Nama Ali bin Abi Thalib adalah sinonim dengan keberanian, kedalaman spiritual, dan kearifan yang tak tertandingi. Ia bukan hanya sepupu dan menantu tercinta Nabi Muhammad, melainkan juga salah satu pilar utama yang membentuk fondasi masyarakat Islam awal. Sebagai Khalifah keempat dari Khulafaur Rasyidin, kehidupannya dipenuhi dengan ujian besar yang menguji batas-batas kepemimpinan, keadilan, dan kesabaran. Kisahnya adalah epik mengenai transisi dari kesalehan pribadi di masa kenabian menuju beban politik yang berat di masa kekhalifahan, di mana ia harus berjuang menghadapi perpecahan internal yang mengancam eksistensi umat Islam.
Sejak kelahirannya di dalam Ka'bah di Makkah—sebuah peristiwa yang unik dalam sejarah Islam—Ali telah ditakdirkan untuk memainkan peran krusial. Dibesarkan langsung di bawah asuhan Nabi Muhammad, ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang menggabungkan kekuatan fisik yang luar biasa dengan kecerdasan yang tajam. Kedudukannya dalam sejarah dan teologi Islam bersifat fundamental, dihormati oleh berbagai mazhab dan aliran, yang semuanya mengakui keutamaan dan kontribusi tak terhingga yang ia berikan bagi agama dan umatnya.
Ali adalah putra dari Abu Thalib bin Abdul Muththalib, paman Nabi Muhammad dan pelindung utama sang Nabi dari intimidasi suku Quraisy. Ibunya adalah Fathimah binti Asad, seorang wanita mulia yang juga sangat dicintai dan dihormati oleh Nabi. Ali berasal dari Bani Hasyim, klan terhormat di Quraisy yang bertanggung jawab atas layanan Ka'bah, menempatkannya dalam garis keturunan yang sama persis dengan Nabi Muhammad.
Ketika Makkah dilanda kekeringan dan kesulitan ekonomi, Nabi Muhammad memutuskan untuk mengambil alih pengasuhan Ali sebagai bentuk meringankan beban Abu Thalib. Ini terjadi jauh sebelum misi kenabian dimulai. Ali, yang saat itu masih anak-anak, pindah ke rumah Nabi dan Khadijah, memberinya pendidikan moral dan spiritual yang tak tertandingi. Keakraban ini membentuk ikatan yang lebih kuat dari sekadar hubungan sepupu; Ali tumbuh di bawah pengawasan langsung dan contoh hidup Nabi.
Ketika wahyu pertama turun, Ali adalah salah satu orang pertama—jika bukan yang pertama di antara anak laki-laki—yang menerima Islam. Ia menyaksikan proses kenabian dari dekat dan tanpa keraguan memeluk ajaran tauhid. Keislamannya yang dini dan tulus menunjukkan kematangan spiritual yang luar biasa pada usianya yang masih sangat muda. Dalam majelis sembunyi-sembunyi yang diadakan Nabi untuk menyebarkan risalahnya kepada kaum terdekat, Ali selalu hadir, berfungsi sebagai saksi bisu sekaligus pendukung setia.
Peristiwa paling heroik dari masa awal ini adalah ketika umat Islam menghadapi ancaman hijrah ke Madinah. Ali menunjukkan keberanian luar biasa dalam peristiwa yang dikenal sebagai Laylat al-Mabit (Malam Tidur). Mengetahui bahwa para pemuda Quraisy berencana membunuh Nabi saat tidur, Ali dengan sukarela berbaring di tempat tidur Nabi, menutupi dirinya dengan selimut hijau milik Nabi, berfungsi sebagai umpan. Tindakan ini memungkinkan Nabi Muhammad untuk meninggalkan Makkah dengan selamat, sementara Ali mempertaruhkan nyawanya sendiri demi keselamatan pemimpinnya. Keberanian ini bukan hanya aksi fisik, tetapi juga manifestasi dari keyakinan mutlaknya kepada risalah Islam.
Setelah hijrah ke Madinah dan terbangunnya komunitas Islam yang solid, Ali menikahi Fathimah az-Zahra, putri bungsu Nabi Muhammad dan Khadijah. Pernikahan ini tidak hanya mempererat hubungan darah, tetapi juga secara simbolis menjadikan Ali sebagai gerbang bagi keturunan Nabi. Dari pernikahan ini lahirlah Hasan dan Husain, yang kemudian dikenal sebagai Sayyidai Syababi Ahlil Jannah (Pemimpin pemuda penghuni surga), menjadikan Ali sebagai leluhur Ahlul Bait (Keluarga Nabi) yang paling dihormati.
Ali bin Abi Thalib menjadi tokoh militer yang tak tergantikan di hampir semua konflik besar yang dihadapi oleh komunitas Islam di Madinah. Keberaniannya di medan perang begitu melegenda hingga ia digelari Asadullah (Singa Allah) dan Haydar al-Karrar (Penyerang yang Tidak Pernah Mundur).
Pada Perang Badar, pertempuran besar pertama, Ali memainkan peran kunci dalam duel pembuka. Ia, bersama Hamzah dan Ubaidah, menghadapi jenderal-jenderal Quraisy. Kemenangannya dalam duel tersebut memberikan momentum moral yang besar bagi pasukan Muslim yang jumlahnya jauh lebih kecil. Ia terkenal karena kecepatannya dan ketepatannya dalam menghabisi lawan, seringkali menggunakan pedang legendarisnya, Dzul Faqar.
Dalam Perang Uhud, ketika banyak prajurit Muslim lari kocar-kacir, Ali termasuk segelintir orang yang tetap melindungi Nabi Muhammad, bertarung dengan gagah berani di sekelilingnya. Namun, momen paling ikonik dari keberanian militernya terjadi selama Pengepungan Khaybar (melawan benteng Yahudi). Benteng Khaybar terkenal sangat kokoh, dan pengepungan berlangsung lama tanpa hasil.
Nabi Muhammad kemudian bersabda: "Besok, aku akan memberikan panji ini kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dia adalah penyerang yang tidak akan mundur, dan Allah akan memberikan kemenangan melalui tangannya."
Keesokan harinya, panji itu diberikan kepada Ali, yang saat itu menderita sakit mata. Setelah Nabi meludahi matanya dan ia sembuh seketika, Ali memimpin serangan. Dalam pertempuran yang menentukan, Ali menghadapi gerbang benteng yang terbuat dari besi yang sangat berat. Menurut riwayat, Ali mencabut gerbang itu dengan satu tangan, menggunakannya sebagai perisai, dan kemudian menjembataninya melintasi parit. Kemenangan di Khaybar adalah demonstrasi tertinggi dari kekuatan fisik dan spiritualnya.
Selain keberaniannya, Ali dikenal karena kedalaman ilmunya. Nabi Muhammad bersabda, "Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah gerbangnya." Pengakuan ini menempatkannya di posisi otoritas tertinggi dalam memahami Al-Qur'an dan Sunnah. Ketika Nabi wafat, Ali adalah salah satu dari segelintir sahabat yang telah menghafal seluruh Al-Qur'an, dan pemahamannya terhadap konteks (asbabun nuzul) serta hukum (fiqh) dianggap tak tertandingi.
Selama periode Tiga Khalifah Pertama (Abu Bakar, Umar, Utsman), meskipun tidak memegang kekuasaan eksekutif tertinggi, Ali memainkan peran fundamental sebagai penasihat, hakim, dan juru fatwa. Para khalifah sering kali merujuk kepadanya untuk masalah-masalah hukum yang rumit atau keputusan peradilan yang sulit. Keputusan-keputusan yudisialnya (qada') terkenal karena kejelian, keadilan, dan kemampuannya untuk mengungkap kebenaran dalam situasi yang paling membingungkan sekalipun.
Salah satu warisan intelektual Ali yang kurang dikenal namun sangat penting adalah kontribusinya pada pelestarian struktur bahasa Arab. Ketika kekhalifahan meluas, banyak orang non-Arab yang memeluk Islam, yang mengakibatkan kesalahan tata bahasa dalam pembacaan Al-Qur'an. Ali dipercaya sebagai orang yang pertama kali memerintahkan penulisan tata bahasa Arab (Nahwu), memberikan instruksi dasar kepada Abul Aswad ad-Du'ali untuk meletakkan fondasi ilmu tata bahasa demi menjaga kemurnian pembacaan teks suci.
Periode setelah syahidnya Khalifah Utsman bin Affan adalah salah satu masa paling bergejolak dalam sejarah Islam. Utsman meninggal di tengah kekacauan dan pemberontakan. Dengan kekosongan kepemimpinan dan umat yang terpecah antara faksi-faksi yang menuntut keadilan (atau balas dendam), tekanan untuk menunjuk pemimpin baru sangatlah mendesak.
Ali awalnya menolak tawaran kekhalifahan, menyadari betapa beratnya warisan kekacauan yang akan ia tanggung. Namun, atas desakan mayoritas sahabat senior di Madinah, terutama dari golongan Anshar, Ali akhirnya menerima jabatan tersebut. Ia dibaiat di Masjid Nabawi pada tahun ke-35 Hijriyah. Pembaiatan Ali diterima dengan antusiasme oleh sebagian besar penduduk, yang melihatnya sebagai harapan terakhir untuk mengembalikan keadilan dan kesederhanaan pemerintahan Nabi.
Begitu menjabat, Ali mengambil langkah-langkah drastis dan tegas, yang segera menimbulkan ketidakpuasan di antara elite lama:
Kekhalifahan Ali adalah masa perang saudara internal yang dikenal sebagai Al-Fitna Al-Kubra (Fitnah Besar). Meskipun Ali berusaha memulihkan stabilitas melalui diplomasi dan keadilan, tuntutan balas dendam atas kematian Utsman menjadi titik api yang tidak dapat dipadamkan.
Konflik internal pertama Ali adalah melawan kelompok yang menuntut pembalasan segera atas kematian Utsman. Kelompok ini dipimpin oleh sahabat terkemuka, Talhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam, serta didukung oleh Aisyah, istri Nabi Muhammad. Mereka berbaris menuju Basra. Ali mencoba bernegosiasi, tetapi pertempuran akhirnya tak terhindarkan di dekat Basra.
Perang Jamal, yang dinamai berdasarkan unta yang ditunggangi Aisyah, adalah momen tragis di mana Muslim saling membunuh untuk pertama kalinya dalam sejarah mereka. Ali memenangkan pertempuran tersebut, namun ia memperlakukan para lawannya—termasuk Aisyah—dengan hormat dan kemurahan hati. Ia memastikan Aisyah dikawal kembali ke Madinah dengan aman. Kemenangan ini memantapkan kekuasaan Ali di Irak, tetapi konflik berikutnya segera menyusul.
Musuh Ali yang paling gigih adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam (Suriah) dan kerabat Utsman. Muawiyah menolak mengakui kekhalifahan Ali sebelum Ali menghukum pembunuh Utsman (yang mana sebagian besar pembunuh tersebut telah menyatu dalam barisan tentara Ali). Muawiyah menggunakan baju berlumuran darah Utsman sebagai alat propaganda untuk membangkitkan loyalitas di Syam.
Dua pasukan besar bertemu di Siffin. Pertempuran berkepanjangan ini hampir dimenangkan oleh pasukan Ali, yang dikenal memiliki moral dan kemampuan bertarung yang lebih unggul. Namun, ketika kekalahan sudah di ambang mata, Muawiyah menggunakan taktik cerdik: mengangkat mushaf Al-Qur'an di ujung tombak, menyerukan arbitrase (tahkim) berdasarkan Kitab Allah.
Ali, meskipun yakin bahwa taktik itu adalah tipuan untuk menghindari kekalahan, terpaksa menerima karena tekanan dari sebagian besar pasukannya yang menolak berperang melawan seruan untuk kembali kepada Al-Qur'an. Arbitrase yang diadakan di Dumatul Jandal adalah bencana politik bagi Ali. Utusan Ali, Abu Musa al-Asy'ari, berhasil diakali oleh utusan Muawiyah, Amr bin Ash, yang berujung pada keputusan kontroversial yang melemahkan posisi Ali sebagai khalifah yang sah.
Keputusan Ali menerima arbitrase menyebabkan perpecahan besar di antara para pengikutnya sendiri. Sekelompok besar tentara, yang dikenal sebagai Khawarij (mereka yang keluar), menentang arbitrase, menyatakan bahwa "Hukum hanyalah milik Allah" (La Hukma Illa Lillah). Mereka menganggap baik Ali maupun Muawiyah telah berdosa karena menyerahkan keputusan manusia atas urusan Tuhan. Mereka menarik diri ke Nahrawan.
Ali mencoba bernegosiasi, namun Khawarij menjadi semakin ekstrem dan mulai membunuh Muslim yang tidak sependapat dengan mereka. Karena ancaman yang ditimbulkan oleh ekstremisme mereka, Ali terpaksa memerangi mereka dalam Perang Nahrawan. Ali berhasil mengalahkan Khawarij, namun ideologi mereka tidak mati. Ideologi ini, yang menolak otoritas sentral dan mengkafirkan sesama Muslim yang berdosa, akan terus menjadi ancaman destabilisasi.
Pemerintahan Ali dipindahkan ke Kufah, yang menjadi pusat intelektual dan politik kekhalifahan. Filosofi pemerintahannya didasarkan pada idealisme murni dari masa-masa awal Madinah, menekankan kesetaraan radikal dan keadilan sosial (adl).
Ali dikenal karena kesederhanaan dan ketidaksukaannya terhadap kemewahan. Meskipun seorang pemimpin kekaisaran yang luas, ia hidup seperti orang termiskin di antara rakyatnya, menambal sepatunya sendiri dan makan roti keras. Ketika salah seorang gubernurnya dilaporkan hidup dalam kemewahan, Ali menulis surat teguran keras, mengingatkannya bahwa tugas seorang pemimpin adalah melayani, bukan menikmati kekayaan.
Ia menekankan bahwa Baitul Mal adalah milik seluruh umat, bukan milik Khalifah, dan melarang segala bentuk nepotisme atau penyalahgunaan dana publik. Prinsip-prinsip ini terdokumentasi dengan baik dalam surat-suratnya kepada para gubernur, yang kini dikumpulkan dalam karya Nahj al-Balagha.
Salah satu dokumen paling penting dalam etika pemerintahan Islam adalah surat Ali kepada Malik al-Asytar, yang diangkat sebagai gubernur Mesir. Surat ini adalah piagam hak asasi manusia dan panduan administrasi yang komprehensif. Di dalamnya, Ali menguraikan tanggung jawab seorang penguasa:
Dokumen ini menunjukkan bahwa Ali adalah seorang administrator dan ahli teori politik yang visioner, yang mendambakan sebuah negara yang didasarkan pada prinsip-prinsip moralitas murni.
Kekhalifahan Ali berakhir secara tragis. Setelah Perang Nahrawan, tiga sisa faksi Khawarij bertemu dan merencanakan pembunuhan tiga pemimpin yang mereka anggap bertanggung jawab atas perpecahan umat: Ali, Muawiyah, dan Amr bin Ash. Hanya rencana pembunuhan Ali yang berhasil dilaksanakan.
Pada bulan Ramadhan, Ali diserang saat memimpin Salat Subuh di Masjid Kufah. Pelakunya adalah Abdurrahman bin Muljam, yang menikamnya dengan pedang beracun. Ali bertahan selama dua hari, dan ia meninggal dunia sebagai martir. Ia menghembuskan napas terakhirnya di tengah pesan-pesan terakhir tentang pentingnya menjaga persatuan, menjalankan keadilan, dan memperlakukan pembunuhnya dengan adil—hukum setimpal, tidak lebih dari itu.
Warisan Ali tidak hanya terletak pada tindakan militer dan politiknya, tetapi juga pada warisan intelektualnya, yang paling terkenal adalah Nahj al-Balagha (Puncak Retorika). Kumpulan khotbah, surat, dan pepatah ini dianggap sebagai mahakarya sastra Arab, menempati urutan kedua setelah Al-Qur'an dalam hal keindahan linguistik dan kedalaman spiritual.
Nahj al-Balagha mencakup berbagai topik:
Karya ini telah dipelajari selama berabad-abad oleh para ahli tata bahasa, filosof, dan sufi, membuktikan kedalaman ilmu Ali yang melampaui masanya.
Ali bin Abi Thalib diakui secara universal di seluruh tradisi mistik Islam (Sufisme) sebagai sumber utama pengetahuan esoterik. Hampir semua silsilah (rantai spiritual) tarekat Sufi menelusuri garis ajaran mereka kembali kepada Ali, yang menerima rahasia spiritual langsung dari Nabi Muhammad. Ia dianggap sebagai 'Imam' pertama dalam ilmu batin.
Filsafatnya, yang menekankan pada akal (aql) dan pemahaman intuitif (ma'rifah), membentuk dasar bagi banyak pemikir Muslim di kemudian hari. Fokusnya pada keadilan (adl) menjadi doktrin sentral dalam teologi Mu'tazilah dan pemikiran etika Islam secara umum.
Kisah Ali bin Abi Thalib seringkali dilihat sebagai tragedi seorang idealis yang dipaksa memasuki arena politik yang brutal. Di satu sisi, ia memegang teguh standar moral tertinggi; di sisi lain, standar ini seringkali tidak dapat diterapkan dalam kekacauan politik yang ia hadapi. Analisis ini mengungkapkan mengapa ia gagal menstabilkan kekhalifahan, meskipun ia adalah seorang pemimpin yang paling berhak secara spiritual dan intelektual.
Ali mewarisi kekhalifahan yang sudah terfragmentasi secara mendalam. Masalah utamanya bukanlah kurangnya dukungan rakyat biasa, melainkan perlawanan terorganisir dari elite politik dan militer yang tidak mau melepaskan kekuasaan dan kekayaan yang mereka peroleh selama masa kekhalifahan Utsman.
Bagi Ali, keadilan (adl) adalah konsep absolut yang tidak dapat ditawar. Keadilan bukan sekadar pembagian yang setara, melainkan penempatan segala sesuatu pada tempatnya yang benar sesuai dengan hukum ilahi. Pandangan ini menyebabkan ia menolak praktik pengistimewaan sahabat veteran (yang dilakukan Umar) dan menolak pengistimewaan klan (yang dituduhkan kepada Utsman).
Keadilan radikal Ali, meskipun dihormati secara moral, menciptakan ketidakstabilan di tengah masyarakat yang sudah terbiasa dengan hierarki sosial yang baru. Ia adalah pemurni yang berusaha mengembalikan kekhalifahan ke masa kesederhanaan profetik, tetapi dihadapkan pada realitas struktur kekaisaran yang semakin kompleks.
Pengaruh Ali melampaui batas-batas sejarah politik dan telah mengakar kuat dalam identitas spiritual dan hukum umat Islam, baik Sunni maupun Syiah.
Di kalangan Sunni, Ali dihormati sebagai Khalifah keempat yang adil, seorang sarjana hukum (faqih) yang otoritatif, dan seorang pahlawan militer yang tak tertandingi. Keutamaan Ali, terutama dalam ilmu dan zuhud (asketisme), diakui secara luas. Para ahli hadis Sunni menganggapnya sebagai salah satu perawi hadis paling penting. Ia adalah simbol keberanian spiritual dan intelektual yang mengiringi kekuatan fisik.
Dalam Syiah, Ali memegang posisi sentral sebagai Imam pertama, pemimpin spiritual dan politik yang sah setelah Nabi. Mereka percaya bahwa ia seharusnya menjadi pemimpin pertama berdasarkan penunjukan ilahi (nass) di Ghadir Khumm. Warisan Ali, putranya Hasan, dan cucunya Husain, menjadi fondasi bagi seluruh teologi dan jurisprudensi Syiah. Ajaran moral dan surat-suratnya berfungsi sebagai sumber hukum dan panduan moralitas yang mutlak.
Salah satu alasan mengapa Ali begitu penting adalah perannya sebagai jembatan pengetahuan dari Nabi Muhammad ke generasi berikutnya. Banyak ulama besar, baik di bidang Fiqh maupun Tasawuf, belajar darinya atau dari murid-muridnya, memastikan bahwa ajaran Nabi disampaikan secara akurat dan mendalam. Ali mengajarkan bahwa ilmu sejati harus menghasilkan amal dan etika, bukan sekadar teori.
"Ketahuilah, sesungguhnya dunia ini adalah tempat persinggahan, dan akhirat adalah rumah abadi. Maka ambillah bekal dari tempat persinggahanmu menuju tempat abadi. Janganlah engkau rusak rumah abadi karena kesenangan di tempat persinggahanmu."
— Ali bin Abi Thalib (dari Nahj al-Balagha)
Kisah hidup Ali bin Abi Thalib adalah cerminan dari tantangan abadi antara idealisme agama dan realitas kekuasaan duniawi. Ia adalah figur yang keberaniannya di medan Badar sama signifikannya dengan kebijaksanaannya di majelis hukum Kufah. Meskipun masa kekhalifahannya dipenuhi konflik yang merobek umat, warisan keadilannya, integritas moralnya, dan kedalaman intelektualnya tetap abadi.
Ia menetapkan standar yang hampir mustahil bagi pemimpin Muslim di masa depan: seorang pemimpin haruslah yang paling asketik, paling berilmu, dan paling adil, bahkan jika harga yang harus dibayar adalah stabilitas politik jangka pendek. Ali meninggal dunia sebagai martir di atas prinsip, dan hingga hari ini, ia tetap menjadi sumber inspirasi tak terbatas bagi mereka yang mencari kebenasan sejati, keadilan sosial, dan pengetahuan mendalam tentang esensi Islam.
Melalui ribuan ucapan dan suratnya, yang mencerminkan pemahaman mendalam tentang fitrah manusia, Ali mengajarkan bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin terletak pada kemampuannya untuk mengendalikan hawa nafsu pribadi dan memprioritaskan kesejahteraan rakyat, bahkan di tengah perang saudara. Kehidupannya merupakan bukti bahwa kesalehan dan kepahlawanan sejati adalah dua sisi dari mata uang yang sama.
Pengaruhnya pada disiplin ilmu kalam (teologi), etika politik, dan mistisisme Islam tidak dapat dileangkal. Setiap diskusi tentang keadilan, kepemimpinan, atau pemahaman mendalam Al-Qur'an secara inheren melibatkan ajaran-ajaran Ali. Keberaniannya di Khaybar, kesetiaannya di Laylat al-Mabit, dan ketegasannya dalam menegakkan keadilan di Kufah, semuanya berkontribusi pada profilnya sebagai salah satu tokoh paling transenden dan mulia dalam sejarah peradaban Islam.
Walaupun ia gagal menyatukan kembali kekhalifahan secara politik, ia berhasil mengukuhkan fondasi etika kepemimpinan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad, memastikan bahwa warisan keadilan ilahi akan terus bergema melintasi generasi. Ali bin Abi Thalib, sang Singa Allah, tetap dikenang bukan hanya sebagai pejuang, tetapi sebagai pintu gerbang ilmu, yang ajarannya terus menerangi jalan bagi pencari kebenaran di seluruh dunia.
Penghormatan terhadap sosoknya meluas ke seluruh penjuru tradisi, mencerminkan pengakuan universal atas peran uniknya sebagai sahabat terdekat Nabi, seorang hakim yang bijaksana, dan seorang mujahid yang tak kenal takut. Kisah Ali adalah pelajaran konstan tentang harga yang harus dibayar untuk memegang teguh kebenaran di dunia yang penuh konflik. Dedikasinya pada kesetaraan ekonomi dan penolakannya terhadap pengelompokan berdasarkan klan atau kekayaan, menjadikannya ikon bagi semua gerakan yang menyerukan keadilan sosial dalam sejarah Islam.
Keputusan-keputusan peradilannya yang terkenal, yang seringkali memecahkan dilema hukum yang paling sulit, menunjukkan kecerdasan yudisial yang luar biasa. Ia adalah ahli dalam menafsirkan semangat hukum (maqashid al-syariah) daripada sekadar teks literal, menghasilkan solusi yang seringkali mengejutkan para pengacara kontemporer. Para ulama setelahnya secara rutin mengutip 'hukuman Ali' ketika menghadapi kasus yang tidak memiliki preseden jelas.
Kehidupannya juga merupakan studi tentang zuhud (asketisme) yang ekstrem. Sebagai Khalifah, ia memiliki kekuasaan atas harta kekaisaran yang luas, namun ia memilih hidup dalam kemiskinan sukarela. Riwayat-riwayat menggambarkan bahwa Ali sering menolak makanan mewah, memilih makanan kasar yang sama dengan kaum termiskin. Sifat inilah yang membuatnya dicintai oleh kaum papa dan ditakuti oleh kaum korup, karena ia tidak bisa dibeli atau dipengaruhi oleh harta duniawi.
Peran Ali dalam proses kodifikasi dan penulisan Al-Qur'an pasca wafatnya Nabi juga sangat vital. Meskipun Al-Qur'an dikumpulkan di bawah bimbingan Khalifah Abu Bakar dan Utsman, pemahaman mendalam Ali terhadap susunan ayat dan konteks wahyu digunakan sebagai referensi utama untuk memastikan keakuratan naskah akhir. Ia membawa perspektif unik karena telah menyaksikan proses turunnya wahyu sejak awal.
Dalam konteks teologis, diskusi tentang sifat iman dan perbuatan sering merujuk pada argumen yang terjadi selama masa kekhalifahannya, khususnya setelah munculnya Khawarij. Ali berjuang melawan dua ekstrem: faksi yang mengkafirkan karena dosa besar, dan faksi yang percaya bahwa perbuatan tidak memengaruhi iman. Ali menengahi, menekankan bahwa iman adalah kombinasi dari keyakinan hati, pengakuan lisan, dan tindakan anggota badan, sebuah posisi yang menjadi ortodoksi Sunni dan Syiah.
Kecintaannya pada ilmu pengetahuan tidak terbatas pada teologi atau hukum; ia juga mendorong studi astronomi dan logika. Ia diyakini telah memberikan instruksi penting mengenai waktu dan perhitungan untuk kalender, serta menggunakan analogi logis dalam debat publiknya untuk meyakinkan lawan. Kedalaman pemikirannya membuat ia dihormati oleh filosof Muslim abad pertengahan, yang sering mengutipnya untuk mendukung argumen rasionalitas dalam agama.
Warisan retorika Ali dalam Nahj al-Balagha tidak hanya menjadi sumber sastra; itu adalah pelajaran kepemimpinan yang mendalam. Khotbah-khotbahnya di masa perang, ketika ia harus memotivasi pasukannya yang lelah dan terpecah, menunjukkan penguasaan bahasa yang mampu membangkitkan semangat sekaligus menanamkan kesadaran akan kefanaan dunia. Ia sering menggunakan metafora yang kuat untuk menggambarkan bahaya kesombongan dan janji keadilan ilahi.
Dalam sejarah konflik, ia selalu berusaha menghindari pertumpahan darah. Dalam setiap perang yang ia pimpin, mulai dari Jamal hingga Siffin, Ali berupaya keras untuk bernegosiasi dan menyelesaikan perselisihan tanpa kekerasan, hanya mengangkat pedang sebagai jalan terakhir untuk mempertahankan kedaulatan atau melindungi umat dari ekstremisme. Sikap ini menunjukkan kepemimpinannya yang didorong oleh hati nurani, bukan ambisi.
Bahkan setelah kematiannya, sosok Ali tetap menjadi magnet spiritual dan politik. Lokasi makamnya di Najaf, yang kini menjadi salah satu pusat ziarah terpenting di dunia, adalah pengakuan abadi atas kedudukan mulianya. Ziarah ke makamnya bukan hanya ritual, tetapi pengingat akan perjuangan abadi untuk menegakkan keadilan dan ilmu dalam menghadapi penindasan.
Secara keseluruhan, Ali bin Abi Thalib adalah figur yang melampaui gelar Khalifah atau Jenderal. Ia adalah arketipe bagi Muslim yang mencari keseimbangan sempurna antara tindakan heroik di dunia dan kesalehan mendalam yang berorientasi pada akhirat. Kehidupannya adalah cermin yang memantulkan cita-cita tertinggi Islam, dan ajarannya tetap menjadi kompas moral bagi umat manusia.
Penting untuk dipahami bahwa meskipun ia menjadi pusat konflik yang melahirkan perpecahan abadi dalam sejarah Islam, Ali sendiri adalah sosok yang paling gigih menyerukan persatuan. Ia selalu menekankan bahwa perbedaan pendapat harus diselesaikan melalui konsultasi (syura) dan kepatuhan pada Al-Qur'an dan Sunnah, bukan melalui pedang. Perjuangannya melawan Muawiyah dan Khawarij hanyalah respons defensif terhadap ancaman yang ditujukan kepada negara Islam yang sah dan prinsip-prinsip dasarnya.
Kisah ini, yang berawal dari seorang anak yang tidur di tempat tidur Nabi untuk menyelamatkannya, dan berakhir dengan seorang pemimpin yang dibunuh di mihrabnya, adalah kisah tentang pengorbanan tanpa batas. Ali bin Abi Thalib adalah martir bagi idealisme keadilan, seorang pahlawan yang kekuatannya terletak pada keimanannya, dan seorang guru yang warisan ilmunya akan bertahan selamanya, membuktikan bahwa kebijaksanaan dan keberanian sejati adalah sifat-sifat yang abadi.