Amich Alhumami adalah salah satu tokoh kunci dalam arsitektur kebijakan pembangunan nasional Indonesia. Melalui kiprahnya yang panjang, terutama di lingkungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Alhumami telah memberikan kontribusi fundamental dalam merumuskan kerangka kerja yang berkelanjutan, fokus pada isu pengentasan kemiskinan, desentralisasi fiskal, dan pembangunan wilayah yang adil. Analisis mendalam terhadap jejak langkahnya mengungkapkan pemikiran strategis yang melampaui batas administrasi kebijakan sehari-hari, menempatkannya sebagai seorang perencana pembangunan yang memiliki visi jangka panjang yang kuat.
Signifikansi peran Amich Alhumami tidak hanya terletak pada jabatan struktural yang pernah diembannya, namun lebih pada kedalaman analisis dan integritas akademis yang ia bawa ke meja perumusan kebijakan. Kontribusinya mencakup transformasi metodologi perencanaan, penargetan bantuan sosial yang lebih akurat, dan pengembangan formula transfer dana antar daerah yang bertujuan mengurangi disparitas regional secara sistematis. Artikel ini akan mengupas secara tuntas spektrum kontribusi tersebut, mengeksplorasi filosofi di balik kebijakannya, serta menganalisis dampak berkelanjutan dari warisan intelektualnya terhadap peta jalan pembangunan Indonesia.
Fondasi intelektual Amich Alhumami terbentuk melalui jalur pendidikan yang ekstensif, baik di dalam maupun luar negeri. Keahliannya dalam bidang ekonomi pembangunan, khususnya yang terkait dengan isu-isu sosial dan regional, memungkinkannya untuk mendekati masalah pembangunan dengan perspektif multidisiplin. Pendidikan formalnya membekalinya dengan kerangka teoritis yang solid, namun pengalaman lapangannya yang luaslah yang menyempurnakan pemahaman pragmatisnya terhadap kompleksitas tantangan yang dihadapi Indonesia.
Studi-studi lanjutnya seringkali berpusat pada perpotongan antara kebijakan publik, ekonomi regional, dan sosiologi pembangunan. Hal ini menjelaskan mengapa pendekatan Alhumami selalu menekankan pentingnya dimensi manusia dan kelembagaan dalam setiap intervensi ekonomi. Ia meyakini bahwa pembangunan ekonomi yang berhasil tidak dapat dicapai hanya melalui perhitungan makro semata, melainkan harus menyentuh akar permasalahan struktural dan kultural di tingkat komunitas. Penekanan pada aspek keberlanjutan dan inklusivitas menjadi ciri khas yang membedakan kerangka pemikirannya dari banyak perencana sezamannya.
Transisi Alhumami dari dunia akademis ke birokrasi perencanaan (Bappenas) merupakan titik balik yang krusial. Di institusi ini, ia berperan sebagai jembatan antara teori ekonomi murni dengan aplikasi kebijakan praktis. Ia dikenal sebagai sosok yang gigih dalam memastikan bahwa setiap program pembangunan yang diusulkan didasarkan pada data empiris yang valid dan analisis yang ketat. Keterlibatannya dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) menandai upaya sistematis untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip keadilan sosial dan pemerataan dalam dokumen perencanaan tertinggi negara.
Pendekatan Alhumami dalam perencanaan pembangunan seringkali bersifat bottom-up, meskipun ia bekerja dalam kerangka institusi yang secara tradisional bersifat top-down. Ia selalu mendorong adanya konsultasi publik dan partisipasi aktif dari pemerintah daerah dan masyarakat sipil dalam proses perencanaan. Filosofi ini didasarkan pada keyakinan bahwa solusi paling efektif untuk masalah lokal harus berasal dari pemahaman mendalam terhadap konteks lokal itu sendiri. Oleh karena itu, ia secara konsisten memperjuangkan mekanisme feedback yang kuat dan akuntabilitas dalam pelaksanaan program-program pemerintah.
Salah satu area di mana Amich Alhumami meninggalkan jejak yang paling mendalam adalah dalam reformasi kebijakan pengentasan kemiskinan. Sebelum masa keterlibatannya, program-program bantuan sering kali dikritik karena kurangnya penargetan yang akurat (targeting error) dan inefisiensi dalam penyaluran. Alhumami memainkan peran krusial dalam memperkenalkan dan memperkuat sistem data terpadu untuk penargetan rumah tangga miskin, yang kini menjadi tulang punggung banyak program perlindungan sosial.
Ia memahami bahwa kemiskinan di Indonesia bersifat multidimensional dan membutuhkan solusi yang terintegrasi. Pendekatan yang diusulkannya tidak hanya fokus pada pemberian bantuan tunai, tetapi juga pada peningkatan akses terhadap layanan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan, serta pemberdayaan ekonomi melalui program pelatihan keterampilan. Proses ini memerlukan koordinasi lintas sektor yang sangat kompleks, melibatkan Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, dan pemerintah daerah, sebuah tantangan birokrasi yang ia hadapi dengan pendekatan berbasis bukti.
Kontribusi terbesar Alhumami dalam konteks ini adalah adopsi metodologi yang lebih canggih untuk mengidentifikasi penerima manfaat. Ia mendorong penggunaan Proxy Means Testing (PMT) dan sistem pendataan sosial ekonomi yang lebih rinci untuk menggantikan metode penargetan yang rentan terhadap bias politik atau administratif. Langkah ini merupakan reformasi struktural yang mengubah cara negara mengalokasikan sumber daya untuk masyarakat paling rentan. Tujuan utamanya adalah meminimalkan 'kesalahan inklusi' (orang kaya menerima bantuan) dan 'kesalahan eksklusi' (orang miskin tidak menerima bantuan).
Implementasi sistem data terpadu ini menuntut investasi besar dalam infrastruktur teknologi informasi dan pelatihan sumber daya manusia di seluruh jenjang pemerintahan. Alhumami meyakini bahwa data yang akurat adalah prasyarat mutlak bagi kebijakan yang efektif dan efisien. Keberhasilan program bantuan sosial bersyarat (PKH) dan subsidi energi yang lebih tepat sasaran tidak terlepas dari fondasi data yang ia bantu bangun dan perkuat selama masa baktinya di Bappenas.
Analisis mendalamnya menunjukkan bahwa program penanggulangan kemiskinan harus bersifat dinamis dan adaptif terhadap perubahan kondisi sosial ekonomi. Oleh karena itu, ia juga mendorong evaluasi berkala dan mekanisme umpan balik cepat untuk menyesuaikan parameter program sesuai kebutuhan riil di lapangan. Kontinuitas kebijakan ini menjadi salah satu warisan penting yang memastikan bahwa agenda pengentasan kemiskinan tetap menjadi prioritas utama pembangunan nasional.
Era reformasi membawa tantangan besar terkait implementasi Otonomi Daerah, terutama dalam aspek desentralisasi fiskal. Amich Alhumami berperan sentral dalam merumuskan kerangka kerja yang memastikan bahwa transfer dana dari pusat ke daerah (Dana Perimbangan) tidak hanya dilakukan secara adil tetapi juga mendorong kinerja dan akuntabilitas pemerintah daerah. Tantangannya adalah menyeimbangkan kebutuhan pemerataan antardaerah (equity) dengan insentif untuk efisiensi pengelolaan keuangan daerah.
Salah satu pekerjaan paling kompleks yang melibatkan Amich Alhumami adalah penyempurnaan formula Dana Alokasi Umum (DAU). DAU adalah komponen transfer dana terbesar yang bertujuan mengisi celah fiskal antara kebutuhan belanja daerah dan potensi pendapatan asli daerah (PAD). Alhumami memimpin tim yang merekonstruksi formula DAU agar lebih sensitif terhadap perbedaan karakteristik daerah, termasuk kepadatan penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Rekonstruksi formula ini bukanlah tugas teknokratis semata, melainkan negosiasi kebijakan yang melibatkan berbagai kepentingan politik dan regional. Ia berhasil menyajikan argumen berbasis data yang kuat untuk mendukung formula yang lebih progresif, memastikan daerah-daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah namun beban pelayanan publik yang tinggi (misalnya daerah terpencil atau kepulauan) menerima porsi yang memadai. Filosofi di balik reformasi ini adalah 'keadilan proporsional', di mana transfer dana harus memperhitungkan bukan hanya jumlah penduduk, tetapi juga kesulitan geografis dan struktural dalam menyediakan layanan dasar.
Diskusi mengenai DAU, di bawah kepemimpinan analisis Alhumami, diperluas hingga mencakup konsep 'kebutuhan dasar minimum fiskal' daerah. Ini memastikan bahwa meskipun PAD suatu daerah sangat rendah, mereka tetap memiliki sumber daya yang cukup untuk menjalankan fungsi-fungsi wajib pemerintahan dan menyediakan layanan sosial esensial. Inilah upaya nyata untuk mewujudkan amanat konstitusi mengenai pemerataan pembangunan di seluruh wilayah NKRI.
Selain DAU, Alhumami juga terlibat aktif dalam memperkuat peran Dana Alokasi Khusus (DAK). Jika DAU bersifat umum, DAK dialokasikan untuk membiayai kegiatan spesifik yang menjadi prioritas nasional dan merupakan kewenangan daerah. Ia mendorong agar alokasi DAK diperketat penargetannya dan dihubungkan dengan standar pelayanan minimal (SPM) di sektor-sektor kunci seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur dasar. Dengan demikian, DAK berfungsi sebagai alat insentif bagi daerah untuk mencapai target pembangunan nasional yang telah ditetapkan.
Pendekatan DAK yang diadvokasi Alhumami mensyaratkan adanya proposal perencanaan yang matang dari daerah, bukan sekadar permintaan dana. Ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas perencanaan daerah sekaligus memastikan bahwa investasi yang dilakukan melalui DAK benar-benar menjawab kebutuhan struktural, bukan sekadar proyek politis jangka pendek. Keterkaitan antara DAK dan SPM ini adalah reformasi manajerial yang signifikan, memaksa daerah untuk mengukur kinerja dan hasil, bukan sekadar penyerapan anggaran.
Filosofi pembangunan yang dipegang teguh oleh Amich Alhumami berakar pada konsep bahwa pertumbuhan ekonomi harus disertai dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan penguatan institusi. Ia melihat pembangunan bukan hanya sebagai proses peningkatan PDB, tetapi sebagai upaya holistik untuk memperluas pilihan-pilihan yang tersedia bagi masyarakat, sejalan dengan pendekatan pembangunan manusia yang dipopulerkan oleh Amartya Sen.
Dalam konteks Otonomi Daerah, ia sering menekankan bahwa pemberian kewenangan dan dana harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas kelembagaan di tingkat daerah. Tanpa birokrasi daerah yang kompeten, transparan, dan akuntabel, desentralisasi berisiko menjadi sumber inefisiensi dan korupsi. Oleh karena itu, ia mendorong berbagai program pelatihan dan pendampingan yang berfokus pada manajemen keuangan publik, pengadaan barang dan jasa, serta teknik perencanaan strategis bagi aparatur sipil negara (ASN) di daerah.
Ia menyadari adanya disparitas yang sangat besar dalam hal kapasitas administrasi antara daerah yang maju (misalnya di Jawa) dengan daerah-daerah terluar. Untuk mengatasi hal ini, ia mengadvokasi skema bantuan teknis yang ditargetkan dan bersifat berkelanjutan, tidak hanya sekadar workshop sesaat. Pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan kemandirian daerah dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan pembangunan mereka sendiri, tanpa terus bergantung pada intervensi teknis dari pusat.
Komitmennya terhadap tata kelola yang baik (good governance) terwujud dalam upayanya memasukkan indikator-indikator transparansi dan akuntabilitas sebagai bagian dari kriteria penilaian kinerja daerah. Pemerintah daerah yang menunjukkan peningkatan dalam kualitas tata kelola publik akan mendapatkan insentif, sementara yang gagal akan dikenakan sanksi korektif. Mekanisme insentif dan disinsentif ini adalah kunci untuk mendorong perubahan perilaku kelembagaan yang positif dalam jangka panjang.
Amich Alhumami dikenal sebagai promotor keterpaduan program (program coherence). Ia sangat kritis terhadap silo-silo sektoral di dalam pemerintahan yang seringkali menyebabkan duplikasi anggaran dan inefektivitas program. Ia selalu mengupayakan agar perencanaan pembangunan dilakukan secara terintegrasi, di mana intervensi di satu sektor (misalnya infrastruktur) harus mendukung hasil di sektor lain (misalnya pendidikan atau kesehatan).
Sebagai contoh, dalam merancang pembangunan infrastruktur pedesaan, ia tidak hanya melihat aspek konektivitas fisik, tetapi juga bagaimana infrastruktur tersebut dapat memfasilitasi akses petani ke pasar atau mempermudah mobilisasi tenaga kesehatan ke fasilitas layanan primer. Perspektif keterpaduan ini memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan oleh pemerintah memberikan dampak ganda (multiplier effect) yang maksimal terhadap kesejahteraan masyarakat.
Wawasan ini sangat relevan dalam menghadapi tantangan pembangunan yang kompleks, seperti perubahan iklim dan urbanisasi cepat. Alhumami mendorong Bappenas untuk mengadopsi metodologi perencanaan skenario (scenario planning) yang memungkinkan pemerintah mengantisipasi risiko masa depan dan merumuskan kebijakan yang fleksibel dan tangguh terhadap guncangan eksternal.
Isu penargetan kemiskinan adalah area yang paling intensif dianalisis oleh Alhumami. Sebelum reformasi yang ia dukung, identifikasi kemiskinan seringkali didasarkan pada survei rumah tangga yang jarang diperbarui dan memiliki cakupan terbatas. Hal ini mengakibatkan inefisiensi yang parah. Ia mengadvokasi pembentukan Basis Data Terpadu (BDT) yang menggunakan metodologi pendataan sosial ekonomi (PSE) secara berkala dan menyeluruh.
Proses pembentukan BDT ini melibatkan jutaan wawancara dan verifikasi data di lapangan, sebuah proyek logistik dan manajerial yang masif. Penggunaan PMT dalam BDT adalah langkah teknokratis yang brilian, karena ia menggunakan variabel-variabel yang mudah diverifikasi (seperti jenis lantai rumah, kepemilikan aset, dan akses terhadap air bersih) sebagai proksi untuk tingkat pendapatan. Metode ini jauh lebih objektif daripada sekadar mengandalkan pengakuan pendapatan yang rentan terhadap manipulasi.
Kontribusi intelektual Amich Alhumami dalam konteks ini adalah memastikan bahwa BDT tidak hanya menjadi alat statistik, tetapi menjadi instrumen kebijakan yang dinamis. Ia mendorong agar BDT dijadikan 'jantung' dari seluruh program perlindungan sosial di Indonesia, mulai dari subsidi energi, Program Keluarga Harapan (PKH), hingga Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Integrasi ini menghasilkan efisiensi administratif yang signifikan dan mengurangi fragmentasi program. Tanpa konsolidasi data ini, Indonesia akan kesulitan mengelola program perlindungan sosial berskala besar pasca krisis ekonomi global.
Selain DAU dan DAK, Alhumami juga mendorong penguatan Dana Insentif Daerah (DID). DID merupakan mekanisme transfer dana yang secara eksplisit memberikan penghargaan (reward) kepada pemerintah daerah yang menunjukkan kinerja yang baik dalam pengelolaan keuangan, pelayanan publik, dan tata kelola lingkungan hidup. DID berfungsi sebagai pelengkap DAU dan DAK, memberikan stimulus positif kepada daerah untuk berinovasi dan meningkatkan kualitas pelayanan.
Konsep DID merefleksikan keyakinan Alhumami bahwa desentralisasi harus didasarkan pada kinerja. Daerah yang berhasil mencapai target SPM, menjaga transparansi anggaran, dan meminimalkan temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berhak mendapatkan dana tambahan ini. Hal ini menciptakan persaingan sehat (benchmarking) antardaerah dalam hal tata kelola publik. Ia berargumen bahwa insentif moneter adalah cara paling efektif untuk mendorong perubahan perilaku birokrasi secara cepat dan terukur.
Perumusan kriteria DID sangat detail dan teknis. Tim di bawah koordinasinya harus menyusun puluhan indikator kinerja yang objektif dan sulit dipalsukan. Mulai dari rasio belanja modal terhadap total belanja, tingkat penyerapan anggaran, hingga indeks reformasi birokrasi lokal, semua menjadi pertimbangan. Kompleksitas ini menunjukkan dedikasi untuk menciptakan sistem transfer fiskal yang tidak hanya adil, tetapi juga performance-based.
Warisan Amich Alhumami terhadap pembangunan nasional bersifat struktural dan metodologis. Ia membantu menggeser paradigma perencanaan dari sekadar daftar proyek (shopping list approach) menjadi pendekatan berbasis hasil (outcome-based approach) yang lebih fokus pada pengukuran dampak sosial dan ekonomi.
Di lingkungan Bappenas, ia meninggalkan warisan berupa budaya kerja yang menghargai integritas data dan analisis kritis. Ia berhasil menanamkan pentingnya validitas metodologi dalam setiap rekomendasi kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga perencanaan tersebut. Pengaruhnya terasa dalam peningkatan kualitas dokumen RPJMN, yang kini memiliki bab-bab yang lebih rinci dan terukur mengenai indikator kinerja dan mekanisme monitoring serta evaluasi (Monev).
Penguatan kapasitas internal Bappenas untuk melakukan forecasting ekonomi dan analisis dampak kebijakan (policy impact assessment) juga merupakan buah dari upayanya. Ia memahami bahwa lembaga perencanaan harus mampu melihat jauh ke depan dan tidak hanya reaktif terhadap krisis atau tekanan politik jangka pendek. Oleh karena itu, investasi dalam kemampuan analitis staf Bappenas menjadi salah satu prioritasnya.
Secara khusus, dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), Alhumami menjadi salah satu motor penggerak utama integrasi SDGs ke dalam kerangka RPJMN. Ia memastikan bahwa target-target global tersebut diterjemahkan secara kontekstual ke dalam prioritas nasional, dengan penekanan khusus pada isu-isu kesenjangan sosial, lingkungan hidup, dan tata kelola yang efektif. Upaya ini memastikan bahwa agenda pembangunan Indonesia tetap relevan dan terhubung dengan narasi pembangunan global.
Di luar Bappenas, dampak paling nyata adalah pada hubungan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah. Sistem transfer fiskal yang sekarang berlaku, yang jauh lebih terstruktur dan berbasis formula ketimbang sebelumnya, adalah cetak biru yang dipengaruhi kuat oleh pemikirannya. Meskipun sistem tersebut terus disempurnakan seiring berjalannya waktu, prinsip-prinsip dasar yang ia bangun—seperti penekanan pada celah fiskal, kinerja daerah, dan penargetan kebutuhan khusus—tetap menjadi pilar utama.
Tanpa kerangka desentralisasi fiskal yang kuat yang diadvokasi Alhumami, risiko ketidakstabilan regional pasca-reformasi akan jauh lebih tinggi. Sistem yang ia bantu rancang berfungsi sebagai stabilisator, memastikan bahwa daerah-daerah yang secara ekonomi tertinggal masih dapat membiayai layanan publik esensial mereka, sehingga mengurangi potensi konflik sosial dan politik yang dipicu oleh ketidakpuasan terhadap pembagian sumber daya.
Warisan akademisnya juga tercermin dalam berbagai publikasi yang menjadi rujukan penting bagi para perencana dan peneliti. Karya-karyanya membahas secara kritis tantangan otonomi daerah, efektivitas belanja publik, dan dinamika kemiskinan di Indonesia, memberikan kontribusi signifikan terhadap literatur kebijakan publik nasional.
Pandangan Amich Alhumami mengenai ekonomi pembangunan selalu memiliki dimensi kesejahteraan yang kuat. Baginya, angka pertumbuhan ekonomi hanyalah sebuah instrumen, sementara tujuan utamanya adalah peningkatan kesejahteraan yang merata dan berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat. Ia seringkali mengkritik model pembangunan yang terlalu fokus pada investasi besar tanpa memperhatikan dampak sosial dan lingkungan.
Dalam debat kebijakan, Alhumami selalu menekankan pentingnya 'kualitas pertumbuhan'. Pertumbuhan yang berkualitas adalah pertumbuhan yang menciptakan lapangan kerja yang layak (decent work), mengurangi ketimpangan pendapatan (Gini Ratio), dan memelihara kelestarian lingkungan. Ia mendorong penggunaan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan indikator kesejahteraan lainnya sebagai metrik utama keberhasilan pembangunan, sejajar dengan PDB.
Pendekatan ini sangat terlihat dalam advokasinya terhadap investasi di sektor kesehatan dan pendidikan, yang ia pandang sebagai modal utama pembangunan. Ia berargumen bahwa peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan yang merata dan layanan kesehatan yang terjangkau adalah investasi yang menghasilkan return tertinggi dalam jangka panjang. Oleh karena itu, ia berupaya keras untuk memastikan alokasi anggaran yang memadai dan tepat sasaran untuk kedua sektor vital ini, terutama di daerah-daerah terpencil dan tertinggal.
Pengakuan Alhumami terhadap kompleksitas masalah pembangunan mendorongnya untuk mengadvokasi kemitraan yang kuat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Ia percaya bahwa pemerintah tidak dapat menyelesaikan semua masalah sendiri. Sektor swasta harus didorong untuk berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur dan penciptaan lapangan kerja, sementara masyarakat sipil berperan penting dalam monitoring dan evaluasi kebijakan.
Ia mempromosikan kerangka kerja Public-Private Partnership (PPP) yang lebih transparan dan adil, terutama dalam proyek-proyek infrastruktur berskala besar. Tujuannya adalah memobilisasi modal swasta untuk mengurangi beban fiskal pemerintah, sambil memastikan bahwa proyek-proyek tersebut tetap melayani kepentingan publik dan tidak hanya didorong oleh motif keuntungan semata. Prinsip-prinsip ini kini menjadi panduan standar dalam perencanaan proyek strategis nasional.
Sebagai seorang perencana ulung, fokus utama Amich Alhumami selalu terletak pada horizon jangka panjang. Keterlibatannya dalam penyusunan RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) adalah bukti komitmennya untuk membangun fondasi yang kokoh bagi Indonesia menuju masa depan. Ia menekankan bahwa pembangunan harus berkelanjutan melintasi pergantian kepemimpinan politik, sehingga dokumen perencanaan harus memiliki legitimasi teknokratis yang kuat.
Dalam merumuskan visi jangka panjang, ia selalu memprioritaskan:
Pengaruhnya sangat terasa dalam dimasukkannya isu-isu struktural yang seringkali diabaikan dalam perencanaan jangka pendek, seperti persiapan demografi menuju bonus demografi, penanganan isu urbanisasi massal, dan pengembangan ekonomi berbasis inovasi dan pengetahuan. Ia melihat bahwa Indonesia harus bertransisi dari ekonomi berbasis sumber daya alam ke ekonomi berbasis nilai tambah yang tinggi.
Kiprah Amich Alhumami mencakup periode-periode penting dalam sejarah ekonomi Indonesia, termasuk masa-masa pemulihan dari krisis regional dan guncangan ekonomi global. Keahliannya dalam analisis makro dan mikro sangat penting dalam merancang respons kebijakan yang terukur dan tepat sasaran.
Pada saat terjadi krisis, ia selalu mengadvokasi pentingnya menjaga jaringan pengaman sosial (social safety net) agar tetap kuat. Prinsipnya adalah bahwa kelompok rentan tidak boleh menjadi korban utama dari fluktuasi ekonomi. Oleh karena itu, ia mendorong percepatan penyaluran bantuan sosial dan penyesuaian kriteria penerima manfaat secara cepat, menggunakan BDT sebagai basis operasional yang krusial.
Selain itu, dalam merespons tekanan fiskal yang muncul akibat krisis, ia berhati-hati dalam mengusulkan pemotongan anggaran belanja publik. Ia berpendapat bahwa pemotongan yang tidak strategis dapat merusak program-program investasi jangka panjang yang vital, seperti infrastruktur kesehatan dan pendidikan. Pendekatan yang diusulkannya adalah efisiensi belanja (spending efficiency), bukan pemotongan drastis, memastikan bahwa sumber daya yang terbatas digunakan untuk prioritas tertinggi dengan dampak maksimal.
Kemampuannya untuk menggabungkan kepedulian sosial dengan kehati-hatian fiskal menjadikannya sosok yang dihormati di kalangan teknokrat maupun politisi. Ia mampu menyajikan solusi yang didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi yang sehat namun tetap memiliki dimensi humanis yang kuat.
Lebih jauh mengenai analisis kemiskinan, Alhumami juga terlibat dalam penyempurnaan metodologi statistik yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Ia mendorong BPS untuk terus menyempurnakan garis kemiskinan dan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) serta Indeks Keparahan Kemiskinan (P2). Peningkatan akurasi statistik ini sangat vital karena data tersebut menjadi dasar penentuan alokasi anggaran triliunan rupiah untuk program perlindungan sosial.
Salah satu poin penting yang ia angkat adalah pentingnya pengukuran kemiskinan non-moneter. Meskipun Garis Kemiskinan (berdasarkan pengeluaran) tetap penting, ia menekankan perlunya indikator tambahan yang mencerminkan kekurangan dalam akses terhadap air bersih, sanitasi, perumahan layak, dan layanan kesehatan. Pendekatan multidimensi ini sejalan dengan pandangan bahwa kemiskinan adalah keterbatasan kapabilitas, bukan semata-mata keterbatasan pendapatan.
Melalui advokasi ini, ia membantu memperkuat landasan empiris bagi kebijakan pembangunan Indonesia, memastikan bahwa perdebatan tentang kemiskinan didasarkan pada fakta yang lebih komprehensif, bukan sekadar asumsi atau angka yang disederhanakan. Keterlibatan aktifnya dalam dialog antara Bappenas dan BPS menunjukkan komitmennya terhadap kualitas data sebagai prasyarat kualitas kebijakan.
Penelitian yang dilakukan di bawah koordinasinya seringkali fokus pada fenomena 'kemiskinan kronis' (chronic poverty) dan 'kerentanan' (vulnerability). Ia berpendapat bahwa kebijakan harus dibedakan: bantuan sosial ditujukan untuk mengatasi kemiskinan kronis, sementara asuransi dan skema perlindungan pendapatan ditujukan untuk mengurangi kerentanan rumah tangga miskin baru akibat guncangan ekonomi atau bencana alam. Diferensiasi ini menunjukkan tingkat kedalaman analisis kebijakan yang ia bawa ke dalam sistem perencanaan nasional.
Dalam konteks pembangunan infrastruktur, Amich Alhumami juga memberikan kontribusi signifikan, khususnya dalam menggeser fokus dari pembangunan infrastruktur yang bersifat sektoral menuju pembangunan infrastruktur berbasis kawasan (area-based development). Ia berargumen bahwa investasi infrastruktur harus dilihat sebagai katalisator untuk pertumbuhan regional, bukan sekadar proyek fisik.
Contoh nyata dari pemikiran ini adalah pengembangan pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa, yang memerlukan investasi infrastruktur terintegrasi (transportasi, energi, telekomunikasi) yang dirancang untuk mendukung industri lokal dan konektivitas global. Ia mendorong Bappenas untuk menggunakan analisis spasial yang canggih dalam menentukan lokasi prioritas investasi, memastikan bahwa infrastruktur dibangun di tempat yang dapat menghasilkan dampak ekonomi regional paling optimal.
Alhumami juga menekankan pentingnya infrastruktur sosial, seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan, sebagai bagian integral dari paket pembangunan kawasan. Sebuah kawasan industri baru tidak akan berkelanjutan jika tidak didukung oleh kualitas hidup yang layak bagi para pekerjanya. Pendekatan holistik ini memastikan bahwa investasi fisik tidak menciptakan ‘kantong-kantong’ pertumbuhan yang terisolasi, tetapi justru memicu pembangunan yang merata di sekitarnya.
Implementasi pembangunan infrastruktur berbasis kawasan ini memerlukan koordinasi yang jauh lebih rumit daripada proyek sektoral tunggal, karena melibatkan banyak kementerian dan pemerintah daerah. Keahlian Alhumami dalam memediasi dan mengintegrasikan kepentingan berbagai pihak menjadi aset berharga dalam mewujudkan proyek-proyek lintas sektoral yang kompleks ini.
Amich Alhumami adalah sosok teknokrat yang pemikirannya telah membentuk lanskap kebijakan pembangunan Indonesia modern. Dari perumusan sistem penargetan kemiskinan yang lebih akurat hingga arsitektur desentralisasi fiskal yang adil, kontribusinya selalu didasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, dan keberlanjutan. Ia berhasil menjembatani kesenjangan antara teori ekonomi yang kompleks dan implementasi kebijakan yang pragmatis di lapangan.
Warisan utamanya terletak pada peningkatan kapasitas kelembagaan negara dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program pembangunan secara berbasis bukti. Ia mengajarkan bahwa pembangunan adalah proses yang membutuhkan data yang valid, metodologi yang ketat, dan yang terpenting, komitmen yang tak tergoyahkan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat yang paling membutuhkan.
Jejak langkah dan pemikiran strategisnya terus menjadi referensi utama bagi generasi perencana pembangunan dan pembuat kebijakan di Indonesia, memastikan bahwa fondasi pembangunan nasional yang inklusif dan berkelanjutan yang ia bantu bangun akan terus diperkuat dan diadaptasi sesuai dengan tantangan masa depan yang terus berubah.
Kontribusi Alhumami merupakan bukti nyata bahwa integritas akademis dan dedikasi pada pelayanan publik dapat menghasilkan perubahan struktural yang mendalam, memberikan dampak positif yang langgeng bagi jutaan warga negara. Pengaruhnya dalam memastikan keadilan dan pemerataan dalam alokasi sumber daya negara, khususnya bagi daerah dan kelompok rentan, menempatkannya sebagai salah satu perencana pembangunan paling berpengaruh di Indonesia.
Reformasi formula Dana Alokasi Umum (DAU) yang dipimpin oleh Amich Alhumami tidak hanya bertujuan untuk mendistribusikan uang secara adil, tetapi juga untuk merangsang pertumbuhan ekonomi lokal. Perhitungan DAU yang kompleks sengaja dirancang untuk mengirimkan sinyal kebijakan kepada pemerintah daerah. Misalnya, dengan memasukkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai salah satu variabel dalam perhitungan Kebutuhan Fiskal Daerah, terdapat insentif eksplisit bagi daerah untuk meningkatkan investasi di sektor pendidikan dan kesehatan, karena peningkatan IPM berarti potensi alokasi DAU yang lebih besar di masa depan. Ini adalah contoh perencanaan yang cerdas, yang menggunakan mekanisme fiskal sebagai alat untuk mengubah perilaku kebijakan lokal. Namun, penerapan formula ini juga menghadapi tantangan, terutama di daerah-daerah yang secara historis memiliki data IPM yang kurang akurat atau lambat diperbarui. Alhumami menyadari adanya keterbatasan ini dan secara konsisten mendorong peningkatan kualitas data statistik regional sebagai prasyarat keberhasilan desentralisasi fiskal yang berbasis formula.
Selain IPM, bobot variabel luas wilayah dan kondisi geografis, yang sangat diperjuangkan oleh Alhumami, menjadi kunci untuk mengakomodasi biaya pelayanan publik yang lebih tinggi di daerah kepulauan atau terpencil. Tanpa bobot yang memadai untuk variabel-variabel ini, daerah-daerah tersebut akan selalu berada di posisi yang dirugikan dibandingkan dengan daerah yang lebih padat dan terpusat. Keputusan untuk memberikan bobot signifikan pada faktor-faktor geografis ini mencerminkan komitmennya terhadap filosofi pembangunan 'Indonesia Sentris', di mana seluruh wilayah negara mendapatkan perhatian yang seimbang, terlepas dari potensi ekonomi lokal mereka saat ini. Ini adalah langkah yang melampaui perhitungan ekonomi murni dan merangkul dimensi persatuan dan kesatuan nasional melalui kebijakan fiskal.
Diskusi yang ia pimpin juga menyentuh isu volatilitas DAU. Untuk memastikan stabilitas anggaran daerah, ia mendorong adanya mekanisme stabilisasi dalam perhitungan DAU, yang bertujuan melindungi daerah dari fluktuasi mendadak akibat perubahan variabel makro atau perubahan regulasi. Stabilitas ini sangat penting bagi perencanaan belanja daerah jangka menengah dan panjang. Tanpa kepastian alokasi, pemerintah daerah cenderung konservatif dalam mengambil keputusan investasi strategis. Oleh karena itu, arsitektur DAU yang lebih stabil merupakan elemen penting dalam mewujudkan otonomi daerah yang matang dan bertanggung jawab.
Keterlibatan Alhumami dalam DAK bukan hanya pada DAK Fisik (untuk pembangunan infrastruktur), tetapi juga DAK Nonfisik (untuk peningkatan layanan dasar seperti Bantuan Operasional Kesehatan/BOK atau Tunjangan Profesi Guru). Ia melihat DAK Nonfisik sebagai instrumen vital untuk memastikan standar pelayanan minimum (SPM) tercapai tanpa membebani daerah dengan PAD rendah.
Dalam DAK Fisik, ia mendorong penguatan sistem perencanaan berbasis proposal (project based planning). Daerah tidak lagi hanya 'menerima' proyek yang ditentukan pusat, melainkan harus mengusulkan proyek yang didukung oleh studi kelayakan yang kuat, terintegrasi dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan memiliki dampak yang terukur. Proses ini menuntut peningkatan drastis dalam kualitas perencanaan di tingkat daerah, sekaligus mengurangi risiko proyek mangkrak.
Sementara itu, DAK Nonfisik di bawah pemikirannya bertransformasi menjadi alat transfer dana yang bersyarat (conditional grants). Dana ini hanya dapat dicairkan jika daerah memenuhi kriteria kinerja tertentu, misalnya tingkat imunisasi bayi atau rasio guru berlisensi. Syarat-syarat ini berfungsi sebagai mekanisme pengawasan kualitas dari pusat, memastikan bahwa desentralisasi tidak mengorbankan kualitas layanan publik. Peran Alhumami dalam menyusun matriks indikator kinerja DAK Nonfisik ini menunjukkan kehati-hatiannya dalam menjaga kualitas belanja publik di sektor-sektor sosial.
Filosofi Alhumami sangat kental dengan ide keterpaduan kebijakan. Ia berulang kali menyoroti bahaya pemikiran sektoral dalam birokrasi, di mana kementerian bekerja dalam silo-silo terpisah. Dalam konteks kemiskinan, misalnya, ia berpendapat bahwa mengatasi kemiskinan tidak cukup hanya melalui Kementerian Sosial. Program pengentasan kemiskinan harus melibatkan Kementerian Pekerjaan Umum (infrastruktur dasar), Kementerian Pertanian (ketahanan pangan), dan Kementerian Ketenagakerjaan (pelatihan vokasi).
Untuk memecah silo-silo ini, ia mendorong Bappenas untuk memainkan peran koordinator yang lebih kuat melalui mekanisme perencanaan dan penganggaran. Setiap program yang diajukan oleh kementerian harus diuji secara ketat untuk melihat sejauh mana ia mendukung prioritas nasional yang lintas sektor. Ia mengadvokasi penggunaan kerangka kerja Theory of Change dalam perencanaan, memastikan bahwa setiap intervensi memiliki jalur logis yang jelas menuju hasil pembangunan yang diinginkan. Ini adalah perubahan metodologi signifikan yang meningkatkan kualitas due diligence perencanaan di Bappenas.
Pendekatan holistik ini juga diterapkan pada penanganan isu stunting. Alhumami melihat stunting sebagai masalah multidimensi yang tidak dapat diselesaikan hanya oleh sektor kesehatan. Stunting memerlukan intervensi di sektor sanitasi, air bersih, ketahanan pangan keluarga, dan pendidikan pola asuh. Dengan menempatkan Bappenas sebagai integrator utama, ia memastikan bahwa alokasi sumber daya untuk mengatasi stunting dilakukan secara terpadu dan efisien di berbagai tingkatan pemerintah, mulai dari desa hingga pusat. Ini adalah salah satu contoh terbaik dari aplikasi praktis pemikirannya tentang perencanaan yang terintegrasi dan berfokus pada hasil.
Kapasitas tata kelola pemerintahan daerah (TKPD) adalah prasyarat keberhasilan desentralisasi. Amich Alhumami sangat vokal tentang perlunya reformasi birokrasi yang berkelanjutan di daerah. Ia melihat korupsi dan inefisiensi birokrasi sebagai pajak tersembunyi yang paling merugikan masyarakat miskin.
Dalam upayanya memperkuat TKPD, ia mendukung beberapa inisiatif kunci:
Alhumami percaya bahwa perubahan tata kelola tidak bisa dipaksakan dari pusat, tetapi harus didorong melalui kombinasi insentif fiskal (melalui DID) dan dukungan teknis. Ia secara konsisten menekankan bahwa peran Bappenas adalah sebagai katalisator, bukan pengendali tunggal. Pendekatan ini menghormati prinsip otonomi daerah sambil tetap memastikan bahwa standar tata kelola minimum tercapai di seluruh Indonesia. Proses ini merupakan perjalanan panjang yang memerlukan dedikasi institusional selama bertahun-tahun, yang ia dukung penuh melalui alokasi sumber daya untuk peningkatan kapasitas SDM daerah.
Dalam konteks persiapan Indonesia menuju status negara maju, pemikiran Amich Alhumami sangat relevan dalam merumuskan strategi transisi. Ia menekankan bahwa untuk lolos dari perangkap pendapatan menengah (middle-income trap), Indonesia harus bertransformasi secara fundamental, jauh melampaui reformasi kebijakan sektoral.
Transformasi yang ia pandang perlu meliputi:
Alhumami berargumen bahwa perencanaan masa depan harus bersifat antisipatif, memprediksi tren global seperti digitalisasi dan otomatisasi, serta menyiapkan tenaga kerja Indonesia untuk menghadapi perubahan tersebut. Visi ini membutuhkan perubahan kurikulum pendidikan yang drastis dan program pelatihan vokasi yang masif di tingkat daerah, menjadikannya isu yang harus diintegrasikan ke dalam RPJMN dan RPJPN secara berkelanjutan. Fokus pada ekonomi hijau (green economy) juga merupakan bagian integral dari visi jangka panjangnya, mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi harus selaras dengan pelestarian lingkungan hidup. Pemikiran ini menjadi landasan bagi banyak kebijakan energi terbarukan dan pembangunan infrastruktur berkelanjutan yang dirumuskan pasca-masa kepemimpinannya.
Sejalan dengan visi pembangunan berbasis pengetahuan, Amich Alhumami juga menggarisbawahi tantangan kesenjangan digital (digital divide) antar wilayah di Indonesia. Ia melihat bahwa tanpa akses yang merata terhadap infrastruktur telekomunikasi dan internet berkecepatan tinggi, daerah-daerah terpencil akan semakin tertinggal dalam ekonomi digital. Oleh karena itu, ia mendorong alokasi anggaran yang signifikan untuk proyek-proyek pita lebar (broadband) di daerah terluar dan terpencil, serta memastikan bahwa proyek tersebut dikelola secara efisien dan berkelanjutan.
Namun, akses fisik saja tidak cukup. Ia juga menekankan pentingnya 'literasi digital' dan pembangunan kapasitas SDM di daerah agar mereka mampu memanfaatkan teknologi ini untuk kegiatan ekonomi dan pelayanan publik. Ini mencakup pelatihan bagi ASN daerah untuk menggunakan aplikasi berbasis data dan mendorong pendidikan teknologi di sekolah-sekolah pedesaan. Upaya integrasi teknologi ini adalah cerminan dari pemikirannya yang selalu mencari solusi holistik untuk tantangan pembangunan.
Meskipun fokus utamanya adalah perencanaan ekonomi dan sosial, kontribusi Amich Alhumami juga meluas ke bidang perencanaan mitigasi dan rehabilitasi pasca bencana. Indonesia, sebagai negara rawan bencana, membutuhkan kerangka kerja perencanaan yang tangguh.
Alhumami mendorong integrasi manajemen risiko bencana ke dalam perencanaan pembangunan daerah (RKPD). Ia berargumen bahwa biaya pencegahan selalu jauh lebih rendah daripada biaya pemulihan. Oleh karena itu, investasi dalam infrastruktur tahan bencana, sistem peringatan dini, dan edukasi masyarakat harus menjadi prioritas wajib yang didanai melalui mekanisme transfer fiskal, seperti DAK yang ditargetkan.
Pasca bencana besar, ia berperan dalam merancang kerangka rehabilitasi dan rekonstruksi yang tidak hanya memulihkan kondisi fisik, tetapi juga membangun kembali kehidupan sosial ekonomi masyarakat secara lebih baik (build back better). Proses ini memerlukan penilaian kebutuhan yang cepat dan akurat, yang lagi-lagi mengandalkan sistem data terpadu dan kapasitas analisis yang ia perjuangkan untuk ditingkatkan di Bappenas. Kontribusinya memastikan bahwa respons terhadap bencana tidak hanya bersifat darurat, tetapi juga terintegrasi dalam visi pembangunan jangka panjang.
Melalui perannya sebagai teknokrat dan intelektual publik, Amich Alhumami telah memberikan sumbangan tak ternilai bagi pembangunan Indonesia. Kontribusinya adalah cerminan dari komitmen yang teguh terhadap prinsip-prinsip pembangunan yang berkeadilan, inklusif, dan berbasis bukti. Ia meninggalkan warisan berupa sistem dan metodologi yang jauh lebih kuat, yang memungkinkan Indonesia untuk mengelola sumber daya negaranya dengan lebih efisien dan memprioritaskan mereka yang paling membutuhkan.
Kepiawaiannya dalam menavigasi kompleksitas birokrasi, didukung oleh integritas akademis yang tinggi, menjadikannya tokoh kunci yang berhasil mengukir cetak biru kebijakan yang melampaui siklus politik jangka pendek. Jejaknya akan terus menjadi panduan bagi upaya-upaya Indonesia untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional dan mencapai kesejahteraan yang merata di seluruh nusantara. Dedikasi Amich Alhumami pada pembangunan berkelanjutan adalah inspirasi bagi generasi perencana di masa depan.
Pemikiran-pemikiran cemerlangnya mengenai desentralisasi fiskal, penargetan kemiskinan, dan peningkatan kualitas SDM tidak hanya relevan saat ini tetapi akan terus menjadi fondasi kritis dalam menghadapi tantangan pembangunan Indonesia di abad ke-21. Kontinuitas implementasi dari reformasi struktural yang ia gagas adalah kunci untuk memastikan bahwa visi pembangunan Indonesia yang adil dan makmur dapat terwujud secara nyata.
Analisis yang mendalam terhadap setiap aspek kebijakan yang ia sentuh, mulai dari alokasi dana hingga reformasi tata kelola, menunjukkan betapa kompleksnya peran seorang perencana pembangunan di negara sebesar Indonesia. Amich Alhumami berhasil membuktikan bahwa dengan data yang tepat, analisis yang tajam, dan komitmen moral, perubahan fundamental dalam arah pembangunan dapat diwujudkan.