"Lebih baik sekerat roti yang kering, daripada rumah yang penuh rezeki tetapi bertengkar." (Amsal 17:1)
Kitab Amsal, karya sastra kebijaksanaan kuno, sering kali menyajikan perbandingan yang tajam dan mudah dipahami untuk mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan yang benar. Salah satu amsal yang paling berkesan adalah pasal 17 ayat 1, yang secara lugas membandingkan nilai sekerat roti kering dengan kekayaan yang melimpah namun dibarengi pertengkaran. Ayat ini bukan sekadar perbandingan materi, melainkan sebuah refleksi mendalam tentang apa yang sesungguhnya memberikan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidup kita.
Gambaran "sekerat roti yang kering" mewakili kesederhanaan, bahkan kekurangan dalam hal materi. Ini adalah gambaran kemiskinan, di mana segala sesuatu yang dimiliki sangat terbatas. Namun, penekanannya bukanlah pada kekeringan roti itu sendiri, melainkan pada kondisinya: "lebih baik." Ini berarti bahwa meskipun dalam kondisi yang serba terbatas, jika ada elemen kedamaian, maka itu lebih berharga daripada kelimpahan yang disertai konflik.
Sebaliknya, "rumah yang penuh rezeki" melambangkan kemakmuran materi, kelimpahan, dan segala kenyamanan yang dapat dibeli dengan uang. Namun, nilai kemakmuran ini seketika hilang dan bahkan menjadi racun ketika kondisi di dalam rumah itu adalah "bertengkar." Pertengkaran di sini dapat diartikan sebagai konflik, permusuhan, ketidaksepakatan yang terus-menerus, ketegangan emosional, dan hilangnya kasih sayang antar penghuni rumah.
Amsal ini secara fundamental mengajak kita untuk mengevaluasi kembali prioritas kita. Seringkali, dalam upaya mengejar kesuksesan duniawi, kita mengabaikan hubungan yang harmonis dan kedamaian batin. Kita mungkin bekerja keras untuk memberikan segala fasilitas materi kepada keluarga, namun lupa bahwa kasih sayang, rasa hormat, dan komunikasi yang baik adalah fondasi yang jauh lebih penting. Sebuah rumah yang megah dengan perabotan mahal tidak akan terasa seperti surga jika penghuninya hidup dalam ketakutan, kecemasan, atau kebencian satu sama lain.
Sebaliknya, dalam kesederhanaan, jika ada suasana yang damai, penuh pengertian, dan saling mendukung, maka rumah sekecil apapun akan terasa seperti istana. Kebahagiaan sejati tidak diukur dari seberapa banyak yang kita miliki, tetapi dari seberapa damai hati kita dan seberapa harmonis hubungan kita dengan orang-orang terdekat. Ketenangan batin adalah aset yang tak ternilai, jauh melebihi kekayaan materi yang bisa habis atau hilang.
Di era modern yang serba cepat dan kompetitif, godaan untuk memprioritaskan pencapaian materi seringkali sangat besar. Tekanan untuk sukses finansial, memiliki gaya hidup mewah, dan menunjukkan status sosial bisa membuat kita terjebak dalam siklus kerja berlebihan dan stres. Amsal 17:1 mengingatkan kita bahwa kekayaan yang diperoleh dengan mengorbankan kedamaian dan keharmonisan justru akan menjadi beban. Pertengkaran dalam keluarga, lingkungan kerja yang penuh konflik, atau hubungan sosial yang tidak sehat dapat mengikis kebahagiaan, bahkan ketika dompet kita penuh.
Oleh karena itu, ayat ini menjadi panggilan untuk menyeimbangkan aspirasi materi dengan kebutuhan emosional dan spiritual. Ini adalah pengingat untuk meluangkan waktu bagi orang-orang terkasih, membangun komunikasi yang terbuka dan jujur, serta memupuk rasa saling menghargai. Investasi pada hubungan yang sehat dan kedamaian batin akan memberikan imbal hasil yang jauh lebih langgeng dan memuaskan daripada akumulasi kekayaan semata.
Pada akhirnya, Amsal 17:1 mengajarkan kita bahwa kebahagiaan sejati terletak pada kedamaian. Kekayaan tanpa kedamaian adalah ilusi, sementara kesederhanaan yang dibalut kedamaian adalah kekayaan yang sesungguhnya.