Karakter Ali bin Abi Thalib, Khalifah keempat, telah menjadi salah satu tokoh yang paling disorot, dipuja, dan sekaligus diperdebatkan dalam sejarah peradaban Islam. Kedudukannya sebagai sepupu, menantu, dan sahabat terdekat Nabi Muhammad SAW, serta kepemimpinannya di masa yang penuh gejolak, menjadikannya figur sentral yang tak terhindarkan. Namun, ironi terbesar yang mengiringi warisannya adalah bagaimana penghormatan terhadap dirinya seringkali terjerumus pada ekstremisme, baik dalam bentuk pemujaan berlebihan yang melampaui batas kewajaran, maupun dalam bentuk perselisihan historis yang tak berkesudahan.
Dalam konteks modern, ketika umat dihadapkan pada fragmentasi identitas dan persaingan narasi sejarah, muncul kebutuhan mendesak untuk mengambil sikap yang lebih arif: sebuah panggilan untuk *jangan terlalu dikejar*. Seruan ini bukanlah ajakan untuk mengabaikan sejarah, melainkan sebuah penekanan filosofis agar energi spiritual dan intelektual kita difokuskan pada esensi ajaran dan hikmahnya, bukan pada perdebatan historis yang memecah-belah, atau pada pengejaran posisi dan status yang fana. Kita perlu memindahkan fokus dari politik masa lalu yang penuh pertikaian menuju etika dan moralitas universal yang ia ajarkan.
Pengejaran yang berlebihan (al-ghuluw) seringkali menghasilkan fanatisme buta yang mengaburkan kebenaran. Fanatisme semacam itu mengubah tokoh sejarah menjadi berhala ideologis, menggeser peran akal dan hati dari meneladani akhlaknya menjadi sekadar membela afiliasi kelompok. Ali, sosok yang terkenal dengan nasihatnya tentang pentingnya akal dan kebijaksanaan, tentu tidak akan menghargai pengikut yang mengorbankan perdamaian dan persatuan demi pemujaan yang melampaui batas.
Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menggali khazanah kebijaksanaan Ali, menelusuri pilar-pilar etikanya—Keadilan, Zuhud, Ilmu, dan Akhlak—sebagai panduan hidup yang melampaui batas-batas waktu dan perselisihan mazhab. Fokus utama kita adalah pada ajaran yang menggerakkan jiwa menuju kesempurnaan, meninggalkan pengejaran historis yang hanya melahirkan keributan dan perpecahan tak berujung.
Ali bin Abi Thalib dilahirkan di Mekkah, tumbuh di bawah asuhan Rasulullah SAW setelah ayahnya, Abu Thalib, mengalami kesulitan finansial. Ia menjadi salah satu individu pertama yang memeluk Islam, bahkan sejak usia yang sangat muda. Kedekatan ini memberikan Ali keistimewaan luar biasa: ia adalah murid langsung, pengamat praktik Islam secara sehari-hari, dan penerima langsung ajaran di masa formatifnya.
Kedudukannya di mata sejarah Islam mencakup: kepahlawanan dalam berbagai peperangan, penguasaan mendalam atas Al-Qur'an dan Sunnah, serta kepandaian dalam berpidato dan berfilsafat. Namun, di antara semua gelar dan kedudukannya, yang paling relevan bagi seruan moderasi kita adalah gelar yang diberikan oleh Nabi, yakni Bab al-Ilm (Gerbang Kota Ilmu).
Jika Nabi Muhammad SAW adalah kota ilmu, maka Ali adalah gerbangnya. Metafora ini menekankan bahwa ilmu yang dicari haruslah ilmu yang praktis, yang dapat diakses melalui akal, pemahaman mendalam, dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu di sini bukan sekadar hafalan atau penguasaan dogma, melainkan kebijaksanaan (hikmah) yang menghasilkan perilaku adil dan saleh.
Pengejaran ilmu yang sejati—yang merupakan fokus yang seharusnya kita kejar—berbeda total dari pengejaran kekuasaan atau dominasi narasi. Ali mengajarkan bahwa ilmu sejati adalah cahaya yang membedakan kebenaran dari kebatilan, dan akal adalah pemandu yang harus selalu dihormati di atas emosi dan kepentingan sektarian. Jika kita terlalu fokus pada perdebatan politik tentang siapa yang seharusnya memimpin setelah Nabi, kita kehilangan kekayaan ilmu yang tersimpan di balik kata-kata Ali.
Konsep "jangan terlalu dikejar" dalam konteks Ali bin Abi Thalib merujuk pada bahaya al-ghuluw (ekstremisme atau berlebihan). Dalam sejarah, al-ghuluw telah menyebabkan perpecahan yang tak tersembuhkan dan bahkan melahirkan sekte-sekte yang menuhankan Ali secara harfiah, sebuah praktik yang jelas-jelas ditolak keras oleh Ali sendiri. Moderasi adalah jalan yang ia anjurkan, baik dalam ibadah maupun dalam pandangan terhadap tokoh.
Pengejaran yang berlebihan terhadap sosok Ali termanifestasi dalam beberapa bentuk kontemporer yang merusak persatuan dan menjauhkan umat dari esensi ajarannya:
Ali bin Abi Thalib pernah berkata: "Ada dua jenis manusia yang akan binasa karena aku: orang yang mencintaiku secara berlebihan sehingga menempatkanku di luar tempatku yang sebenarnya, dan orang yang membenciku secara berlebihan."
Nasihat ini adalah fondasi bagi seruan moderasi. Ia menginginkan kita melihatnya sebagai manusia agung, seorang pemimpin yang adil, dan sumber ilmu yang dalam, namun ia menolak keras untuk didewakan atau dijadikan simbol perpecahan. Tugas kita hari ini adalah menyelamatkan Ali dari ekstremisme pengikut dan pembencinya, dan mengembalikannya ke posisi sebagai penunjuk jalan menuju etika dan kebijaksanaan universal.
Jika kita melepaskan energi dari pengejaran yang memecah-belah, kita akan menemukan warisan abadi Ali yang terletak pada pilar-pilar etika dan filsafat praktisnya. Ini adalah ilmu yang sesungguhnya harus dikejar.
Bagi Ali, keadilan bukanlah sekadar pembagian harta yang merata, tetapi sebuah sistem kosmis yang menuntut penempatan segala sesuatu pada tempatnya yang benar. Keadilan adalah nafas kepemimpinannya, terutama terlihat dalam surat-suratnya kepada para gubernur, seperti Malik al-Asytar.
Ali menerapkan prinsip keadilan ekonomi yang tegas, menolak privilese bagi mereka yang masuk Islam lebih awal atau mereka yang memiliki kekerabatan dengan Nabi, termasuk dirinya sendiri. Ia memperlakukan semua warga negara, tanpa memandang ras, kasta, atau agama, setara dalam pembagian Baitul Mal (kas negara). Sikap ini seringkali menjadi sumber kritik dari kaum elit yang terbiasa dengan pembagian yang berbasis status.
Konsep Ali mengenai keadilan menuntut penguasa untuk tidak hanya adil dalam hukum, tetapi juga dalam alokasi sumber daya. Ia menekankan bahwa masyarakat yang sakit adalah masyarakat di mana orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin terpuruk. Keadilan sosial, menurut Ali, adalah prasyarat untuk stabilitas politik. Ketika rakyat merasa hak-hak mereka dijamin, mereka akan mendukung pemerintah. Jika tidak, bibit-bibit pemberontakan akan tumbuh subur.
Penekanan pada keadilan ekonomi ini sangat relevan hari ini, di tengah kesenjangan global yang melebar. Pengejaran yang seharusnya kita lakukan adalah mencontoh ketegasan Ali dalam memastikan bahwa kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang kaya, tetapi terdistribusi secara merata untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap individu.
Instruksi Ali kepada Malik al-Asytar, yang diangkat sebagai gubernur Mesir, dianggap sebagai salah satu dokumen politik terbaik dalam sejarah Islam, dan bahkan dikaji oleh PBB sebagai model tata kelola negara yang adil. Di dalamnya, Ali menyajikan definisi kepemimpinan yang berpusat pada empati dan tanggung jawab sosial.
Ia menasihati Malik: “Tanamkanlah dalam hatimu kasih sayang, keramahan, dan kebaikan kepada rakyatmu. Janganlah kamu menjadi seperti binatang buas yang menganggap mereka mangsanya.” Ia meminta Malik untuk memahami bahwa rakyat terdiri dari dua jenis: saudara seiman atau rekan sesama manusia. Dalam kedua kasus, mereka layak mendapatkan perlakuan yang adil.
Poin kunci dari nasihat ini adalah perlunya penguasa untuk menjaga jarak emosional dari nafsu kekuasaan dan kemewahan pribadi. Keadilan yang sejati menuntut pengorbanan diri dan kesiapan untuk mendengarkan keluh kesah dari lapisan masyarakat yang paling rentan. Pengejaran terhadap kekuasaan yang bersih, yang didasarkan pada prinsip-prinsip ini, jauh lebih mulia daripada pengejaran terhadap sengketa masa lalu.
Meskipun memegang tampuk kekuasaan Khilafah, Ali menjalani kehidupan yang sangat sederhana, bahkan terkesan asketis. Zuhudnya Ali bukanlah penolakan total terhadap dunia, melainkan penolakan terhadap dunia yang berkuasa di dalam hati. Ia memandang dunia (dunya) sebagai jembatan, bukan tujuan akhir.
Dalam pandangan Ali, seorang yang zuhud bukanlah yang tidak memiliki harta, melainkan yang tidak dimiliki oleh harta. Intinya adalah kebebasan dari keterikatan materi. Ia khawatir bahwa cinta yang berlebihan pada kemewahan akan membutakan mata hati dan merusak kemampuan seseorang untuk membuat keputusan yang adil.
Kisah tentang Ali menambal pakaiannya sendiri, tidur di lantai yang dingin, atau menolak makanan mewah meskipun ia adalah kepala negara, adalah kisah yang bukan sekadar anekdot kesalehan, tetapi merupakan prinsip politik yang kuat. Dengan hidup sederhana, ia mengirimkan pesan bahwa kepemimpinan adalah beban pelayanan, bukan kesempatan untuk memperkaya diri.
Di era konsumerisme dan materialisme ekstrem hari ini, fokus pada zuhud Ali adalah sebuah keharusan. Jika kita terlalu dikejar oleh nafsu duniawi—termasuk nafsu untuk memenangkan perdebatan ideologis dan membuktikan superioritas kelompok—kita kehilangan kemampuan untuk mencapai ketenangan batin yang merupakan inti dari ajaran Ali.
Bagi Ali, dunia adalah medan ujian. Ia sering menggambarkan dunia sebagai bayangan yang akan sirna, atau sebagai pasar yang akan tutup. Filsafat ini menghasilkan ketenangan yang luar biasa di tengah badai politik. Ketika ia dikhianati, diperangi, atau dicerca, ia mampu mempertahankan fokusnya pada tugas yang lebih besar karena ia tidak terikat pada hasil duniawi.
Ketika kita terlalu mengejar sejarah dan perdebatan, kita sebenarnya sedang mengejar kepuasan ego dan validasi kelompok—semua adalah bagian dari dunia fana. Energi yang seharusnya digunakan untuk membangun masyarakat yang adil dan berilmu justru terbuang untuk membela pandangan yang mungkin hanya bersifat spekulatif dan politis.
Sebagai 'Gerbang Kota Ilmu', Ali menempatkan akal di posisi yang sangat tinggi. Ia percaya bahwa agama adalah untuk orang yang berakal, dan tidak ada kebaikan dalam ketaatan yang tidak didahului oleh pemikiran mendalam.
Ali membedakan antara ilmu (pengetahuan) dan kebijaksanaan (hikmah). Ilmu adalah alat, tetapi hikmah adalah tujuan. Ia sering menekankan bahwa yang penting bukanlah seberapa banyak yang kita ketahui, tetapi seberapa baik kita menerapkan pengetahuan itu. Ia mendorong umatnya untuk menjadi pemikir yang mendalam, bukan sekadar pengikut yang pasif.
Pengejaran ilmu yang berlebihan, dalam arti mengumpulkan informasi demi informasi, tanpa proses internalisasi dan refleksi, adalah pengejaran yang sia-sia. Hal ini berlaku juga untuk sejarah. Kita bisa menghafal setiap tanggal dan nama dalam Perang Jamal atau Shiffin, tetapi jika kita gagal memahami pelajaran etika tentang bahaya kesalahpahaman, kesombongan, dan ambisi, maka hafalan itu tidak menghasilkan hikmah.
Ali mengajarkan bahwa akal adalah nabi di dalam diri. Akal adalah sarana utama yang diberikan Tuhan untuk memahami realitas, membedakan yang baik dan buruk, dan mencapai kebenaran. Pengekangan akal demi mempertahankan dogma kelompok yang kaku adalah pengkhianatan terhadap ajaran Ali.
Dalam konteks modern, Ali mendorong kita untuk terlibat dalam dialog yang konstruktif dan kritis, menolak taklid buta, dan selalu mencari kebenaran, bahkan jika kebenaran itu datang dari lawan bicara kita. Kebijaksanaannya menegaskan bahwa akal yang jernih adalah benteng terkuat melawan fanatisme dan ekstremisme. Ketika perdebatan sejarah terlalu memanas dan akal menjadi korban, itulah saat kita tahu bahwa kita sudah terlalu dikejar oleh hal yang salah.
Inti dari kebijaksanaan Ali adalah penerapan akhlak mulia dalam setiap interaksi (muamalah). Kebaikan hati, kesabaran, dan integritas moral jauh lebih penting daripada status sosial atau sejarah politik.
Kehidupan Ali dipenuhi dengan cobaan, mulai dari masa-masa awal Islam, hingga perpecahan di masa Khilafahnya. Dalam menghadapi pengkhianatan dan perang, ia sering kali menekankan pentingnya kesabaran, bukan sebagai kepasrahan, melainkan sebagai kekuatan batin untuk tetap berpegang pada prinsip keadilan meskipun harus menghadapi kerugian pribadi.
Dalam perselisihan yang kita hadapi hari ini, terutama perselisihan historis, kesabaran menjadi kunci. Pengejaran yang berlebihan sering kali didorong oleh ketidaksabaran untuk memaksa orang lain menerima narasi kita. Ali mengajarkan bahwa kebenaran akan muncul pada waktunya, dan yang lebih penting adalah bagaimana kita berperilaku selama penantian itu.
Meskipun ia memiliki klaim yang kuat atas kepemimpinan dan menghadapi musuh yang nyata, Ali menunjukkan keengganan yang mendalam terhadap perpecahan dan pertumpahan darah sesama Muslim. Setelah pembunuhan Utsman, ia menerima jabatan Khalifah bukan karena ambisi, melainkan karena tanggung jawab untuk mencegah kekacauan total. Bahkan di tengah peperangan, ia selalu mencari jalan damai dan mengingatkan pasukannya akan persaudaraan Islam.
Ini adalah pelajaran terpenting bagi kita: fokus pada nilai persatuan (wahdah) dan meninggalkan segala bentuk pengejaran yang menciptakan eksklusivitas atau fitnah. Jika mengejar sejarah Ali justru membuat kita membenci saudara seiman, maka pengejaran itu sesat dan harus ditinggalkan. Yang harus dikejar adalah semangat rekonsiliasi dan persatuan yang ia perjuangkan.
Untuk benar-benar memahami mengapa kita harus moderat dalam mengejar sejarahnya, kita harus menganalisis babak paling sulit dalam hidup Ali: masa pemerintahannya yang dipenuhi Fitnah Kubra.
Perang Jamal, Perang Shiffin, dan tragedi Nahrawan seringkali diinterpretasikan secara hitam-putih, di mana satu pihak diposisikan sebagai pahlawan suci dan pihak lain sebagai pelaku kejahatan mutlak. Sikap ini adalah manifestasi dari pengejaran yang berlebihan dan merugikan.
Interpretasi yang lebih bijaksana (yang didukung oleh banyak ulama moderat) melihat konflik ini sebagai benturan ijtihad (penafsiran hukum) dan kegagalan manusiawi dalam mengelola krisis pasca-Utsman. Para Sahabat yang terlibat, termasuk Ali, Aisyah, Thalhah, dan Zubair, semuanya adalah figur yang memiliki jasa besar dan niat yang kompleks.
Jika kita melihat konflik tersebut sebagai pertarungan antara manusia-manusia agung yang membuat kesalahan fatal di bawah tekanan politik dan emosional, kita mendapatkan pelajaran universal: bahkan orang-orang terbaik pun rentan terhadap kesalahpahaman, salah perhitungan, dan pengaruh kelompok. Pelajaran ini memaksa kita untuk rendah hati dan fokus pada pengendalian diri sendiri, alih-alih menghabiskan waktu menilai kesalahan orang lain yang terjadi lebih dari seribu tahun yang lalu.
Kajian historis seharusnya berfungsi sebagai cermin untuk melihat kerapuhan kita, bukan sebagai palu untuk menghakimi tokoh masa lalu. Pengejaran yang sejati adalah mencari tahu mengapa konflik itu terjadi dan bagaimana kita dapat mencegahnya terulang kembali dalam komunitas dan negara kita sendiri.
Warisan Ali tidak hanya terdistorsi oleh politik, tetapi juga oleh perdebatan teologis (ilmu kalam) yang muncul setelahnya. Kelompok teologis tertentu menggunakan figur Ali untuk memperkuat posisi doktrinal mereka, seringkali dengan mengorbankan kesederhanaan ajaran Islam itu sendiri.
Ali sendiri fokus pada hal-hal yang esensial: tauhid yang murni, keadilan dalam pemerintahan, dan pembersihan jiwa. Ia tidak menghabiskan waktunya berdebat mengenai sifat-sifat Tuhan atau masalah-masalah metafisika yang tidak berdampak langsung pada etika. Ketika kita terlalu dikejar oleh perdebatan teologis yang mendetail mengenai status historis Ali, kita mengalihkan fokus dari inti praktis ajarannya.
Ini adalah seruan untuk memprioritaskan ajaran yang bersifat konstruktif (bagaimana menjadi orang yang lebih baik dan adil) di atas ajaran yang bersifat destruktif (bagaimana mendefinisikan dan membatasi pihak lain).
Salah satu bahaya terbesar dari pengejaran berlebihan adalah pengkultusan, yang dalam kasus Ali melahirkan kelompok Ghulat (ekstremis) yang meninggikannya ke tingkat ketuhanan. Pengkultusan ini tidak hanya bertentangan dengan Tauhid, tetapi juga merusak citra Ali sendiri sebagai seorang hamba Allah yang beriman.
Penolakan terhadap pengkultusan adalah pelajaran moderasi yang harus kita pegang teguh. Pengejaran sejati adalah meneladani kesalehannya, bukan memujanya. Ali adalah teladan, bukan objek sembahyang. Ketika kita menempatkan fokus pada perilaku etisnya, kita terhindar dari jebakan spiritual yang ditawarkan oleh al-ghuluw.
Daripada mengejar bayangan perselisihan, kita harus mengejar khazanah intelektual Ali yang tak lekang oleh zaman. Ini adalah inti yang memberikan manfaat abadi.
Kumpulan khotbah, surat, dan kata-kata mutiara Ali, yang dikenal sebagai Nahjul Balaghah (Jalan Kefasihan), adalah mahakarya sastra dan filosofis. Karya ini mencakup spektrum luas mulai dari kosmologi, eskatologi, kritik sosial, hingga etika kepemimpinan.
Melalui Nahjul Balaghah, Ali mengajak pendengarnya untuk merenungkan makna keberadaan. Ia sering mengingatkan tentang kefanaan dunia dan kepastian akhirat. Ini adalah cara untuk meletakkan ambisi duniawi pada perspektif yang benar. Seseorang yang memiliki kesadaran mendalam tentang kematian tidak akan menghabiskan hidupnya untuk hal-hal sepele, apalagi untuk perdebatan yang memecah-belah.
Pengejaran yang kita lakukan seharusnya adalah pengejaran akan kualitas kehidupan batin, seperti yang ia ajarkan: ketakwaan, kejujuran, dan kesiapan menghadapi hari perhitungan. Pengejaran ini adalah pengejaran yang tidak akan pernah menyesatkan.
Gaya bahasa Ali dalam Nahjul Balaghah menunjukkan keahliannya dalam komunikasi. Ia menggunakan metafora yang kuat, argumen yang logis, dan himbauan yang menyentuh hati. Hal ini mengajarkan kita pentingnya kefasihan bukan untuk menyombongkan diri, melainkan untuk menyampaikan kebenaran dan keadilan dengan cara yang paling efektif.
Dalam debat modern, di mana retorika seringkali digantikan oleh teriakan dan fitnah, meneladani gaya komunikasi Ali adalah bentuk pengejaran yang sangat bermanfaat. Ia menunjukkan bahwa kekuatan argumen harus lebih besar daripada kekuatan suara.
Salah satu poin teologis sentral dalam ajaran Ali adalah penolakan terhadap pemisahan iman (keyakinan) dari amal (perbuatan). Baginya, iman yang tidak menghasilkan keadilan, kesalehan, dan integritas adalah iman yang mati. Ini adalah kritik halus terhadap ritualisme kosong atau klaim kesalehan yang tidak didukung oleh moralitas publik.
Jika kita mengklaim mencintai Ali dan menghargai kedudukannya, tetapi gagal menerapkan keadilan dalam interaksi bisnis kita, gagal bersikap jujur kepada tetangga kita, atau gagal bersabar dalam perselisihan, maka kecintaan itu palsu. Pengejaran yang harus kita prioritaskan adalah sinkronisasi antara keyakinan dan perilaku, menjadikan etika sebagai barometer keimanan.
Ali menegaskan bahwa keimanan sejati adalah kesiapan untuk membela yang lemah, memberikan hak kepada yang berhak, dan melawan kezaliman, bahkan jika pelakunya adalah diri kita sendiri atau keluarga kita. Ini adalah jihad kontemporer yang seharusnya kita kejar.
Bagaimana ajaran "jangan terlalu dikejar" dapat diterapkan dalam kehidupan umat Islam saat ini yang terfragmentasi?
Ali bin Abi Thalib dapat menjadi jembatan pemersatu jika identitas kita didasarkan pada etika yang ia ajarkan, alih-alih pada identitas sektarian yang mengeksklusifkan. Baik Sunni maupun Syiah, keduanya menghormati Ali. Fokus harus dialihkan kepada nilai bersama: keadilan sosial, kejujuran pribadi, dan penolakan terhadap korupsi.
Ketika dua kelompok bertikai mengenai detail pertempuran Shiffin, mereka mungkin saja setuju bahwa korupsi politik modern adalah kejahatan yang harus dilawan. Pengejaran keadilan di era sekarang adalah pengejaran yang menghasilkan manfaat nyata bagi kemanusiaan, dan inilah yang Ali lakukan sebagai pemimpin.
Ini menuntut kita untuk bersikap lunak terhadap perbedaan historis dan ritual minor, sambil bersikap keras terhadap penyimpangan moral universal. Moderasi dalam pandangan sejarah adalah kunci untuk membuka pintu persatuan.
Pengejaran yang berlebihan seringkali menghasilkan ketakutan untuk menghadapi fakta yang tidak sesuai dengan narasi yang disukai. Ali mengajarkan pentingnya berani secara intelektual. Keberanian ini berarti mengakui bahwa sejarah masa lalu penuh dengan kompleksitas dan tidak ada seorang pun yang kebal dari kesalahan. Kebenaran tidak bisa dibeli dengan klaim kesucian mutlak.
Moderasi menuntut kita untuk membaca sejarah dengan empati, memahami bahwa para aktor masa lalu hidup dalam kondisi yang berbeda, dan mereka tidak sempurna. Dengan demikian, kita dapat mengambil pelajaran tanpa perlu membenarkan secara membabi buta atau menghakimi secara kejam. Keberanian intelektual inilah yang harus kita kejar.
Untuk mencapai bobot pembahasan yang komprehensif, kita perlu membedah lebih jauh kedalaman konsep keadilan Ali. Keadilan (Al-Adl) baginya bukan hanya kebijakan, melainkan sifat ilahiah yang wajib dicerminkan oleh seorang pemimpin. Dalam surat-suratnya, ia menguraikan lapisan-lapisan keadilan yang harus dikejar oleh umatnya, yang melampaui sekadar retorika politik.
Ali sangat menekankan pada pencegahan kezaliman sebelum ia terjadi. Ia berpendapat bahwa penguasa yang adil adalah penguasa yang sibuk menghilangkan akar kemiskinan dan ketidaksetaraan, sehingga tidak perlu terlalu sering memberlakukan hukuman. Prinsip ini berlawanan dengan pandangan yang hanya fokus pada penindakan setelah kejahatan dilakukan.
Ia menginstruksikan para pejabatnya untuk selalu memeriksa kondisi masyarakat yang paling terpinggirkan, bahkan mereka yang mungkin tidak berani bersuara. Keadilan preventif ini menuntut penguasa untuk tidak hidup dalam isolasi menara gading. Pengejaran yang kita lakukan hari ini harus meniru upaya ini: secara proaktif mencari tahu di mana ketidakadilan bersembunyi di dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik kita.
Ali menulis bahwa ketidakadilan adalah pengkhianatan terbesar. Pengkhianatan ini tidak hanya merusak hubungan antara penguasa dan rakyat, tetapi juga merusak hubungan spiritual seseorang dengan Tuhannya. Kezaliman, meskipun kecil, akan menumpuk dan menjadi penyebab utama kehancuran peradaban. Oleh karena itu, pengejaran keadilan Ali adalah pengejaran detail, yang menolak kompromi etika dalam hal-hal kecil.
Lapisan keadilan yang sering terabaikan adalah keadilan terhadap diri sendiri. Ali sering mengajarkan pentingnya muhasabah (introspeksi) yang ketat. Keadilan dimulai dari hati, di mana seseorang harus memastikan bahwa niatnya murni, tindakannya konsisten dengan ucapannya, dan ia tidak membiarkan hawa nafsu menguasai akalnya.
Jika seseorang gagal berlaku adil terhadap jiwanya sendiri—membiarkannya jatuh ke dalam keserakahan, iri hati, atau kepalsuan—maka mustahil ia bisa berlaku adil terhadap orang lain. Inilah yang membedakan kepemimpinan Ali dari para penguasa yang hanya mengenakan topeng keadilan. Keadilan baginya adalah otentisitas batin.
Pengejaran berlebihan terhadap status atau sejarah masa lalu seringkali merupakan upaya untuk menghindari muhasabah. Lebih mudah menunjuk jari pada kesalahan tokoh masa lalu daripada memperbaiki kelemahan diri sendiri. Ali mendorong kita untuk mengalihkan energi pengejaran itu ke dalam: menaklukkan ego dan membangun karakter yang teguh.
Mengenai kebijakan fiskal, Ali bersikeras bahwa Baitul Mal bukan milik pribadi Khalifah atau kelompok tertentu, melainkan milik seluruh umat. Ia menolak praktik penimbunan harta dan memastikan bahwa aset negara didistribusikan sedemikian rupa sehingga mengurangi kesenjangan sosial.
Pandangannya tentang alokasi sumber daya sangat modern: ia menolak meritokrasi yang hanya menguntungkan elit yang sudah mapan. Ia memastikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses sumber daya dasar. Prinsip ini adalah tantangan langsung bagi sistem ekonomi yang menghasilkan ketidaksetaraan ekstrem. Pengejaran yang harus kita ambil dari sini adalah model kepemimpinan yang berani melawan tekanan oligarki demi kebaikan publik.
Dengan demikian, keadilan Ali adalah sebuah konsep holistik: spiritual, pribadi, sosial, dan politik. Mengejar keadilan ini jauh lebih transformatif daripada mengejar detail politik masa lampau yang tidak lagi dapat kita ubah.
Perluasan konsep Zuhud Ali menunjukkan bahwa sikapnya terhadap dunia adalah penolakan terhadap ilusi. Ia melihat kehampaan di balik kemewahan dan pengakuan sosial.
Dalam konteks politik, Zuhud Ali adalah senjata. Ketika ia menolak untuk hidup mewah atau memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi, ia secara otomatis memperkuat posisinya secara moral. Lawan-lawannya tidak dapat menuduhnya korup atau mencari keuntungan duniawi. Ini memberikan otoritas moral yang tak tergoyahkan, bahkan ketika kekuatan militernya terancam.
Zuhud mengajarkan bahwa kekuasaan sejati tidak terletak pada simbol-simbol luar (mahkota, istana, harta), melainkan pada integritas dan kemauan untuk melayani. Pengejaran yang terlalu fokus pada atribut eksternal kekuasaan adalah pengejaran yang sia-sia dan berbahaya. Ali mengajarkan bahwa pemimpin harus selalu merasa lebih rendah daripada tugas yang diembannya.
Ali sering menggambarkan dunia sebagai ‘tempat persinggahan’ atau ‘bangsa yang tidak menetap’. Metafora ini mendorong pemisahan emosional dari hasil duniawi. Ketika ia memenangkan perang, ia tidak sombong; ketika ia kalah atau dihadapkan pada pengkhianatan, ia tidak putus asa. Ketenangan ini berasal dari pemahaman bahwa semua kondisi adalah sementara.
Jika kita terlalu ‘dikejar’ oleh perselisihan atau narasi sejarah, itu berarti kita telah memberikan terlalu banyak bobot emosional pada hal-hal yang fana dan tidak dapat kita kontrol. Ajaran Zuhud Ali berfungsi sebagai penyeimbang, mengingatkan kita untuk melepaskan keterikatan pada hasil dan fokus pada kualitas niat dan amal saat ini.
Ilmu Ali adalah ilmu yang cair, yang mampu beradaptasi dengan masalah baru dan menolak kerangka berpikir yang kaku. Inilah kekayaan terbesarnya.
Ali sering menggunakan metode dialektis dalam berdebat, menantang asumsi, dan mendorong pendengarnya untuk menggunakan akal. Ia tidak ingin pengikutnya sekadar menyerap, tetapi menganalisis. Bahkan dalam menghadapi kaum Khawarij yang ekstremis, ia pertama-tama mengirimkan utusan untuk berdialog, berusaha memenangkan mereka melalui argumen rasional, sebelum menggunakan kekuatan militer sebagai pilihan terakhir.
Sikap ini mengajarkan kita bahwa pengejaran kebenaran harus selalu didahului oleh dialog yang terbuka dan kritis. Pengejaran yang berlebihan terhadap klaim kelompok dan menutup diri dari pandangan lain adalah anti-intelektualisme yang bertentangan dengan semangat Gerbang Kota Ilmu.
Ali sangat prihatin terhadap ilmu yang tidak disertai moral. Ia berujar bahwa ilmu yang paling berbahaya adalah ilmu yang ada di tangan orang yang jahil (bodoh secara etika). Ilmu tanpa moralitas dapat menjadi alat kezaliman dan manipulasi.
Pengejaran ilmu sejati, oleh karena itu, harus selalu diiringi oleh pemurnian jiwa. Ilmu harus menghasilkan peningkatan karakter, bukan sekadar peningkatan status sosial atau kemampuan berdebat. Ini adalah standar etika yang harus kita terapkan pada setiap pengejaran intelektual kita, termasuk dalam kajian sejarah Ali.
Untuk menutup pembahasan tentang pilar hikmah, kita harus menengok pada detail akhlak Ali yang paling sering dilupakan di tengah hiruk pikuk politiknya.
Ali menunjukkan integritas yang luar biasa dalam mempraktikkan pengampunan. Meskipun ia adalah komandan militer yang hebat, ia terkenal karena kemurahan hatinya terhadap tawanan dan lawan yang telah dikalahkan. Setelah Perang Jamal, ia melarang pasukannya mengejar yang melarikan diri, merampas harta, atau memperbudak mereka yang kalah—suatu tindakan yang jarang terjadi di masa itu.
Pengejaran yang sejati adalah pengejaran kemurahan hati. Dalam konteks perselisihan sejarah yang panas, kita seringkali gagal mempraktikkan kemurahan hati. Kita terlalu mudah menghakimi dan menuntut hukuman abadi terhadap kesalahan masa lalu. Ali mengajarkan bahwa kekuatan sejati terletak pada kapasitas untuk memaafkan dan bergerak maju demi kebaikan yang lebih besar.
Meskipun ia memiliki otoritas keilmuan dan politik, Ali dikenal sering berkonsultasi dengan para sahabat dan rakyatnya. Ia menghargai pandangan minoritas dan menunjukkan kesiapan untuk mengubah pikirannya jika disajikan argumen yang lebih baik. Prinsip konsultasi (syura) ini adalah inti dari tata kelola yang adil.
Dalam masyarakat modern yang terpolarisasi, ini berarti kita harus berhenti menggunakan figur sejarah sebagai alat untuk mendikte dan mulai menggunakan hikmah mereka sebagai pedoman untuk berdiskusi. Pengejaran yang harus kita lakukan adalah membangun ruang dialog, bukan membangun tembok pemisah.
Ali bin Abi Thalib mewariskan kepada kita lebih dari sekadar sejarah politik yang kontroversial. Ia meninggalkan khazanah filsafat, etika, dan prinsip kepemimpinan yang relevan sepanjang masa. Seruan untuk *jangan terlalu dikejar* adalah seruan untuk berhenti tenggelam dalam drama sejarah masa lalu dan, sebaliknya, berenang di lautan kebijaksanaan yang ia tawarkan.
Keadilan, Zuhud, Ilmu yang Berakal, dan Akhlak yang Murni—inilah empat pilar yang harus kita jadikan fokus utama pengejaran kita. Ketika kita mengalihkan energi dari memenangkan perdebatan historis ke penerapan nilai-nilai ini dalam kehidupan kita, barulah kita dapat mengklaim sebagai pengikut sejati dari Gerbang Kota Ilmu.
Moderasi adalah jalan yang aman. Moderasi menjamin bahwa kita melihat Ali sebagai teladan manusia agung, bukan sebagai berhala ideologis. Dengan mengikuti jalan tengah ini, kita tidak hanya menghormati warisannya, tetapi juga berkontribusi pada persatuan dan kemajuan umat Islam di masa kini dan masa depan.
Mari kita kejar esensi, dan biarkan bayangan sirna.