangkal atau bias.
Atha bin Abi Rabah dikenal sebagai sosok yang disiplin diri dalam menuntut ilmu hingga akhir hayatnya. Disebutkan bahwa selama puluhan tahun, beliau tidak pernah meninggalkan Makkah kecuali untuk urusan haji atau urusan darurat. Seluruh hidupnya dihabiskan untuk beribadah dan mengajar di pelataran Masjidil Haram. Dedikasi ini tidak hanya sebatas kehadiran fisik, tetapi juga fokus mental yang tak tergoyahkan.
Imam Adz-Dzahabi, dalam Siyar A'lam an-Nubala’, menggambarkan bahwa Atha bin Abi Rabah adalah seorang yang sangat fokus ketika mengajar. Beliau berbicara dengan jelas, hati-hati, dan selalu memberikan jawaban yang memuaskan bagi para penanya. Majelis ilmunya selalu dipenuhi oleh para penuntut ilmu dari berbagai penjuru, yang ingin mendapatkan riwayat Hadis dan fatwa langsung darinya.
Disiplin beliau dalam ilmu adalah teladan bagi setiap penuntut ilmu. Beliau tidak pernah merasa cukup dengan ilmu yang telah didapatkan. Bahkan setelah menjadi Mufti, beliau terus mengkaji, membandingkan riwayat, dan mengoreksi pemahamannya. Sikap rendah hati ini menunjukkan bahwa ilmu adalah perjalanan seumur hidup, bukan tujuan akhir.
Makkah, bersama Madinah dan Kufah, adalah salah satu dari tiga pusat utama perkembangan fikih di masa Tabi'in. Atha bin Abi Rabah adalah figur sentral yang bertanggung jawab dalam membentuk apa yang kemudian dikenal sebagai 'Mazhab Makkah' atau tradisi fikih Makkah. Fikih Makkah ini sangat dipengaruhi oleh ajaran Ibnu Abbas dan cenderung lebih berhati-hati dalam menggunakan ra’yu (rasio) dibandingkan Kufah, namun lebih fleksibel dalam mengakomodasi perbedaan pendapat (khilaf) dibandingkan Madinah.
Melalui murid-muridnya, seperti Ibnu Juraij (yang kemudian dikenal sebagai pelopor penulisan Hadis dan Fikih di Makkah), warisan fikih Atha diteruskan dan dikodifikasi. Ibnu Juraij banyak mencatat fatwa-fatwa dan riwayat dari Atha, yang memastikan bahwa kontribusi Atha tidak hilang ditelan zaman, tetapi menjadi bagian integral dari literatur Islam yang baku.
Atha bin Abi Rabah menjadi fondasi bagi ulama Makkah setelahnya, seperti Sufyan bin Uyainah dan lainnya. Pengaruhnya dalam manasik haji khususnya, telah menjadi konsensus di antara para ulama Hijaz. Beliau mewariskan sebuah tradisi keilmuan yang memprioritaskan teks (nas) sambil tetap memperhatikan kemaslahatan umat, sebuah keseimbangan yang sulit dicapai.
Untuk memahami kedudukan Atha bin Abi Rabah, perlu ditilik kembali bagaimana para ulama besar lain memandangnya. Kesaksian-kesaksian ini memperkuat otoritasnya dan menunjukkan bahwa keagungannya diakui secara lintas mazhab dan wilayah.
Kesaksian-kesaksian ini bukan hanya pujian, melainkan pengakuan formal atas otoritas keilmuan Atha. Dalam sebuah era di mana otoritas sangat penting, Atha bin Abi Rabah, dengan latar belakang sosial yang sederhana, berhasil mendapatkan otoritas tertinggi melalui ketakwaannya dan dedikasinya kepada ilmu.
Kontras antara penampilan fisik beliau yang sederhana dan keagungan ilmunya adalah pelajaran mendalam bagi umat. Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik pernah berkata, setelah melihat cara Atha bin Abi Rabah yang hitam dan tua berinteraksi dengan para penuntut ilmu: "Sungguh menakjubkan bagaimana ilmu bisa mengangkat martabat seseorang." Perkataan ini merangkum seluruh kisah Atha bin Abi Rabah.
Atha bin Abi Rabah tidak hanya diuji dengan status sosialnya sebagai bekas budak, tetapi juga dengan kondisi fisiknya yang kurang sempurna. Riwayat menyebutkan bahwa ia menderita kebutaan pada satu matanya dan mengalami kelumpuhan ringan di kakinya. Di tengah keterbatasan ini, ia harus menjalankan tugas berat sebagai Mufti Makkah dan guru bagi ribuan murid.
Kesabaran Atha dalam menghadapi ujian ini mencerminkan keimanannya yang mendalam. Beliau tidak menjadikan kekurangan fisik sebagai alasan untuk berpangku tangan, melainkan sebagai motivasi untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada ilmu yang bersifat spiritual dan abadi. Setiap kesulitan fisik yang ia alami, tampaknya, hanya meningkatkan cahaya keilmuan yang terpancar dari hatinya.
Keteguhan hati ini menjadi bagian integral dari warisannya. Para muridnya belajar tidak hanya tentang fikih, tetapi juga tentang etika kehidupan, yakni bagaimana seseorang harus menerima takdir Allah SWT dengan kerelaan, dan bagaimana kerja keras mengatasi segala rintangan duniawi.
Makkah, sebagai pusat spiritual, selalu rentan terhadap pengaruh bid’ah atau penyimpangan yang dibawa oleh jamaah haji dari berbagai penjuru. Tugas Atha bin Abi Rabah bukan hanya mengajar fikih, tetapi juga menjadi penjaga tradisi (sunnah) di kota suci tersebut. Beliau memastikan bahwa ibadah haji dan ibadah-ibadah lain dilaksanakan sesuai dengan cara Nabi Muhammad SAW dan para Sahabat.
Fungsi Atha sebagai "Penjaga Tradisi" sangat vital, terutama dalam masa-masa terjadi perselisihan politik dan perbedaan pandangan mazhab. Fatwa-fatwanya yang kokoh dan berlandaskan riwayat Sahabat membantu mempertahankan kemurnian ritual dan menghindari praktik-praktik yang tidak berdasar.
Beliau memberikan perhatian khusus terhadap masalah-masalah sosial dan moral yang muncul di Makkah. Sebagai Mufti, ia seringkali harus menyelesaikan sengketa antara pedagang, memberikan nasihat pernikahan, dan menangani kasus-kasus kriminal. Keahliannya dalam fikih muamalah dan jinayat, yang ditunjang oleh pemahaman mendalam tentang hukum Allah, menjadikannya hakim yang adil dan disegani.
Keagungan seorang ulama diukur dari seberapa luas dan dalam pengaruhnya terhadap generasi berikutnya. Atha bin Abi Rabah meninggalkan warisan yang abadi melalui murid-muridnya yang tersebar di seluruh dunia Islam, yang melanjutkan tradisi keilmuan Makkah.
Murid-muridnya termasuk tokoh-tokoh yang kemudian menjadi imam dan ulama besar pada generasi Tabi'ut Tabi'in. Selain yang telah disebutkan dalam konteks Hadis, murid-muridnya dalam fikih meliputi:
Melalui murid-murid ini, fikih Makkah yang dikembangkan oleh Atha bin Abi Rabah menyebar ke Irak (Kufah dan Bashrah), Syam, dan Mesir. Ini menunjukkan bahwa otoritas ilmiah Atha melintasi batas geografis. Fikih Atha menjadi salah satu mata air utama yang kemudian membentuk landasan bagi Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hambali, yang sangat mengandalkan Hadis dan riwayat para Sahabat dari Hijaz.
Atha bin Abi Rabah tidak hanya mewariskan kumpulan fatwa, tetapi juga prinsip-prinsip etika dan metodologi yang menjadi inti dari tradisi keilmuan Islam:
Prinsip-prinsip ini menjadikan Atha bin Abi Rabah sebagai model ulama ideal: seorang yang alim, zahid (asketis), dan bijaksana (hakim), yang mampu memimpin umat dengan cahaya kebenaran dan keadilan.
Atha bin Abi Rabah meninggal dunia di Makkah pada tahun 114 Hijriah, setelah menghabiskan lebih dari 80 tahun hidupnya dalam ketaatan, ibadah, dan pengajaran. Kepergiannya merupakan kehilangan besar bagi umat Islam, tetapi warisannya tetap hidup melalui ribuan riwayat Hadis, fatwa fikih, dan teladan kehidupan yang ia tinggalkan.
Kisah Atha bin Abi Rabah adalah pengingat abadi bahwa keutamaan sejati tidak terletak pada atribut duniawi. Seorang maula, berkulit hitam, bermata satu, dapat menjadi Mufti terkemuka di jantung dunia Islam, mengajar di samping Ka'bah, dan menjadi rujukan bagi para khalifah dan ulama besar. Hal ini menegaskan kembali sabda Nabi: "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta benda kalian, tetapi melihat kepada hati dan amal perbuatan kalian."
Atha bin Abi Rabah bukan hanya seorang ulama, tetapi juga simbol harapan bagi setiap individu yang merasa terpinggirkan, menunjukkan bahwa melalui ketekunan yang jujur dan pengabdian yang tulus, pintu keagungan ilmu akan terbuka lebar. Beliau adalah Lentera Fikih Tabi'in, yang cahayanya terus menerangi jalan para penuntut ilmu hingga kini.
***
Penelusuran mendalam terhadap kehidupan Atha bin Abi Rabah mengungkapkan betapa kompleks dan berharganya peran Tabi'in dalam transisi dan kodifikasi ilmu-ilmu Islam. Mereka adalah jembatan yang menghubungkan wahyu kenabian dengan sistematika ilmiah. Kehadiran Atha di Makkah memberikan legitimasi dan fondasi yang kuat bagi hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan pusat ibadah, memastikan bahwa ibadah haji yang dilakukan oleh jutaan orang tetap sesuai dengan sunnah Nabi. Warisan ini, yang terjalin melalui disiplin, kezuhudan, dan penguasaan nas, terus menjadi sumber inspirasi. Ketelitiannya dalam Hadis, kejeliannya dalam Fikih, dan kekonsistenannya dalam beramal adalah trilogi sempurna dari seorang ulama Rabbani. Sumbangsihnya dalam memelihara sanad Hadis dari para Sahabat Makkah seperti Ibnu Abbas sangatlah krusial, membuat setiap riwayat yang datang darinya memiliki bobot kebenaran yang tinggi. Ini adalah kisah tentang bagaimana integritas spiritual menghasilkan otoritas intelektual yang tak terbantahkan, sebuah pelajaran yang relevan melintasi zaman dan geografi.
Ketegasan Atha dalam membedakan antara yang wajib dan yang sunnah, antara yang masyhur (terkenal) dan yang syadz (ganjil), memberikan peta jalan yang jelas bagi para faqih setelahnya. Karyanya—walaupun tidak berbentuk buku tunggal seperti era belakangan—tersebar dalam fatwa-fatwa lisan yang dicatat oleh murid-muridnya, dan menunjukkan kecerdasan hukumnya. Misalnya, dalam masalah sumpah dan nadzar, Atha memiliki pandangan yang terperinci yang seringkali lebih ringan bagi pelaksana syariat, namun tetap teguh pada prinsip dasar. Keberaniannya untuk memberikan keringanan (rukhsah) bukan didasari keinginan menyenangkan orang, melainkan karena pemahaman mendalam terhadap tujuan syariat yang ingin menghilangkan kesulitan (raf'ul haraj). Pendekatan ini adalah ciri khas dari ulama Hijaz yang berorientasi pada praktik dan kemaslahatan jamaah haji yang beragam.
Di masa ketika politik Umayyah seringkali mengintervensi urusan keagamaan, Atha berdiri sebagai tembok pertahanan moral. Kesaksiannya tidak pernah dibeli oleh harta atau jabatan. Kehadirannya di majelis-majelis khalifah, meskipun dalam keadaan fisik yang terbatas, selalu diwarnai oleh kebenaran yang lugas. Beliau mendemonstrasikan bahwa kekuasaan sejati seorang ulama terletak pada kedalaman ilmu, bukan pada hubungan kekerabatan dengan penguasa. Sikap ini adalah fondasi etika ulama (adab al-'ulama) yang menolak untuk tunduk kecuali kepada kebenaran. Cerita tentang Atha bin Abi Rabah menjadi metafora tentang kemenangan substansi atas formalitas, kemenangan ilmu atas status sosial yang dangkal. Jasa-jasanya dalam fikih muamalah, terutama yang berkaitan dengan kontrak perdagangan di pasar Makkah yang ramai, menunjukkan kemampuan beliau untuk menerapkan prinsip-prinsip syariat pada masalah-masalah ekonomi yang praktis dan kontemporer di zamannya. Beliau tidak pernah memisahkan ilmu dari realitas kehidupan sehari-hari, menjadikannya seorang ulama yang relevan dan esensial bagi masyarakatnya.
Pengaruh Atha bin Abi Rabah dalam ilmu Hadis juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia bukan hanya perawi, tetapi juga kritikus Hadis yang handal. Beliau sangat teliti dalam menyeleksi riwayat, terutama yang datang dari luar Hijaz. Kehati-hatiannya ini membantu menyaring Hadis-Hadis yang kurang terpercaya, memastikan bahwa tradisi kenabian yang disebarkan dari Makkah adalah tradisi yang paling shahih dan otentik. Kontribusinya dalam sanad Hadis Ibnu Abbas khususnya, menjadi tulang punggung bagi koleksi Hadis dalam Sahih Bukhari dan Muslim. Beliau adalah guru bagi Imam Az-Zuhri, yang merupakan salah satu pengumpul Hadis pertama dan paling penting. Hubungan guru-murid ini menunjukkan bahwa metode dan disiplin Hadis Atha menyebar ke pusat-pusat ilmu lain, termasuk Madinah dan Syam, dan menjadi standar kritik Hadis di seluruh wilayah Islam. Kesabarannya dalam mendiktekan Hadis, mengulang matan (teks) dan sanad (rantai perawi) berulang kali demi akurasi, adalah bukti dari kesetiaannya yang tak tergoyahkan kepada warisan Nabi. Keahlian Hadisnya adalah prasyarat bagi keahlian Fikihnya, karena tanpa pemahaman Hadis yang kuat, mustahil menjadi seorang faqih yang otoritatif seperti dirinya.
Dalam bidang tafsir, warisan Atha bin Abi Rabah adalah warisan ketaatan pada riwayat. Beliau menekankan bahwa Al-Qur'an harus ditafsirkan oleh Sunnah, dan Sunnah harus dipahami melalui konteksnya. Pendekatan ini, yang dominan di Makkah berkat Ibnu Abbas, memberikan Tafsir yang stabil dan menghindari subjektivitas yang berlebihan. Bagi Atha, tujuan dari Tafsir adalah memahami perintah dan larangan Allah untuk diterapkan dalam amal. Oleh karena itu, tafsirnya selalu bernuansa fikih, berfokus pada implikasi hukum dari setiap ayat. Penguasaan menyeluruhnya terhadap ayat-ayat hukum (Ayat al-Ahkam) menjadikannya rujukan utama bagi siapa pun yang ingin memahami dasar-dasar syariat dari sumber Al-Qur'an. Kesederhanaan dan kedalaman Tafsirnya mencerminkan kezuhudannya; beliau tidak mencari kekaguman intelektual, tetapi mencari kebenaran yang mengarahkan pada ibadah yang benar. Kontribusi ini memastikan bahwa ilmu Tafsir Makkah tetap murni dan terpelihara dari intervensi filosofis yang mulai muncul di wilayah-wilayah lain. Kehati-hatiannya dalam meriwayatkan perkataan Sahabat (atsar) tentang Tafsir juga menjadi standar bagi ulama setelahnya.
Kehidupan pribadi Atha bin Abi Rabah adalah manifestasi dari seluruh ajarannya. Beliau tidak pernah meminta imbalan untuk fatwa-fatwanya. Beliau hidup dari hasil pekerjaannya, bukan dari mengajarnya. Sikap independen secara ekonomi ini menjamin bahwa fatwanya bebas dari pengaruh material. Dalam sebuah masyarakat yang mulai diselimuti kemewahan Dinasti Umayyah, Atha adalah pengingat akan pentingnya zuhud dan kesederhanaan para pendahulu yang saleh. Dinding Masjidil Haram adalah rumah dan universitasnya. Kehidupan yang sangat terstruktur, antara ibadah, mengajar, dan berfatwa, menunjukkan dedikasinya yang luar biasa. Setiap harinya adalah pengabdian murni. Sifat ini sangat dikagumi oleh murid-muridnya, yang menyaksikan secara langsung bagaimana seorang ulama besar memilih hidup dalam kesederhanaan, meskipun beliau bisa saja mendapatkan kemudahan material dari penguasa. Teladan ini jauh lebih kuat daripada seribu ceramah tentang zuhud. Oleh karena itu, ketika Atha memberikan fatwa tentang keadilan sosial atau kewajiban zakat, fatwanya memiliki bobot moral yang tidak tertandingi karena berasal dari praktik pribadinya.
Atha bin Abi Rabah juga memiliki peran penting dalam mendidik para hakim. Sebagai Mufti, ia sering memberikan nasihat kepada para hakim (qadhi) yang ditunjuk oleh khalifah di Makkah dan daerah sekitarnya. Beliau menekankan pentingnya pengetahuan yang mendalam tentang nas dan kewajiban untuk berlaku adil, tanpa memandang status sosial pihak yang bersengketa. Nasihat-nasihatnya ini membantu membentuk sistem peradilan Islam di Hijaz menjadi lebih berdasarkan syariat dan bebas dari pengaruh kepentingan pribadi. Pendekatan yudisialnya selalu menekankan pada pencegahan (sadd adz-dzari'ah) dan kehati-hatian dalam menjatuhkan hukuman, terutama dalam kasus-kasus pidana yang melibatkan hak-hak individu. Kesadarannya akan tanggung jawab di hari kiamat menjadikan beliau sangat takut untuk berbuat salah dalam memutuskan perkara atau memberikan fatwa. Rasa takut ini, yang didasari oleh ketakwaan (taqwa), adalah mesin pendorong utama di balik keunggulan dan kehati-hatian dalam metodologi fikihnya.
Kisah tentang keterbatasan fisiknya, yang sering diulang oleh para sejarawan, berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa di mata Allah, kecacatan jasmani tidak mengurangi martabat seseorang, bahkan dapat meningkatkannya jika disertai dengan kesabaran dan perjuangan dalam menuntut ilmu. Ia berhasil mengubah stigma sosial dari status budak menjadi simbol kehormatan tertinggi di kota suci. Atha bin Abi Rabah mengajarkan bahwa setiap Muslim, terlepas dari warna kulit, ras, atau kekurangan fisik, memiliki potensi yang sama untuk mencapai puncak keilmuan dan spiritualitas, asalkan didasari oleh ketekunan yang tak kenal lelah. Pesan universal ini melampaui konteks zamannya dan menjadi inspirasi bagi umat Islam di seluruh dunia. Keagungan pribadinya menjadi bukti bahwa Islam adalah agama yang egaliter, yang menghargai ketakwaan dan ilmu di atas segalanya. Kepergiannya meninggalkan kesedihan yang mendalam, tetapi warisan intelektualnya tetap kekal, tersemat dalam riwayat, fatwa, dan buku-buku fikih yang menjadi panduan umat hingga saat ini.