Ilustrasi simbolis pena dan gulungan, melambangkan peran Aqil bin Abi Thalib sebagai ahli silsilah dan sejarawan.
Aqil bin Abi Thalib, sebuah nama yang sarat makna dalam narasi sejarah awal Islam. Ia bukan sekadar figur biasa, melainkan salah satu pilar penting dalam lingkaran terdekat Nabi Muhammad ﷺ dan saudara kandung dari Khalifah Ali bin Abi Thalib. Posisi genealogisnya memberinya kedudukan unik: sebagai anak tertua dari Abi Thalib, ia mewarisi peran sebagai penjaga kehormatan Bani Hasyim setelah paman Nabi tersebut wafat. Kehidupan Aqil adalah jalinan kompleks antara kesetiaan keluarga, keterlambatan dalam penerimaan risalah kenabian, kepakaran intelektual yang diakui oleh seluruh kabilah Quraish, serta ujian berat yang dihadapinya di tengah gejolak politik yang melanda umat Islam pasca masa kenabian. Menggali biografi Aqil memerlukan pemahaman mendalam tentang struktur sosial dan politik Mekkah pra-Islam, serta dinamika internal keluarga Hasyim yang sangat berpengaruh.
Perjalanan hidup Aqil melintasi tiga fase krusial: era Jahiliyah, masa awal perjuangan Islam yang penuh konflik, dan masa-masa pembentukan kekhalifahan yang diwarnai perpecahan. Di masa Jahiliyah, ia telah diakui sebagai seorang yang memiliki memori tajam dan pengetahuan yang luas mengenai seluk-beluk nasab (genealogi) kabilah-kabilah Arab. Ilmu nasab bukan sekadar hobi, melainkan fondasi hukum, politik, dan pernikahan dalam masyarakat Quraish. Kemampuannya mendefinisikan dan menghafal garis keturunan memberikan ia otoritas sosial yang besar, bahkan sebelum ia memeluk Islam. Reputasinya ini menjadi salah satu warisan terbesarnya yang tetap relevan bahkan setelah ia wafat, menjadikannya rujukan utama bagi para sejarawan berikutnya. Karakteristik ini membedakannya dari saudara-saudaranya, Ja'far dan Ali, yang lebih dikenal karena keberanian militer dan kedalaman spiritualnya.
Aqil adalah putra tertua dari Abi Thalib bin Abdul Muthalib, pelindung dan paman yang sangat dicintai oleh Nabi Muhammad. Ibunya adalah Fatimah binti Asad, seorang wanita mulia yang juga merupakan salah satu orang pertama yang memeluk Islam dan memiliki kedudukan istimewa di mata Nabi. Dari garis keturunan yang agung ini, Aqil memiliki ikatan darah yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad. Selain Ali, ia memiliki saudara kandung lain yang juga memainkan peran penting: Ja’far bin Abi Thalib, yang dikenal dengan gelar Dzul Janahain (pemilik dua sayap) dan meninggal sebagai syahid dalam Pertempuran Mu'tah. Keempat putra Abi Thalib—Thalib, Aqil, Ja’far, dan Ali—mereka semua mewarisi martabat dan kehormatan Bani Hasyim, namun jalan hidup mereka sangat berbeda, mencerminkan kompleksitas transisi masyarakat dari paganisme ke tauhid.
Keberadaan Aqil dalam keluarga inti kenabian menempatkannya di bawah pengawasan langsung Nabi sejak usia muda. Meskipun demikian, masa keislamannya tidak terjadi dengan serta-merta. Berbeda dengan Ja'far yang berhijrah ke Habasyah atau Ali yang memeluk Islam sejak masa kanak-kanak, Aqil memilih untuk tinggal di Mekkah dan mempertahankan posisinya sebagai seorang Quraish yang disegani. Pilihan ini sering kali diinterpretasikan oleh para sejarawan sebagai bentuk kehati-hatian atau mungkin perhitungan politik; ia hidup di tengah pusaran konflik antara kabilahnya sendiri, Bani Hasyim yang mendukung Nabi, dan sisa kabilah Quraish yang menentang. Statusnya sebagai ahli nasab kemungkinan juga mengharuskannya menjaga netralitas tertentu agar ilmunya tetap dihormati oleh semua pihak.
Periode ini menunjukkan betapa sulitnya konversi bagi tokoh-tokoh senior Quraish yang memiliki jabatan struktural. Bagi Aqil, keislaman berarti melepaskan koneksi dan pengaruhnya yang sudah lama terjalin dalam hierarki Jahiliyah. Namun, meskipun belum secara resmi memeluk Islam, ia tidak pernah memusuhi Nabi Muhammad. Sikapnya ini selaras dengan posisi ayahnya, Abi Thalib, yang melindungi Nabi meski tidak mengikuti ajarannya. Loyalitas keluarga (asabiyah) tetap menjadi prinsip utama yang ia pegang teguh, bahkan ketika ajaran tauhid mulai merombak ikatan-ikatan kesukuan tradisional.
Titik balik penting dalam hidup Aqil terjadi saat Pertempuran Badr. Pada saat itu, Aqil ikut serta di pihak Quraish melawan kaum Muslimin. Kehadirannya dalam barisan musuh sering kali menjadi subjek diskusi dan perdebatan di kalangan sejarawan. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ia dipaksa ikut, sementara yang lain berpendapat bahwa ia masih terikat dengan tradisi suku dan belum menerima risalah Nabi secara penuh. Terlepas dari motifnya, Aqil ditawan oleh kaum Muslimin setelah kemenangan yang gemilang di Badr. Ia ditangkap oleh pamannya sendiri, Al-Abbas bin Abdul Muthalib, yang juga berada di pihak Quraish namun telah memeluk Islam secara rahasia.
Setelah penangkapan itu, Nabi Muhammad menetapkan tebusan untuk setiap tawanan. Aqil adalah salah satu dari mereka yang harus ditebus. Karena Aqil bin Abi Thalib miskin dan tidak memiliki harta untuk membayar tebusan, Nabi Muhammad memberikan keringanan. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Nabi meminta Abbas, paman beliau yang kaya, untuk membayar tebusan bagi Aqil. Namun, riwayat yang lebih menonjol menyatakan bahwa Nabi Muhammad membebaskan Aqil tanpa tebusan, karena pamannya, Abbas, telah membayar tebusan dirinya sendiri. Kisah ini menekankan kasih sayang dan ikatan kekerabatan yang kuat antara Nabi dan keluarga pamannya, Abi Thalib, meskipun ada perbedaan keyakinan pada saat itu.
Peristiwa Badr menjadi katalisator bagi konversinya. Setelah dibebaskan, Aqil kembali ke Mekkah, namun ia mulai menjauhkan diri dari perlawanan Quraish. Ia akhirnya memeluk Islam beberapa saat sebelum Perjanjian Hudaibiyah, atau ada pula yang menyebutkan setelah Hudaibiyah. Keputusan ini, yang datang terlambat dibandingkan saudara-saudaranya, menandai akhir dari masa lalunya dan awal dari pengabdiannya kepada komunitas Muslim. Keislamannya pada dasarnya merupakan kemenangan spiritual yang tertunda, tetapi memiliki dampak signifikan karena ia membawa serta seluruh pengetahuannya tentang sejarah dan politik Quraish ke dalam barisan Islam.
Setelah keislamannya, Aqil berhijrah ke Madinah. Kepindahannya ini bukan sekadar perpindahan fisik, tetapi juga perpindahan otoritas intelektual. Di Madinah, ia segera diakui sebagai otoritas utama dalam hal nasab. Ilmu nasabnya menjadi penting untuk menetapkan hubungan kekerabatan, hak waris, dan hak-hak kesukuan dalam masyarakat Muslim yang baru dibentuk. Ia menjadi jembatan antara struktur sosial lama dan tatanan baru Islam, memastikan bahwa transisi dari sistem suku yang rumit berjalan lancar tanpa menghilangkan pengetahuan tentang asal-usul kabilah.
Warisan terbesar Aqil bin Abi Thalib adalah pengetahuannya yang luar biasa tentang silsilah dan sejarah kabilah Arab. Dia dikenal sebagai *Nassabah* (ahli nasab) Quraish yang tak tertandingi. Keahlian ini memberinya posisi yang sangat dihormati di Madinah. Dalam masyarakat yang sangat menjunjung tinggi asal-usul dan kehormatan garis keturunan, pengetahuan Aqil adalah aset strategis. Ia mampu melacak hubungan antarindividu dan kelompok, membedakan klaim palsu dari klaim yang sah, dan memberikan konteks historis untuk setiap perselisihan antar suku.
Para khalifah dan sahabat besar, termasuk Umar bin Khattab, sering merujuk kepadanya untuk urusan pembagian harta rampasan perang dan tunjangan (diwan), yang mana pembagiannya sering didasarkan pada tingkat kedekatan nasab dengan Nabi Muhammad dan sejarah kontribusi kabilah tersebut terhadap Islam. Pengetahuan Aqil memastikan keadilan dalam administrasi negara yang sedang berkembang pesat. Kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh para pemimpin menunjukkan bahwa, meskipun ia memiliki konflik politik di masa mendatang, otoritas intelektualnya tidak pernah diragukan.
Karya-karya sejarah kemudian banyak bergantung pada riwayat yang berasal dari Aqil atau melalui keturunannya. Kemampuannya untuk mengingat ribuan nama, perkawinan, dan peristiwa penting yang melibatkan ratusan kabilah merupakan suatu keajaiban memori. Ia bukan sekadar penghafal, tetapi seorang analis sosial yang memahami bagaimana garis keturunan memengaruhi aliansi politik. Di masa yang sangat mengandalkan transmisi lisan, Aqil adalah perpustakaan bergerak Quraish. Kontribusinya dalam menjaga keaslian silsilah Nabi dan silsilah para sahabat utama sangatlah fundamental bagi historiografi Islam.
Kehadiran Aqil di Madinah pada masa-masa awal ini juga menjadi penyeimbang. Meskipun ia adalah kakak dari Ali bin Abi Thalib, ia tidak secara eksklusif berpihak pada faksi manapun secara mutlak, melainkan pada prinsip keilmuan dan kebenaran sejarah. Ini memungkinkan ia berinteraksi dengan Khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman dengan hormat dan tetap diakui sebagai penasihat penting, membuktikan bahwa pengetahuannya melampaui ikatan politik internal Bani Hasyim.
Hubungan Aqil dengan Nabi Muhammad sangatlah akrab dan kompleks, diwarnai oleh kasih sayang yang mendalam, meskipun ada perbedaan yang sempat terjadi terkait masalah keimanan. Nabi Muhammad sangat menyayangi Aqil, Ja’far, dan Ali sebagai anak-anak dari paman yang membesarkan beliau, Abi Thalib. Ketika Aqil mengalami kesulitan finansial setelah tiba di Madinah, Nabi memberikan dukungan penuh, sebuah manifestasi dari tradisi Hasyimiyah yang menjunjung tinggi bantuan keluarga.
Salah satu riwayat paling terkenal yang menggambarkan interaksi antara Nabi dan Aqil adalah kisah permintaan tanah. Aqil, yang hidup dalam kondisi kekurangan, pernah meminta agar ia diizinkan membangun rumah di dekat Masjid Nabawi, di tanah yang dulunya milik Bani Hasyim. Tanah tersebut, atau tanah di sekitarnya, telah diperuntukkan bagi kebutuhan masyarakat umum dan perluasan masjid. Nabi Muhammad dengan tegas, tetapi penuh kasih, menolak permintaan Aqil. Nabi menjelaskan bahwa tanah tersebut harus tetap digunakan untuk kemaslahatan umat, atau bahwa harta kaum Muslimin tidak boleh diberikan hanya berdasarkan pertimbangan kekerabatan.
Kisah ini penting karena menunjukkan prinsip kenabian yang menempatkan keadilan publik di atas ikatan keluarga. Nabi tidak memberikan perlakuan istimewa kepada Aqil meskipun ia sangat mencintainya. Riwayat ini berfungsi sebagai pengingat abadi akan integritas Nabi Muhammad dalam urusan harta dan administrasi negara. Bagi Aqil, penolakan itu mungkin pahit, tetapi ia menerimanya, yang menegaskan kepatuhannya setelah keislaman, meskipun ia dikenal karena sifatnya yang blak-blakan dan kadang kritis.
Setelah keislamannya, Aqil meriwayatkan sejumlah hadis dari Nabi Muhammad. Riwayat-riwayatnya, meskipun tidak sebanyak perawi utama lainnya, sangat berharga karena memberikan perspektif unik dari sudut pandang Bani Hasyim yang memiliki sejarah panjang dalam kehidupan Mekkah. Riwayat-riwayat ini seringkali berkaitan dengan masalah sosial, etika, dan hukum, menunjukkan keterlibatannya yang aktif dalam kehidupan masyarakat Madinah.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad, Aqil melanjutkan perannya sebagai otoritas nasab dan seorang tokoh terpandang di Madinah. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, Aqil tidak memegang posisi militer atau gubernur, tetapi pengaruhnya sebagai penasihat sejarah dan genealogis tetap kuat. Ini menunjukkan bahwa peran politik tidak selalu harus berupa jabatan formal; bagi Aqil, pengetahuannya adalah kekuasaannya.
Di bawah Khalifah Umar, ketika sistem tunjangan (diwan) mulai diorganisir, pengetahuan Aqil tentang derajat nasab dan pengorbanan awal setiap kabilah sangat vital. Umar, yang dikenal karena ketegasannya dalam administrasi, sangat menghargai informasi yang akurat dari Aqil untuk memastikan bahwa tunjangan diberikan secara proporsional. Keputusan Umar untuk memprioritaskan tunjangan berdasarkan kedekatan dengan Nabi dan senioritas dalam Islam sangat bergantung pada keahlian Aqil. Ini adalah periode stabil bagi Aqil, di mana ia dapat menjalankan perannya sebagai cendekiawan tanpa terlibat dalam intrik politik yang muncul kemudian.
Namun, kehidupan Aqil mulai memasuki fase yang lebih bergejolak selama masa Khalifah Utsman bin Affan dan, yang lebih penting, selama kekhalifahan saudaranya sendiri, Ali bin Abi Thalib. Meskipun ia adalah saudara kandung Ali, dan Ali tentu menghormati dan menyayanginya, hubungan mereka mengalami ketegangan akibat perbedaan pandangan tentang manajemen keuangan negara dan kondisi hidup Aqil yang serba kekurangan.
Ketegangan antara Aqil dan Ali adalah salah satu episode paling menyedihkan namun paling mendidik dalam sejarah Islam. Ali, yang dikenal karena kezuhudan dan ketegasannya dalam menegakkan keadilan, menolak memberikan dana publik lebih kepada Aqil hanya karena ikatan persaudaraan. Dikisahkan bahwa Aqil pernah menuntut pembagian harta yang lebih besar dari Baitul Mal (kas negara), dengan alasan kesulitan ekonomi dan haknya sebagai kerabat dekat Nabi. Ali, dalam sebuah kisah legendaris, membakar besi panas dan mendekatkannya ke tangan Aqil, sekadar untuk menunjukkan betapa panasnya api neraka bagi siapa pun yang mengambil hak umat, meskipun orang itu adalah saudaranya sendiri.
Kisah ini, meskipun mungkin dilebih-lebihkan dalam beberapa riwayat, menangkap esensi konflik: Aqil, yang terbiasa dengan gaya hidup yang lebih baik, kesulitan menerima standar kezuhudan yang diterapkan Ali. Bagi Aqil, mungkin ia melihat bahwa statusnya sebagai anak tertua Abi Thalib dan keahliannya harusnya memberinya tunjangan yang lebih baik. Bagi Ali, Baitul Mal adalah hak umat, dan ikatan darah tidak boleh melanggar prinsip keadilan ilahiah. Perbedaan filosofis ini pada akhirnya mendorong Aqil untuk membuat keputusan yang mengubah arah hidupnya secara drastis.
Karena frustrasi terhadap kondisi finansialnya yang sulit dan ketegasan Ali yang tidak kompromi, Aqil mengambil keputusan monumental: ia meninggalkan Kufah, pusat kekhalifahan Ali, dan pergi ke Syam (Suriah) untuk bergabung dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Syam dan penantang utama Ali. Kepindahan ini terjadi di tengah Perang Sipil Pertama (Fitnah Kubra), menjadikannya salah satu pembelotan paling signifikan yang tercatat dalam sejarah.
Keputusan Aqil untuk bergabung dengan Muawiyah, musuh saudaranya sendiri, sering kali menjadi topik kontroversial. Para sejarawan umumnya sepakat bahwa motif utama kepindahannya adalah kemiskinan dan kebutuhan finansial. Muawiyah, yang dikenal karena kedermawanan politiknya (memberikan hadiah besar untuk menjamin loyalitas), menyambut Aqil dengan tangan terbuka. Muawiyah memahami betul nilai strategis dari memiliki Aqil di pihaknya. Dengan Aqil, Muawiyah tidak hanya mendapatkan ahli nasab terkemuka, tetapi juga merusak moral kubu Ali dengan menunjukkan bahwa bahkan saudara kandung khalifah pun tidak puas dengan pemerintahannya.
Di Syam, Aqil diberikan kekayaan dan posisi kehormatan yang ia inginkan. Meskipun kini berada di pihak Muawiyah, Aqil tetap mempertahankan identitasnya sebagai ahli silsilah. Ia sering berdebat dan bercanda dengan Muawiyah, dan perdebatan mereka menjadi sumber cerita humor yang kaya, namun juga sarat muatan politik. Dalam perdebatan ini, Aqil sering menggunakan ilmunya tentang nasab untuk menyerang kehormatan Muawiyah, terutama terkait dengan keturunan dan masa lalu Bani Umayyah, tetapi Muawiyah menanggapi hal ini dengan humor dan kedermawanan, memahami bahwa selama Aqil ada di Syam, ia adalah aset yang berharga.
Peristiwa ini menunjukkan dilema yang dihadapi banyak tokoh di masa Fitnah. Aqil, meskipun seorang Muslim yang taat dan paman bagi cucu Nabi, harus memilih antara kesetiaan ideologis yang membawa kemiskinan (di bawah Ali) dan pragmatisme politik yang menawarkan keamanan finansial (di bawah Muawiyah). Keputusannya mencerminkan perjuangan manusiawi yang mendasar di tengah kekacauan politik yang besar, di mana idealisme sering kali bertabrakan dengan kebutuhan nyata kehidupan sehari-hari.
Ketika Aqil berada di Syam, ia sering diminta oleh Muawiyah untuk menggunakan keahliannya dalam nasab untuk memuji Bani Umayyah atau meremehkan lawan. Namun, Aqil tidak selalu bersedia. Dia adalah orang yang jujur dalam ilmu nasabnya, dan bahkan di hadapan Muawiyah yang berkuasa, ia sering melontarkan komentar yang menusuk tentang kelemahan garis keturunan Muawiyah, namun Muawiyah hanya tertawa dan memaafkannya karena pengetahuan dan status Aqil yang tak tertandingi.
Salah satu riwayat terkenal menceritakan bagaimana Muawiyah bertanya kepada Aqil tentang nasabnya, dan Aqil menjawab dengan penuh ketegasan, mengingatkan Muawiyah tentang garis keturunan Bani Hasyim yang lebih mulia. Muawiyah berusaha menyanjung Aqil dengan uang, tetapi Aqil tidak pernah sepenuhnya tunduk. Ia tetap menghormati saudaranya, Ali, meskipun ia telah meninggalkannya. Bahkan setelah wafatnya Ali, Aqil masih berbicara tentang keutamaan Bani Hasyim.
Kehadiran Aqil di Syam juga memberikan legitimasi intelektual bagi pemerintahan Muawiyah di mata sebagian kalangan. Muawiyah mampu mengatakan bahwa bahkan keluarga inti Ali pun berpaling darinya, sebuah poin propaganda yang kuat. Namun, Aqil tidak pernah berpartisipasi dalam pertempuran melawan saudaranya. Perannya bersifat pasif-strategis, bukan militer. Ini adalah keseimbangan yang rapuh antara mendapatkan dukungan material dan menjaga martabat intelektual dan kekerabatan.
Aqil bin Abi Thalib memiliki banyak anak, namun yang paling terkenal dalam sejarah adalah putranya, Muslim bin Aqil. Muslim bin Aqil memainkan peran yang sangat tragis dan heroik dalam sejarah Islam. Pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah, ketika penduduk Kufah menulis surat kepada Husain bin Ali (cucu Nabi) meminta dia untuk datang dan mengambil kepemimpinan, Husain memilih Muslim bin Aqil sebagai utusannya untuk menilai situasi di Kufah.
Muslim bin Aqil menunjukkan kesetiaan yang tak tergoyahkan kepada keluarga Hasyimiyah dan kepada sepupunya, Husain. Ia adalah antitesis dari pragmatisme politik ayahnya; ia memilih risiko ideologis dan kesetiaan penuh. Muslim berhasil mengumpulkan dukungan awal yang besar di Kufah, namun dukungan tersebut segera menguap di bawah tekanan politik dan militer oleh Ubaidullah bin Ziyad. Muslim bin Aqil dikhianati dan dieksekusi secara brutal di Kufah, menjadi martir pertama dari tragedi Karbala.
Kisah Muslim bin Aqil adalah bayangan dari kehidupan ayahnya. Aqil memilih untuk hidup dalam kemakmuran politik dengan sedikit kompromi ideologis di akhir hayatnya, sementara putranya memilih mati demi idealisme kekeluargaan dan keyakinan politik. Perbedaan nasib antara ayah dan anak ini menekankan betapa kompleksnya ikatan keluarga Bani Hasyim di tengah perselisihan yang memecah belah umat Islam. Kematian Muslim bin Aqil menjadi duka yang mendalam bagi seluruh Bani Hasyim, termasuk kakeknya, Aqil bin Abi Thalib, yang diyakini masih hidup saat itu dan telah kehilangan putranya dalam pengabdian kepada keponakannya, Husain.
Selain Muslim, Aqil juga memiliki keturunan lain yang dikenal, seperti Yahya bin Aqil dan Muhammad bin Aqil. Garis keturunan ini terus memainkan peran penting dalam sejarah keilmuan dan politik Islam. Namun, warisan abadi Aqil tetaplah sebagai sumber utama silsilah Quraish. Bahkan setelah wafatnya, para sejarawan dan ahli nasab masih mengandalkan riwayat yang berasal darinya untuk memahami struktur sosial Mekkah dan Madinah di masa-masa awal Islam. Kebutuhan akan pengetahuannya melampaui konflik politik yang ia alami.
Di masa tuanya, Aqil bin Abi Thalib dilaporkan mengalami kebutaan. Kondisi ini sering disebutkan dalam riwayat yang menggambarkan interaksinya dengan Muawiyah. Kebutaan ini mungkin disebabkan oleh usia lanjut atau penyakit. Kondisi fisiknya yang melemah ini semakin membatasi perannya dari peran aktif, namun tidak mengurangi ketajaman ingatannya dan kemampuannya untuk berdebat atau memberikan nasihat.
Aqil meninggal dunia pada masa-masa akhir pemerintahan Muawiyah, atau ada pula yang menyebutkan awal masa kekhalifahan Yazid. Tanggal wafatnya diperkirakan sekitar tahun 60 Hijriah. Ia wafat di Madinah, setelah kembali dari Syam. Meskipun ia menghabiskan waktu yang signifikan di istana Muawiyah, ia memilih Madinah, kota Nabi, sebagai tempat peristirahatan terakhirnya, menunjukkan bahwa hatinya tetap terikat pada tanah suci dan komunitas Muslim awal.
Kematian Aqil menutup babak yang penuh gejolak dalam sejarah Bani Hasyim. Ia hidup sebagai saksi mata dan peserta aktif dalam perubahan radikal yang dibawa oleh Islam, mulai dari kehidupan suku Jahiliyah, hingga pembentukan negara di Madinah, hingga perpecahan politik besar yang mengakhiri masa Khulafa ar-Rasyidin. Ia adalah figur yang mengajarkan bahwa kesetiaan ideologis sering kali diuji oleh realitas kemanusiaan, seperti kemiskinan dan kebutuhan.
Dalam sejarah Islam, penilaian terhadap Aqil bin Abi Thalib seringkali terbagi dua. Di satu sisi, ia dipuji karena kedekatannya dengan Nabi, keilmuannya yang tak tertandingi dalam nasab, dan kejujurannya sebagai perawi hadis. Ia dianggap sebagai salah satu tokoh yang paling andal dalam hal sejarah kabilah. Di sisi lain, ia dikritik, terutama oleh mereka yang sangat loyal kepada Ali bin Abi Thalib, karena keputusannya meninggalkan saudaranya untuk bergabung dengan Muawiyah, yang dipandang sebagai pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip Ali.
Penting untuk menempatkan keputusannya dalam konteks. Fitnah Kubra adalah masa di mana kesetiaan tidak lagi hitam atau putih. Banyak sahabat besar dan tabi'in yang mengambil posisi berbeda atau memilih netralitas. Aqil bukanlah seorang komandan militer atau tokoh agama utama; ia adalah seorang intelektual yang berjuang untuk bertahan hidup. Kepindahannya ke Syam bisa dilihat sebagai respons pragmatis terhadap kondisi ekonomi yang tidak tertahankan di Kufah, bukan pengkhianatan ideologis total.
Bahkan ketika berada di Syam, Aqil tidak pernah secara eksplisit memuji Muawiyah atau mengecam Ali dengan cara yang merusak. Ia menjaga martabatnya sebagai anggota Bani Hasyim. Debat-debatnya dengan Muawiyah sering kali berisi sindiran halus yang menunjukkan superioritas Bani Hasyim, yang diterima oleh Muawiyah sebagai harga yang harus dibayar untuk menjaga kehadiran Aqil. Ini menunjukkan bahwa Aqil mempertahankan integritas kekerabatan dan ilmunya, bahkan ketika ia menerima dukungan finansial dari pihak lawan.
Warisan Aqil sebagai ahli nasab juga memberikan kontribusi penting dalam bidang hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan warisan dan hak-hak kesukuan. Dalam sistem hukum Islam, nasab yang jelas sangat penting, dan pengetahuan Aqil menjadi dasar untuk banyak keputusan yang diambil oleh para khalifah awal. Tanpa pengetahuannya yang mendalam, pelacakan silsilah dan klaim hak mungkin akan menjadi jauh lebih kacau, terutama setelah masuknya banyak kabilah non-Arab ke dalam kekaisaran Islam.
Studi tentang Aqil juga menawarkan pelajaran tentang konflik antara idealisme dan realitas. Ali melambangkan idealisme kezuhudan yang murni, menuntut bahwa semua orang, termasuk saudara kandungnya, harus tunduk pada standar kesamaan dalam kemiskinan. Aqil melambangkan realitas seorang bangsawan Mekkah yang terbiasa dengan status sosial tinggi dan yang merasa haknya sebagai kerabat Nabi harus dipertimbangkan. Perbedaan ini adalah salah satu sumber ketegangan abadi dalam sejarah politik Islam.
Selain itu, Aqil bin Abi Thalib juga diakui sebagai salah satu individu yang memiliki pengetahuan mendalam tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di Mekkah sebelum kenabian. Ia merupakan sumber lisan yang tak ternilai mengenai adat istiadat, perjanjian antar kabilah, dan struktur kekuasaan Quraish. Catatan-catatan lisan ini, yang kemudian ditransmisikan, membentuk dasar dari banyak narasi awal tentang kehidupan pra-Islam, memberikan kita gambaran yang lebih utuh tentang masyarakat tempat Nabi Muhammad dibesarkan.
Keunikan Aqil terletak pada perannya sebagai saksi dari dua dunia: dunia Jahiliyah yang ia kuasai melalui ilmu nasab, dan dunia Islam yang ia masuki dengan terlambat namun dengan keilmuan yang besar. Ia adalah penghubung yang hidup antara masa lalu Quraish yang aristokratis dan masa depan Islam yang demokratis. Perjuangannya untuk berintegrasi, baik secara spiritual maupun ekonomi, di Madinah, menunjukkan kesulitan yang dialami oleh para bangsawan yang harus menyesuaikan diri dengan tatanan baru yang menjunjung tinggi ketakwaan di atas status sosial. Keengganannya untuk berpartisipasi dalam pertempuran selama Fitnah Kubra, meskipun ia memihak Muawiyah secara finansial, juga menunjukkan batas-batas kompromi yang ia tetapkan untuk dirinya sendiri.
Fakta bahwa Aqil kembali ke Madinah di akhir hayatnya menegaskan bahwa loyalitas primernya tetap pada komunitas Muslim yang asli. Meskipun ia mencari nafkah di Syam, ia tidak pernah sepenuhnya teralienasi dari Bani Hasyim atau dari pusat spiritual Islam. Keputusannya untuk dimakamkan di Madinah adalah pengakuan diam-diam bahwa tanah kenabian adalah tempat yang paling tepat bagi seorang Bani Hasyim, terlepas dari perbedaan politik yang sempat ia alami.
Ketegangan antara Aqil dan Ali seringkali diceritakan untuk menggambarkan kebajikan Ali yang tak tertandingi. Namun, dari sudut pandang Aqil, kisah itu mencerminkan perjuangan untuk mendapatkan pengakuan dan hak dalam sistem yang ia rasakan tidak adil terhadapnya secara pribadi, terlepas dari idealisme Ali. Sejarawan harus menganalisis kisah ini bukan hanya sebagai ujian bagi Ali, tetapi juga sebagai cerminan kesulitan yang dihadapi oleh keluarga besar Nabi yang harus hidup di bawah bayang-bayang kemuliaan kenabian, namun tetap harus menghadapi tantangan material biasa.
Akhirnya, peran Aqil dalam mempertahankan detail nasab kabilah Arab jauh melampaui kepentingan politik sesaat. Ilmu yang ia wariskan memungkinkan para sarjana di era Abbasiyah dan seterusnya untuk membangun struktur genealogi yang akurat, yang menjadi penting tidak hanya untuk sejarah, tetapi juga untuk interpretasi teks-teks hukum dan hadis yang banyak merujuk pada identitas kabilah. Dengan demikian, Aqil bin Abi Thalib adalah salah satu tokoh penting yang memastikan bahwa transisi dari masyarakat lisan ke masyarakat tertulis dalam historiografi Islam memiliki fondasi yang kuat dan terverifikasi.
Di masa-masa akhir hidupnya, Aqil dihormati bukan karena kekayaan yang ia peroleh dari Muawiyah, melainkan karena ilmunya yang mendalam. Ia adalah ahli nasab terakhir dari generasi Quraish pertama yang memiliki ingatan lisan yang sempurna tentang silsilah dan sejarah suku. Setelah dia, ilmu nasab harus bergantung pada catatan tertulis dan riwayat, yang membuat kontribusinya tak tergantikan. Kehidupan Aqil merupakan cerminan yang kaya dan berharga dari perjuangan individu di tengah revolusi agama dan politik yang mengguncang semenanjung Arab.
Ketertarikannya yang kuat terhadap ilmu nasab juga dapat dilihat sebagai manifestasi dari kecintaan mendalam terhadap sejarah keluarganya sendiri, Bani Hasyim, dan seluruh kabilah Quraish. Pengetahuan ini memberinya landasan untuk memahami perannya di dunia. Meskipun ia terlambat memeluk Islam, pengetahuannya tentang keunggulan moral dan silsilah Nabi Muhammad adalah otentik. Bahkan ketika ia secara pragmatis memilih Syam, ia tidak pernah mengingkari keutamaan keluarganya atau kebenaran risalah Islam. Dia adalah simbol dari tokoh transisi yang harus bernegosiasi antara masa lalu yang mulia dan masa depan yang menuntut pengorbanan.
Pengaruh Aqil juga terlihat dalam bagaimana ia membesarkan anak-anaknya. Meskipun ia mencari keamanan finansial di Syam, putranya, Muslim, menunjukkan bahwa prinsip kesetiaan kepada Ali dan Husain tetap tertanam kuat dalam keluarga tersebut. Ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat perbedaan politik antara Aqil dan Ali, nilai-nilai fundamental Bani Hasyim tentang keberanian dan pengorbanan tetap dipertahankan. Warisan keluarga ini, yang ditunjukkan melalui pengorbanan Muslim bin Aqil, jauh lebih kuat daripada insentif finansial yang ditawarkan oleh Muawiyah. Dengan demikian, Aqil adalah seorang ayah yang berhasil menanamkan nilai-nilai luhur, meskipun ia sendiri harus mengambil jalan yang berbeda dalam mencari nafkah.
Secara keseluruhan, jika kita melihat Aqil bukan sebagai figur yang sempurna, melainkan sebagai manusia yang rentan terhadap tekanan sosial dan ekonomi, kita dapat memahami keputusannya dengan lebih baik. Ia adalah figur yang harus dihormati karena pengetahuannya yang tak terhingga dan posisinya yang unik sebagai saksi mata dan ahli waris dari sejarah Quraish. Kehidupannya yang kompleks berfungsi sebagai studi kasus yang mendalam tentang tantangan kesetiaan, kemiskinan, dan idealisme dalam periode paling formatif dari peradaban Islam.