Kitab Amsal adalah harta karun hikmat praktis yang diturunkan dari generasi ke generasi. Di dalamnya, Salomo, sang pembawa hikmat, menyajikan perbandingan yang gamblang antara dua jalan kehidupan: jalan orang bijak dan jalan orang bodoh. Salah satu ayat yang paling menggigit dalam mengungkapkan konsekuensi dari pilihan kita adalah Amsal 1:32, yang berbunyi, "Orang bebal akan mati karena keengganannya untuk belajar, dan kepuasan diri akan membinasakan orang-orang dungu."
Ayat ini tidak hanya sekadar pernyataan, melainkan sebuah peringatan keras. Kata "bebal" dan "dungu" dalam konteks ini merujuk pada individu yang menolak untuk menerima pengajaran, tidak memiliki kerendahan hati untuk belajar, dan cenderung sombong serta puas diri dengan pemahaman mereka yang terbatas. Mereka menganggap diri mereka tahu segalanya, padahal sebenarnya mereka tenggelam dalam ketidaktahuan yang berbahaya.
Keengganan untuk belajar adalah akar masalahnya. Ini bukan hanya tentang tidak memiliki pengetahuan, tetapi lebih dalam lagi, yaitu sikap penolakan aktif terhadap kesempatan untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman. Orang bebal tidak mencari nasihat, mereka mengabaikan teguran, dan mereka memandang rendah hikmat yang ditawarkan. Mereka lebih suka hidup dalam ilusi kenyamanan yang diciptakan oleh ketidaktahuan mereka sendiri.
"Orang bebal akan mati karena keengganannya untuk belajar, dan kepuasan diri akan membinasakan orang-orang dungu."
— Amsal 1:32
"Kepuasan diri" adalah racun yang ampuh bagi orang dungu. Ketika seseorang merasa sudah cukup tahu atau sudah mencapai titik di mana mereka tidak perlu lagi belajar atau berubah, mereka telah membuka pintu bagi kehancuran. Kepuasan diri membuat mereka buta terhadap kesalahan, menutup telinga terhadap nasihat yang membangun, dan menghalangi mereka untuk melihat celah dalam pemikiran atau tindakan mereka.
Dalam kehidupan modern yang terus berubah, sikap kepuasan diri adalah resep untuk kegagalan. Teknologi berkembang pesat, dinamika sosial berubah, dan tantangan baru terus bermunculan. Seseorang yang menganggap diri mereka "sudah tahu semuanya" akan dengan cepat tertinggal. Mereka akan menjadi tidak relevan, tidak mampu beradaptasi, dan pada akhirnya, akan "dibinasakan" oleh perubahan yang mereka tolak untuk pahami atau antisipasi.
Sebaliknya, orang bijak memiliki karakteristik yang berlawanan. Mereka haus akan pengetahuan, rendah hati untuk menerima teguran, dan selalu mencari pemahaman yang lebih dalam. Mereka menyadari bahwa hidup adalah proses belajar yang tiada henti. Bagi mereka, setiap kesulitan adalah kesempatan untuk tumbuh, setiap nasihat adalah batu loncatan, dan setiap kesalahan adalah pelajaran berharga.
Hikmat bukan hanya tentang mengumpulkan fakta, tetapi tentang menerapkan pengetahuan dengan bijak dan beretika. Orang bijak memahami bahwa hidup mereka terikat pada keputusan dan tindakan mereka. Mereka tidak membiarkan diri mereka terbawa arus kebodohan atau kepuasan diri yang dangkal. Sebaliknya, mereka secara aktif mencari jalan yang membawa kehidupan yang lebih baik, hubungan yang lebih sehat, dan masa depan yang lebih cerah.
Pesan Amsal 1:32 sangat relevan di zaman kita. Dalam era informasi yang melimpah, seringkali lebih mudah untuk tersesat dalam kebisingan daripada menemukan kebenaran. Sikap apatis terhadap pembelajaran dan kecenderungan untuk mengulang kesalahan yang sama dapat menjadi jebakan yang mematikan.
Untuk menghindari kehancuran yang dibicarakan oleh Amsal, kita perlu secara sadar memilih jalan hikmat. Ini berarti: